Penulis: Gregorio Lopez y’ Fuentes
Penerjemah: Saut Situmorang
dari READER’S DIGEST GREAT SHORT STORIES OF THE WORLD
http://reinvandiritto.blogspot.com/
Rumah itu – satu-satunya di lembah itu – terletak di puncak sebuah bukit yang rendah. Dari situ nampak sungai dan, setelah tempat kandang binatang, nampak ladang jagung yang sudah matang diselang-selingi bunga-bunga kacang yang menjanjikan musim panen yang baik.
Hanya satu saja yang dibutuhkan ladang itu saat itu: turunnya hujan, atau paling tidak gerimis. Sepanjang pagi Lencho, yang akrab dengan setiap lekuk ladangnya itu, tak henti mengamati langit bagian timur laut.
“Hujan pasti akan segera turun sebentar lagi.”
Istrinya yang sedang menyiapkan makan malam menjawab:
“Ya, mudah-mudahan.”
Anak-anak laki-lakinya sedang kerja di ladang sementara yang masih kecil-kecil bermain-main di dekat rumah waktu perempuan itu memanggil mereka:
“Makan malam sudah siap…”
Waktu mereka sedang makan malam hujan lebat pun turun, tepat seperti yang diramalkan Lencho. Di langit sebelah timur laut nampak awan-awan sebesar gunung berarakan mendekat. Udara sejuk dan segar.
Lencho beranjak ke luar rumah menuju kandang binatang hanya untuk merasakan nikmat air hujan di tubuhnya, dan waktu kembali ke dalam rumah dia berseru:
“Bukan air hujan yang sedang turun dari langit ini tapi uang! Gumpalan-gumpalan air yang besar adalah uang limapuluh ribuan, dan yang kecil-kecil sepuluh ribuan…”
Dengan wajah puas dipandanginya ladang jagungnya yang penuh bunga kacang diselimuti tirai hujan.
Tapi tiba-tiba angin kencang berhembus dan bersama hujan mulai turun pula batu-batu es yang besar-besar. Batu-batu es itu kelihatan seperti uang perak benaran. Anak-anak laki-lakinya menghambur ke luar rumah dan mengutipi mutiara-mutiara beku itu.
“Hujan ini sudah mulai merusak sekarang!” teriak Lencho, cemas. “Semoga segera berhenti.”
Hujan tidak segera berhenti. Selama satu jam hujan batu es itu turun menghajar rumah, kebun, bukit, ladang jagung, seluruh daerah lembah. Ladang jadi putih seperti ditutupi garam. Tak satu pun daun tertinggal di ranting pohonan. Jagung semuanya rusak. Bunga-bunga tanaman kacang musnah. Lencho betul-betul sedih. Setelah badai itu berlalu, dia berdiri di tengah-tengah ladangnya dan berkata pada anak-anaknya:
“Wabah belalang pun masih menyisakan lebih daripada ini… Hujan es telah merusak semuanya. Tahun ini kita bakal tak punya jagung atau kacang…”
Malam itu adalah malam yang sangat menyedihkan.
“Semua kerja kita sia-sia.”
“Tak ada yang bisa menolong kita.”
“Kita akan kelaparan tahun ini…”
Tapi dalam hati mereka yang tinggal di rumah terpencil di tengah lembah itu ada satu harapan yang tinggal: pertolongan dari tuhan.
“Jangan terlalu bersedih walau semuanya ini seperti sebuah kehilangan total. Ingat, tak ada yang mati kelaparan!”
“Begitulah kata mereka: tak ada yang mati kelaparan.”
Sepanjang malam Lencho hanya berpikir tentang satu-satunya harapannya itu: pertolongan tuhan, yang menurut apa yang diajarkan padanya melihat segalanya termasuk apa yang ada dalam hati nurani manusia.
Lencho adalah seorang pekerja keras, dan dia juga tidak buta huruf. Hari Jumat berikutnya setelah matahari terbit dan setelah berhasil meyakinkan dirinya akan keberadaan suatu zat yang akan memberikan pertolongan, Lencho pun mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota untuk diposkan.
Surat itu tidak tanggung-tanggung ditujukannya kepada TUHAN.
“Tuhan,” tulis Lencho, “kalau Kau tidak menolong aku, keluargaku dan aku akan kelaparan tahun ini. Aku perlu satu juta rupiah untuk menanami ladangku kembali dan untuk biaya hidup sampai panen tiba, karena badai hujan es….”
Dia menulis “KEPADA TUHAN” di amplop, memasukkan surat itu ke dalamnya dan, masih merasa sedih, berangkat ke kota. Di kantor pos ditempelkannya perangko dan dimasukkannya surat itu ke kotak surat.
Salah seorang pegawai kantor pos menemui atasannya sambil ketawa geli dan menunjukkan surat untuk tuhan itu. Belum pernah dalam sejarah karirnya sebagai tukang pos dia mengalami hal seaneh ini. Kepala kantor pos yang gemuk dan ramah itu juga terpingkal-pingkal dibuatnya tapi tiba-tiba dia jadi serius dan sambil meletakkan surat itu di atas meja, dia berkata:
“Betapa kuat imannya! Seandainya saja aku punya iman seperti orang yang menulis surat ini. Seandainya saja aku punya keyakinan sebesar keyakinannya ini. MENULIS SURAT KEPADA TUHAN!!!”
Untuk tidak mengecewakan iman luar biasa yang ditunjukkan sepucuk surat yang tak mungkin dikirimkan itu, kepala kantor pos itu mendapat satu ide: balas surat itu. Tapi waktu amplop surat dibukanya, ternyata untuk membalasnya, maksud baik, tinta dan kertas belaka tidaklah cukup. Tapi dia tetap pada pendiriannya. Dia lalu minta sumbangan uang dari para pegawainya dan dia sendiri menyumbangkan setengah dari gajinya, sementara beberapa kawannya dengan sukarela juga menambah “sumbangan kemanusiaan” itu.
Tapi tak mungkin untuk mengumpulkan uang sebanyak satu juta rupiah, maka dia mengirimkan hanya sedikit lebih daripada setengah yang dibutuhkan petani itu. Dimasukkannya uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho dengan disertai secarik kertas yang hanya bertuliskan satu kata sebagai tanda tangan si pengirimnya: TUHAN.
Hari Jumat berikutnya Lencho datang lebih cepat dari biasanya ke kantor pos dan bertanya kalau ada surat untuknya. Tukang pos itu sendiri yang menyerahkan surat itu padanya sementara kepala kantor pos yang merasa bahagia telah melakukan sebuah perbuatan mulia mengintip dari pintu kantornya.
Lencho sama sekali tidak menunjukkan rasa heran waktu melihat uang dalam amplop itu – begitulah besarnya imannya – tapi dia malah jadi marah setelah menghitung jumlah uang tersebut… Tuhan pasti tidak membuat kesalahan, atau menolak apa yang dimintanya!
Cepat-cepat Lencho mendatangi loket dan minta kertas dan tinta. Di meja yang khusus disediakan untuk umum di kantor pos itu dia pun segera mulai menulis, sambil mengerutkan keningnya karena berusaha keras untuk mengutarakan isi pikirannya. Setelah selesai, dia pergi membeli perangko di loket yang lalu dijilat dan dilekatkannya ke amplop dengan pukulan tinjunya.
Begitu surat itu masuk ke dalam kotak surat, kepala kantor pos segera mengambil dan membukanya. Beginilah isinya:
“Tuhan, dari jumlah uang yang aku minta itu, hanya tujuhratus ribu saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya karena aku betul-betul membutuhkannya. Tapi jangan kirim uang itu lewat pos karena para pegawai kantor pos bajingan semuanya. Lencho.”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
30/05/10
TAMBUR TAFFAKUR
KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/
Demikianlah pada mulanya, bahwa tatapan mata yang mengurai kesemestaan adalah telah lebih jauh melewati rimba larangan, dan selanjutnya tanpa dihantui siapapun, meneruskan perlintasan ke arah barat. Kita mengunci bisik-dingin sang bayu, di kala ketukan-ketukan yang menghampir sudah teramat berderap dan kemudian menderu, semirip dengan taufan pada kemarau garang.
http://www.sastra-indonesia.com/
Demikianlah pada mulanya, bahwa tatapan mata yang mengurai kesemestaan adalah telah lebih jauh melewati rimba larangan, dan selanjutnya tanpa dihantui siapapun, meneruskan perlintasan ke arah barat. Kita mengunci bisik-dingin sang bayu, di kala ketukan-ketukan yang menghampir sudah teramat berderap dan kemudian menderu, semirip dengan taufan pada kemarau garang.
Menyimak Musik Rimsky-Korsakoff Melalui Yuja Wang:
Bertemu Amy Lowell, John Keats hingga Andy Warhol
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=395
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov, nama panggilan lain Nikolay, Nicolai dan Rimsky-Korsakoff (18 Maret 1844 - 21 Juni 1908) komponis Rusia, salah seorang dari lima komponis “The Five” atau yang dikenal “The Mighty Handful” juga guru musik dalam bidang teknik musik barat harmoni serta orkestra. Ternama dalam minat cerita rakyat pula dongengan; berdasarkan keahlian menggubah orkestranya, yang dikatakan banyak dipengaruhi minatnya. {http://id.wikipedia.org/wiki/Nikolai_Rimsky-Korsakov}
Rimsky-Korsakov, seorang koloris terbesar dalam musik, tukang sulap pada orkes. Ia kenal pathos atau lirisme. Ia tak mengenal jiwa, yang dikenalnya hanya pancaindra. Dengan musik bisa perdengarkan segalanya, memperlihatkan semuanya. Dapat membikin suatu tema tidak berarti menjadi orkestrasi yang sangat menarik. Seniman dari Rusia Utara ini memimpikan kemolekan Timur, keindahan cahaya mentari dan warna selatan. Ia rindu pada negara-negara sebelah Selatan yang secuil dan penuh keindahan itu. “Antar” lebih banyak Arab dari pada Rusia. Daerahnya dongengan. Tak lain yang disukainya menggambarkan suatu iring-iringan manusia, dengan suara orkes yang bagus-bagus: iringan raja dari “Puteri salju”, suatu pawai dari “Ayam jantan emas.” {pendapat J. Van Ackere, di buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}
***
Yuja Wang, pianis yang kukenal lewat facebook, tatkala mencari musiknya Ravel.
Perempuan yang sejak kecil bermain piano, telah memainkan ciptaan Mozart sedari belia.
Atas denting jemarinya dipenuhi makna, diriku belajar memahami musik klasik lebih sumringah.
Jauh mendekati sejarah. Di mana para komponis peroleh inspirasi dari belahan dunia sastra.
Lirisme musik Nikolay, selaksa gelas-gelas kristal saling beradu di kemeriahan pesta.
Atau deburan ombak berhantaman di udara, atas laut membiru bersimpan gelora rindu.
Kangen ganjil setingkatan cahaya, tanpa hasrat kemerah.
Seputih kekhusyukan sayap-sayap malaikat membentuk pelangi, oleh tekanan hawa mempurna.
Orkestrasinya halus menusuk, bening berkilau-kemilau dari anugerah pancaindara yang tajam.
Menggubah irama warna memikat pandang, mendentingi telinga, menyusul kerinduannya.
Selalu menemukan instrumen ke belahan lain, melodian akrobatik, bau-bau harum menyebar dari jari-jemari penyair.
Nada-nada percepatan letak renungan, umpama hujaman belati tidak henti menyayat-mengiris.
Sampai pedihnya secabikan kekal, bathin larut ke dalam khasana bermusik.
Yuja Wang tak hendak hembuskan nafas, kecuali menjejaki pohon-pohon ingatan tertinggi.
Mengolah keluar-masuknya peroleh limpahan cahaya, detik-detik tarikan mengikuti skat telah ditentukan berabadi.
Percepatan gesekan sinar menyeruak wewarna, tak istirah pesonakan mata pun telinga.
Padanya jiwa perasa mengakui keuletan menebarkan bunga, kelopak-kelopak lepas mendenting akhir memberkah.
Kusimak kepiawaian Yuja Wang menghantarkan Bumble Bee (Rimsky-Korsakov / Cziffra) lewat You Tube;
selaksa memperhatikan puisi penyair Amerika, Amy Lowell (1874-1925) bertitel AWAN MALAM:
Kuda-kuda betina dari bulan memburu sepanjang angkasa
Memukul dengan tapak-tapak emas pada langit-langit kaca;
Kuda-kuda betina dari bulan semua tegak pada kaki belakangnya
Memukul gerbang porselin hijau dari langit-langit jauh.
Melayanglah, para kuda!
Kerahkan seluruh tenaga!
Deraikan debu bintang membima,
Kalau tidak, mentari -harimau sergap dan binasa kamu
Dengan sekali jilat lidahnya merah.
{dari buku Puisi Dunia, jilid II, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1953}
Pun yang dilantunkan awal kali penyair Inggris, John Keats (1795-1821):
“Jendela magis yang melihat ke buih
Lautan bersahaya di negeri dongengan sepi”
Rimsky-Korsakov, tepatnya seorang penyair pelukis musik; hasil ciptaan iramanya menelusuri dongeng purba penuh nuanse warna.
Alam pandangan mata diberikan karunia berlimpah, menyadap waktu silam bagi mekaran bunga-bunga kesaksian di setiap jaman.
Atas kejelian teliti, mampu menahan nafas-nafas penyimak, dirinya menebali tapak-tapak berkarya.
Tak ada keterlenaan, semua diatur mengarungi kepak keseriusan suci, cahaya menyeruak mekarkan kembang kemakmuran indrawi.
Kegemilangan wewarna musik Nikolay melampaui seniman lukis, jaman di depannya; pencapaiannya melebihi Andy Warhol (1928-1987).
Inilah gugusan sabda bunyi-bunyian terang memikat, mengangkat perasaan berfikir, melakoni kemenjadian, mengalir, meliuk.
Seakan kerlingan mata penggoda menjatuhkan peramal, suatu ciptaan takdir tak dapat diulang.
Menajamkan kedudukan keniscayaan ada, pada kelahiran serta kematian tepat di jantung Masa.
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=395
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov, nama panggilan lain Nikolay, Nicolai dan Rimsky-Korsakoff (18 Maret 1844 - 21 Juni 1908) komponis Rusia, salah seorang dari lima komponis “The Five” atau yang dikenal “The Mighty Handful” juga guru musik dalam bidang teknik musik barat harmoni serta orkestra. Ternama dalam minat cerita rakyat pula dongengan; berdasarkan keahlian menggubah orkestranya, yang dikatakan banyak dipengaruhi minatnya. {http://id.wikipedia.org/wiki/Nikolai_Rimsky-Korsakov}
Rimsky-Korsakov, seorang koloris terbesar dalam musik, tukang sulap pada orkes. Ia kenal pathos atau lirisme. Ia tak mengenal jiwa, yang dikenalnya hanya pancaindra. Dengan musik bisa perdengarkan segalanya, memperlihatkan semuanya. Dapat membikin suatu tema tidak berarti menjadi orkestrasi yang sangat menarik. Seniman dari Rusia Utara ini memimpikan kemolekan Timur, keindahan cahaya mentari dan warna selatan. Ia rindu pada negara-negara sebelah Selatan yang secuil dan penuh keindahan itu. “Antar” lebih banyak Arab dari pada Rusia. Daerahnya dongengan. Tak lain yang disukainya menggambarkan suatu iring-iringan manusia, dengan suara orkes yang bagus-bagus: iringan raja dari “Puteri salju”, suatu pawai dari “Ayam jantan emas.” {pendapat J. Van Ackere, di buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}
***
Yuja Wang, pianis yang kukenal lewat facebook, tatkala mencari musiknya Ravel.
Perempuan yang sejak kecil bermain piano, telah memainkan ciptaan Mozart sedari belia.
Atas denting jemarinya dipenuhi makna, diriku belajar memahami musik klasik lebih sumringah.
Jauh mendekati sejarah. Di mana para komponis peroleh inspirasi dari belahan dunia sastra.
Lirisme musik Nikolay, selaksa gelas-gelas kristal saling beradu di kemeriahan pesta.
Atau deburan ombak berhantaman di udara, atas laut membiru bersimpan gelora rindu.
Kangen ganjil setingkatan cahaya, tanpa hasrat kemerah.
Seputih kekhusyukan sayap-sayap malaikat membentuk pelangi, oleh tekanan hawa mempurna.
Orkestrasinya halus menusuk, bening berkilau-kemilau dari anugerah pancaindara yang tajam.
Menggubah irama warna memikat pandang, mendentingi telinga, menyusul kerinduannya.
Selalu menemukan instrumen ke belahan lain, melodian akrobatik, bau-bau harum menyebar dari jari-jemari penyair.
Nada-nada percepatan letak renungan, umpama hujaman belati tidak henti menyayat-mengiris.
Sampai pedihnya secabikan kekal, bathin larut ke dalam khasana bermusik.
Yuja Wang tak hendak hembuskan nafas, kecuali menjejaki pohon-pohon ingatan tertinggi.
Mengolah keluar-masuknya peroleh limpahan cahaya, detik-detik tarikan mengikuti skat telah ditentukan berabadi.
Percepatan gesekan sinar menyeruak wewarna, tak istirah pesonakan mata pun telinga.
Padanya jiwa perasa mengakui keuletan menebarkan bunga, kelopak-kelopak lepas mendenting akhir memberkah.
Kusimak kepiawaian Yuja Wang menghantarkan Bumble Bee (Rimsky-Korsakov / Cziffra) lewat You Tube;
selaksa memperhatikan puisi penyair Amerika, Amy Lowell (1874-1925) bertitel AWAN MALAM:
Kuda-kuda betina dari bulan memburu sepanjang angkasa
Memukul dengan tapak-tapak emas pada langit-langit kaca;
Kuda-kuda betina dari bulan semua tegak pada kaki belakangnya
Memukul gerbang porselin hijau dari langit-langit jauh.
Melayanglah, para kuda!
Kerahkan seluruh tenaga!
Deraikan debu bintang membima,
Kalau tidak, mentari -harimau sergap dan binasa kamu
Dengan sekali jilat lidahnya merah.
{dari buku Puisi Dunia, jilid II, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1953}
Pun yang dilantunkan awal kali penyair Inggris, John Keats (1795-1821):
“Jendela magis yang melihat ke buih
Lautan bersahaya di negeri dongengan sepi”
Rimsky-Korsakov, tepatnya seorang penyair pelukis musik; hasil ciptaan iramanya menelusuri dongeng purba penuh nuanse warna.
Alam pandangan mata diberikan karunia berlimpah, menyadap waktu silam bagi mekaran bunga-bunga kesaksian di setiap jaman.
Atas kejelian teliti, mampu menahan nafas-nafas penyimak, dirinya menebali tapak-tapak berkarya.
Tak ada keterlenaan, semua diatur mengarungi kepak keseriusan suci, cahaya menyeruak mekarkan kembang kemakmuran indrawi.
Kegemilangan wewarna musik Nikolay melampaui seniman lukis, jaman di depannya; pencapaiannya melebihi Andy Warhol (1928-1987).
Inilah gugusan sabda bunyi-bunyian terang memikat, mengangkat perasaan berfikir, melakoni kemenjadian, mengalir, meliuk.
Seakan kerlingan mata penggoda menjatuhkan peramal, suatu ciptaan takdir tak dapat diulang.
Menajamkan kedudukan keniscayaan ada, pada kelahiran serta kematian tepat di jantung Masa.
S. YOGA DALAM LIMA TANGGA KEPUITISAN
Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Cukup sulit dewasa ini memberikan penilaian terhadap karya sastra, lebih khususnya puisi. Memakai standart penilaian yang bagaimana untuk diterapkan pada sebuah karya sastra? Hal itu disebabkan oleh keberadaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra kontemporer lebih bersifat bebas dari ikatan-ikatan atau aturan perpuisian. Inilah yang kiranya menjadikan seorang kritikus sastra harus memutar otak lebih serius lagi. Ujung-ujungnya hal ini akan mengarah pada satu bentuk kritik yang bersifat impresionis. Kritik yang memberikan tafsiran-tafsiran untuk mengagumkan dan untuk menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca. Padahal secara konsep dasar, kritik sastra itu bertumpu pada pertimbangan baik-buruk sebuah karya berdasarkan nilai-nilai tertentu.
Nilai-nilai tersebut dapat bertumpu pada pengalaman jiwa seorang pengarang. Itulah yang kemudian dapat dijadikan standart penilaian karya sastra secara objektif. Sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo, ia melakukan penerapan kritik sastra berdasarkan lima tingkat pengalaman jiwa manusia. Kelima tingkat pengalaman jiwa tersebut meliputi neveau anorganis; tingkat jiwa yang rendah dan berorientasi pada pola bunyi, irama, baris sajak, majas dan lain-lain, neveau vegetatif; tingkat seperti tumbuh-tumbuhan dan berorietasi pada suasana, neveau animal; tingkat yang dicapai seperti hewan dan berorientasi pada unsur nafsiah, neveau human; tingkat yang hanya dicapai oleh manusia dan berorientasi pada sifat luhur kemanusiaan, dan neaveau religius/filosofis; tingkat tertinggi dan berorientasi pada renungan-renungan yang mengarah pada hakekat hidup dan kehidupan. Berdasarkan fenomena itu, marilah sejenak kita mendedah puisi S Yoga yang berjudul Jaran Goyang berdasarkan pada tingkat pengalaman jiwa kemanusiaannya.
Kita mulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu neveau anorganis. Puisi penyair kelahiran Purworejo ini kental dengan persajakan. Rimanya tertata rapi. Persajakannya sangat konsisten dan seimbang. Itu terlihat dari jumlah baris dalam tiap baitnya. Mulai bait pertama hingga terakhir, puisi ini tersusun atas tiga baris dalam tiap baitnya.
Rima yang disematkan dalam puisi Jaran Goyang begitu mendominasi keseluruhan puisi. Ditinjau dari huruf akhir dalam setiap baitnya, S Yoga tidak banyak menggunakan variasi rima. Ia cukup menggunakan rima rata dengan pola “aaa”. Vokal “u” melingkupi bait pertama, ke tiga, ke lima, dan ke enam. Bait pertama dapat dilihat dari penyematan kata bernafsu-rayu-menjebakmu. Bait ketiga ditandai dengan kata wajahmu¬-selalu-tabu. Bait kelima terlihat dari penyematan kata merayumu¬-membenciku-apiku. Bait keenam ditandai dengan kata berbulu-rohmu-malamku. Nada-nada tersebut membangun suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam kepribadian. Vokal “i” mewarnai bait ke empat, ke tujuh, dan ke lima belas. Itu ditandai dengan penyematan kata diri-kubimgkai-abadi (bait ke-4), hati-mati-berseri (bait ke-7), ati-abadi-suci (bait ke-15). Bunyi huruf tersebut terasa ringan diucapakan namun ragkaian kata-katanya mengisyaratkan sesuatu yang berat. Jadi, untuk menggapai hidup yang abadi yang penuh dengan kenikmatan itu sangat mudah diucapkan namun begitu berat untuk dilakukan. Vokal “a” menghiasi bait ke tiga belas; surga-seberapa-selamanya, dan bait ke sembilan belas; dipaksa-diminta-berlaksa. Bunyi-bunyi tersebut merupakan bunyi yang datar. Ini menggambarkan suatu kewajaran. Sudah sewajarnya seorang manusia mendambakan surga dalam keabadiannya. Sudah sewajarnya manusia hidup itu ada paksaan, persembahan, serta ada perbandingan/pertimbangan-pertimbangan. Konsonan “l” mewarnai bait ke dua; kanti¬l-kinti¬l-kekal yang membangun suasana sakral yang kental dan berkait. Konsonan “n” melingkupi bait ke delapan; penyamun-kegelapan-bulan yang mengisyaratkan akan kepastian. Konsonan “ng” terlihat pada bait ke sembila; gamang-hilang-kuning menggambarkan jiwa yang tidak tenang. Konsonan “k” mewarnai bait ke sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait ke delapan belas; kemaruk-remuk-berkecamuk. Bunyi-bunyi tersebut membangun suasana perjalanan. Konsonan “t” melingkupi bait sebelas; berkabut-pucat-nikmat, bait dua belas; aurat-kudapat-kujerat, bait empat belas; luput-langsat-keramat, bait enam belas; kabut-kusut-kalut, dan bait tujuh belas; lewat-larut-kalimat. Bunyi-bunyi tersebut mencerminkan kesakralan/kefundamentalan hidup. Konsonan “r” mewarnai bait ke dua puluh; altar-diantar-samar yang mencerminkan suatu bentuk kebenaran.
Jika ditelisik dari bunyi akhir kata dalam tiap baitnya, S Yoga menggunakan dua rima, yaitu rima patah dan rima rata. Rima patah terdapat pada bait dua, lima, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, empat belas, tujuh belas, sembilan belas, dan dua puluh. Itu terlihat dari kata-kata; kanti¬l-kinti¬l-kekal (bait dua), merayumu¬-membenciku-apiku (bait lima), hati-mati-berseri (bait tujuh), penyamun-kegelapan-bulan (bait delapan), gamang-hilang-kuning (bait sembilan), berkabut-pucat-nikmat (bait sebelas), aurat-kudapat-kujerat (bait dua belas), luput-langsat-keramat (bait empat belas), lewat-larut-kalimat (bait tujuh belas), keamruk-remuk-berkecamuk (bait delapan belas), dipaksa-diminta-berlaksa (bait sembilan belas), altar-diantar-samar (bait dua puluh). Adapun rima ratanya adalah bait sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait enam belas; kabut-kusut-kalut.
Majas metafora tampak hadir dalam puisi S Yoga ini. Ungkapan “mantraku terbang (bait 1, baris 1), apiku (bait 5, baris 3), birahi berbulu (bait 6, baris 1), bunga-bunga (bait 7, baris 1), cahaya bulan (bait 8, baris 3), anjing malam (bait 10, baris 1), semak (bait 10, baris 1), lidi lanang (bait 13, baris 1), buah pinang yang kuning langsat (bait 14), kabut (bait 16 baris 1), kabut (bait16 baris 1 dan 3), asap dapur (bait 17, baris 1), dan nyala damar di sentong (bait 17, baris 2) merupakan gambaran metaforanya. Dalam ungkapan mantraku terbang, kata mantra yang notabenenya adalah kata-kata yang berkekuatan magis (dapat dikatakan sebagai doa) disamakan dengan seekor burung atau sesuatu hal yang dapat terbang. Ia secara visual dapat melayang-layang ke angkasa. Kata apiku merupakan persamaan dari hasrat yang diliputi oleh nafsu. Kata bulu identik dengan kehangatan. Sesuatu yang memberikan kehangatan akan mencupta kedamaian. Jadi, kata birahi berbulu disamakan dengan nafsu (jiwa) yang damai/tenang. Bunga bunga disamakan dengan kehidupan yang bahagia. Pencerahan atau petunjuk tingkah laku yang benar dimetaforkan dengan ungkapan cahaya bulan. Anjing malam mengarah pada penyepadanan dengan keberingasan dan keliaran nafsu. Semak merupakan satu bentuk penyepadanan dengan citra Nabi Musa saat beraudensi dengan tuhan di Bukit Tursina yang diwujudkan dalam bentuk semak yang terbakar. Semak tersebut merupakan isyarah akan hakekat ketuhanan. Lidi lanang biasanya dipakai oleh para pawang hujan untuk menolak hujan. Pada ungkapan ini tidaklah mengarah pada penangkalan hujan, namun mengarah pada kebajikan dan kesucian sebab ungkapan itu dirangkainya dengan kata surga. Penyair bermaksud melakukan penangkalan terhadap segala bentuk keburukan yang muncul dari dalam pribadinya dengan sedikit kebajikan dan kesucian hatinya. Jadi ungkapan lidi lanang disamakan dengan penyucian diri (hati). Buah pinang yang kuning langsat berorientasi pada buah pinang yang tengah masak/matang. Dalam hal ini unrkapan tersebut disamakan dengan buah kuldi yang pernah termakan oleh Adam dan Hawa saat berada di surga. Kabut pada baris ke-1 bait 16 disamakan dengan alam atau kehidupan yang samar (gaib) sedangkan pada baris ke-3 dimetaforkan dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Asap dapur disepadankan dengan kepribadian yang buruk/kotor. Nyala damar dimetaforkan dengan cahaya hati/petunjuk, sedangkan sentong berkonotasi pada tempat damar menyala. Dalam hal ini sentong disepadankan dengan hati itu sendiri.
Dalam tingkat neveau vegetatif tampak bermacam-macam suasana yang membangun kepribadian si “aku” yang tecermin dalam sajak ini. Suasana-suasana tersebut berorientasi pada suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam pribadi pengarang (bait 3, 5, dan 6). Suasana hati yang gontai, cemas dan tidak tenang juga telukiskan (bait 1, 9, dan 18). Hal ini seoalah-olah muncul sebagai suatu kewajaran dalam realitas perjalanan hidup si “aku” dalam mencari hakekat kesejatian tuhannya (bait 3, 4, 11, dan 12). Suatu harapan juga tertuang dalam sajak ini (bait 19 dan 20).
Tingkat pengalaman jiwa yang selanjutnya adalah neveau animal. Ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan indraan yang konkret, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Nafsu-nafsu hidup dan jasmaniah tergambarkan melalui ungkapan “goda dan rayu (bait 1), merayumu dan membenciku (bait 5), murka (bait 7), rindu, cemas dan gamang (bait9), hati luka dan duka (bait 18), kebahagiaan, dipaksa (bait 19). Godaan, rayuan, kebencian, amarah, kerinduan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kebahagiaan, paksaan merupakan gambaran dari eksistensi nafsu. Semuanya bertumpu pada nafsu. Tanggapan indraan yang konkirit tecermin dari kata-kata uba rampe (sesaji-sesaji dalam ritual mistis), bunga mawar, kenanga dan kantiil (perkengkapan yang disediakan dalam ritual memantrai sesuatu), topeng (wajah palsu), apiku (sesuatu yang bersifat menyala, berkobar, dan membakar), berbulu (sesuatu yang menimbulkan kehangatan), bunga-bunga (gambaran yang indahdan memesona), cahaya bulan (sesuatu yang bersifat menerangi), burung hantu (gambaran dari malam dan ketakutan), anjing malam (gambaran dari sesuatu yang liar dan menakutkan), pucat (wajah yang tidak segar berseri yang menandakan bahwa diri seseorang itu sakit atau ketakutan), aurat (suatu aib atau agian-bagian tubuh seseorang yang mampu merangsang nafsu sahwat), surga (tempat yang indah yang penuh dengan kenikmatan), kulsi (buah yang enyesatkan yang menjadikan Adam dan Hawa terlempar dari surga), nyala damar (sesuatu yang bersifat menerangi dalam kegelapan), dan altar (tempat suci sebagai pemujaab/persembahan kurban kepada dew-dewa).
Tingkat keempat, neveau human dalam sajak ini tampak sebagai kesadaran si “aku” bahwa segalanya akan tiada arti jika ia tidak mampu menemukan, memandang, dan menyayangi kekasihnya (bait 3 dan 4). Kesadaran juga muncul dalam bait ke-11. Ini mengisyaratkan bahwa si “aku” mengikhlaskan penderitaan sesaat sebab ia sadar bahwa ada kebahagiaan yang lebih nikmat di balik semua itu. Si “aku” juga sadar, demi petunjuk dan jalan terang menuju sang kekasih, ia mebiarkan dirinya berada dalam kegelapan dan keheningan dari hal-hal yang mampu menggoda hatinya (bait 12). Kesadaran untuk bersabar juga muncul kembali dalam pribadi si “aku”. Ia tidak akan memaksa akan kedatangan kebahagiaan melalui kehadiran kekasihnya. Ia membiarkannya datang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu, sebab itulah yang dinamakan kewajaran hidup. Dan inilah yang akan merangkai kebahagiaan yang lebih melimpah-ruah (bait 19). Si “aku” juga sadar bahwa kasih sayang kekasihnya lebih tinggi dari kasih sayangnya. Sebab kekasihnya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (bait 20).
Tingkat kelima adalah neveau religius/filosofi. Tingkat inilah yang tampak begitu kental dalam keutuhan puisi. Puisi ini mengarah pada perjalanan hidup si “aku” dalam melakukan hakekat kesejatian tuhan agar ia di kemudian hari berolehkan kebahagiaan dan kemuliaan. Sudah tampak jelas dari judulnya, Jaran Goyang, ini adalah mantra pengasihan untuk memikat hati seseorang. Tapi di sini beda. Judul itu berkonotasi pada yang lain. Si “aku” berusaha memikat tuhan dengan puja-puji doa dalam munajatnya. Ia mempersiapkan hal-hal dalam persembahan cinta kasih, ketulusan, dan kesucian hatinya agar tuhan berkenan cinta padanya dan selalu dekat dengannya.
mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu
bunga mawar, kenanga, dan kantil
agar kau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa dalam singgasana kekal (bait 1 dan 2).
Si aku menyadari bahwa segala pancaran kenikmatan yang diberikan tuhan kepadanya tidak aka berarti apa-apa apabila ia tak mampu dekat dan cinta kepada tuhannya. Ia semakin kecewa jika tuhan hanya sebatas bayangan angan dalam jiwanya saja. Ia menganggap bahwa perjalanan hidup yang telah dilaluinya haya sebatas kepura-puraan. Ia belum menemukan kesejatian hidup yang abadi.
apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu
bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi (bait 3 dan 4).
Penegasan dilakukan oleh si “aku”. Ia menegaskan bahwa ia telah melakukan usaha-usaha tertentu dengan jalan menghadirkan kesucian hati dari perbuatan-perbuat nista yang menimbulkan kebencian tuhannya. Dengan hal itu, ia semakin yakin, bahwa kini tuhan telah semain dekat bersama hasratnya yang menggebu. Ia lantas mendamaikan nafsunya agar kebajikan berselimut dalam dirinya yang kemudian mampu menjadikan tuhan jatuh hati dan iba oleh doa munajatnya.
telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku
yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku (bait 5 dan 6).
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Cukup sulit dewasa ini memberikan penilaian terhadap karya sastra, lebih khususnya puisi. Memakai standart penilaian yang bagaimana untuk diterapkan pada sebuah karya sastra? Hal itu disebabkan oleh keberadaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra kontemporer lebih bersifat bebas dari ikatan-ikatan atau aturan perpuisian. Inilah yang kiranya menjadikan seorang kritikus sastra harus memutar otak lebih serius lagi. Ujung-ujungnya hal ini akan mengarah pada satu bentuk kritik yang bersifat impresionis. Kritik yang memberikan tafsiran-tafsiran untuk mengagumkan dan untuk menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca. Padahal secara konsep dasar, kritik sastra itu bertumpu pada pertimbangan baik-buruk sebuah karya berdasarkan nilai-nilai tertentu.
Nilai-nilai tersebut dapat bertumpu pada pengalaman jiwa seorang pengarang. Itulah yang kemudian dapat dijadikan standart penilaian karya sastra secara objektif. Sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo, ia melakukan penerapan kritik sastra berdasarkan lima tingkat pengalaman jiwa manusia. Kelima tingkat pengalaman jiwa tersebut meliputi neveau anorganis; tingkat jiwa yang rendah dan berorientasi pada pola bunyi, irama, baris sajak, majas dan lain-lain, neveau vegetatif; tingkat seperti tumbuh-tumbuhan dan berorietasi pada suasana, neveau animal; tingkat yang dicapai seperti hewan dan berorientasi pada unsur nafsiah, neveau human; tingkat yang hanya dicapai oleh manusia dan berorientasi pada sifat luhur kemanusiaan, dan neaveau religius/filosofis; tingkat tertinggi dan berorientasi pada renungan-renungan yang mengarah pada hakekat hidup dan kehidupan. Berdasarkan fenomena itu, marilah sejenak kita mendedah puisi S Yoga yang berjudul Jaran Goyang berdasarkan pada tingkat pengalaman jiwa kemanusiaannya.
Kita mulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu neveau anorganis. Puisi penyair kelahiran Purworejo ini kental dengan persajakan. Rimanya tertata rapi. Persajakannya sangat konsisten dan seimbang. Itu terlihat dari jumlah baris dalam tiap baitnya. Mulai bait pertama hingga terakhir, puisi ini tersusun atas tiga baris dalam tiap baitnya.
Rima yang disematkan dalam puisi Jaran Goyang begitu mendominasi keseluruhan puisi. Ditinjau dari huruf akhir dalam setiap baitnya, S Yoga tidak banyak menggunakan variasi rima. Ia cukup menggunakan rima rata dengan pola “aaa”. Vokal “u” melingkupi bait pertama, ke tiga, ke lima, dan ke enam. Bait pertama dapat dilihat dari penyematan kata bernafsu-rayu-menjebakmu. Bait ketiga ditandai dengan kata wajahmu¬-selalu-tabu. Bait kelima terlihat dari penyematan kata merayumu¬-membenciku-apiku. Bait keenam ditandai dengan kata berbulu-rohmu-malamku. Nada-nada tersebut membangun suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam kepribadian. Vokal “i” mewarnai bait ke empat, ke tujuh, dan ke lima belas. Itu ditandai dengan penyematan kata diri-kubimgkai-abadi (bait ke-4), hati-mati-berseri (bait ke-7), ati-abadi-suci (bait ke-15). Bunyi huruf tersebut terasa ringan diucapakan namun ragkaian kata-katanya mengisyaratkan sesuatu yang berat. Jadi, untuk menggapai hidup yang abadi yang penuh dengan kenikmatan itu sangat mudah diucapkan namun begitu berat untuk dilakukan. Vokal “a” menghiasi bait ke tiga belas; surga-seberapa-selamanya, dan bait ke sembilan belas; dipaksa-diminta-berlaksa. Bunyi-bunyi tersebut merupakan bunyi yang datar. Ini menggambarkan suatu kewajaran. Sudah sewajarnya seorang manusia mendambakan surga dalam keabadiannya. Sudah sewajarnya manusia hidup itu ada paksaan, persembahan, serta ada perbandingan/pertimbangan-pertimbangan. Konsonan “l” mewarnai bait ke dua; kanti¬l-kinti¬l-kekal yang membangun suasana sakral yang kental dan berkait. Konsonan “n” melingkupi bait ke delapan; penyamun-kegelapan-bulan yang mengisyaratkan akan kepastian. Konsonan “ng” terlihat pada bait ke sembila; gamang-hilang-kuning menggambarkan jiwa yang tidak tenang. Konsonan “k” mewarnai bait ke sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait ke delapan belas; kemaruk-remuk-berkecamuk. Bunyi-bunyi tersebut membangun suasana perjalanan. Konsonan “t” melingkupi bait sebelas; berkabut-pucat-nikmat, bait dua belas; aurat-kudapat-kujerat, bait empat belas; luput-langsat-keramat, bait enam belas; kabut-kusut-kalut, dan bait tujuh belas; lewat-larut-kalimat. Bunyi-bunyi tersebut mencerminkan kesakralan/kefundamentalan hidup. Konsonan “r” mewarnai bait ke dua puluh; altar-diantar-samar yang mencerminkan suatu bentuk kebenaran.
Jika ditelisik dari bunyi akhir kata dalam tiap baitnya, S Yoga menggunakan dua rima, yaitu rima patah dan rima rata. Rima patah terdapat pada bait dua, lima, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, empat belas, tujuh belas, sembilan belas, dan dua puluh. Itu terlihat dari kata-kata; kanti¬l-kinti¬l-kekal (bait dua), merayumu¬-membenciku-apiku (bait lima), hati-mati-berseri (bait tujuh), penyamun-kegelapan-bulan (bait delapan), gamang-hilang-kuning (bait sembilan), berkabut-pucat-nikmat (bait sebelas), aurat-kudapat-kujerat (bait dua belas), luput-langsat-keramat (bait empat belas), lewat-larut-kalimat (bait tujuh belas), keamruk-remuk-berkecamuk (bait delapan belas), dipaksa-diminta-berlaksa (bait sembilan belas), altar-diantar-samar (bait dua puluh). Adapun rima ratanya adalah bait sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait enam belas; kabut-kusut-kalut.
Majas metafora tampak hadir dalam puisi S Yoga ini. Ungkapan “mantraku terbang (bait 1, baris 1), apiku (bait 5, baris 3), birahi berbulu (bait 6, baris 1), bunga-bunga (bait 7, baris 1), cahaya bulan (bait 8, baris 3), anjing malam (bait 10, baris 1), semak (bait 10, baris 1), lidi lanang (bait 13, baris 1), buah pinang yang kuning langsat (bait 14), kabut (bait 16 baris 1), kabut (bait16 baris 1 dan 3), asap dapur (bait 17, baris 1), dan nyala damar di sentong (bait 17, baris 2) merupakan gambaran metaforanya. Dalam ungkapan mantraku terbang, kata mantra yang notabenenya adalah kata-kata yang berkekuatan magis (dapat dikatakan sebagai doa) disamakan dengan seekor burung atau sesuatu hal yang dapat terbang. Ia secara visual dapat melayang-layang ke angkasa. Kata apiku merupakan persamaan dari hasrat yang diliputi oleh nafsu. Kata bulu identik dengan kehangatan. Sesuatu yang memberikan kehangatan akan mencupta kedamaian. Jadi, kata birahi berbulu disamakan dengan nafsu (jiwa) yang damai/tenang. Bunga bunga disamakan dengan kehidupan yang bahagia. Pencerahan atau petunjuk tingkah laku yang benar dimetaforkan dengan ungkapan cahaya bulan. Anjing malam mengarah pada penyepadanan dengan keberingasan dan keliaran nafsu. Semak merupakan satu bentuk penyepadanan dengan citra Nabi Musa saat beraudensi dengan tuhan di Bukit Tursina yang diwujudkan dalam bentuk semak yang terbakar. Semak tersebut merupakan isyarah akan hakekat ketuhanan. Lidi lanang biasanya dipakai oleh para pawang hujan untuk menolak hujan. Pada ungkapan ini tidaklah mengarah pada penangkalan hujan, namun mengarah pada kebajikan dan kesucian sebab ungkapan itu dirangkainya dengan kata surga. Penyair bermaksud melakukan penangkalan terhadap segala bentuk keburukan yang muncul dari dalam pribadinya dengan sedikit kebajikan dan kesucian hatinya. Jadi ungkapan lidi lanang disamakan dengan penyucian diri (hati). Buah pinang yang kuning langsat berorientasi pada buah pinang yang tengah masak/matang. Dalam hal ini unrkapan tersebut disamakan dengan buah kuldi yang pernah termakan oleh Adam dan Hawa saat berada di surga. Kabut pada baris ke-1 bait 16 disamakan dengan alam atau kehidupan yang samar (gaib) sedangkan pada baris ke-3 dimetaforkan dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Asap dapur disepadankan dengan kepribadian yang buruk/kotor. Nyala damar dimetaforkan dengan cahaya hati/petunjuk, sedangkan sentong berkonotasi pada tempat damar menyala. Dalam hal ini sentong disepadankan dengan hati itu sendiri.
Dalam tingkat neveau vegetatif tampak bermacam-macam suasana yang membangun kepribadian si “aku” yang tecermin dalam sajak ini. Suasana-suasana tersebut berorientasi pada suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam pribadi pengarang (bait 3, 5, dan 6). Suasana hati yang gontai, cemas dan tidak tenang juga telukiskan (bait 1, 9, dan 18). Hal ini seoalah-olah muncul sebagai suatu kewajaran dalam realitas perjalanan hidup si “aku” dalam mencari hakekat kesejatian tuhannya (bait 3, 4, 11, dan 12). Suatu harapan juga tertuang dalam sajak ini (bait 19 dan 20).
Tingkat pengalaman jiwa yang selanjutnya adalah neveau animal. Ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan indraan yang konkret, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Nafsu-nafsu hidup dan jasmaniah tergambarkan melalui ungkapan “goda dan rayu (bait 1), merayumu dan membenciku (bait 5), murka (bait 7), rindu, cemas dan gamang (bait9), hati luka dan duka (bait 18), kebahagiaan, dipaksa (bait 19). Godaan, rayuan, kebencian, amarah, kerinduan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kebahagiaan, paksaan merupakan gambaran dari eksistensi nafsu. Semuanya bertumpu pada nafsu. Tanggapan indraan yang konkirit tecermin dari kata-kata uba rampe (sesaji-sesaji dalam ritual mistis), bunga mawar, kenanga dan kantiil (perkengkapan yang disediakan dalam ritual memantrai sesuatu), topeng (wajah palsu), apiku (sesuatu yang bersifat menyala, berkobar, dan membakar), berbulu (sesuatu yang menimbulkan kehangatan), bunga-bunga (gambaran yang indahdan memesona), cahaya bulan (sesuatu yang bersifat menerangi), burung hantu (gambaran dari malam dan ketakutan), anjing malam (gambaran dari sesuatu yang liar dan menakutkan), pucat (wajah yang tidak segar berseri yang menandakan bahwa diri seseorang itu sakit atau ketakutan), aurat (suatu aib atau agian-bagian tubuh seseorang yang mampu merangsang nafsu sahwat), surga (tempat yang indah yang penuh dengan kenikmatan), kulsi (buah yang enyesatkan yang menjadikan Adam dan Hawa terlempar dari surga), nyala damar (sesuatu yang bersifat menerangi dalam kegelapan), dan altar (tempat suci sebagai pemujaab/persembahan kurban kepada dew-dewa).
Tingkat keempat, neveau human dalam sajak ini tampak sebagai kesadaran si “aku” bahwa segalanya akan tiada arti jika ia tidak mampu menemukan, memandang, dan menyayangi kekasihnya (bait 3 dan 4). Kesadaran juga muncul dalam bait ke-11. Ini mengisyaratkan bahwa si “aku” mengikhlaskan penderitaan sesaat sebab ia sadar bahwa ada kebahagiaan yang lebih nikmat di balik semua itu. Si “aku” juga sadar, demi petunjuk dan jalan terang menuju sang kekasih, ia mebiarkan dirinya berada dalam kegelapan dan keheningan dari hal-hal yang mampu menggoda hatinya (bait 12). Kesadaran untuk bersabar juga muncul kembali dalam pribadi si “aku”. Ia tidak akan memaksa akan kedatangan kebahagiaan melalui kehadiran kekasihnya. Ia membiarkannya datang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu, sebab itulah yang dinamakan kewajaran hidup. Dan inilah yang akan merangkai kebahagiaan yang lebih melimpah-ruah (bait 19). Si “aku” juga sadar bahwa kasih sayang kekasihnya lebih tinggi dari kasih sayangnya. Sebab kekasihnya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (bait 20).
Tingkat kelima adalah neveau religius/filosofi. Tingkat inilah yang tampak begitu kental dalam keutuhan puisi. Puisi ini mengarah pada perjalanan hidup si “aku” dalam melakukan hakekat kesejatian tuhan agar ia di kemudian hari berolehkan kebahagiaan dan kemuliaan. Sudah tampak jelas dari judulnya, Jaran Goyang, ini adalah mantra pengasihan untuk memikat hati seseorang. Tapi di sini beda. Judul itu berkonotasi pada yang lain. Si “aku” berusaha memikat tuhan dengan puja-puji doa dalam munajatnya. Ia mempersiapkan hal-hal dalam persembahan cinta kasih, ketulusan, dan kesucian hatinya agar tuhan berkenan cinta padanya dan selalu dekat dengannya.
mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu
bunga mawar, kenanga, dan kantil
agar kau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa dalam singgasana kekal (bait 1 dan 2).
Si aku menyadari bahwa segala pancaran kenikmatan yang diberikan tuhan kepadanya tidak aka berarti apa-apa apabila ia tak mampu dekat dan cinta kepada tuhannya. Ia semakin kecewa jika tuhan hanya sebatas bayangan angan dalam jiwanya saja. Ia menganggap bahwa perjalanan hidup yang telah dilaluinya haya sebatas kepura-puraan. Ia belum menemukan kesejatian hidup yang abadi.
apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu
bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi (bait 3 dan 4).
Penegasan dilakukan oleh si “aku”. Ia menegaskan bahwa ia telah melakukan usaha-usaha tertentu dengan jalan menghadirkan kesucian hati dari perbuatan-perbuat nista yang menimbulkan kebencian tuhannya. Dengan hal itu, ia semakin yakin, bahwa kini tuhan telah semain dekat bersama hasratnya yang menggebu. Ia lantas mendamaikan nafsunya agar kebajikan berselimut dalam dirinya yang kemudian mampu menjadikan tuhan jatuh hati dan iba oleh doa munajatnya.
telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku
yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku (bait 5 dan 6).
01/05/10
Sitor Situmorang: Tak Ada Dendam, Tak Ada Yang Disesalkan
Martin Aleida
http://www.sastra-indonesia.com/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=199407399697
Genealogis, siapa sebenarnya Sitor Situmorang itu? ”Saya adalah keturunan Si Marsaitan generasi ke-12,” kata sang penyair dengan lantang. Si Marsaitan? Kalau begitu kakek-moyang Sitor adalah anak yang tidak diinginkan oleh ibunya, yang lahir dari cinta palsu, karena perempuan yang hebat itu berpura-pura cinta dan menjadi istri karena ingin membalas dendam atas kematian suami yang sungguh dia cintai. Dalam biografi yang ditulisnya, ”Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba,” dia mengisahkan serentetan kejadian dramatis, begini rupa: Di Negeri Urat, Pulau Samosir, berbahagialah Tuan Sipallat dengan istri junjungan jiwanya, Si Boru Sangkar Sodalahi, asal klan Manurung, penguasa Pegunungan Sibisa di kaki Gunung Simanuk-manuk. Tuan Sipallat dan istrinya bermukim di Suhut ni Huta.
Namanya hidup di dunia, bukan di surga, maka suatu ketika pecahlah perang dengan tetangga. Tuan Sipallat mengajak enam saudaranya untuk bangkit menghadapi musuh. Tapi, tak seorang pun yang tergerak hatinya. Tuan Sipallat maju menggempur lawan sendirian. Ia kalah, ditawan, kepalanya dipancung, dan oleh panglima dari suku pemenang, sebagai penghinaan tiada tara, kepalanya ditanam, dijadikan alas tangga batu menuju rumahnya.
Dan, martabat klan yang kalah perang itu benar-benar terinjak-injak lagi ketika Si Boru Sangkar Sodalahi membuat geger marga membikin malu negeri. Bayankanlah, dia main mata, bercumbu-rayu, dan kawin pula dengan kepala suku yang memenggal kepala suami pujaannya. Sehari-hari pekerjaannya menenun. Dalam belaian suaminya yang baru, Si Boru Sangkar Sodalahi menenun ulos lebih rajin lagi, dan hasilnya lebih indah pula. Disuruhnyalah suami barunya itu membuatkan bahan pewarna yang lebih bermutu, yang dibuat dari ramuan alam, sehingga suaminya itu sibuk sampai malam, tanda kasihnya pada istrinya yang cantik, istri lawan yang telah dia taklukkan dengan darah. Apabila malam sudah melingkup seluruh gunung, berbaringlah sang suami di pangkuan istrinya itu, hanyut dalam elusan tangan dan bujuk-rayu Si Boru Sangkar Sodalahi.
Suatu malam, malam penghabisan, dalam belaian dan kata-kata yang menenteramkan hati, yang dibisikkan Si Boru Sangkar Sodalahi kepada sang suami, yang dengan manjanya merebahkan kepala di pangkuan si istri, maka sang suami, karena lelahnya bekerja seharian, langsung tertidur lelap dan mendengkur. Tangan Si Boru Sangkar Sodalahi membelai jakun di leher suaminya. Namun, sekali ini, bukan asmaranya yang menggelora, tapi keinginannya menuntaskan obsesi untuk melampiaskan dendam atas kematian suami pertamanya, Tuan Sipallat. Terkesiap darahnya, dia menoleh ke kiri dan ke kanan seraya diam-diam menyisipkan tangan ke bawah tikar. Dari situ dihunusnya sebilah pedang. Cahaya samar pelita terpantul di mata senjata itu. Dia menatap leher suaminya, dengan dendam yang ingin dituntaskan tentu, dan secepat kilat ditebaskannya pedang itu. Dan kepala laki-laki itu terpelating, menggelinding, dan darah bersimbah di peraduan di mana cinta kepura-puraan baru saja berlalu. Lantas dia berdiri, mengambil kain ulos ragihidup dari peti pusaka. Bergegas dia turun ke bawah. Sambil menangis tanpa suara, dia gali tengkorak suaminya dari dasar tangga batu itu. Dibungkusnya tengkorak itu dengan ulos pusaka. Dia naik lagi ke rumah, diambilnya tikar bernoda, dengan perasaan jijik dibalutnya kepala dari musuh suaminya, dan dia berangkat menuju Suhut ni Huta, pusat marga suaminya yang pertama.
Sampai di huta itu, Si Boru Sangkar Sodalahi mengetuk gerbang huta yang tegak bagaikan benteng. Kepada penjaga dia mengatakan dia datang untuk menyerahkan sesuatu. Kedua penjaga, yang mengenalnya, kontan meninggi suaranya, mengusirnya. ”Kami tak perlu apa-apa dari kamu. Tunggu kami pada waktunya ke tempatmu, mengambil apa yang kami perlukan, kepalamu dan kepala suamimu itu!”
Si Boru Sangkar Sodalahi tidak menyerah karena ucapan yang menyakitkan itu. Niatnya tak tergoyahkan. Lalu, kepada penjaga di mengatakan dia harus bertemu dengan kepala marga dan percayalah bahwa dia tidak akan pergi sebelum diizinkan masuk. Wali adat pun dibangunkan, perundingan digelar di antara mereka. Hasilnya: Si Boru Sangkar Sodalahi diperkenankan masuk menghadap.
”Malam ini saya membawa kembali leluhurmu, kembali pulang ke rumah ini, melunasi utang batin yang tertimpa di atas kepalamu semua!” ucap Si Boru Sangkar Sodalahi mantap seraya melepas gendongan dan dengan takzim menggelar tengkorak suaminya yang pertama. ”Inilah junjungan kita, yang saya tebus kehormatannya.” Dengan syahdu katanya pula: ”Kamu jadi saksi sekarang, apakah saya pengkhianat ataukah istri yang setia sampai mati.” Pemimpin rapat adat diam bagai paku. Yang hadir hanya bisa menangis memandangi tengkorak yang tergeletak dalam kebesaran ulos.
Selang beberapa lama, dilaksanakanlah upacara adat untuk membersihkan nama perempuan yang gagah berani menerjang langit itu. Kedudukannya di dalam marga dipulihkan, dan anak yang dikandungnya dianggap sebagai ”darah daging kami sendiri, oleh karena ia adalah buah bisikan roh leluhur.” Maka, lahirlah seorang anak laki-laki, dan diberi nama Si Marsaitan, kakek-moyang Sitor Situmorang.
Unik, kuat berakar pada tradisi Batak nan purba, heroik, namun tak bebas dari godaan zaman, itulah Sitor. Ayahnya berumur 74 tahun ketika dia dilahirklan oleh istri kedua ayahnya. Sang ayah meninggal dalam usia 103 tahun. Tanggal 2 Oktober 2009 Sitor merayakan ulangtahunnya yang ke-85. Tapi, siapa tahu, mungkin dia sebenarnya sudah berusia 86. Dia memang yakin lahir 2 Oktober, tapi tahunnya meragukan, apakah 1923 atau 1924. Karena catatan yang kurang jelas di dalam buku gereja, katanya.
Sitor adalah penyair Indonesia paling produktif dibandingkan dengan sastrawan seangkatannya atau para pendahulunya. Dia telah menulis 103 puisi yang terkumpul dalam tiga antologi yang mengekalkan namanya dalam perpuisian modern Indonesia: Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama. Dia melampaui ”si binatang jalang” yang dia kagumi, Chairil Anwar, yang hanya membukukan 69 puisi, Sanusi Pane 48, dan Amir Hamzah 52. Tak ada penyair yang mengembara sejauh yang telah diseret kakinya. Dari Harianboho, di lembah Pusuk Buhit, di mana manusia Batak yang pertama, menurut mitologi, diturunkan oleh Dewata, dia menginjakkan kaki di Batavia, lantas bertualang di Belanda, Perancis, Italia, Spanyol, dan bertahun-tahun kemudian menjadi ”warga dunia,” bolak-balik Jakarta-Paris-Amsterdam. Tak ada yang cukup berani membawa sikap bohemian ke dalam kehidupan keluarga sebagaimana yang telah dia tunjukkan dalam hidupnya. Berpisah dengan istri pertamanya, Tiominar Gultom, untuk kemudian merebahkan kepalanya yang sarat puisi nan romantis ke pangkuan seorang perempuan Belanda yang telah membawa aura baru ke dalam gaya hidupnya yang berbunga-bunga: Barbara Brouwer. Hubungan asmara yang sempat dilukiskan V.S. Naipaul, pemenang Nobel Sastra 2001, di dalam salah satu bukunya, hasil kunjungannya ke Indonesia, ”Among the Believers.” Keterlibatan Sitor dalam politik menyebabkannya harus mengenakan baju tahanan Orde Baru bernomor 5051. Sebagai sahabat dan pengikut Sukarno, dia mendekam dalam penjara kekuasaan Suharto yang fasistis selama delapan tahun tanpa proses pengadilan. Masih mujur, dia tak sempat dibuang ke Buru, sebagaimana temam-teman seperjuangannya yang dituduh komunis dan dicap jadi dalang pembunuhan jenderal-jenderal, hidup melata selama sepuluh tahun di pulau buangan itu. Bagaimanapun, dia sudah merasakan tepi neraka, ketika selama tiga bulan dikurung di Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Selama seratus hari dia tak pernah melihat matahari. ”Tiga bulan terasa seperti tiga abad,” katanya lirih kepada penulis risalah ini yang bersama Dolorosa Sinaga, Chris Poerba, dan Hotman J. Lumban Gaol dari majalah TAPIAN datang bertandang ke lantai 10 Bellagio, apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat, di mana dia dan Barbara menghabiskan waktu selama mereka berada di Indonesia.
…..
Tiba juga
saatnya aku melangkahkan
langkah pertama
(sesudah 8 tahun menunggu)
saat gerbang ke-7
dibuka
ke dunia luar
yang baru dan menyilaukan
……
Begitu dia mendendangkan perasaannya saat melangkah keluar dari bendul penjara Salemba, di mana ratusan tahanan telah menemukan ajal karena kekurangan makanan dan diserang penyakit — untuk menerima pembebasan atas kesalahannya yang tak pernah dijelaskan, pada tahun 1976.
”Saya bukan orang mistik, namun dibesarkan dalam alam yang dirasuki mistik pada masa kanak-kanak, di mana mitos dan silsilah, silsilah dan mitos adalah anak kembar impian manusia, yang sekaligus jadi pegangannya. Dunia ini adalah kata kias untuk penjara, secara kebatinan tentunya, untuk orang yang percaya akan yang gaib seperti Ayah, seperti Kakekku,” katanya.
Namun, Sitor dipenjarakan bukan karena yang gaib, tapi oleh yang nyata, tersebab pilihannya untuk bersahabat dan memperjuangkan pandangan politik seorang nasionalis besar yang bernama Sukarno. Karena gagasan Soekarno mengenai keniscayaan bersatunya kaum nasionalis, agama, dan sosialis-komunis untuk kejayaan Indonesia, Sitor, sebagai ketua Lembaga Kebudayaan Nasional awal tahun 1960-an bekerjasama erat dengan para tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebagai penyair, dia bersama Rivai Apin berkunjung ke Tiongkok pada masa itu, pulang-pulang dia menulis sejumlah puisi perjalanan yang kemudian diterbitkan dengan judul ”Zaman Baru” — mengambil nama majalah terbitan Lekra yang dipimpin oleh Rivai Apin. Antologi itu berukuran sebesar buku tulis dengan kulit berwarna kuning cemerlang. Kalau dikaitkan dengan tema yang tampil dalam puisi-puisi di dalamnya, judul itu bisa pula dibaca sebagai sebuah metafora untuk melukiskan pembangunan dunia baru di Tiongkok di bawah kepemimpinan Ketua Mao. Dalam perjalanan ke Tiongkok itu Sitor tidak hanya ditemani oleh Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani, tetapi juga para pengarang dari Asia-Afrika. Dalam sebuah pembicaraan di Teater Utan Kayu, Sitor menceritakan, dalam perjalanan tersebut, dia tak banyak berbicara dengan Rivai Apin, orang dianggap telah ”membinanya.”
Rivai, salah seorang pelopor Angkatan 45, adalah seorang pembaca yang tekun, dengan rokok yang sambung-menyambung di jarinya, namun dia bukanlah seorang yang gemar berbicara apalagi berdiskusi mengerenyitkan jidat. Dia murah senyum, dengan lirikan matanya yang khas, sambil membuat komentar-komentar kecil yang menggelitik. Ketika penulis duduk sebagai salah seorang anggota redaksi bulanan Zaman Baru itu bersama S. Anantaguna pada tahun 1964, Pai (dia acap disapa dengan Bung Pai) mengingatkan saya, ”Kalau kurang naskah, pegang saja leher baju Sabar,” maksudnya S. Anataguna, salah seorang anggota pimpinan pusat Lekra. ”Kalau kehabisan stok vignette untuk mengisi halaman, tutup botol kecap boleh kau pakai…,” dan dia terkekeh-kekeh dengan giginya yang kuning kecoklatan disamak candu rokok.
Tentang antologi puisi perjalanan ”Zaman Baru” itu, para pengamat sastra ketika itu memberikan tinjauan dan komentar, baik yang memuji maupun mencerca serta menuduh Sitor telah terlalu jauh mencemari sastra dengan politik. Tetapi, tak sedikit yang mengenang puisinya yang berjudul ”Makan Roti Komune” sebagai puisi perjalanan berbobot politik yang hangat mempesona. Puisi itu dianggap sebagai perpaduan yang serasi antara sikap politiknya sebagai seorang nasionalis berpadu dengan pencapaian artistik dalam dua puisi paling awalnya yang monumental, ”Lagu Gadis Itali” dan ”Jalan Batu ke Danau.”
Delapan tahun dikerangkeng Orde Baru, sikap Sitor tidak berubah sebagai seorang pengikut dan pengagum Sukarno. Dalam sebuah pertemuan belum lama ini, di rumah salah seorang anaknya, dari istri pertama, di wilayah Sawangan, Jawa Barat, sedang hangat-hangatnya Sitor berbicara, salah seorang tamu yang masih muda menimpali, ”Bukankah Sukarno tidak bebas dari kesalahan?” Gesit bagaikan seorang pesilat, Sitor cepat bangkit dari tepat duduk dan meninju meja: ”Bah, kau pikir Sukarno itu malaikat?!” Bibirnya bergetar dan menatap dengan tajam anak muda yang berada di depannya seperti mau menelannya.
Sitor berdiri begitu kokoh, dan tampak lebih sehat dari lima tamu yang sedang mengeruminya. Layaknya dia belum pernah menjalani operasi jantung bypass (di Paris), di mana lima pembuluh darah jantungnya dipotong disambung-sambungkan. Hanya garis-garis yang menoreh di pojok matanya yang menunjukkan dia sudah berusia mendekati 85 tahun. Juga mata kirinya yang menjadi agak sipit dibandingkan dengan yang kanan.
”Kalau ada bukti bahwa Sukarno itu menangkap Syahrir, barulah akan saya katakan, ’Sekarang di tahun 2009 ini, Sitor Situmorang, pengikut Sukarno, akan menyerukan hapus jasa-jasa Sukarno,’” dia meletup kembali. Dengan tetap tegak, tantangnya pula: ”Apa salah Sukarno? Katakan…! Syahrir berlindung di belakang Sukarno sehingga bebas dapat berkumpul dan bertemu dengan kelompok radikal. Jepang takut menjamah Syahrir karena ada Sukarno yang melindunginya.” Sitor mentah-mentah menolak sang pemimpin pujaannya, Putra Sang Fajar, sebagai seorang kolaborator Jepang.
Ketika salah seorang tamunya berusaha untuk menenangkan suasana percakapan yang memanas ketika itu, dan bertanya apakah dia, dalam usia selanjut seperti sekarang, masih menenggak bir kesukaannya, dengan ligat sambil senyum malu-malu dia menjawab: ”Ah, itu harus…” dan dia tertawa terkekeh. ”Ai berapa botol kau punya?” tantangnya pula. Giginya masih kuat menyantap makanan yang dinikmati anak-anak muda yang menjadi tamunya. Bedanya, dia harus menelan pil penjaga kestabilan kadar gula di dalam darahnya sebelum duduk di kursi meja makan.
Ketika ditanya, apa rahasianya bisa bertahan hidup dengan usia yang panjang dan relatif sehat, dia menjawab: ”DNA menentukan.” Sitor bersaudara sembilan orang. Ayahnya, yang berjuang melawan Belanda bersama Raja Sisingamangaraja XII, adalah manusia fenomenal. Seperti manusia yang tidak bisa-bisa mati-mati. Setiap kali merasa ajal sudah mendekat, sang ayah memanggil putra-putranya. Sitor dan saudara-saudaranya secara bersama-sama datang menyampaikan persembahan dan sungkem di hadapan sang ayah. Upacara seperti itu sudah lima kali dilakukan sebelumnya, sejak 1950-1962, ”… Ayah setiap kali merasa sudah dekat ajalnya. Tapi ternyata ia hidup terus.”
Menurut Sitor dalam biografinya, tahun 1963, ketika ayahnya sudah bertahun-tahun sakit, sang ayah menyimpulkan ”Tak akan mati sebelum putra kelimanya, yaitu saya (Sitor) ikut hadir. Saya disuruh jemput dari Jakarta oleh utusan dan dengan titipan ongkos untuk pesawat terbang. Beberapa bulan kemudian, setelah upacara itu, ia pun meninggal, tanpa saya hadir.”
Sitor Situmorang juga menulis cerita pendek, walau tak sampai sepuluh. Dia tak pernah memberi isyarat bahwa dia pernah bercerita secara khusus tentang ayahnya itu. Kecuali ketika dia berkisah dengan syahdu tentang kematian ibunya dalam cerita pendek ”Ibu Pergi ke Sorga.” Di situ, sang ayah muncul sebagai pemeran pembantu. Setelah sang ibu dimakamkan dalam sebuah upacara, begitulah Sitor becerita, ”Ia (ayah) berdiri di pekarangan luas dan memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya ke sudut pekarangan. Tak tahu aku maksudnya. Setelah aku dekat ia berkata: ’Kau ada uang?’
Aku terkejut, karena tak tahu maksud apa yang terkandung dalam pertanyaannya, tapi akhirnya kubilang: ’Berapa Pak perlu?’
”Seribu, dua ribu sudah cukup,” katanya.
”Buat apa?” tanyaku sambil mengikuti dia, dan pada ketika itu kami sampai di sudut pekarangan. Ia memegang bahuku dan sambil memandang ke danau di bawah ia berkata: ’Di sini aku ingin dikubur. Kau harus membuat kuburan semen yang indah buat aku, kalau aku sudah mati, ibumu kau pindahkan ke mari.’
Aku hanya bertanya: ’Mengapa mesti di sini?’
Bapak melepas tangan kirinya dari bahuku. Ia berpaling memandang ke puncak gunung dan berkata: ’Dari tempat ini aku dapat memandang lepas ke daratan tinggi dan ke danau.’
Aku diam…”
Sitor diam terpesona dibuai ayahnya, sementara imajinasi pembaca dibuatnya sesak dengan seribu fantasi tentang kematian yang tak pernah datang ketika memandang indahnya Danau Toba di bawah sana.
Ketika ditanya apakah pernah menyesal dalam hidup, mungkin karena ada yang belum bisa diselesaikan, atau ada yang tak pantas dikerjakan, Sitor menjawab: ”Soal apa yang saya kerjakan tidak ada, baik sebagai pengarang, baik sebagai manusia biasa, baik sebagai kepala keluarga. Tak ada yang perlu saya sesalkan. Pilihan politik saya pun tidak ada yang saya sesalkan.”
Bagaimana Bung ingin dikenang dalam sejarah?
”Saya tidak melihat seperti itu. Kalau saya bekerja, bukan ingin dikenang. Apa yang saya kerjakan itu yang harus dikenang orang. Bukan Sitor. Saya bisa dijelaskan dari karya-karaya saya, bukan dari dongeng-dongeng atas nama Sitor Situmorang. Pandanglah saya dari karya, apa yang telah saya sumbangkan.”
Apakah puncak yang telah Bung capai?
“Tak ada. Belum ada. Mudah-mudahan masih ada. Tapi, kalau pun tidak ada, tidak apa-apa.”
Di antara sekian banyak puisi yang telah ditulis, yang mana yang Bung anggap paling berhasil?
”Tidak ada. Sebab tema puisi saya berbagai macam. Yang satu dengan yang lainnya berbeda.”
Pertengahan Agustus 2009, menjelang tengah hari, saya datang menjemputnya di apartemennya untuk kemudian menemaninya ke Buddhabar, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, di mana akan berlangsung bedah buku ”Pesta Obama di Bali,” novel Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dan Sitor jadi pembicara di samping Profesor Jakob Sumardjo, sementara saya sebagai moderator. Mantan Presiden Megawati Sukarnoputri yang akan membuka diskusi tersebut. Seraya menunggunya mandi, saya melihat-lihat lukisan dan ornamen-ornamen yang dipajang di dinding. Sekelebat, tak sempat mengeluarkan kamera dari tas, Sitor menyeberang dalam keadaan telanjang bulat dari kamarmandi ke kamartidurnya. Telanjang bulat!! Cepat bagai kilat, saya teringat gosip yang beredar, termasuk dari Pramoedya, bahwa ketika di dalam penjara, kalau mandi, Sitor duduk menjongkok dalam keadaan telanjang bersama tahanan lain, dan yang jijak di lantai tidak hanya kedua kakinya, tetapi juga sejemput daging yang teramat peka juga ikut membelai lantai. Keluar dari kamar, dia menemui saya dengan dada terbuka, cuma pakai celana pendek: ”Tunggu, aku mau bersolek dulu.”
Saya mencari taxi, dia saya suruh menunggu di depan lobby apartemen. Sementara mencari-cari taxi, saya menoleh ke belakang. Sitor berdiri dengan gayanya, seperti bertumpu pada tongkatnya. Dia mengenakan batik yang redup, tas kecil tergantung di sisinya. Sepatunya Lacoste. Di atas kepalanya membentang gagah nama apartemen: Bellagio. Pemandangan yang unik. Aku seperti melihat Sitor turun dari bukit yang sepi menuju lembah dan tiba-tiba berdiri di depan bangunan yang tak seribu tahun lagi akan dibangun di Pusuk Buhit. Jauh lebih unik dari selembar foto yang pernah ditunjukkannya kepada saya, di mana Sitor muda, dengan janggut tipis, sedang berdiri di persimpangan jalan menuju Granada, Spanyol.
Dalam pidato menandai dibukanya diskusi buku tersebut, Mega memuja Sitor Situmorang sebagai sastrawan besar, dan bahwa dia adalah teman Bapaknya. Dan dia menyatakan keinginan agar suatu ketika, kalau sudah terkumpul, agar karya Sitor juga dibicarakan di gelanggang yang cukup mewah itu. Lantas Mega meninggalkan ruangan. Selepas Jakob Sumardjo, saya persilahkan Sitor untuk memberikan pemaparaannya. Mikropon saya dekatkan ke dagunya. Ketika baru mau memulai, sekitar dua meter di depan, di antara hadirin, pengarang K. Usman berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Sitor rupanya merasa tidak dihormati dengan tingkah-laku seperti itu. ”Saya tidak suka begini, yang bicara tidak didengar. Kalau tidak mau dengar keluar saja. Atau saya saja yang keluar,” katanya sambil berdiri dan menyambar tongkatnya hendak pergi. Hadirin tegang. Cepat saya memeluk pinggangnya, memohon, ”Husomba, Amang [Kusembah Bapak], jangan pergi, malu kita…” Dia menghentak: ”Tidak, tidak…” tapi pelukan saya tetap di pinggangnya sampai dia duduk kembali. K. Usman yang rupanya merasa bersalah, maju ke depan, meminta maaf, tapi ditolak Sitor. ”Apa? Tidak!” sergahnya.
Kulirik dengan pojok mata, amuk hati Sitor sudah reda kembali, walau amarah masih membayang di pelupuk matanya. Dia menyampaikan pandangannya yang agak kritis terhadap novel tersebut, dan bahwa ”Apa yang saya harapkan, tidak muncul di sini.” Kemudian, saya mempersilakan hadirin memberikan tanggapan. Satu-dua orang maju. Mengutarakan pendapat. Diskusi lumayan hidup. Tiba-tiba seseorang meletakkan secarik kertas di depan saya, isinya agar acara dihentikan sejenak, ”Ada yang ingin disampaikan.” Salah seorang dari panitia membacakan surat masuk yang isinya Megawati ingin menyampaikan sumbangan untuk dana pengumpulan karya Sitor Situmorang. Sang penyair diminta maju ke depan untuk menerima amplop dari panitia. Kulihat dengan cukup bergairah amplop itu. Cukup tebal, saya kira lembaran seratus ribu rupiah sebanyak 200 lembar. Di bawah derai tepuktangan hadirin, sang penyair menerima amplop Mega yang diserahkan salah seorang sponsor pertemuan.
Ketika Sitor sudah duduk kembali di sampingku, cepat saya renggut mike dan saya katakan: ”Untung Bung tak jadi pergi. Kalau tadi Bung pergi, ke mana uang sebanyak itu kita cari…” Hadirin gerrr… Sitor terkekeh dan memukul-mukulkan amplop tebal itu ke bahu saya, menahan geli.
Tak sekali dua-kali dia memukul bahu saya kalau sedang hangat-hangatnya pembicaraan. Terkadang dia melompat dari kursi memegangi bahu, dan membacakan sebaris-dua-baris dari sajaknya. Suatu hari, Dolo, Chris, Hotman, dan saya datang mewawancarainya. Karena sofanya tak memadai, kami pun duduk di lantai. Sitor duduk di sofa bagaikan baginda raja. Pantas dia duduk di situ, karena dia memang raja klan Situmorang yang terakhir dan penyair dunia pula. Saya tanyakan, apakah dia tak punya dendam terhadap Suharto yang telah menistakan hidupnya selama delapan tahun?
Dia diam, berdiri dengan mulut terkatup rapat, gigi digigit-gigit, tulang pelipis menjentang, dipungutnya tumpukan buku di atas meja tamu persis di depannya, dan … dibantingkannya kembali tepat di depan hidungku. Karena sudah mengenalnya, dan sudah terbiasa dengan temperamen Batak, saya membalas dengan sesungging senyum. ”Saya tak punya dendam. Dia itu kecil.” Maksudnya, Suharto tiada bandingannya dengan penghormatan yang telah dia terima dari masyarakat semarganya di Tanah Batak. Dan berderailah cerita dari bibirnya bagaimana dia telah menjadi orang paling terhormat di kampungnya, tak lama setelah dia keluar dari penjara, dihormati dalam sebuah acara yang disebut mangongkal holi [memindahkan tulang-belulang nenek-moyang]. Yang terakhir mendapat penghormatan seperti itu adalah keturunan kedelapan sebelum Sitor.
Mitologi Batak merasuk ke dalam hati Sitor sebagai peristiwa sastra, acara-acara adat yang sarat dengan arti dan penuh irama memperkaya bakat alamnya. Suatu ketika, dia pernah bilang, kalau berada jauh di daratan Eropa, supaya jiwa tetap berada dalam pelukan tanah kelahiran maupun dalam kata-kata dan irama bahasa, dia tak lupa membawa kumpulan sajak Hamzah Fansyuri ”untuk dibaca-baca.”
Sitor sempat beberapa tahun mengajar Bahasa Indonesia di Belanda. Agaknya, Sitor bukanlah Batak komplit, yang haus akan hamoraon, kekayaan benda sebagai salah satu tujuan hidup. Dia cuma kaya dalam kata-kata, makmur dengan puisi-puisinya. Kekayaan yang tak mati-mati, tentu. Dia mengaku “tak bisa mencari uang” di luar menulis, mengajar, dan berbicara mengenai kebudayaan dalam berbagai pertemuan. Di Belanda, Perancis, dan Jerman dia kerap diundang sebagai “duta besar Tanah Batak,” dan diminta ceramah mengenai tanah tumpah darahnya sebagai orang dalam. Sebagaimana yang tercermin dalam bukunya, “Toba Na Sae,” sikapnya selalu beranjak dari pandangan dan pengamatannya sendiri. Dia tidak terpengaruh, malah mengkritik para peneliti Barat. Contohnya, kesimpulan Barat yang mengatakan orang Batak suka berperang hanya setelah mengamati huta di Tanah Batak yang selalu dikelilingi batu-bartu besar serupa benteng penghadang musuh. “Kalau berperang dan berkelahi setiap hari bagaimana orang Batak bisa hidup sampai sekarang!” sanggahnya enteng.
Dia menjelaskan batu yang mengelilingi setiap huta, yang kelihatan mirip benteng itu, muncul karena upaya untuk memperluas areal tanah persawahan. Batu-batu itu disingkirkan dan ditumpuk agar bisa dikerjakan lahannya. Proses penyingkiran bebatuan itu berjalan sejak peradaban Batak berkembang.
Sitor berniat untuk berada di Indonesia sampai Oktober tahun ini, untuk merayakan ulangtahunnya yang ke-85 di sini. Niat itu kesampaian juga. Karena istrinya, boru Belanda, Barbara Brouwer, yang telah menyandang boru Purba, bekerja selama setengah tahun mengelola Erasmus Huis, sayap kebudayaan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belana untuk Indonesia. Barbara menjadi koordinator kegiatan seni dan budaya di situ.
Dalam usia tuanya, dia selalu membawa tongkat. Tetapi, tongkat itu kelihatan lebih banyak berperan sebagai ornamen belaka, karena kalau akan menaiki atau menuruni tangga, dia dengan tangkas menepis tangan siapa pun yang ingin memapahnya. Dia selalu ingin berdiri tegak di atas kakinya. Melihat dia berdiri, dengan mata menatap ke depan, maka saya seperti membaca sebuah buku besar yang ditulis dengan kata-kata sederhana tapi dengan simpul yang terang. Bahwa yang menulis sejarah bangsa saya adalah para korban kebengisan rezim bangsanya sendiri. Seperti si tua yang berdiri depan saya ini. Beratus ribu mereka, mungkin berbilang juta, dan saya lihat mereka di mata Sitor, juga di lututnya ketika dia kelur dari kamarnya menyambut saya. Dia, sebagaimana kata temannya, Pramoedya, toh ”tidak gepeng” dihantam palu godam dan popor Orde Baru. Merekalah yang menulis sejarah sejati bukan para penindasnya… ***
http://www.sastra-indonesia.com/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=199407399697
Genealogis, siapa sebenarnya Sitor Situmorang itu? ”Saya adalah keturunan Si Marsaitan generasi ke-12,” kata sang penyair dengan lantang. Si Marsaitan? Kalau begitu kakek-moyang Sitor adalah anak yang tidak diinginkan oleh ibunya, yang lahir dari cinta palsu, karena perempuan yang hebat itu berpura-pura cinta dan menjadi istri karena ingin membalas dendam atas kematian suami yang sungguh dia cintai. Dalam biografi yang ditulisnya, ”Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba,” dia mengisahkan serentetan kejadian dramatis, begini rupa: Di Negeri Urat, Pulau Samosir, berbahagialah Tuan Sipallat dengan istri junjungan jiwanya, Si Boru Sangkar Sodalahi, asal klan Manurung, penguasa Pegunungan Sibisa di kaki Gunung Simanuk-manuk. Tuan Sipallat dan istrinya bermukim di Suhut ni Huta.
Namanya hidup di dunia, bukan di surga, maka suatu ketika pecahlah perang dengan tetangga. Tuan Sipallat mengajak enam saudaranya untuk bangkit menghadapi musuh. Tapi, tak seorang pun yang tergerak hatinya. Tuan Sipallat maju menggempur lawan sendirian. Ia kalah, ditawan, kepalanya dipancung, dan oleh panglima dari suku pemenang, sebagai penghinaan tiada tara, kepalanya ditanam, dijadikan alas tangga batu menuju rumahnya.
Dan, martabat klan yang kalah perang itu benar-benar terinjak-injak lagi ketika Si Boru Sangkar Sodalahi membuat geger marga membikin malu negeri. Bayankanlah, dia main mata, bercumbu-rayu, dan kawin pula dengan kepala suku yang memenggal kepala suami pujaannya. Sehari-hari pekerjaannya menenun. Dalam belaian suaminya yang baru, Si Boru Sangkar Sodalahi menenun ulos lebih rajin lagi, dan hasilnya lebih indah pula. Disuruhnyalah suami barunya itu membuatkan bahan pewarna yang lebih bermutu, yang dibuat dari ramuan alam, sehingga suaminya itu sibuk sampai malam, tanda kasihnya pada istrinya yang cantik, istri lawan yang telah dia taklukkan dengan darah. Apabila malam sudah melingkup seluruh gunung, berbaringlah sang suami di pangkuan istrinya itu, hanyut dalam elusan tangan dan bujuk-rayu Si Boru Sangkar Sodalahi.
Suatu malam, malam penghabisan, dalam belaian dan kata-kata yang menenteramkan hati, yang dibisikkan Si Boru Sangkar Sodalahi kepada sang suami, yang dengan manjanya merebahkan kepala di pangkuan si istri, maka sang suami, karena lelahnya bekerja seharian, langsung tertidur lelap dan mendengkur. Tangan Si Boru Sangkar Sodalahi membelai jakun di leher suaminya. Namun, sekali ini, bukan asmaranya yang menggelora, tapi keinginannya menuntaskan obsesi untuk melampiaskan dendam atas kematian suami pertamanya, Tuan Sipallat. Terkesiap darahnya, dia menoleh ke kiri dan ke kanan seraya diam-diam menyisipkan tangan ke bawah tikar. Dari situ dihunusnya sebilah pedang. Cahaya samar pelita terpantul di mata senjata itu. Dia menatap leher suaminya, dengan dendam yang ingin dituntaskan tentu, dan secepat kilat ditebaskannya pedang itu. Dan kepala laki-laki itu terpelating, menggelinding, dan darah bersimbah di peraduan di mana cinta kepura-puraan baru saja berlalu. Lantas dia berdiri, mengambil kain ulos ragihidup dari peti pusaka. Bergegas dia turun ke bawah. Sambil menangis tanpa suara, dia gali tengkorak suaminya dari dasar tangga batu itu. Dibungkusnya tengkorak itu dengan ulos pusaka. Dia naik lagi ke rumah, diambilnya tikar bernoda, dengan perasaan jijik dibalutnya kepala dari musuh suaminya, dan dia berangkat menuju Suhut ni Huta, pusat marga suaminya yang pertama.
Sampai di huta itu, Si Boru Sangkar Sodalahi mengetuk gerbang huta yang tegak bagaikan benteng. Kepada penjaga dia mengatakan dia datang untuk menyerahkan sesuatu. Kedua penjaga, yang mengenalnya, kontan meninggi suaranya, mengusirnya. ”Kami tak perlu apa-apa dari kamu. Tunggu kami pada waktunya ke tempatmu, mengambil apa yang kami perlukan, kepalamu dan kepala suamimu itu!”
Si Boru Sangkar Sodalahi tidak menyerah karena ucapan yang menyakitkan itu. Niatnya tak tergoyahkan. Lalu, kepada penjaga di mengatakan dia harus bertemu dengan kepala marga dan percayalah bahwa dia tidak akan pergi sebelum diizinkan masuk. Wali adat pun dibangunkan, perundingan digelar di antara mereka. Hasilnya: Si Boru Sangkar Sodalahi diperkenankan masuk menghadap.
”Malam ini saya membawa kembali leluhurmu, kembali pulang ke rumah ini, melunasi utang batin yang tertimpa di atas kepalamu semua!” ucap Si Boru Sangkar Sodalahi mantap seraya melepas gendongan dan dengan takzim menggelar tengkorak suaminya yang pertama. ”Inilah junjungan kita, yang saya tebus kehormatannya.” Dengan syahdu katanya pula: ”Kamu jadi saksi sekarang, apakah saya pengkhianat ataukah istri yang setia sampai mati.” Pemimpin rapat adat diam bagai paku. Yang hadir hanya bisa menangis memandangi tengkorak yang tergeletak dalam kebesaran ulos.
Selang beberapa lama, dilaksanakanlah upacara adat untuk membersihkan nama perempuan yang gagah berani menerjang langit itu. Kedudukannya di dalam marga dipulihkan, dan anak yang dikandungnya dianggap sebagai ”darah daging kami sendiri, oleh karena ia adalah buah bisikan roh leluhur.” Maka, lahirlah seorang anak laki-laki, dan diberi nama Si Marsaitan, kakek-moyang Sitor Situmorang.
Unik, kuat berakar pada tradisi Batak nan purba, heroik, namun tak bebas dari godaan zaman, itulah Sitor. Ayahnya berumur 74 tahun ketika dia dilahirklan oleh istri kedua ayahnya. Sang ayah meninggal dalam usia 103 tahun. Tanggal 2 Oktober 2009 Sitor merayakan ulangtahunnya yang ke-85. Tapi, siapa tahu, mungkin dia sebenarnya sudah berusia 86. Dia memang yakin lahir 2 Oktober, tapi tahunnya meragukan, apakah 1923 atau 1924. Karena catatan yang kurang jelas di dalam buku gereja, katanya.
Sitor adalah penyair Indonesia paling produktif dibandingkan dengan sastrawan seangkatannya atau para pendahulunya. Dia telah menulis 103 puisi yang terkumpul dalam tiga antologi yang mengekalkan namanya dalam perpuisian modern Indonesia: Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama. Dia melampaui ”si binatang jalang” yang dia kagumi, Chairil Anwar, yang hanya membukukan 69 puisi, Sanusi Pane 48, dan Amir Hamzah 52. Tak ada penyair yang mengembara sejauh yang telah diseret kakinya. Dari Harianboho, di lembah Pusuk Buhit, di mana manusia Batak yang pertama, menurut mitologi, diturunkan oleh Dewata, dia menginjakkan kaki di Batavia, lantas bertualang di Belanda, Perancis, Italia, Spanyol, dan bertahun-tahun kemudian menjadi ”warga dunia,” bolak-balik Jakarta-Paris-Amsterdam. Tak ada yang cukup berani membawa sikap bohemian ke dalam kehidupan keluarga sebagaimana yang telah dia tunjukkan dalam hidupnya. Berpisah dengan istri pertamanya, Tiominar Gultom, untuk kemudian merebahkan kepalanya yang sarat puisi nan romantis ke pangkuan seorang perempuan Belanda yang telah membawa aura baru ke dalam gaya hidupnya yang berbunga-bunga: Barbara Brouwer. Hubungan asmara yang sempat dilukiskan V.S. Naipaul, pemenang Nobel Sastra 2001, di dalam salah satu bukunya, hasil kunjungannya ke Indonesia, ”Among the Believers.” Keterlibatan Sitor dalam politik menyebabkannya harus mengenakan baju tahanan Orde Baru bernomor 5051. Sebagai sahabat dan pengikut Sukarno, dia mendekam dalam penjara kekuasaan Suharto yang fasistis selama delapan tahun tanpa proses pengadilan. Masih mujur, dia tak sempat dibuang ke Buru, sebagaimana temam-teman seperjuangannya yang dituduh komunis dan dicap jadi dalang pembunuhan jenderal-jenderal, hidup melata selama sepuluh tahun di pulau buangan itu. Bagaimanapun, dia sudah merasakan tepi neraka, ketika selama tiga bulan dikurung di Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Selama seratus hari dia tak pernah melihat matahari. ”Tiga bulan terasa seperti tiga abad,” katanya lirih kepada penulis risalah ini yang bersama Dolorosa Sinaga, Chris Poerba, dan Hotman J. Lumban Gaol dari majalah TAPIAN datang bertandang ke lantai 10 Bellagio, apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat, di mana dia dan Barbara menghabiskan waktu selama mereka berada di Indonesia.
…..
Tiba juga
saatnya aku melangkahkan
langkah pertama
(sesudah 8 tahun menunggu)
saat gerbang ke-7
dibuka
ke dunia luar
yang baru dan menyilaukan
……
Begitu dia mendendangkan perasaannya saat melangkah keluar dari bendul penjara Salemba, di mana ratusan tahanan telah menemukan ajal karena kekurangan makanan dan diserang penyakit — untuk menerima pembebasan atas kesalahannya yang tak pernah dijelaskan, pada tahun 1976.
”Saya bukan orang mistik, namun dibesarkan dalam alam yang dirasuki mistik pada masa kanak-kanak, di mana mitos dan silsilah, silsilah dan mitos adalah anak kembar impian manusia, yang sekaligus jadi pegangannya. Dunia ini adalah kata kias untuk penjara, secara kebatinan tentunya, untuk orang yang percaya akan yang gaib seperti Ayah, seperti Kakekku,” katanya.
Namun, Sitor dipenjarakan bukan karena yang gaib, tapi oleh yang nyata, tersebab pilihannya untuk bersahabat dan memperjuangkan pandangan politik seorang nasionalis besar yang bernama Sukarno. Karena gagasan Soekarno mengenai keniscayaan bersatunya kaum nasionalis, agama, dan sosialis-komunis untuk kejayaan Indonesia, Sitor, sebagai ketua Lembaga Kebudayaan Nasional awal tahun 1960-an bekerjasama erat dengan para tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebagai penyair, dia bersama Rivai Apin berkunjung ke Tiongkok pada masa itu, pulang-pulang dia menulis sejumlah puisi perjalanan yang kemudian diterbitkan dengan judul ”Zaman Baru” — mengambil nama majalah terbitan Lekra yang dipimpin oleh Rivai Apin. Antologi itu berukuran sebesar buku tulis dengan kulit berwarna kuning cemerlang. Kalau dikaitkan dengan tema yang tampil dalam puisi-puisi di dalamnya, judul itu bisa pula dibaca sebagai sebuah metafora untuk melukiskan pembangunan dunia baru di Tiongkok di bawah kepemimpinan Ketua Mao. Dalam perjalanan ke Tiongkok itu Sitor tidak hanya ditemani oleh Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani, tetapi juga para pengarang dari Asia-Afrika. Dalam sebuah pembicaraan di Teater Utan Kayu, Sitor menceritakan, dalam perjalanan tersebut, dia tak banyak berbicara dengan Rivai Apin, orang dianggap telah ”membinanya.”
Rivai, salah seorang pelopor Angkatan 45, adalah seorang pembaca yang tekun, dengan rokok yang sambung-menyambung di jarinya, namun dia bukanlah seorang yang gemar berbicara apalagi berdiskusi mengerenyitkan jidat. Dia murah senyum, dengan lirikan matanya yang khas, sambil membuat komentar-komentar kecil yang menggelitik. Ketika penulis duduk sebagai salah seorang anggota redaksi bulanan Zaman Baru itu bersama S. Anantaguna pada tahun 1964, Pai (dia acap disapa dengan Bung Pai) mengingatkan saya, ”Kalau kurang naskah, pegang saja leher baju Sabar,” maksudnya S. Anataguna, salah seorang anggota pimpinan pusat Lekra. ”Kalau kehabisan stok vignette untuk mengisi halaman, tutup botol kecap boleh kau pakai…,” dan dia terkekeh-kekeh dengan giginya yang kuning kecoklatan disamak candu rokok.
Tentang antologi puisi perjalanan ”Zaman Baru” itu, para pengamat sastra ketika itu memberikan tinjauan dan komentar, baik yang memuji maupun mencerca serta menuduh Sitor telah terlalu jauh mencemari sastra dengan politik. Tetapi, tak sedikit yang mengenang puisinya yang berjudul ”Makan Roti Komune” sebagai puisi perjalanan berbobot politik yang hangat mempesona. Puisi itu dianggap sebagai perpaduan yang serasi antara sikap politiknya sebagai seorang nasionalis berpadu dengan pencapaian artistik dalam dua puisi paling awalnya yang monumental, ”Lagu Gadis Itali” dan ”Jalan Batu ke Danau.”
Delapan tahun dikerangkeng Orde Baru, sikap Sitor tidak berubah sebagai seorang pengikut dan pengagum Sukarno. Dalam sebuah pertemuan belum lama ini, di rumah salah seorang anaknya, dari istri pertama, di wilayah Sawangan, Jawa Barat, sedang hangat-hangatnya Sitor berbicara, salah seorang tamu yang masih muda menimpali, ”Bukankah Sukarno tidak bebas dari kesalahan?” Gesit bagaikan seorang pesilat, Sitor cepat bangkit dari tepat duduk dan meninju meja: ”Bah, kau pikir Sukarno itu malaikat?!” Bibirnya bergetar dan menatap dengan tajam anak muda yang berada di depannya seperti mau menelannya.
Sitor berdiri begitu kokoh, dan tampak lebih sehat dari lima tamu yang sedang mengeruminya. Layaknya dia belum pernah menjalani operasi jantung bypass (di Paris), di mana lima pembuluh darah jantungnya dipotong disambung-sambungkan. Hanya garis-garis yang menoreh di pojok matanya yang menunjukkan dia sudah berusia mendekati 85 tahun. Juga mata kirinya yang menjadi agak sipit dibandingkan dengan yang kanan.
”Kalau ada bukti bahwa Sukarno itu menangkap Syahrir, barulah akan saya katakan, ’Sekarang di tahun 2009 ini, Sitor Situmorang, pengikut Sukarno, akan menyerukan hapus jasa-jasa Sukarno,’” dia meletup kembali. Dengan tetap tegak, tantangnya pula: ”Apa salah Sukarno? Katakan…! Syahrir berlindung di belakang Sukarno sehingga bebas dapat berkumpul dan bertemu dengan kelompok radikal. Jepang takut menjamah Syahrir karena ada Sukarno yang melindunginya.” Sitor mentah-mentah menolak sang pemimpin pujaannya, Putra Sang Fajar, sebagai seorang kolaborator Jepang.
Ketika salah seorang tamunya berusaha untuk menenangkan suasana percakapan yang memanas ketika itu, dan bertanya apakah dia, dalam usia selanjut seperti sekarang, masih menenggak bir kesukaannya, dengan ligat sambil senyum malu-malu dia menjawab: ”Ah, itu harus…” dan dia tertawa terkekeh. ”Ai berapa botol kau punya?” tantangnya pula. Giginya masih kuat menyantap makanan yang dinikmati anak-anak muda yang menjadi tamunya. Bedanya, dia harus menelan pil penjaga kestabilan kadar gula di dalam darahnya sebelum duduk di kursi meja makan.
Ketika ditanya, apa rahasianya bisa bertahan hidup dengan usia yang panjang dan relatif sehat, dia menjawab: ”DNA menentukan.” Sitor bersaudara sembilan orang. Ayahnya, yang berjuang melawan Belanda bersama Raja Sisingamangaraja XII, adalah manusia fenomenal. Seperti manusia yang tidak bisa-bisa mati-mati. Setiap kali merasa ajal sudah mendekat, sang ayah memanggil putra-putranya. Sitor dan saudara-saudaranya secara bersama-sama datang menyampaikan persembahan dan sungkem di hadapan sang ayah. Upacara seperti itu sudah lima kali dilakukan sebelumnya, sejak 1950-1962, ”… Ayah setiap kali merasa sudah dekat ajalnya. Tapi ternyata ia hidup terus.”
Menurut Sitor dalam biografinya, tahun 1963, ketika ayahnya sudah bertahun-tahun sakit, sang ayah menyimpulkan ”Tak akan mati sebelum putra kelimanya, yaitu saya (Sitor) ikut hadir. Saya disuruh jemput dari Jakarta oleh utusan dan dengan titipan ongkos untuk pesawat terbang. Beberapa bulan kemudian, setelah upacara itu, ia pun meninggal, tanpa saya hadir.”
Sitor Situmorang juga menulis cerita pendek, walau tak sampai sepuluh. Dia tak pernah memberi isyarat bahwa dia pernah bercerita secara khusus tentang ayahnya itu. Kecuali ketika dia berkisah dengan syahdu tentang kematian ibunya dalam cerita pendek ”Ibu Pergi ke Sorga.” Di situ, sang ayah muncul sebagai pemeran pembantu. Setelah sang ibu dimakamkan dalam sebuah upacara, begitulah Sitor becerita, ”Ia (ayah) berdiri di pekarangan luas dan memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya ke sudut pekarangan. Tak tahu aku maksudnya. Setelah aku dekat ia berkata: ’Kau ada uang?’
Aku terkejut, karena tak tahu maksud apa yang terkandung dalam pertanyaannya, tapi akhirnya kubilang: ’Berapa Pak perlu?’
”Seribu, dua ribu sudah cukup,” katanya.
”Buat apa?” tanyaku sambil mengikuti dia, dan pada ketika itu kami sampai di sudut pekarangan. Ia memegang bahuku dan sambil memandang ke danau di bawah ia berkata: ’Di sini aku ingin dikubur. Kau harus membuat kuburan semen yang indah buat aku, kalau aku sudah mati, ibumu kau pindahkan ke mari.’
Aku hanya bertanya: ’Mengapa mesti di sini?’
Bapak melepas tangan kirinya dari bahuku. Ia berpaling memandang ke puncak gunung dan berkata: ’Dari tempat ini aku dapat memandang lepas ke daratan tinggi dan ke danau.’
Aku diam…”
Sitor diam terpesona dibuai ayahnya, sementara imajinasi pembaca dibuatnya sesak dengan seribu fantasi tentang kematian yang tak pernah datang ketika memandang indahnya Danau Toba di bawah sana.
Ketika ditanya apakah pernah menyesal dalam hidup, mungkin karena ada yang belum bisa diselesaikan, atau ada yang tak pantas dikerjakan, Sitor menjawab: ”Soal apa yang saya kerjakan tidak ada, baik sebagai pengarang, baik sebagai manusia biasa, baik sebagai kepala keluarga. Tak ada yang perlu saya sesalkan. Pilihan politik saya pun tidak ada yang saya sesalkan.”
Bagaimana Bung ingin dikenang dalam sejarah?
”Saya tidak melihat seperti itu. Kalau saya bekerja, bukan ingin dikenang. Apa yang saya kerjakan itu yang harus dikenang orang. Bukan Sitor. Saya bisa dijelaskan dari karya-karaya saya, bukan dari dongeng-dongeng atas nama Sitor Situmorang. Pandanglah saya dari karya, apa yang telah saya sumbangkan.”
Apakah puncak yang telah Bung capai?
“Tak ada. Belum ada. Mudah-mudahan masih ada. Tapi, kalau pun tidak ada, tidak apa-apa.”
Di antara sekian banyak puisi yang telah ditulis, yang mana yang Bung anggap paling berhasil?
”Tidak ada. Sebab tema puisi saya berbagai macam. Yang satu dengan yang lainnya berbeda.”
Pertengahan Agustus 2009, menjelang tengah hari, saya datang menjemputnya di apartemennya untuk kemudian menemaninya ke Buddhabar, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, di mana akan berlangsung bedah buku ”Pesta Obama di Bali,” novel Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dan Sitor jadi pembicara di samping Profesor Jakob Sumardjo, sementara saya sebagai moderator. Mantan Presiden Megawati Sukarnoputri yang akan membuka diskusi tersebut. Seraya menunggunya mandi, saya melihat-lihat lukisan dan ornamen-ornamen yang dipajang di dinding. Sekelebat, tak sempat mengeluarkan kamera dari tas, Sitor menyeberang dalam keadaan telanjang bulat dari kamarmandi ke kamartidurnya. Telanjang bulat!! Cepat bagai kilat, saya teringat gosip yang beredar, termasuk dari Pramoedya, bahwa ketika di dalam penjara, kalau mandi, Sitor duduk menjongkok dalam keadaan telanjang bersama tahanan lain, dan yang jijak di lantai tidak hanya kedua kakinya, tetapi juga sejemput daging yang teramat peka juga ikut membelai lantai. Keluar dari kamar, dia menemui saya dengan dada terbuka, cuma pakai celana pendek: ”Tunggu, aku mau bersolek dulu.”
Saya mencari taxi, dia saya suruh menunggu di depan lobby apartemen. Sementara mencari-cari taxi, saya menoleh ke belakang. Sitor berdiri dengan gayanya, seperti bertumpu pada tongkatnya. Dia mengenakan batik yang redup, tas kecil tergantung di sisinya. Sepatunya Lacoste. Di atas kepalanya membentang gagah nama apartemen: Bellagio. Pemandangan yang unik. Aku seperti melihat Sitor turun dari bukit yang sepi menuju lembah dan tiba-tiba berdiri di depan bangunan yang tak seribu tahun lagi akan dibangun di Pusuk Buhit. Jauh lebih unik dari selembar foto yang pernah ditunjukkannya kepada saya, di mana Sitor muda, dengan janggut tipis, sedang berdiri di persimpangan jalan menuju Granada, Spanyol.
Dalam pidato menandai dibukanya diskusi buku tersebut, Mega memuja Sitor Situmorang sebagai sastrawan besar, dan bahwa dia adalah teman Bapaknya. Dan dia menyatakan keinginan agar suatu ketika, kalau sudah terkumpul, agar karya Sitor juga dibicarakan di gelanggang yang cukup mewah itu. Lantas Mega meninggalkan ruangan. Selepas Jakob Sumardjo, saya persilahkan Sitor untuk memberikan pemaparaannya. Mikropon saya dekatkan ke dagunya. Ketika baru mau memulai, sekitar dua meter di depan, di antara hadirin, pengarang K. Usman berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Sitor rupanya merasa tidak dihormati dengan tingkah-laku seperti itu. ”Saya tidak suka begini, yang bicara tidak didengar. Kalau tidak mau dengar keluar saja. Atau saya saja yang keluar,” katanya sambil berdiri dan menyambar tongkatnya hendak pergi. Hadirin tegang. Cepat saya memeluk pinggangnya, memohon, ”Husomba, Amang [Kusembah Bapak], jangan pergi, malu kita…” Dia menghentak: ”Tidak, tidak…” tapi pelukan saya tetap di pinggangnya sampai dia duduk kembali. K. Usman yang rupanya merasa bersalah, maju ke depan, meminta maaf, tapi ditolak Sitor. ”Apa? Tidak!” sergahnya.
Kulirik dengan pojok mata, amuk hati Sitor sudah reda kembali, walau amarah masih membayang di pelupuk matanya. Dia menyampaikan pandangannya yang agak kritis terhadap novel tersebut, dan bahwa ”Apa yang saya harapkan, tidak muncul di sini.” Kemudian, saya mempersilakan hadirin memberikan tanggapan. Satu-dua orang maju. Mengutarakan pendapat. Diskusi lumayan hidup. Tiba-tiba seseorang meletakkan secarik kertas di depan saya, isinya agar acara dihentikan sejenak, ”Ada yang ingin disampaikan.” Salah seorang dari panitia membacakan surat masuk yang isinya Megawati ingin menyampaikan sumbangan untuk dana pengumpulan karya Sitor Situmorang. Sang penyair diminta maju ke depan untuk menerima amplop dari panitia. Kulihat dengan cukup bergairah amplop itu. Cukup tebal, saya kira lembaran seratus ribu rupiah sebanyak 200 lembar. Di bawah derai tepuktangan hadirin, sang penyair menerima amplop Mega yang diserahkan salah seorang sponsor pertemuan.
Ketika Sitor sudah duduk kembali di sampingku, cepat saya renggut mike dan saya katakan: ”Untung Bung tak jadi pergi. Kalau tadi Bung pergi, ke mana uang sebanyak itu kita cari…” Hadirin gerrr… Sitor terkekeh dan memukul-mukulkan amplop tebal itu ke bahu saya, menahan geli.
Tak sekali dua-kali dia memukul bahu saya kalau sedang hangat-hangatnya pembicaraan. Terkadang dia melompat dari kursi memegangi bahu, dan membacakan sebaris-dua-baris dari sajaknya. Suatu hari, Dolo, Chris, Hotman, dan saya datang mewawancarainya. Karena sofanya tak memadai, kami pun duduk di lantai. Sitor duduk di sofa bagaikan baginda raja. Pantas dia duduk di situ, karena dia memang raja klan Situmorang yang terakhir dan penyair dunia pula. Saya tanyakan, apakah dia tak punya dendam terhadap Suharto yang telah menistakan hidupnya selama delapan tahun?
Dia diam, berdiri dengan mulut terkatup rapat, gigi digigit-gigit, tulang pelipis menjentang, dipungutnya tumpukan buku di atas meja tamu persis di depannya, dan … dibantingkannya kembali tepat di depan hidungku. Karena sudah mengenalnya, dan sudah terbiasa dengan temperamen Batak, saya membalas dengan sesungging senyum. ”Saya tak punya dendam. Dia itu kecil.” Maksudnya, Suharto tiada bandingannya dengan penghormatan yang telah dia terima dari masyarakat semarganya di Tanah Batak. Dan berderailah cerita dari bibirnya bagaimana dia telah menjadi orang paling terhormat di kampungnya, tak lama setelah dia keluar dari penjara, dihormati dalam sebuah acara yang disebut mangongkal holi [memindahkan tulang-belulang nenek-moyang]. Yang terakhir mendapat penghormatan seperti itu adalah keturunan kedelapan sebelum Sitor.
Mitologi Batak merasuk ke dalam hati Sitor sebagai peristiwa sastra, acara-acara adat yang sarat dengan arti dan penuh irama memperkaya bakat alamnya. Suatu ketika, dia pernah bilang, kalau berada jauh di daratan Eropa, supaya jiwa tetap berada dalam pelukan tanah kelahiran maupun dalam kata-kata dan irama bahasa, dia tak lupa membawa kumpulan sajak Hamzah Fansyuri ”untuk dibaca-baca.”
Sitor sempat beberapa tahun mengajar Bahasa Indonesia di Belanda. Agaknya, Sitor bukanlah Batak komplit, yang haus akan hamoraon, kekayaan benda sebagai salah satu tujuan hidup. Dia cuma kaya dalam kata-kata, makmur dengan puisi-puisinya. Kekayaan yang tak mati-mati, tentu. Dia mengaku “tak bisa mencari uang” di luar menulis, mengajar, dan berbicara mengenai kebudayaan dalam berbagai pertemuan. Di Belanda, Perancis, dan Jerman dia kerap diundang sebagai “duta besar Tanah Batak,” dan diminta ceramah mengenai tanah tumpah darahnya sebagai orang dalam. Sebagaimana yang tercermin dalam bukunya, “Toba Na Sae,” sikapnya selalu beranjak dari pandangan dan pengamatannya sendiri. Dia tidak terpengaruh, malah mengkritik para peneliti Barat. Contohnya, kesimpulan Barat yang mengatakan orang Batak suka berperang hanya setelah mengamati huta di Tanah Batak yang selalu dikelilingi batu-bartu besar serupa benteng penghadang musuh. “Kalau berperang dan berkelahi setiap hari bagaimana orang Batak bisa hidup sampai sekarang!” sanggahnya enteng.
Dia menjelaskan batu yang mengelilingi setiap huta, yang kelihatan mirip benteng itu, muncul karena upaya untuk memperluas areal tanah persawahan. Batu-batu itu disingkirkan dan ditumpuk agar bisa dikerjakan lahannya. Proses penyingkiran bebatuan itu berjalan sejak peradaban Batak berkembang.
Sitor berniat untuk berada di Indonesia sampai Oktober tahun ini, untuk merayakan ulangtahunnya yang ke-85 di sini. Niat itu kesampaian juga. Karena istrinya, boru Belanda, Barbara Brouwer, yang telah menyandang boru Purba, bekerja selama setengah tahun mengelola Erasmus Huis, sayap kebudayaan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belana untuk Indonesia. Barbara menjadi koordinator kegiatan seni dan budaya di situ.
Dalam usia tuanya, dia selalu membawa tongkat. Tetapi, tongkat itu kelihatan lebih banyak berperan sebagai ornamen belaka, karena kalau akan menaiki atau menuruni tangga, dia dengan tangkas menepis tangan siapa pun yang ingin memapahnya. Dia selalu ingin berdiri tegak di atas kakinya. Melihat dia berdiri, dengan mata menatap ke depan, maka saya seperti membaca sebuah buku besar yang ditulis dengan kata-kata sederhana tapi dengan simpul yang terang. Bahwa yang menulis sejarah bangsa saya adalah para korban kebengisan rezim bangsanya sendiri. Seperti si tua yang berdiri depan saya ini. Beratus ribu mereka, mungkin berbilang juta, dan saya lihat mereka di mata Sitor, juga di lututnya ketika dia kelur dari kamarnya menyambut saya. Dia, sebagaimana kata temannya, Pramoedya, toh ”tidak gepeng” dihantam palu godam dan popor Orde Baru. Merekalah yang menulis sejarah sejati bukan para penindasnya… ***
Bermula dari Sriwijaya
Beni Setia
http://www.suarakarya-online.com/
AWAL dari fiksi berlatar Sriwijaya setebal xiv + 454 halaman ini, lihat Yudhi Herwibowo, Pandaya SriwijayaTTK2 Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya, Sebuah Novel, Bentang Pustaka, September 2009-adalah cinta buta Pramodawardhani, putri pewaris tahta Samaratungga dan keponakan Balaputradewa, si pemangku estafet trah Sailendra. Yang memutuskan menikah dengan Jatiningrat, keturunan Sanjaya, hingga kuasa atas Mataram kuno dan Sriwijaya akan jatuh ke tangan trah Sanjaya, spontan patriarki bukan milik trah Sailendra lagi.
Dan krisis legitimasi kuasa trah memuncak saat Samaratungga wapat dan tahta jatuh pada Pramodawardhani tak peduli Jayaningrat bernadar hanya akan konsentrasi pada meditasi mencari pembebasan duniawi. Dan atas pertimbangan mempertahankan kuasa tetap di garis patriarki trah Sailendra Balaputradewa adik Samaratungga serta paman Pramodawardhabi “berontak” dan “ditumpas” di Desa Iwung. Sebuah momen kekalahan dan pembantaian yang jadi trauma, terutama setelah ia “dihukum buang”, dengan jadi raja Sriwijaya di Sumatra selatan, nun di seberang Bhumijawa.
Keberkuasaan di pengasingan yang selalu dianggap sebagai kekalahan total trah Sailendra, yang memicu obsesi pribadi ingin menyerang dan menaklukkan Mataram Sanjaya. Ide penaklukan yang tidak pernah kesampaian karena beberapa datu (negara) jajahan Sriwijaya di Sumatra, beberapa anak-anak trah penguasa setempat di Sumatra terusik kelemahan hegemoni penguasa Sriwijaya, bermimpi bebas, dan berkonspirasi memberontak. Itu latar, konteks dan titik tolak novel Yudhi Herwibowo, fakta krisis hegemoni Sriwijaya, datu Telaga Batu, sekaligus nostalgia kejayaan masa lalu yang ingin dibangkitkan lagi saat melihat pelemahan hegemoni datu Telaga Batu.
* * *
IDE makro itu dikongkritkan di tingkat mikro dengan cerita tentang Biksu Wang Hoi di Sumatra, yang tersisa dari si sepasang pendekar Liang Qiang. Pasangan yang cape mengarungi kang-ouw, lembah air mata dan darah, dengan memilih mundur dari keramaian. Sayang niat itu gagal karena seluruh musuh bersatu, mengeroyok mereka. Si istri mati, sang suami memutuskan jadi biksu dan mengembara sebagai pendakwah ajaran Buddha. Bersua Tunggasamudra, anak dengan kelainan fisik, lahir dengan tiga buah tangan, dan selamat dari hanyut disapu banjir, yang diangkatnya jadi murid.
Yang menarik, semua tokoh kunci novel memiliki pertanda alam dan fisik yang luar biasa. Wantra Santra, kepala pasukan rahasia (intel) Sriwijaya adalah anak yang lahir saat letusan gunung berapi dan selamat sehingga diangkat anak oleh Mahak Ilir. Penguasa datu Minanga Tanwa. Keturunan sah Kerajaan Melayu yang memberontak, dikalahkan, dan minta imbalan balas budi untuk menuntaskan dendamnya kepada si penakluk: Abdibawasepa.
Panglima Sriwijaya yang difitnah Wantra Sentra, yang lari dan menjadi bajak laut. Kara Baday, anak Abdibawasepa, si pewaris Abdibawasepa, yang ditarik jadi panglima muda Sriwijaya setelah mencari jasa memusnahkan bajak laut yang lain, sebelum dikorbankan Jaraq Sinya, penglima angkatan laut Sriwijaya
Lantas Agiriya dan kemudian Sangda Alin, putri Ih Yatra, penguasa datu Muara Jambi yang berontak, gadis tomb boy dan tubuhnya meruapkan wangi bunga. Magra Sekta yang dikutuk memiliki kemampuan clairvoyance bisa melihat nasib orang lain dengan memandang.
Cahyadawasuna, anak penguasa Talang Bantas yang meninggal karena sakit dan kadatuannya musnah ditimbun debu gunung meletus, seperti nasib Mataram kuno. Tokoh ini meminum air rendaman Bunga Sukmajiwa, dan ia selamat dari bencana tertimbun lava dingindengan bersemedi 13 hari, kemudian ia diangkat jadi penasehat Balaputradewa.
Dan cerita berkelindanan di antara mereka. Balaputradewa, sebagai si penerima tongkat estafet trah Sailendra,yang merasa dikalahkan secara halus oleh trah Sanjata, dan ingin memerangi Mataram kuno di Jawa. Kara Baday yang ingin membersihkan nama baik ayahnya, yang difitnah berontak pada Sriwijaya sehingga mau melakukan apa saja, dan mati sia-sia di tangan Tunggasamudra setelah ia merasa dikhianati oleh Jara Sinya. Jara Sinya yang melakukan apa saja demi keagungan Sriwijaya, seperti Wantra Sentra khilaf mengiyakan tuntutan balas budi Mahak Ilik, dengan memfitnah Abdibawasepa. Atau Agiriya yang dendam sebab keluarga dan perguruannya dibantai kelompok Wantra Sentra. Dan tentu saja ambisi Mahak Ilik, Ih Yatra dan Panglima Tambu Karen yang berilusi ingin jadi penguasa dengan berontak KRGpadaKRG Sriwijaya.
* * *
SEMUA kait berkait, meski buku tebal ini mengesankan hanya satu penggalan dari sebuah serial, yang seharusnya ada awalan dan ada akhirannya, tak bisa ditutup dengan kesadaran Budhis Balaputradewa yang kembali terkenang kepada banjir darah pembantaian dari pemberontakannya yang kalah, sekaligus perasaan sedang berkukuh dengan harga diri semu duniawi karena Pramorawardhani itu telah menyerahkan tahta Mataram dan Sriwijaya padanya supaya bisa bebas bermeditasi. Apa yang sebenarnya dicari dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara hidup lain, yang lebih sederhana tetapi tentram tanpa ilusi kekuasaan dan keberkuasaan?
Semua berkelindan, sekaligus membelit serta menjerat seperti jaring laba-laba, sebagaimana Tunggasamudra yang tiba-tiba ada dalam gebalau dendam, prahara dan cinta. Di penghujung cerita, setelah menyampaikan berita kematian Kara baday pada kekasihnya, Aulan Rema, ia memilih terlepas dari kilau dunia dan sekaligus terbebas dari gebalau duniawi, memilih jalan sunyi yang damai dan mensejahterakan orang lain. Sebuah pencerahan Budhistik yang sangat indah, dengan latar Sriwijaya tapi ada banyak jurus Mandarin yang tidak bersipat Sriwijaya tapi, hal yang tak terhindarkan karena kita terbiasa dengan teks dan budaya silat China dan Jepang. Sekaligus sebuah janji: akan ada cerita petualang Tunggasamudra berikutnya.
Karena, konteks kejiwaan yang sudah terbentuk sayang kalau tak dilanjutkan. ***
http://www.suarakarya-online.com/
AWAL dari fiksi berlatar Sriwijaya setebal xiv + 454 halaman ini, lihat Yudhi Herwibowo, Pandaya SriwijayaTTK2 Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya, Sebuah Novel, Bentang Pustaka, September 2009-adalah cinta buta Pramodawardhani, putri pewaris tahta Samaratungga dan keponakan Balaputradewa, si pemangku estafet trah Sailendra. Yang memutuskan menikah dengan Jatiningrat, keturunan Sanjaya, hingga kuasa atas Mataram kuno dan Sriwijaya akan jatuh ke tangan trah Sanjaya, spontan patriarki bukan milik trah Sailendra lagi.
Dan krisis legitimasi kuasa trah memuncak saat Samaratungga wapat dan tahta jatuh pada Pramodawardhani tak peduli Jayaningrat bernadar hanya akan konsentrasi pada meditasi mencari pembebasan duniawi. Dan atas pertimbangan mempertahankan kuasa tetap di garis patriarki trah Sailendra Balaputradewa adik Samaratungga serta paman Pramodawardhabi “berontak” dan “ditumpas” di Desa Iwung. Sebuah momen kekalahan dan pembantaian yang jadi trauma, terutama setelah ia “dihukum buang”, dengan jadi raja Sriwijaya di Sumatra selatan, nun di seberang Bhumijawa.
Keberkuasaan di pengasingan yang selalu dianggap sebagai kekalahan total trah Sailendra, yang memicu obsesi pribadi ingin menyerang dan menaklukkan Mataram Sanjaya. Ide penaklukan yang tidak pernah kesampaian karena beberapa datu (negara) jajahan Sriwijaya di Sumatra, beberapa anak-anak trah penguasa setempat di Sumatra terusik kelemahan hegemoni penguasa Sriwijaya, bermimpi bebas, dan berkonspirasi memberontak. Itu latar, konteks dan titik tolak novel Yudhi Herwibowo, fakta krisis hegemoni Sriwijaya, datu Telaga Batu, sekaligus nostalgia kejayaan masa lalu yang ingin dibangkitkan lagi saat melihat pelemahan hegemoni datu Telaga Batu.
* * *
IDE makro itu dikongkritkan di tingkat mikro dengan cerita tentang Biksu Wang Hoi di Sumatra, yang tersisa dari si sepasang pendekar Liang Qiang. Pasangan yang cape mengarungi kang-ouw, lembah air mata dan darah, dengan memilih mundur dari keramaian. Sayang niat itu gagal karena seluruh musuh bersatu, mengeroyok mereka. Si istri mati, sang suami memutuskan jadi biksu dan mengembara sebagai pendakwah ajaran Buddha. Bersua Tunggasamudra, anak dengan kelainan fisik, lahir dengan tiga buah tangan, dan selamat dari hanyut disapu banjir, yang diangkatnya jadi murid.
Yang menarik, semua tokoh kunci novel memiliki pertanda alam dan fisik yang luar biasa. Wantra Santra, kepala pasukan rahasia (intel) Sriwijaya adalah anak yang lahir saat letusan gunung berapi dan selamat sehingga diangkat anak oleh Mahak Ilir. Penguasa datu Minanga Tanwa. Keturunan sah Kerajaan Melayu yang memberontak, dikalahkan, dan minta imbalan balas budi untuk menuntaskan dendamnya kepada si penakluk: Abdibawasepa.
Panglima Sriwijaya yang difitnah Wantra Sentra, yang lari dan menjadi bajak laut. Kara Baday, anak Abdibawasepa, si pewaris Abdibawasepa, yang ditarik jadi panglima muda Sriwijaya setelah mencari jasa memusnahkan bajak laut yang lain, sebelum dikorbankan Jaraq Sinya, penglima angkatan laut Sriwijaya
Lantas Agiriya dan kemudian Sangda Alin, putri Ih Yatra, penguasa datu Muara Jambi yang berontak, gadis tomb boy dan tubuhnya meruapkan wangi bunga. Magra Sekta yang dikutuk memiliki kemampuan clairvoyance bisa melihat nasib orang lain dengan memandang.
Cahyadawasuna, anak penguasa Talang Bantas yang meninggal karena sakit dan kadatuannya musnah ditimbun debu gunung meletus, seperti nasib Mataram kuno. Tokoh ini meminum air rendaman Bunga Sukmajiwa, dan ia selamat dari bencana tertimbun lava dingindengan bersemedi 13 hari, kemudian ia diangkat jadi penasehat Balaputradewa.
Dan cerita berkelindanan di antara mereka. Balaputradewa, sebagai si penerima tongkat estafet trah Sailendra,yang merasa dikalahkan secara halus oleh trah Sanjata, dan ingin memerangi Mataram kuno di Jawa. Kara Baday yang ingin membersihkan nama baik ayahnya, yang difitnah berontak pada Sriwijaya sehingga mau melakukan apa saja, dan mati sia-sia di tangan Tunggasamudra setelah ia merasa dikhianati oleh Jara Sinya. Jara Sinya yang melakukan apa saja demi keagungan Sriwijaya, seperti Wantra Sentra khilaf mengiyakan tuntutan balas budi Mahak Ilik, dengan memfitnah Abdibawasepa. Atau Agiriya yang dendam sebab keluarga dan perguruannya dibantai kelompok Wantra Sentra. Dan tentu saja ambisi Mahak Ilik, Ih Yatra dan Panglima Tambu Karen yang berilusi ingin jadi penguasa dengan berontak KRGpadaKRG Sriwijaya.
* * *
SEMUA kait berkait, meski buku tebal ini mengesankan hanya satu penggalan dari sebuah serial, yang seharusnya ada awalan dan ada akhirannya, tak bisa ditutup dengan kesadaran Budhis Balaputradewa yang kembali terkenang kepada banjir darah pembantaian dari pemberontakannya yang kalah, sekaligus perasaan sedang berkukuh dengan harga diri semu duniawi karena Pramorawardhani itu telah menyerahkan tahta Mataram dan Sriwijaya padanya supaya bisa bebas bermeditasi. Apa yang sebenarnya dicari dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara hidup lain, yang lebih sederhana tetapi tentram tanpa ilusi kekuasaan dan keberkuasaan?
Semua berkelindan, sekaligus membelit serta menjerat seperti jaring laba-laba, sebagaimana Tunggasamudra yang tiba-tiba ada dalam gebalau dendam, prahara dan cinta. Di penghujung cerita, setelah menyampaikan berita kematian Kara baday pada kekasihnya, Aulan Rema, ia memilih terlepas dari kilau dunia dan sekaligus terbebas dari gebalau duniawi, memilih jalan sunyi yang damai dan mensejahterakan orang lain. Sebuah pencerahan Budhistik yang sangat indah, dengan latar Sriwijaya tapi ada banyak jurus Mandarin yang tidak bersipat Sriwijaya tapi, hal yang tak terhindarkan karena kita terbiasa dengan teks dan budaya silat China dan Jepang. Sekaligus sebuah janji: akan ada cerita petualang Tunggasamudra berikutnya.
Karena, konteks kejiwaan yang sudah terbentuk sayang kalau tak dilanjutkan. ***
Sipleg
Oka Rusmini**
http://www.jawapos.com/
LUH SIPLEG nama perempuan tua itu. Perempuan kurus dengan beragam kerut-kerut tajam yang membuat takut orang yang menatapnya. Menurutku, Sipleg perempuan aneh, yang selalu memandang orang dengan mata penuh curiga. Penuh selidik, penuh tanda tanya. Kadang, dia juga seperti perempuan kebanyakan. Serbaingin tahu. Sering juga kulihat dia diam seperti batu kali. Aku menyukai gayanya yang naif itu. Bagiku, Sipleg perempuan dengan buku terbuka. Tak sembarang orang bisa membacanya. Akulah salah satu perempuan yang dibiarkan memasuki masa lalunya dengan santai. Tanpa dia pernah tahu aku telah mendapatkan cerita tentang hidupnya tanpa dipaksa. Aku juga tidak pernah merengek.
Aku menyukai perempuan-perempuan kuat seperti Sipleg. Dia perempuan kuno, yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahasa Indonesianya pun putus-putus. Kadang aku tak paham apa yang dia katakan dalam bahasa Indonesia. Dia terlihat cerdas dan luar biasa bila bercerita tentang pengalaman hidupnya menggunakan bahasa Bali, lebih ekspresif, dan aku dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti aktor tunggal dalam sebuah pementasan di panggung. Berapa umur perempuan kurus ini? Tubuhnya yang tua masih terlihat seksi dan menggairahkan? Hidupkah yang memberinya tambahan hidup? Penderitaankah yang membuatnya lebih berkuasa dari hidupnya sendiri?
Perempuan itu tinggal di sebuah desa terpencil. Umur 16 tahun kedua orang tuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang lelaki desanya, Wayan Payuk. Orang tuanya yang tidak jelas penghasilannya berharap perkawinan yang dilakukan Sipleg dengan pemilik tanah mampu mendongkrak kehidupan mereka. Menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di punggung Sipleglah impian dan harapan itu dibenamkan secara paksa. Hasilnya, rangkaian kemarahan terus beranak-pinak di otak dan aliran darahnya. Dia juga tidak percaya pada kata-kata. Makanya dia menjelma jadi perempuan bisu. Yang berbicara hanya matanya yang cekung dan tidak ramah. Cenderung menganggap semua hal yang dibicarakan orang-orang tidak ada artinya, tidak berguna bagi hidupnya. Sipleg tidak membutuhkan saran, yang dibutuhkannya adalah bagaimana mencari jalan keluar agar hidupnya lebih baik.
Diam baginya adalah pilihan yang tepat untuk berhadapan dengan mulut-mulut manusia yang tidak pernah berhenti memberi saran ini-itu. Tidak pernah bisa menguliti beratus penderitaan yang ditoreh di lilitan napasnya, usianya, dan jantungnya. Menjelmalah Sipleg perempuan yang jarang bicara, matanya adalah suaranya. Orang desa sering menganggap dia perempuan aneh. Mereka juga beranggapan perempuan tipis dan tinggi itu bisu, dan mengalami sedikit gangguan mental!
”Aku tidak percaya pada semua manusia yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain. Payuk, lelaki baik. Tetapi aku tidak menyukai lelaki yang kerjanya hanya pasrah. Menyerahkan hidup pada alam, Tuhan, dan takdir. Tolol namanya manusia seperti itu! Tidak bisakah kita menentang alam, Tuhan, dan takdir? Aku ingin melawan mereka dan jadi pemenang! Melawan apa yang selama ini tabu bagi kehidupan manusia. Aku ingin memiliki jalan sendiri, jalan hidup yang kubangun dan kupercayai sendiri.”
”Hidup itu sudah ada bagian-bagiannya, Sipleg. Yang penting kita terus bekerja. Dengan bekerja hidup kita jadi lebih baik.”
”Aku tidak percaya bahwa hidup sudah dijatah. Kita memang orang miskin, orang-orang yang dianggap terkutuk! Menyusahkan. Tapi kau lihat, bagaimana berbinarnya orang-orang kaya melihat kita? Karena kita bisa diupah semaunya, kita mau bekerja apa saja untuk bisa makan. Aku tidak mau kau suruh mempercayai pikiranmu! Mulai besok, aku ikut ke sawah. Aku ikut mencangkul, menanam padi, dan memberi makan ikan!”
”Kau sedang hamil!”
”Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Duduk diam. Menunggumu dan mendengarkan meme-mu mengeluh di kupingku. Mengatakan aku perempuan miskin yang tidak menguntungkan! Perempuan penuh kutukan yang bisa menulari seluruh hidup keluarga suaminya!”
Menikah dengan Payuk tidak membuat Sipleg memiliki hidup yang lain. Kemarahannya pada takdir miskin yang dicangkokkan sang Hidup di tubuhnya membuat perempuan bertubuh tipis itu selalu memeram kemarahan yang dalam. Matanya sering dipenuhi debur ombak yang ganas. Kadang, kalau dia sedang diam dan tepekur di pinggir dapur sehabis memasak, orang bisa mendengarkan gemerutuk giginya yang diadu. Matanya bisa setajam taji. Siap dilempar untuk melukai orang-orang yang berada di dekatnya. Perempuan itu merasa tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Jam tiga pagi dia sudah bangun. Mengangkat air dari sungai. Memasak untuk perempuan tua nyinyir yang menganggap dirinya adalah kutukan! Menularkan kesialan dan kemiskinan bagi anak satu-satunya, Wayan Payuk. Lalu siapa yang menyuruh lelaki bertubuh hitam, berurat keras, itu meminang dirinya?
”Kata Payuk kau tidak bisu. Kenapa kau tak pernah bicara?” Suatu hari perempuan tua nyinyir itu mendekat. Bagi Sipleg perempuan tua yang mulai berbau tanah kuburan itu berusaha mencuri perhatiannya. Mungkin dia mulai sadar, tak ada manusia lain yang bisa diajak berbicara selain dia dan Payuk. Mungkin Payuk pernah berkata padanya, istrinya tidak bisu. Sejak kawin, Sipleg memang tidak pernah bicara. Usia perkawinan mereka sudah delapan tahun. Bahkan waktu mertua lelakinya mati, tak seorang pelayat pun diajak bicara.
”Kau marah padaku?” tanya perempuan tua itu.
Sipleg semakin jijik. Mendengar suara perempuan itu sering membuat kemarahan pada hidupnya memuncak. Teringat perempuan tua itulah yang membeli dirinya untuk Payuk. Perempuan tua itu sengaja meminjamkan uang pada ibunya. Karena perempuan tua itu tahu, ibunya tidak mungkin memiliki uang untuk membayar utang. Adik-adik Sipleg banyak. Lelaki satu-satunya di rumah hanya bapak, yang hanya bisa menaburkan benih di perut ibu. Enam adik, semua perempuan. Ibunya mirip pabrik bayi dibanding manusia. Kerjanya hanya mengandung, sampai tidak sempat merawat diri. Tubuhnya kurus. Bayi yang dilahirkan selalu prematur. Semua itu karena perempuan tolol itu sangat percaya pada lelaki yang mengawininya.
Kata bapak, perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi lelaki, perempuan sial! Hidup tanpa keturunan lelaki, kiamat! Hidup itu sudah mati tanpa lelaki! Dan, si tolol itu percaya. Sipleg tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati! Hanya untuk mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi daging terus-menerus. Daging yang memakan isi tubuhnya.
Sering Sipleg berpikir, mungkinkah daging-daging yang tumbuh di perut ibunya memakan isi otaknya? Perempuan tolol itu lebih mirip benda mati dibanding benda hidup. Sipleg tak pernah mendengar suara perempuan itu memanggilnya penuh kasih. Padahal Sipleglah anak tertua. Anak yang selalu menyaksikan perempuan itu berteriak ketika mengeluarkan isi perutnya. Perempuan yang dipanggil meme itu seperti makhluk asing yang tidak dikenalnya. Tanpa suara, tanpa mimpi, tanpa keinginan, tanpa kasih sayang, tanpa tujuan. Hidup apa yang sedang dijalani perempuan itu?
Hari-harinya diisi dengan mempersiapkan segala keperluan lelakinya. Lelaki yang selalu pulang larut malam dan mendengkur sampai siang hari, kadang sampai sore. Sipleg memanggil lelaki itu bape, bapak. Dia juga makhluk asing, yang tidak pernah memangkunya, memanggilnya dengan kasih. Kalau lelaki itu bicara selalu berteriak, kasar, dan menjijikkan. Dia tidak pernah tahu betapa perempuan-perempuan di rumah ini sudah seperti gundik-gundik yang tidak boleh memiliki keinginan. Ibunya pernah disiram kopi panas, karena dia lupa memberi gula.
Ada keanehan yang sering membuat Sipleg bertanya pada dirinya sendiri: ibunya tidak pernah menangis? Padahal perempuan itu sering dipukul, dimaki, dan diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh bape. Dia hanya diam.
Suatu pagi, ketika Sipleg akan berangkat ke ladang, dia mendapati ibunya sedang menggunting rambut di atas ubun-ubunnya. Wajah perempuan itu dilumuri darah yang terus mengalir dari batok kepalanya.
”Meme, Meme kenapa?” Sipleg menggigil. Perempuan itu terdiam. Lalu bergegas berlari ke ladang. Mencabuti serumpun tanaman kunyit. Menggerus kunyit itu dan menempelkannya di ubun-ubun. Tak ada suara. Tak ada tangis, tak ada rintihan. Dua menit kemudian, darah tidak mengalir lagi dari batok kepalanya. Sepulang dari ladang memetik sedikit cabe dan sayuran.
Sipleg membersihkan kamar bape. Sebuah linggis tergeletak di depan pintu. Penuh darah. Bahkan seprei dan baju lelaki itu penuh percikan darah. Lelaki sial itu masih mendengkur. Benar-benar binatang, lelaki yang satu ini. Pelan-pelan Sipleg menyentuh tubuh linggis itu. Terasa dingin dan membuatnya menggigil. Tubuh kecilnya tiba-tiba saja berkeringat. Dielusnya tubuh benda tumpul itu. Begitu kasar dan terasa menggairahkan.
Hyang jagat berapa usia perempuan kecil itu sekarang? Tiga belas? Empat belas? Atau dua belas tahun? Sipleg merasakan ada hawa yang lain mengalir dalam tubuhnya. Sebuah kenikmatan yang aneh. Terlebih ketika linggis itu didekapnya ke dada. Terasa dingin dan nikmat. Seolah linggis itu memiliki jari-jari kokoh dan liat, menyentuh dua bukit kecil yang mulai mengeras di dadanya. Bukit itu jadi terasa lunak dan Sipleg merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sebuah pelukan yang dia impikan. Benda penuh darah itu membuat perempuan kecil itu menemukan kenikmatan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Luar biasa rasanya.
Sipleg pun meraba keruncingan tubuh linggis itu. Dia menciumnya. Merapatkannya ke bibirnya yang kecil. Tekanan yang kuat pada linggis itu membuat bibir Sipleg tergores. Sipleg membuka mata dan menjilati darah yang menetes dari bibir atasnya. Sipleg mengangkat tubuh linggis itu pelan-pelan. Matanya yang tajam melucuti tubuh lelaki yang tergeletak dengan damai di atas kasur. Hawa panas menaburi tubuhnya. Tiba-tiba saja Sipleg mengangkat tubuh linggis itu, tangannya yang kecil gemetar. Betapa inginnya dia menancapkan tubuh linggis di dalam dekapannya ke dada lelaki besar itu. Lelaki yang telah melumat tubuhnya. Dia bergerak mendekat…
”Sipleg…” Sebuah suara mematahkan langkahnya.
”Sedang apa kau di sini!” Perempuan itu berkata dingin.
”Bukankah Meme yang menyuruhku membersihkan kamar bape?”
Perempuan kurus itu menatap mata anak perempuannya tajam. Sipleg menunduk. Ada sesuatu yang tidak bisa ditentang dalam tubuh Ni Nyoman Songi, matanya yang selalu ingin mengupas tubuh perempuan lain. Sipleg tidak habis pikir, kenapa dia yang selalu dimusuhi perempuan ini. Kenapa bukan I Wayan Sager, lelaki yang mendengkur tanpa dosa di depan mereka. Sipleg menurunkan linggis dari dadanya, menancapkan tubuh linggis itu di lantai. Penuh kemarahan sampai lantai semen di kamar itu retak. Lelaki setan itu tetap mendengkur. Sipleg merasa telah menancapkan di lubang otak lelaki itu. Songi tetap menancapkan matanya di tubuh anak perempuannya. Sampai perempuan kecil itu keluar dari kamar dengan tetap mendekap linggis di dadanya. Seperti mendekap boneka-boneka mahal yang dijual di toko-toko mainan. Tiba-tiba saja tubuh perempuan ini ambruk, lalu melangkah keluar dari kamar Sager dengan hiasan darah di selangkang kakinya. Dia menyeret tubuhnya mendekati balai-balai di depan kamar Sager.
”Sipleg…,” jeritnya terbata-bata. Sipleg terdiam. Dia sudah hapal harus melakukan apa.
***
SEORANG dukun dipanggil dari seberang desa. Perempuan tua dengan bau tubuh aneh. Mulutnya selalu disumbat tembakau. Rambutnya gimbal. Giginya hitam. Kukunya juga hitam. Bau kain yang menyelimuti tubuh perempuan itu anyir dan membuat Sipleg selalu bersin. Bau darah yang mengering. Orang-orang di lingkungan desanya sering berbisik pada Sipleg, ”Bawalah meme-mu ke puskesmas. Seorang bidan akan menolongnya.”
”Apa kau tidak takut melihat mata perempuan tua itu?”
”Dari baunya yang aneh sudah membuat bulu kudukku berdiri.”
”Aku tidak percaya padanya. Dulu, ketika meme-ku melahirkan adikku semua mati ditolong perempuan itu. Kata orang-orang meme-ku melahirkan sebelas anak. Tak ada yang hidup kecuali aku.”
”Perempuan itu sakti. Memakan bayi-bayi untuk menambah kesaktiannya. Umurnya ratusan tahun. Dia tidak mungkin mati. Bayi-bayi yang ditolongnya dipakai untuk menebus usianya.”
”Aku merasa perempuan itu menukar bayi Songi dengan bayi mati. Kau pernah melihat bayi-bayi yang dilahirkan Songi? Tubuh bayi itu biru. Bau busuk menguap dari kulitnya. Seperti bau mayat busuk puluhan hari.”
”Aku juga pernah memandikan mayat bayi Songi. Lehernya seperti habis dicekik.”
”Ada juga yang kepalanya membesar. Tanpa jari-jari tangan. Pernah kulihat dia melahirkan bayi yang sudah ada giginya. Mulutnya menyatu dengan saluran hidung.”
”Bukankah perempuan tua itu hampir buta. Siapa nama perempuan itu?”
”Ni Ketut Grubug.”
”Namanya membuat aku merinding. Terdengar aneh.”
”Sepertinya kedatangannya akan membawa bencana.”
”Nama yang mengancam hidup orang lain.”
”Bukankah artinya bencana?”
”Ya, bencana yang mengerikan.”
”Apakah benar dia membunuh bayi-bayi yang dikeluarkan dari tubuh perempuan-perempuan desa ini?”
Semua perempuan kampung itu terus bicara. Sipleg hanya terdiam. Berpikir, apakah perempuan-perempuan hanya bisa bergosip? Ingin tahu semua urusan orang? Dan, bersorak girang atas bencana yang dialami oleh perempuan lain. Termasuk dirinya. Apakah perempuan-perempuan itu juga punya perhatian serius pada hidupnya? Hidup seorang perempuan kecil. Sipleg menggigit bibir. Aku juga seorang perempuan! Sama dengan mereka!
***
BOCAH kecil itu terus berlari menembus gelap, menebas udara dingin. Kaki kecilnya tanpa sandal, sudah hapal membaca arah. Sudah terbiasa ditumbuhi duri dan beling. Sudah terbiasa terluka. Nikmat rasanya bila darah keluar dari kakinya. Sipleg sering membiarkan rasa nyeri menggerogoti kakinya, seolah ikut melemaskan tulang-tulang, juga pikirannya. Rasa nyeri yang aneh. Bila dia berjalan pincang, seluruh tubuhnya seperti berolahraga. Sipleg sangat menikmati. Tetapi perempuan yang tubuhnya sering ditumbuhi daging selalu mendelik. Lalu dengan kasarnya dia akan menyeret tubuh kecil Sipleg ke dapur. Matanya mendelik. Tangannya mencengkeram tubuh Sipleg dengan keras. Biasanya Sipleg pasrah. Kadang ada aliran aneh bila tubuh perempuan itu menyentuh tubuhnya. Sipleg merasa punya teman. Dia pun tidak bergerak ketika tubuh ibunya mendudukkan tubuh kecilnya di dapur. Dia begitu cekatan memarut kunyit, dan menggosokkannya ke kaki kecilnya. Dengan penuh amarah. Sipleg tidak meringis, sekalipun kaki itu sudah membengkak.
Rasanya senang membuat perempuan itu bisa sedikit berpaling dari urusan daging di perutnya. Sipleg senang kalau tubuhnya terluka. Songi akan terus mengawasi kondisinya dengan sorot mata yang sangat tidak ramah. Tubuhnya akan berkeringat bila mengobati bagian-bagian tubuh Sipleg yang berdarah. Tangannya begitu terampil. Napasnya turun naik. Dan, sebutir keringat akan jatuh dari keningnya mengenai kulit Sipleg. Udara yang panas akan menjelma sejuk. Sipleg pun akan terus menatap mata Songi yang selalu tidak ramah. Rasanya ingin sekali membuat persoalan besar yang bisa membuat perempuan yang pernah mengandung tubuhnya itu menjerit. Marah. Atau menangis, atau berteriak-teriak karena Sipleg nakal dan memuakkan. Atau tangannya akan mencubit tubuh kecilnya yang liat. Atau menepuk pantatnya yang tipis. Atau…. Apa ya? Semua itu tidak pernah dilakukan Songi. Sipleg masih berlari, sambil terus menerawang membayangkan hidupnya, tubuhnya, mimpinya, keinginannya….
Pikirannya segera tergulung, perempuan tua yang berdiri di hadapannya sudah berdiri kaku di pintu rumahnya. Tanpa bicara perempuan itu menyuruh Sipleg pergi. Sipleg pun akan berlari kencang. Anehnya dia selalu kalah. Perempuan tua itu pasti sudah ada di ambin ibunya ketika dia masuk ke halaman. Bau ketuaan. Bau darah. Bau usia, bau daum-daun aneh yang diusapkan di perut ibunya. Mata dukun beranak itu dingin. Tak pernah ada senyum. Mulutnya tak pernah mengeluarkan suara. Perempuan inikah yang mengeluarkan dirinya secara paksa dari perut ibunya? Sipleg menggigil. Setiap perempuan itu datang Sipleg ingin membakarnya hidup-hidup. Perempuan itu selalu menyuruhnya menunggui ibunya yang menjerit-jerit kesakitan. Bahkan Sipleg pernah melihat sepasang bambu dijepitkan di kepala adiknya yang baru lahir. Suatu kali, batang bambu itu menggores kepala adiknya yang tipis. Darah muncrat, matilah adiknya.
Bagaimana perempuan tanpa perasaan seperti itu menolong sepotong kehidupan? Bapak tak pernah menunggui ibu. Kadang dia mabuk dan memaki-maki. Marah dengan teriakan ibu yang melolong keras. Banyak daging yang tumbuh dalam perut ibu mati. Perempuan itu memang tak punya jiwa. Dia masih terus membiarkan tubuhnya ditumbuhi daging. Tak pernah peduli pada anak-anaknya yang lain. Usia adik-adik Sipleg tidak sampai lima tahun, mereka mati satu demi satu. Ibu tetap tidak peduli. Perempuan apa yang telah melahirkan aku? Satu-satunya manusia yang bisa bertahan hidup adalah dirinya. Seorang perempuan! Hanya lelaki yang bisa melanjutkan keturunan. Memuja leluhur. Meneruskan garis keluarga. Makanya, perempuan kumuh dan kurus itu tega menjual Sipleg ke Payuk. Tanpa hati, karena perempuan dekil itu memang tidak punya hati. Tidak punya rasa. Membiarkan adik-adiknya kelaparan, makanya banyak adik Sipleg yang mati. Perempuan itu juga tidak punya air mata. Dia terus mengandung, tanpa pernah merasakan apa-apa. ***
Denpasar-Bali
*) Nukilan dari novel Tempurung (Garsindo Jakarta, 2010)
—
**) Penyair dan novelis yang tinggal di Denpasar
http://www.jawapos.com/
LUH SIPLEG nama perempuan tua itu. Perempuan kurus dengan beragam kerut-kerut tajam yang membuat takut orang yang menatapnya. Menurutku, Sipleg perempuan aneh, yang selalu memandang orang dengan mata penuh curiga. Penuh selidik, penuh tanda tanya. Kadang, dia juga seperti perempuan kebanyakan. Serbaingin tahu. Sering juga kulihat dia diam seperti batu kali. Aku menyukai gayanya yang naif itu. Bagiku, Sipleg perempuan dengan buku terbuka. Tak sembarang orang bisa membacanya. Akulah salah satu perempuan yang dibiarkan memasuki masa lalunya dengan santai. Tanpa dia pernah tahu aku telah mendapatkan cerita tentang hidupnya tanpa dipaksa. Aku juga tidak pernah merengek.
Aku menyukai perempuan-perempuan kuat seperti Sipleg. Dia perempuan kuno, yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahasa Indonesianya pun putus-putus. Kadang aku tak paham apa yang dia katakan dalam bahasa Indonesia. Dia terlihat cerdas dan luar biasa bila bercerita tentang pengalaman hidupnya menggunakan bahasa Bali, lebih ekspresif, dan aku dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti aktor tunggal dalam sebuah pementasan di panggung. Berapa umur perempuan kurus ini? Tubuhnya yang tua masih terlihat seksi dan menggairahkan? Hidupkah yang memberinya tambahan hidup? Penderitaankah yang membuatnya lebih berkuasa dari hidupnya sendiri?
Perempuan itu tinggal di sebuah desa terpencil. Umur 16 tahun kedua orang tuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang lelaki desanya, Wayan Payuk. Orang tuanya yang tidak jelas penghasilannya berharap perkawinan yang dilakukan Sipleg dengan pemilik tanah mampu mendongkrak kehidupan mereka. Menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di punggung Sipleglah impian dan harapan itu dibenamkan secara paksa. Hasilnya, rangkaian kemarahan terus beranak-pinak di otak dan aliran darahnya. Dia juga tidak percaya pada kata-kata. Makanya dia menjelma jadi perempuan bisu. Yang berbicara hanya matanya yang cekung dan tidak ramah. Cenderung menganggap semua hal yang dibicarakan orang-orang tidak ada artinya, tidak berguna bagi hidupnya. Sipleg tidak membutuhkan saran, yang dibutuhkannya adalah bagaimana mencari jalan keluar agar hidupnya lebih baik.
Diam baginya adalah pilihan yang tepat untuk berhadapan dengan mulut-mulut manusia yang tidak pernah berhenti memberi saran ini-itu. Tidak pernah bisa menguliti beratus penderitaan yang ditoreh di lilitan napasnya, usianya, dan jantungnya. Menjelmalah Sipleg perempuan yang jarang bicara, matanya adalah suaranya. Orang desa sering menganggap dia perempuan aneh. Mereka juga beranggapan perempuan tipis dan tinggi itu bisu, dan mengalami sedikit gangguan mental!
”Aku tidak percaya pada semua manusia yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain. Payuk, lelaki baik. Tetapi aku tidak menyukai lelaki yang kerjanya hanya pasrah. Menyerahkan hidup pada alam, Tuhan, dan takdir. Tolol namanya manusia seperti itu! Tidak bisakah kita menentang alam, Tuhan, dan takdir? Aku ingin melawan mereka dan jadi pemenang! Melawan apa yang selama ini tabu bagi kehidupan manusia. Aku ingin memiliki jalan sendiri, jalan hidup yang kubangun dan kupercayai sendiri.”
”Hidup itu sudah ada bagian-bagiannya, Sipleg. Yang penting kita terus bekerja. Dengan bekerja hidup kita jadi lebih baik.”
”Aku tidak percaya bahwa hidup sudah dijatah. Kita memang orang miskin, orang-orang yang dianggap terkutuk! Menyusahkan. Tapi kau lihat, bagaimana berbinarnya orang-orang kaya melihat kita? Karena kita bisa diupah semaunya, kita mau bekerja apa saja untuk bisa makan. Aku tidak mau kau suruh mempercayai pikiranmu! Mulai besok, aku ikut ke sawah. Aku ikut mencangkul, menanam padi, dan memberi makan ikan!”
”Kau sedang hamil!”
”Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Duduk diam. Menunggumu dan mendengarkan meme-mu mengeluh di kupingku. Mengatakan aku perempuan miskin yang tidak menguntungkan! Perempuan penuh kutukan yang bisa menulari seluruh hidup keluarga suaminya!”
Menikah dengan Payuk tidak membuat Sipleg memiliki hidup yang lain. Kemarahannya pada takdir miskin yang dicangkokkan sang Hidup di tubuhnya membuat perempuan bertubuh tipis itu selalu memeram kemarahan yang dalam. Matanya sering dipenuhi debur ombak yang ganas. Kadang, kalau dia sedang diam dan tepekur di pinggir dapur sehabis memasak, orang bisa mendengarkan gemerutuk giginya yang diadu. Matanya bisa setajam taji. Siap dilempar untuk melukai orang-orang yang berada di dekatnya. Perempuan itu merasa tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Jam tiga pagi dia sudah bangun. Mengangkat air dari sungai. Memasak untuk perempuan tua nyinyir yang menganggap dirinya adalah kutukan! Menularkan kesialan dan kemiskinan bagi anak satu-satunya, Wayan Payuk. Lalu siapa yang menyuruh lelaki bertubuh hitam, berurat keras, itu meminang dirinya?
”Kata Payuk kau tidak bisu. Kenapa kau tak pernah bicara?” Suatu hari perempuan tua nyinyir itu mendekat. Bagi Sipleg perempuan tua yang mulai berbau tanah kuburan itu berusaha mencuri perhatiannya. Mungkin dia mulai sadar, tak ada manusia lain yang bisa diajak berbicara selain dia dan Payuk. Mungkin Payuk pernah berkata padanya, istrinya tidak bisu. Sejak kawin, Sipleg memang tidak pernah bicara. Usia perkawinan mereka sudah delapan tahun. Bahkan waktu mertua lelakinya mati, tak seorang pelayat pun diajak bicara.
”Kau marah padaku?” tanya perempuan tua itu.
Sipleg semakin jijik. Mendengar suara perempuan itu sering membuat kemarahan pada hidupnya memuncak. Teringat perempuan tua itulah yang membeli dirinya untuk Payuk. Perempuan tua itu sengaja meminjamkan uang pada ibunya. Karena perempuan tua itu tahu, ibunya tidak mungkin memiliki uang untuk membayar utang. Adik-adik Sipleg banyak. Lelaki satu-satunya di rumah hanya bapak, yang hanya bisa menaburkan benih di perut ibu. Enam adik, semua perempuan. Ibunya mirip pabrik bayi dibanding manusia. Kerjanya hanya mengandung, sampai tidak sempat merawat diri. Tubuhnya kurus. Bayi yang dilahirkan selalu prematur. Semua itu karena perempuan tolol itu sangat percaya pada lelaki yang mengawininya.
Kata bapak, perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi lelaki, perempuan sial! Hidup tanpa keturunan lelaki, kiamat! Hidup itu sudah mati tanpa lelaki! Dan, si tolol itu percaya. Sipleg tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati! Hanya untuk mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi daging terus-menerus. Daging yang memakan isi tubuhnya.
Sering Sipleg berpikir, mungkinkah daging-daging yang tumbuh di perut ibunya memakan isi otaknya? Perempuan tolol itu lebih mirip benda mati dibanding benda hidup. Sipleg tak pernah mendengar suara perempuan itu memanggilnya penuh kasih. Padahal Sipleglah anak tertua. Anak yang selalu menyaksikan perempuan itu berteriak ketika mengeluarkan isi perutnya. Perempuan yang dipanggil meme itu seperti makhluk asing yang tidak dikenalnya. Tanpa suara, tanpa mimpi, tanpa keinginan, tanpa kasih sayang, tanpa tujuan. Hidup apa yang sedang dijalani perempuan itu?
Hari-harinya diisi dengan mempersiapkan segala keperluan lelakinya. Lelaki yang selalu pulang larut malam dan mendengkur sampai siang hari, kadang sampai sore. Sipleg memanggil lelaki itu bape, bapak. Dia juga makhluk asing, yang tidak pernah memangkunya, memanggilnya dengan kasih. Kalau lelaki itu bicara selalu berteriak, kasar, dan menjijikkan. Dia tidak pernah tahu betapa perempuan-perempuan di rumah ini sudah seperti gundik-gundik yang tidak boleh memiliki keinginan. Ibunya pernah disiram kopi panas, karena dia lupa memberi gula.
Ada keanehan yang sering membuat Sipleg bertanya pada dirinya sendiri: ibunya tidak pernah menangis? Padahal perempuan itu sering dipukul, dimaki, dan diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh bape. Dia hanya diam.
Suatu pagi, ketika Sipleg akan berangkat ke ladang, dia mendapati ibunya sedang menggunting rambut di atas ubun-ubunnya. Wajah perempuan itu dilumuri darah yang terus mengalir dari batok kepalanya.
”Meme, Meme kenapa?” Sipleg menggigil. Perempuan itu terdiam. Lalu bergegas berlari ke ladang. Mencabuti serumpun tanaman kunyit. Menggerus kunyit itu dan menempelkannya di ubun-ubun. Tak ada suara. Tak ada tangis, tak ada rintihan. Dua menit kemudian, darah tidak mengalir lagi dari batok kepalanya. Sepulang dari ladang memetik sedikit cabe dan sayuran.
Sipleg membersihkan kamar bape. Sebuah linggis tergeletak di depan pintu. Penuh darah. Bahkan seprei dan baju lelaki itu penuh percikan darah. Lelaki sial itu masih mendengkur. Benar-benar binatang, lelaki yang satu ini. Pelan-pelan Sipleg menyentuh tubuh linggis itu. Terasa dingin dan membuatnya menggigil. Tubuh kecilnya tiba-tiba saja berkeringat. Dielusnya tubuh benda tumpul itu. Begitu kasar dan terasa menggairahkan.
Hyang jagat berapa usia perempuan kecil itu sekarang? Tiga belas? Empat belas? Atau dua belas tahun? Sipleg merasakan ada hawa yang lain mengalir dalam tubuhnya. Sebuah kenikmatan yang aneh. Terlebih ketika linggis itu didekapnya ke dada. Terasa dingin dan nikmat. Seolah linggis itu memiliki jari-jari kokoh dan liat, menyentuh dua bukit kecil yang mulai mengeras di dadanya. Bukit itu jadi terasa lunak dan Sipleg merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sebuah pelukan yang dia impikan. Benda penuh darah itu membuat perempuan kecil itu menemukan kenikmatan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Luar biasa rasanya.
Sipleg pun meraba keruncingan tubuh linggis itu. Dia menciumnya. Merapatkannya ke bibirnya yang kecil. Tekanan yang kuat pada linggis itu membuat bibir Sipleg tergores. Sipleg membuka mata dan menjilati darah yang menetes dari bibir atasnya. Sipleg mengangkat tubuh linggis itu pelan-pelan. Matanya yang tajam melucuti tubuh lelaki yang tergeletak dengan damai di atas kasur. Hawa panas menaburi tubuhnya. Tiba-tiba saja Sipleg mengangkat tubuh linggis itu, tangannya yang kecil gemetar. Betapa inginnya dia menancapkan tubuh linggis di dalam dekapannya ke dada lelaki besar itu. Lelaki yang telah melumat tubuhnya. Dia bergerak mendekat…
”Sipleg…” Sebuah suara mematahkan langkahnya.
”Sedang apa kau di sini!” Perempuan itu berkata dingin.
”Bukankah Meme yang menyuruhku membersihkan kamar bape?”
Perempuan kurus itu menatap mata anak perempuannya tajam. Sipleg menunduk. Ada sesuatu yang tidak bisa ditentang dalam tubuh Ni Nyoman Songi, matanya yang selalu ingin mengupas tubuh perempuan lain. Sipleg tidak habis pikir, kenapa dia yang selalu dimusuhi perempuan ini. Kenapa bukan I Wayan Sager, lelaki yang mendengkur tanpa dosa di depan mereka. Sipleg menurunkan linggis dari dadanya, menancapkan tubuh linggis itu di lantai. Penuh kemarahan sampai lantai semen di kamar itu retak. Lelaki setan itu tetap mendengkur. Sipleg merasa telah menancapkan di lubang otak lelaki itu. Songi tetap menancapkan matanya di tubuh anak perempuannya. Sampai perempuan kecil itu keluar dari kamar dengan tetap mendekap linggis di dadanya. Seperti mendekap boneka-boneka mahal yang dijual di toko-toko mainan. Tiba-tiba saja tubuh perempuan ini ambruk, lalu melangkah keluar dari kamar Sager dengan hiasan darah di selangkang kakinya. Dia menyeret tubuhnya mendekati balai-balai di depan kamar Sager.
”Sipleg…,” jeritnya terbata-bata. Sipleg terdiam. Dia sudah hapal harus melakukan apa.
***
SEORANG dukun dipanggil dari seberang desa. Perempuan tua dengan bau tubuh aneh. Mulutnya selalu disumbat tembakau. Rambutnya gimbal. Giginya hitam. Kukunya juga hitam. Bau kain yang menyelimuti tubuh perempuan itu anyir dan membuat Sipleg selalu bersin. Bau darah yang mengering. Orang-orang di lingkungan desanya sering berbisik pada Sipleg, ”Bawalah meme-mu ke puskesmas. Seorang bidan akan menolongnya.”
”Apa kau tidak takut melihat mata perempuan tua itu?”
”Dari baunya yang aneh sudah membuat bulu kudukku berdiri.”
”Aku tidak percaya padanya. Dulu, ketika meme-ku melahirkan adikku semua mati ditolong perempuan itu. Kata orang-orang meme-ku melahirkan sebelas anak. Tak ada yang hidup kecuali aku.”
”Perempuan itu sakti. Memakan bayi-bayi untuk menambah kesaktiannya. Umurnya ratusan tahun. Dia tidak mungkin mati. Bayi-bayi yang ditolongnya dipakai untuk menebus usianya.”
”Aku merasa perempuan itu menukar bayi Songi dengan bayi mati. Kau pernah melihat bayi-bayi yang dilahirkan Songi? Tubuh bayi itu biru. Bau busuk menguap dari kulitnya. Seperti bau mayat busuk puluhan hari.”
”Aku juga pernah memandikan mayat bayi Songi. Lehernya seperti habis dicekik.”
”Ada juga yang kepalanya membesar. Tanpa jari-jari tangan. Pernah kulihat dia melahirkan bayi yang sudah ada giginya. Mulutnya menyatu dengan saluran hidung.”
”Bukankah perempuan tua itu hampir buta. Siapa nama perempuan itu?”
”Ni Ketut Grubug.”
”Namanya membuat aku merinding. Terdengar aneh.”
”Sepertinya kedatangannya akan membawa bencana.”
”Nama yang mengancam hidup orang lain.”
”Bukankah artinya bencana?”
”Ya, bencana yang mengerikan.”
”Apakah benar dia membunuh bayi-bayi yang dikeluarkan dari tubuh perempuan-perempuan desa ini?”
Semua perempuan kampung itu terus bicara. Sipleg hanya terdiam. Berpikir, apakah perempuan-perempuan hanya bisa bergosip? Ingin tahu semua urusan orang? Dan, bersorak girang atas bencana yang dialami oleh perempuan lain. Termasuk dirinya. Apakah perempuan-perempuan itu juga punya perhatian serius pada hidupnya? Hidup seorang perempuan kecil. Sipleg menggigit bibir. Aku juga seorang perempuan! Sama dengan mereka!
***
BOCAH kecil itu terus berlari menembus gelap, menebas udara dingin. Kaki kecilnya tanpa sandal, sudah hapal membaca arah. Sudah terbiasa ditumbuhi duri dan beling. Sudah terbiasa terluka. Nikmat rasanya bila darah keluar dari kakinya. Sipleg sering membiarkan rasa nyeri menggerogoti kakinya, seolah ikut melemaskan tulang-tulang, juga pikirannya. Rasa nyeri yang aneh. Bila dia berjalan pincang, seluruh tubuhnya seperti berolahraga. Sipleg sangat menikmati. Tetapi perempuan yang tubuhnya sering ditumbuhi daging selalu mendelik. Lalu dengan kasarnya dia akan menyeret tubuh kecil Sipleg ke dapur. Matanya mendelik. Tangannya mencengkeram tubuh Sipleg dengan keras. Biasanya Sipleg pasrah. Kadang ada aliran aneh bila tubuh perempuan itu menyentuh tubuhnya. Sipleg merasa punya teman. Dia pun tidak bergerak ketika tubuh ibunya mendudukkan tubuh kecilnya di dapur. Dia begitu cekatan memarut kunyit, dan menggosokkannya ke kaki kecilnya. Dengan penuh amarah. Sipleg tidak meringis, sekalipun kaki itu sudah membengkak.
Rasanya senang membuat perempuan itu bisa sedikit berpaling dari urusan daging di perutnya. Sipleg senang kalau tubuhnya terluka. Songi akan terus mengawasi kondisinya dengan sorot mata yang sangat tidak ramah. Tubuhnya akan berkeringat bila mengobati bagian-bagian tubuh Sipleg yang berdarah. Tangannya begitu terampil. Napasnya turun naik. Dan, sebutir keringat akan jatuh dari keningnya mengenai kulit Sipleg. Udara yang panas akan menjelma sejuk. Sipleg pun akan terus menatap mata Songi yang selalu tidak ramah. Rasanya ingin sekali membuat persoalan besar yang bisa membuat perempuan yang pernah mengandung tubuhnya itu menjerit. Marah. Atau menangis, atau berteriak-teriak karena Sipleg nakal dan memuakkan. Atau tangannya akan mencubit tubuh kecilnya yang liat. Atau menepuk pantatnya yang tipis. Atau…. Apa ya? Semua itu tidak pernah dilakukan Songi. Sipleg masih berlari, sambil terus menerawang membayangkan hidupnya, tubuhnya, mimpinya, keinginannya….
Pikirannya segera tergulung, perempuan tua yang berdiri di hadapannya sudah berdiri kaku di pintu rumahnya. Tanpa bicara perempuan itu menyuruh Sipleg pergi. Sipleg pun akan berlari kencang. Anehnya dia selalu kalah. Perempuan tua itu pasti sudah ada di ambin ibunya ketika dia masuk ke halaman. Bau ketuaan. Bau darah. Bau usia, bau daum-daun aneh yang diusapkan di perut ibunya. Mata dukun beranak itu dingin. Tak pernah ada senyum. Mulutnya tak pernah mengeluarkan suara. Perempuan inikah yang mengeluarkan dirinya secara paksa dari perut ibunya? Sipleg menggigil. Setiap perempuan itu datang Sipleg ingin membakarnya hidup-hidup. Perempuan itu selalu menyuruhnya menunggui ibunya yang menjerit-jerit kesakitan. Bahkan Sipleg pernah melihat sepasang bambu dijepitkan di kepala adiknya yang baru lahir. Suatu kali, batang bambu itu menggores kepala adiknya yang tipis. Darah muncrat, matilah adiknya.
Bagaimana perempuan tanpa perasaan seperti itu menolong sepotong kehidupan? Bapak tak pernah menunggui ibu. Kadang dia mabuk dan memaki-maki. Marah dengan teriakan ibu yang melolong keras. Banyak daging yang tumbuh dalam perut ibu mati. Perempuan itu memang tak punya jiwa. Dia masih terus membiarkan tubuhnya ditumbuhi daging. Tak pernah peduli pada anak-anaknya yang lain. Usia adik-adik Sipleg tidak sampai lima tahun, mereka mati satu demi satu. Ibu tetap tidak peduli. Perempuan apa yang telah melahirkan aku? Satu-satunya manusia yang bisa bertahan hidup adalah dirinya. Seorang perempuan! Hanya lelaki yang bisa melanjutkan keturunan. Memuja leluhur. Meneruskan garis keluarga. Makanya, perempuan kumuh dan kurus itu tega menjual Sipleg ke Payuk. Tanpa hati, karena perempuan dekil itu memang tidak punya hati. Tidak punya rasa. Membiarkan adik-adiknya kelaparan, makanya banyak adik Sipleg yang mati. Perempuan itu juga tidak punya air mata. Dia terus mengandung, tanpa pernah merasakan apa-apa. ***
Denpasar-Bali
*) Nukilan dari novel Tempurung (Garsindo Jakarta, 2010)
—
**) Penyair dan novelis yang tinggal di Denpasar
Langit Ketiga Puluh Tiga
Sunlie Thomas Alexander
suaramerdeka.com
Ketika bunga padma mekar, itulah saat baginya untuk pergi mencari jalan menuju langit ketiga puluh tiga, sam sip sam thian 1). Hanya di kala bunga padma mekarlah, ia dapat menemukan jalan itu. Sebagaimana yang selalu dikatakan pamannya yang tua. Mengapa, pamannya juga tidak mengerti. Karena memang begitulah petunjuk yang terdapat dalam Kitab Thung Su 2) yang tak dapat ditawar-tawar, tukas pamannya.
suaramerdeka.com
Ketika bunga padma mekar, itulah saat baginya untuk pergi mencari jalan menuju langit ketiga puluh tiga, sam sip sam thian 1). Hanya di kala bunga padma mekarlah, ia dapat menemukan jalan itu. Sebagaimana yang selalu dikatakan pamannya yang tua. Mengapa, pamannya juga tidak mengerti. Karena memang begitulah petunjuk yang terdapat dalam Kitab Thung Su 2) yang tak dapat ditawar-tawar, tukas pamannya.
Pengakuan
Wendoko
http://suaramerdeka.com/
1. Pengakuan Kayafas
Aku, Kayafas –Imam Agung Yahudi-yang mengatur agar Kristus dihukum mati. Aku tekankan sekali lagi, aku yang telah mengatur agar Kristus dihukum mati!
Selama ini, orang selalu menganggap remeh kekuasaan Imam Agung. Kalian tentu tahu, dalam hierarki kekuasaan akulah pemimpin tertinggi bangsa Yahudi. Tetapi faktanya, justru orang-orang Roma dan Herodes yang memainkan peranan. Mereka yang mengangkat, menempatkan, atau memindahkan Imam-imam Agung. Mereka yang mengatur pemerintahan, sedangkan aku –maksudku aku dan Mahkamah Agama-hanya mengurus soal keagamaan dan tak lebih dari pemerintahan boneka saja. Aku bahkan tak punya kuasa mengatur pakaianpakaian liturgi yang saat ini tersimpan di sebuah bilik di Puri Antonia. Tetapi kalian akan lihat, aku –si “penguasa boneka“-yang akhirnya mengatur agar Kristus dihukum mati!
Pada mulanya aku tak begitu memedulikan orang yang dipanggil Kristus itu. Di daerah ini banyak berkeliaran orang-orang “saleh“, karena itu kehadiran Kristus mulanya tidak mencolok. Lalu laporan tentang orang ini sampai padaku, dan aku sadar orang ini telah mengerjakan hal-hal yang luar biasa: ia menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati –terakhir ia membangkitkan Lazarus dari liang kuburnya di Bethania-dan memberi makan ribuan orang di tengah-tengah khotbahnya.
Aku lalu memerintahkan agar orang ini diawasi, dan secara khusus meminta orang-orang Farisi mengamati gerakgeriknya.
Sebetulnya aku tak begitu peduli, apakah Kristus menyembuhkan orang sakit atau mengizinkan para pengikutnya memetik gandum pada hari Sabbath –seperti yang banyak dilaporkan. Aku juga tak peduli, apakah ia mencuci atau tidak mencuci tangannya sebelum makan. Dalam banyak hal aku memang tak sependapat dengan orangorang Farisi. Tetapi kalau ia lalu mencampuri urusan undang-undang -seperti yang juga dilaporkan-dan tidak hanya bicara soal surga dan neraka dalam khotbah-khotbahnya, dan menyumpahi kami sebagai orang-orang munafik atau apa pun istilahnya, aku kira aku tak bisa lagi bersikap masa bodoh.
Pernah terjadi –begitu dilaporkan-rakyat ingin mengangkatnya sebagai Raja. Dalam lingkungan para pengikutnya, ia menyebut dirinya Anak Allah, atau Mesias seperti yang dinubuatkan dalam Kitab Taurat. Ia bahkan berkata, bahwa Kerajaan Surga sudah dekat, dan lewat dirinya rakyat akan memperoleh kehidupan kekal. Aku kira ini sudah kelewatan! Bagaimana mungkin anak seorang tukang kayu bicara seperti itu? Ini jelas-jelas menghujat Allah –dalam hal ini aku sependapat dengan orang-orang Farisi.
Waktu itu rakyat mulai meninggalkan kami. Upacara-upacara yang kami adakan juga sepi pengunjung.
Kondisi ini sedikit-banyak berimbas pada kewibawaan Imam Agung dan Mahkamah Agama sebagai konstitusi.
Perkara tentara-tentara Roma akan melakukan penumpasan –seperti yang dikhawatirkan banyak pihak-karena Kristus menyebut dirinya Raja, itu bukan urusanku. Aku lebih mengkhawatirkan keutuhan Mahkamah Agama, yang sejak dulu dirundung berbagai persoalan; antara aku, Ahli-ahli Kitab, kaum Farisi dan Saduki. Jadi Kristus harus dibungkam, kalau tidak disingkirkan.
Keberuntungan datang ketika salah satu pengikut Kristus menawarkan bantuannya.
Rasanya seperti mendapat manna dari langit! Ia bersedia menunjuk di mana Kristus dapat ditangkap tanpa banyak keributan. Proses pun lalu berjalan dengan cepat. Paskah sudah di ambang pintu, sementara Kristus membiarkan dirinya dielukan sebagai Raja Daud saat memasuki Yerusalem. Menurut pengalaman, pada hari-hari seperti itu rakyat mudah dipengaruhi. Jadi kesempatan harus diambil.
Penangkapan Kristus berjalan tanpa cacat. Malam itu pengikut-pengikutnya lari terbirit-birit –menghilang dalam kegelapan.
Kristus lalu dibawa ke Mahkamah Agama.
Tetapi aturan pengadilan menuntut, sekurang-kurangnya harus ada dua saksi yang sama pernyataannya. Lantaran tanya-jawab berlangsung berlarut-larut, dan selalu terdengar teriakan “Tidak sesuai!“, maka jumlah saksi terus menyusut. Aku mulai khawatir, kalau-kalau seluruh proses itu akan gagal.
Jadi aku lalu mengingatkan kedua saksi akan kata-kata Kristus sendiri, bahwa ia mampu meruntuhkan Bait Allah dan membangunnya kembali dalam tiga hari. Tetapi kedua saksi itu pun tidak sepakat. Akhirnya tinggal satu cara: aku harus memperdaya Kristus untuk melawan dirinya sendiri. Aku berdiri di tengah sidang, dan dengan lantang bertanya: apakah dia Raja, Anak Allah, atau Messias –dan Kristus serta-merta mengiyakan katakataku. Mahkamah Agama lalu menjatuhkan hukuman mati, sebagaimana tertera dalam undang-undang bagi setiap penghujat Allah.
Tetapi tiap hukuman mati harus diteguhkan oleh Walinegeri Roma –dalam hal ini Pontius Pilatus. Tentu tak masuk akal kalau kami mengajukan dakwaan “karena Kristus terbukti menghujat Allah“. Karena itu aku memberikan tekanan pada ancaman politik yang mungkin timbul, dan tindakan subversif karena Kristus mengganggu ketertiban dan mengangkat dirinya sebagai Raja.
Kristus lalu disalibkan menurut undangundang yang berlaku. Kalian lihat, aku yang telah mengatur agar Kristus dihukum mati. Bukan orang-orang Yahudi, atau Pontius Pilatus.
2. Pengakuan Pontius Pilatus
Claudia, surat ini kutulis setelah kau berangkat ke Roma tadi pagi; setelah pertengkaran kita dan kau pergi dengan wajah bersungut-sungut.
Aku tahu, kau belum bisa menerima alasan kenapa aku menghukum mati “Raja orang Yahudi“ itu. Kau bertanya: bukankah kesalahan orang itu belum terbukti, dan lebih dari itu kau sudah memintaku untuk tidak ikut campur. Tetapi istriku, apa artinya tidak ikut campur? Sebagai Walinegeri Roma, aku tentu tak bisa bersikap masa bodoh begitu saja terhadap setiap perkara yang dibawa ke hadapanku. Karena itulah aku ditempatkan di Yudea ini, untuk menjaga kepentingan Roma.
Aku tahu “Raja orang Yahudi“ itu tidak bersalah, atau setidaknya belum bisa dibuktikan kesalahannya. Dalam hal ini aku sependapat denganmu. Bagiku, orang itu tak lebih dari pengelana saleh, yang ajaran-ajarannya tidak menentang Roma. Karena itu aku benci orang-orang Yahudi, tepatnya Mahkamah Agama mereka, yang mendakwa orang itu sebagai pemberontak. Dan tidakkah kaulihat, aku sudah berusaha membebaskan atau setidaknya tidak ikut campur? Aku sudah mengadili, membela, dan melimpahkannya pada Herodes. Aku sudah mencambuk, dan dengan tetesan darah di sekujur tubuhnya, aku mencoba memuaskan nafsu para penentangnya. Bahkan aku juga mengupayakan pembebasannya untuk perayaan Paskah tahun ini. Tetapi mereka terus mendesak, karena orang itu dianggap menghasut rakyat untuk melawan Kaisar.
Claudia, kau berkata “Raja orang Yahudi“ itu benar. Tetapi apa artinya benar atau salah? Apa itu kebenaran dan keadilan?
Yang kutahu: keadilan berfungsi menjaga undang-undang, ketenangan, dan kedamaian.
Itulah yang harus kupatuhi. Memang, selama proses pengadilan itu muncul soal-soal yang berkaitan dengan Roma; dan biasanya suatu perkara yang sedang dalam proses, pada akhirnya akan lari dari dakwaan awal. Kalau akhirnya aku mencuci tangan dan berkata, “Itu kehendakmu. Darah orang ini bukan urusanku!“, itu karena aku tak setuju dengan tuntutan mereka. Orang-orang ini, maksudku Mahkamah Agama dan komplotannya, bisa saja menciptakan chaos. Mereka bahkan sudah mengancam akan melapor ke Kaisar, jika orang itu tetap dibebaskan. Bukannya aku takut, tetapi kalau itu terjadi, entah apa yang tengah kuperjuangkan, Roma tetap tidak akan merasa nyaman.
Akhirnya bukan lagi hidup-matinya seorang pengelana Yahudi yang harus kubela, tapi kedamaian dan ketenangan di seluruh Yudea. Karena pada dasarnya Mahkamah Agama mereka yang menjatuhkan hukuman mati, bukan aku!
Tertanda, Pontius Pilatus
3. Pengakuan…(Anonim)
Anakku, ketika kau membaca catatan ini, barangkali aku, ayahmu ini, sudah ditimbun di liang lahat. Cukup lama aku menimbangnimbang, apakah catatan ini memang perlu ditulis. Kalau pada akhirnya catatan ini tetap ditulis, itu dengan harapan suatu hari kau akan membacanya, karena cepat atau lambat kau pasti kembali, setidak-tidaknya untuk mewarisi rumah dan ternak kita yang tidak seberapa.
Sejak kepergianmu bertahun-tahun lalu, aku betul-betul terpukul. Malam itu kita bertengkar. Kau menyudutkan ayahmu ini dengan kata “munafik“, karena aku yang memanggilmu, lalu ikut bersorak saat Kristus memasuki Yerusalem. Tetapi aku pula yang lalu berteriak agar ia disalibkan beberapa hari kemudian. Apakah itu yang disebut “munafik“, anakku. Ah, kau masih sangat muda. Banyak hal yang ketika itu belum kaupahami. Tetapi setelah membaca catatan ini, kuharap kau mengerti, dan tak lagi menyebut ayahmu ini “munafik“.
Anakku, kudengar kau menjelajah dari bukit ke bukit, dari kota ke kota, bersama pengikut-pengikut Kristus. Itu baik untukmu, karena sejak awal aku tahu mereka, maksudku Kristus dan pengikut-pengikutnya, adalah orang-orang yang benar. Setidaknya kau bisa bicara atau berseru, dan kata-katamu didengar orang banyak. Kita hanya rakyat, anakku. Dan sebagai rakyat, dengan kemampuan otak kita yang terbatas, kadang kita hanya bisa menebak atau mencoba mengerti mengapa ini atau itu terjadi, atau dibiarkan terjadi.
Ketika Kristus memasuki Yerusalem dalam pawai besar, sebetulnya banyak yang sudah kudengar tentang orang ini. Kabarnya, ia menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, dan melontarkan kecamankecaman menentang kaum Farisi.
Mungkinkah ia Messias, karena semua yang kudengar begitu menarik dan mengesankan?
Tentang Messias yang diajarkan oleh Imam-imam Agama, hanya sedikit yang bisa kuandalkan. Mereka menginginkan panglima untuk perjuangan kemerdekaan. Ah… untuk apa semua itu bagi orang seperti ayahmu ini? Kita hanya rakyat, dan rakyat hanya menginginkan hidup yang lebih baik.
Karena itu, pada hari itu, aku memanggilmu dan berlari ke kota, ikut bergabung dalam pawai ketika Kristus memasuki Yerusalem. Aku merenggut daun palem, lalu turut berbaris seraya bersorak gembira. Teriakan itu adalah pernyataan ikhlas, sorakan mohon pertolongan, dan ungkapan kerendahan hati.
Aku berteriak, bahwa aku mendambakan Raja yang menjamin nasib rakyat, yang sakit dan melarat. Dan seperti orang-orang lain, aku menggantungkan semua itu pada Kristus.
Lalu, apa yang terjadi setelah itu berlangsung dengan cepat. Beberapa hari kemudian kudengar Kristus ditangkap, dijatuhi hukuman mati, dan akan diserahkan pada Walinegeri. Pagi itu arak-arakan akan melewati tengah kota. Meski berita ini sulit dipercaya, aku tetap menyelinap di antara orang banyak, dan menunggu. Dari jauh kulihat Kristus diapit sepasukan tentara.
Saat itulah aku berharap, Kristus akan membuktikan dirinya sebagai Raja. Atau barangkali aku akan menjadi saksi: aku akan melihat mukjizat yang telah banyak dilakukannya. Karena lagi-lagi beredar kabar, pada malam penangkapannya ia mengempaskan seluruh pasukan hanya dengan pandangan matanya saja.
Tetapi tidak ada yang terjadi!
Mereka terus menyeretnya pergi, lalu mengolok-olok dan meludahi mukanya.
Tidak ada mukjizat, dan ia membiarkan saja semua itu. Saat itu hilanglah seluruh harapan yang mula-mula kugantungkan pada orang ini. Mengapa ia yang menggemparkan rakyat dengan katakata dan perbuatannya ternyata tidak berdaya? Mengapa ia bahkan tak mampu menyelamatkan diri sendiri? Kalau begitu, apa bedanya Kristus dengan rakyat seperti ayahmu ini? Apakah ia hanya bisa bicara, dan semua yang kudengar hanya isapan jempol belaka?
Anakku, ketika itu suasana sangat kacau.
Penangkapan Kristus menimbulkan kepanikan di antara rakyat, dan aku tahu, saat itu di tengah kerumunan orang juga berkumpul kaki-tangan kaum Farisi yang terus menghasut. Tetapi kalau akhirnya aku ikut berteriak, ìSalibkan dia!ì, itu bukan karena hasutan, tetapi ungkapan kekecewaan sekaligus amarah karena hilangnya harapan itu. Kristus mau menderita, dihujani tinju, cambuk, dan ditempeleng. Dan kalau akhirnya aku juga berteriak,“Bebaskan Barabas untuk kami!“, itu karena aku merasa ditinggalkan, dan entah kenapa tiba-tiba merasa sudah diperdaya.
Begitulah, anakku. Begitulah yang terjadi. Aku menulis semua ini sekadar agar kau tahu apa yang terjadi waktu itu. Semua ini, bagiku, tak lebih dari belitan kusut suatu persoalan, yang tidak terletak pada kata-kata yang kuucapkan waktu itu. Sekarang, kuharap kau mengerti. Juga kenyataan ini: ketika itu semua orang berteriak. Semua orang menuntut Kristus dihukum mati…
http://suaramerdeka.com/
1. Pengakuan Kayafas
Aku, Kayafas –Imam Agung Yahudi-yang mengatur agar Kristus dihukum mati. Aku tekankan sekali lagi, aku yang telah mengatur agar Kristus dihukum mati!
Selama ini, orang selalu menganggap remeh kekuasaan Imam Agung. Kalian tentu tahu, dalam hierarki kekuasaan akulah pemimpin tertinggi bangsa Yahudi. Tetapi faktanya, justru orang-orang Roma dan Herodes yang memainkan peranan. Mereka yang mengangkat, menempatkan, atau memindahkan Imam-imam Agung. Mereka yang mengatur pemerintahan, sedangkan aku –maksudku aku dan Mahkamah Agama-hanya mengurus soal keagamaan dan tak lebih dari pemerintahan boneka saja. Aku bahkan tak punya kuasa mengatur pakaianpakaian liturgi yang saat ini tersimpan di sebuah bilik di Puri Antonia. Tetapi kalian akan lihat, aku –si “penguasa boneka“-yang akhirnya mengatur agar Kristus dihukum mati!
Pada mulanya aku tak begitu memedulikan orang yang dipanggil Kristus itu. Di daerah ini banyak berkeliaran orang-orang “saleh“, karena itu kehadiran Kristus mulanya tidak mencolok. Lalu laporan tentang orang ini sampai padaku, dan aku sadar orang ini telah mengerjakan hal-hal yang luar biasa: ia menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati –terakhir ia membangkitkan Lazarus dari liang kuburnya di Bethania-dan memberi makan ribuan orang di tengah-tengah khotbahnya.
Aku lalu memerintahkan agar orang ini diawasi, dan secara khusus meminta orang-orang Farisi mengamati gerakgeriknya.
Sebetulnya aku tak begitu peduli, apakah Kristus menyembuhkan orang sakit atau mengizinkan para pengikutnya memetik gandum pada hari Sabbath –seperti yang banyak dilaporkan. Aku juga tak peduli, apakah ia mencuci atau tidak mencuci tangannya sebelum makan. Dalam banyak hal aku memang tak sependapat dengan orangorang Farisi. Tetapi kalau ia lalu mencampuri urusan undang-undang -seperti yang juga dilaporkan-dan tidak hanya bicara soal surga dan neraka dalam khotbah-khotbahnya, dan menyumpahi kami sebagai orang-orang munafik atau apa pun istilahnya, aku kira aku tak bisa lagi bersikap masa bodoh.
Pernah terjadi –begitu dilaporkan-rakyat ingin mengangkatnya sebagai Raja. Dalam lingkungan para pengikutnya, ia menyebut dirinya Anak Allah, atau Mesias seperti yang dinubuatkan dalam Kitab Taurat. Ia bahkan berkata, bahwa Kerajaan Surga sudah dekat, dan lewat dirinya rakyat akan memperoleh kehidupan kekal. Aku kira ini sudah kelewatan! Bagaimana mungkin anak seorang tukang kayu bicara seperti itu? Ini jelas-jelas menghujat Allah –dalam hal ini aku sependapat dengan orang-orang Farisi.
Waktu itu rakyat mulai meninggalkan kami. Upacara-upacara yang kami adakan juga sepi pengunjung.
Kondisi ini sedikit-banyak berimbas pada kewibawaan Imam Agung dan Mahkamah Agama sebagai konstitusi.
Perkara tentara-tentara Roma akan melakukan penumpasan –seperti yang dikhawatirkan banyak pihak-karena Kristus menyebut dirinya Raja, itu bukan urusanku. Aku lebih mengkhawatirkan keutuhan Mahkamah Agama, yang sejak dulu dirundung berbagai persoalan; antara aku, Ahli-ahli Kitab, kaum Farisi dan Saduki. Jadi Kristus harus dibungkam, kalau tidak disingkirkan.
Keberuntungan datang ketika salah satu pengikut Kristus menawarkan bantuannya.
Rasanya seperti mendapat manna dari langit! Ia bersedia menunjuk di mana Kristus dapat ditangkap tanpa banyak keributan. Proses pun lalu berjalan dengan cepat. Paskah sudah di ambang pintu, sementara Kristus membiarkan dirinya dielukan sebagai Raja Daud saat memasuki Yerusalem. Menurut pengalaman, pada hari-hari seperti itu rakyat mudah dipengaruhi. Jadi kesempatan harus diambil.
Penangkapan Kristus berjalan tanpa cacat. Malam itu pengikut-pengikutnya lari terbirit-birit –menghilang dalam kegelapan.
Kristus lalu dibawa ke Mahkamah Agama.
Tetapi aturan pengadilan menuntut, sekurang-kurangnya harus ada dua saksi yang sama pernyataannya. Lantaran tanya-jawab berlangsung berlarut-larut, dan selalu terdengar teriakan “Tidak sesuai!“, maka jumlah saksi terus menyusut. Aku mulai khawatir, kalau-kalau seluruh proses itu akan gagal.
Jadi aku lalu mengingatkan kedua saksi akan kata-kata Kristus sendiri, bahwa ia mampu meruntuhkan Bait Allah dan membangunnya kembali dalam tiga hari. Tetapi kedua saksi itu pun tidak sepakat. Akhirnya tinggal satu cara: aku harus memperdaya Kristus untuk melawan dirinya sendiri. Aku berdiri di tengah sidang, dan dengan lantang bertanya: apakah dia Raja, Anak Allah, atau Messias –dan Kristus serta-merta mengiyakan katakataku. Mahkamah Agama lalu menjatuhkan hukuman mati, sebagaimana tertera dalam undang-undang bagi setiap penghujat Allah.
Tetapi tiap hukuman mati harus diteguhkan oleh Walinegeri Roma –dalam hal ini Pontius Pilatus. Tentu tak masuk akal kalau kami mengajukan dakwaan “karena Kristus terbukti menghujat Allah“. Karena itu aku memberikan tekanan pada ancaman politik yang mungkin timbul, dan tindakan subversif karena Kristus mengganggu ketertiban dan mengangkat dirinya sebagai Raja.
Kristus lalu disalibkan menurut undangundang yang berlaku. Kalian lihat, aku yang telah mengatur agar Kristus dihukum mati. Bukan orang-orang Yahudi, atau Pontius Pilatus.
2. Pengakuan Pontius Pilatus
Claudia, surat ini kutulis setelah kau berangkat ke Roma tadi pagi; setelah pertengkaran kita dan kau pergi dengan wajah bersungut-sungut.
Aku tahu, kau belum bisa menerima alasan kenapa aku menghukum mati “Raja orang Yahudi“ itu. Kau bertanya: bukankah kesalahan orang itu belum terbukti, dan lebih dari itu kau sudah memintaku untuk tidak ikut campur. Tetapi istriku, apa artinya tidak ikut campur? Sebagai Walinegeri Roma, aku tentu tak bisa bersikap masa bodoh begitu saja terhadap setiap perkara yang dibawa ke hadapanku. Karena itulah aku ditempatkan di Yudea ini, untuk menjaga kepentingan Roma.
Aku tahu “Raja orang Yahudi“ itu tidak bersalah, atau setidaknya belum bisa dibuktikan kesalahannya. Dalam hal ini aku sependapat denganmu. Bagiku, orang itu tak lebih dari pengelana saleh, yang ajaran-ajarannya tidak menentang Roma. Karena itu aku benci orang-orang Yahudi, tepatnya Mahkamah Agama mereka, yang mendakwa orang itu sebagai pemberontak. Dan tidakkah kaulihat, aku sudah berusaha membebaskan atau setidaknya tidak ikut campur? Aku sudah mengadili, membela, dan melimpahkannya pada Herodes. Aku sudah mencambuk, dan dengan tetesan darah di sekujur tubuhnya, aku mencoba memuaskan nafsu para penentangnya. Bahkan aku juga mengupayakan pembebasannya untuk perayaan Paskah tahun ini. Tetapi mereka terus mendesak, karena orang itu dianggap menghasut rakyat untuk melawan Kaisar.
Claudia, kau berkata “Raja orang Yahudi“ itu benar. Tetapi apa artinya benar atau salah? Apa itu kebenaran dan keadilan?
Yang kutahu: keadilan berfungsi menjaga undang-undang, ketenangan, dan kedamaian.
Itulah yang harus kupatuhi. Memang, selama proses pengadilan itu muncul soal-soal yang berkaitan dengan Roma; dan biasanya suatu perkara yang sedang dalam proses, pada akhirnya akan lari dari dakwaan awal. Kalau akhirnya aku mencuci tangan dan berkata, “Itu kehendakmu. Darah orang ini bukan urusanku!“, itu karena aku tak setuju dengan tuntutan mereka. Orang-orang ini, maksudku Mahkamah Agama dan komplotannya, bisa saja menciptakan chaos. Mereka bahkan sudah mengancam akan melapor ke Kaisar, jika orang itu tetap dibebaskan. Bukannya aku takut, tetapi kalau itu terjadi, entah apa yang tengah kuperjuangkan, Roma tetap tidak akan merasa nyaman.
Akhirnya bukan lagi hidup-matinya seorang pengelana Yahudi yang harus kubela, tapi kedamaian dan ketenangan di seluruh Yudea. Karena pada dasarnya Mahkamah Agama mereka yang menjatuhkan hukuman mati, bukan aku!
Tertanda, Pontius Pilatus
3. Pengakuan…(Anonim)
Anakku, ketika kau membaca catatan ini, barangkali aku, ayahmu ini, sudah ditimbun di liang lahat. Cukup lama aku menimbangnimbang, apakah catatan ini memang perlu ditulis. Kalau pada akhirnya catatan ini tetap ditulis, itu dengan harapan suatu hari kau akan membacanya, karena cepat atau lambat kau pasti kembali, setidak-tidaknya untuk mewarisi rumah dan ternak kita yang tidak seberapa.
Sejak kepergianmu bertahun-tahun lalu, aku betul-betul terpukul. Malam itu kita bertengkar. Kau menyudutkan ayahmu ini dengan kata “munafik“, karena aku yang memanggilmu, lalu ikut bersorak saat Kristus memasuki Yerusalem. Tetapi aku pula yang lalu berteriak agar ia disalibkan beberapa hari kemudian. Apakah itu yang disebut “munafik“, anakku. Ah, kau masih sangat muda. Banyak hal yang ketika itu belum kaupahami. Tetapi setelah membaca catatan ini, kuharap kau mengerti, dan tak lagi menyebut ayahmu ini “munafik“.
Anakku, kudengar kau menjelajah dari bukit ke bukit, dari kota ke kota, bersama pengikut-pengikut Kristus. Itu baik untukmu, karena sejak awal aku tahu mereka, maksudku Kristus dan pengikut-pengikutnya, adalah orang-orang yang benar. Setidaknya kau bisa bicara atau berseru, dan kata-katamu didengar orang banyak. Kita hanya rakyat, anakku. Dan sebagai rakyat, dengan kemampuan otak kita yang terbatas, kadang kita hanya bisa menebak atau mencoba mengerti mengapa ini atau itu terjadi, atau dibiarkan terjadi.
Ketika Kristus memasuki Yerusalem dalam pawai besar, sebetulnya banyak yang sudah kudengar tentang orang ini. Kabarnya, ia menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, dan melontarkan kecamankecaman menentang kaum Farisi.
Mungkinkah ia Messias, karena semua yang kudengar begitu menarik dan mengesankan?
Tentang Messias yang diajarkan oleh Imam-imam Agama, hanya sedikit yang bisa kuandalkan. Mereka menginginkan panglima untuk perjuangan kemerdekaan. Ah… untuk apa semua itu bagi orang seperti ayahmu ini? Kita hanya rakyat, dan rakyat hanya menginginkan hidup yang lebih baik.
Karena itu, pada hari itu, aku memanggilmu dan berlari ke kota, ikut bergabung dalam pawai ketika Kristus memasuki Yerusalem. Aku merenggut daun palem, lalu turut berbaris seraya bersorak gembira. Teriakan itu adalah pernyataan ikhlas, sorakan mohon pertolongan, dan ungkapan kerendahan hati.
Aku berteriak, bahwa aku mendambakan Raja yang menjamin nasib rakyat, yang sakit dan melarat. Dan seperti orang-orang lain, aku menggantungkan semua itu pada Kristus.
Lalu, apa yang terjadi setelah itu berlangsung dengan cepat. Beberapa hari kemudian kudengar Kristus ditangkap, dijatuhi hukuman mati, dan akan diserahkan pada Walinegeri. Pagi itu arak-arakan akan melewati tengah kota. Meski berita ini sulit dipercaya, aku tetap menyelinap di antara orang banyak, dan menunggu. Dari jauh kulihat Kristus diapit sepasukan tentara.
Saat itulah aku berharap, Kristus akan membuktikan dirinya sebagai Raja. Atau barangkali aku akan menjadi saksi: aku akan melihat mukjizat yang telah banyak dilakukannya. Karena lagi-lagi beredar kabar, pada malam penangkapannya ia mengempaskan seluruh pasukan hanya dengan pandangan matanya saja.
Tetapi tidak ada yang terjadi!
Mereka terus menyeretnya pergi, lalu mengolok-olok dan meludahi mukanya.
Tidak ada mukjizat, dan ia membiarkan saja semua itu. Saat itu hilanglah seluruh harapan yang mula-mula kugantungkan pada orang ini. Mengapa ia yang menggemparkan rakyat dengan katakata dan perbuatannya ternyata tidak berdaya? Mengapa ia bahkan tak mampu menyelamatkan diri sendiri? Kalau begitu, apa bedanya Kristus dengan rakyat seperti ayahmu ini? Apakah ia hanya bisa bicara, dan semua yang kudengar hanya isapan jempol belaka?
Anakku, ketika itu suasana sangat kacau.
Penangkapan Kristus menimbulkan kepanikan di antara rakyat, dan aku tahu, saat itu di tengah kerumunan orang juga berkumpul kaki-tangan kaum Farisi yang terus menghasut. Tetapi kalau akhirnya aku ikut berteriak, ìSalibkan dia!ì, itu bukan karena hasutan, tetapi ungkapan kekecewaan sekaligus amarah karena hilangnya harapan itu. Kristus mau menderita, dihujani tinju, cambuk, dan ditempeleng. Dan kalau akhirnya aku juga berteriak,“Bebaskan Barabas untuk kami!“, itu karena aku merasa ditinggalkan, dan entah kenapa tiba-tiba merasa sudah diperdaya.
Begitulah, anakku. Begitulah yang terjadi. Aku menulis semua ini sekadar agar kau tahu apa yang terjadi waktu itu. Semua ini, bagiku, tak lebih dari belitan kusut suatu persoalan, yang tidak terletak pada kata-kata yang kuucapkan waktu itu. Sekarang, kuharap kau mengerti. Juga kenyataan ini: ketika itu semua orang berteriak. Semua orang menuntut Kristus dihukum mati…
Sastra dan Konfrontasi
Bandung Mawardi*
http://www.surabayapost.co.id/
Gambaran seni dan peradaban di Barat memang pelik dan ikut menentukan kondisi kesusastraan dan peradaban di negeri ini. Babak menentukan terjadi pada tahun 1950-an dengan pemunculan risalah kritis dari Soedjatmoko dalam pengantar untuk majalah Konfrontasi (No. 1 Tahun I, Juli-Agustus 1954). Soedjatmoko menulis risalah “Mengapa Konfrontasi” untuk mewartakan tentang krisis dalam kesusastraan Indonesia modern. Krisis kesusastraan adalah tanda eksplisit atas krisis kebudayaan, krisis politik, dan krisis kepemimpinan pada tahun 1950-an. Soedjatmoko kentara memahami sastra sebagai fondasi signifikan dalam mengonstruksi Indonesia. Sastra pada masa itu adalah identitas dan motor untuk mengatakan Indonesia dalam pertaruhan intelektual, politik, dan kebudayaan.
Soedjatmoko dengan lugas mengungkapkan bahwa krisis politik di Indonesia (1950-an) merupakan gambaran dari realitas kebudayaan dan kesusastraan. Relasi antara sastra, politik, dan kebudayaan pada masa itu tidak sekadar pada ranah wacana tapi pada pergulatan fakta dan makna. Situasi itu mengalami reduksi pada kisah politik hari ini. Sastra terpencil dan terabaikan dalam pergulatan politik. Situasi ini menjadi keganjilan dalam proses transformasi kebudayaan dan politik di Indonesia. Politik menjelma lokomotif besar dan beringas. Konfrontasi adalah istilah dan tindakan untuk penyadaran dan perubahan.
Risalah Soedjatmoko memang fenomenal dan terbuktikan dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern. Sastra harus mempertanyakan diri dan meletakkan diri dalam posisi apa dalam proyek menjadi Indonesia. Sastra mungkin hanya memiliki peran kecil tapi tetap menentukan. Pertanyaan dan gugatan terus diarahkan pada sastra kendati kurang memiliki jalur strategis pada mekanisme pengambilan kebijakan oleh negara dan pemunculan sebagai opini publik. Sastra ikut menyelesaikan krisis atau suntuk dengan krisis sendiri dan mengimbuhi krisis di luar ranah kesusastraan?
Pertanyaan itu mungkin klise ketika merunut jejak-jejak sastra Indonesia modern sejak masa Balai Pustaka sampai hari ini. Publik mungkin masih percaya bahwa sastra memberi kesadaran untuk memberi tanggapan dari krisis nasionalisme sampai krisis identitas kultural. Orang-orang bakal fasih menyebutkan puisi-puisi Muhamad Yamin, novel Sitti Nurbaya, novel-novel Sutan Takdir Alisjahbana, novel-novel Hamka, puisi-puisi Chairil Anwar, esai-esai Asrul Sani, drama-drama Usmar Ismail, puisi-puisi Rendra, novel Atheis, dan lain-lain. Daftar ini ikut menentukan wajah dan ruh Indonesia dalam periode tahun 20-an sampai 1950-an.
Kehadiran sastra dalam konstruksi Indonesia itu memeng memberi andil untuk ikut menyelesaikan krisis dalam batas-batas tertentu. Sastra membuat orang mafhum dengan kondisi diri mulai dari abstraksi sampai pilihan tindakan. Akumulasi dari pengaruh sastra untuk mengatasi krisis ditentukan oleh iklim politik dan kebudayaan sehingga terkesan sekadar sebagai instrumen penyadaran atau perubahan. Soedjatmoko mengingatkan bahwa krisis sastra pada tahun 1950-an justru membuktikan bahwa sastra memiliki peran penting dalam sebaran nasionalisme dan identitas kultural di Indonesia. Soedjatmoko pun mengeluarkan konklusi: “Masalah pokok untuk 10 tahun pertama bagi Indonesia adalah masalah kebudayaan.” Konklusi ini sudah terlupakan sebab sampai hari ini agenda kebudayaan tak pernah masuk dalam desain besar kekuasaan mulai dari rezim Orde Lama sampai rezim Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu.
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai.
http://www.surabayapost.co.id/
Gambaran seni dan peradaban di Barat memang pelik dan ikut menentukan kondisi kesusastraan dan peradaban di negeri ini. Babak menentukan terjadi pada tahun 1950-an dengan pemunculan risalah kritis dari Soedjatmoko dalam pengantar untuk majalah Konfrontasi (No. 1 Tahun I, Juli-Agustus 1954). Soedjatmoko menulis risalah “Mengapa Konfrontasi” untuk mewartakan tentang krisis dalam kesusastraan Indonesia modern. Krisis kesusastraan adalah tanda eksplisit atas krisis kebudayaan, krisis politik, dan krisis kepemimpinan pada tahun 1950-an. Soedjatmoko kentara memahami sastra sebagai fondasi signifikan dalam mengonstruksi Indonesia. Sastra pada masa itu adalah identitas dan motor untuk mengatakan Indonesia dalam pertaruhan intelektual, politik, dan kebudayaan.
Soedjatmoko dengan lugas mengungkapkan bahwa krisis politik di Indonesia (1950-an) merupakan gambaran dari realitas kebudayaan dan kesusastraan. Relasi antara sastra, politik, dan kebudayaan pada masa itu tidak sekadar pada ranah wacana tapi pada pergulatan fakta dan makna. Situasi itu mengalami reduksi pada kisah politik hari ini. Sastra terpencil dan terabaikan dalam pergulatan politik. Situasi ini menjadi keganjilan dalam proses transformasi kebudayaan dan politik di Indonesia. Politik menjelma lokomotif besar dan beringas. Konfrontasi adalah istilah dan tindakan untuk penyadaran dan perubahan.
Risalah Soedjatmoko memang fenomenal dan terbuktikan dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern. Sastra harus mempertanyakan diri dan meletakkan diri dalam posisi apa dalam proyek menjadi Indonesia. Sastra mungkin hanya memiliki peran kecil tapi tetap menentukan. Pertanyaan dan gugatan terus diarahkan pada sastra kendati kurang memiliki jalur strategis pada mekanisme pengambilan kebijakan oleh negara dan pemunculan sebagai opini publik. Sastra ikut menyelesaikan krisis atau suntuk dengan krisis sendiri dan mengimbuhi krisis di luar ranah kesusastraan?
Pertanyaan itu mungkin klise ketika merunut jejak-jejak sastra Indonesia modern sejak masa Balai Pustaka sampai hari ini. Publik mungkin masih percaya bahwa sastra memberi kesadaran untuk memberi tanggapan dari krisis nasionalisme sampai krisis identitas kultural. Orang-orang bakal fasih menyebutkan puisi-puisi Muhamad Yamin, novel Sitti Nurbaya, novel-novel Sutan Takdir Alisjahbana, novel-novel Hamka, puisi-puisi Chairil Anwar, esai-esai Asrul Sani, drama-drama Usmar Ismail, puisi-puisi Rendra, novel Atheis, dan lain-lain. Daftar ini ikut menentukan wajah dan ruh Indonesia dalam periode tahun 20-an sampai 1950-an.
Kehadiran sastra dalam konstruksi Indonesia itu memeng memberi andil untuk ikut menyelesaikan krisis dalam batas-batas tertentu. Sastra membuat orang mafhum dengan kondisi diri mulai dari abstraksi sampai pilihan tindakan. Akumulasi dari pengaruh sastra untuk mengatasi krisis ditentukan oleh iklim politik dan kebudayaan sehingga terkesan sekadar sebagai instrumen penyadaran atau perubahan. Soedjatmoko mengingatkan bahwa krisis sastra pada tahun 1950-an justru membuktikan bahwa sastra memiliki peran penting dalam sebaran nasionalisme dan identitas kultural di Indonesia. Soedjatmoko pun mengeluarkan konklusi: “Masalah pokok untuk 10 tahun pertama bagi Indonesia adalah masalah kebudayaan.” Konklusi ini sudah terlupakan sebab sampai hari ini agenda kebudayaan tak pernah masuk dalam desain besar kekuasaan mulai dari rezim Orde Lama sampai rezim Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu.
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai.
Perjalanan ke Jantung Jawa
Judul: Di Jawa, Petualangan Seorang Antropolog
Judul Asli: Doing Java An Anthropological Detective Story
Penulis: Niels Mulder
Penerjemah: Sofia Mansoor
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Peresensi: Aris Darmawan
http://suaramerdeka.com/
PERJALANAN itu telah dimulai sejak Januari 1969. Niels Mulder, padri Katolik berkewarganegaraan Belanda ini membulatkan tekad pergi ke Indonesia, tepatnya ke Yogyakarta. Kendati sejak 1957 Indonesia merupakan wilayah terlarang bagi bangsanya lantaran kebencian pada segala sesuatu yang serba Asing yang terjadi pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Soekarno, namun hal ini tak menyurutkan langkah Mulder. “Pokoknya, aku harus mengunjunginya,” katanya bersemangat (halaman 11). “Justru karena ketakterjangkauan ini semakin memperbesar daya tarik negeri tersebut.”
Mulder pun lalu mempersiapkan segala sesuatu. Termasuk mengikuti kuliah bahasa Melayu yang diberikan oleh Profesor CC Berg. Alih-alih mempelajari bahasa Melayu, mereka malah lebih banyak belajar tentang keajaiban dunia Timur, terutama Jawa. Bagaimana melalui Berg, mereka dikenalkan pada babad-babad Jawa kuno, pentingnya warisan budaya India bagi kebudayaan Jawa berikut perkembangan Islam selanjutnya, lalu soal kedudukan perusahaan Belanda-Hindia Timur (VOC), serta tentang rahasia simbolisme Jawa. Mulder terpikat dengan pengajaran yang diberikan Berg. Kepada Berg, ia bercerita soal keinginannya untuk ke Indonesia, namun Berg menyarankan Mulder untuk ke Bangkok terlebih dahulu, sebuah tempat yang sangat kuat dipengaruhi budaya India yang tidak banyak diketahui orang, sebelum ke Indonesia.
Mulder mengikuti saran Berg. Di kota ini, ia lalu menjalin kontak dengan
Program Asia Tenggara dari Northern Illinois University (NIU), dan malah direkrut sebagai “pakar Muang Thai”. “Meskipun aku dianggap pakar soal Muang Thai, namun tujuanku masih tetap Indonesia,” ujarnya.
Di kota ini pula, Mulder membeli sepeda motor merek Honda, yang nantinya ia gunakan untuk menempuh perjalanan darat menuju Yogyakarta.
Tiba di Jawa
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Profesor Koentjaraningrat yang ketika itu berkunjung ke NIU mengatakan, Indonesia sekarang telah terbuka lebar terhadap dunia luar. Bahkan Dekan Soegondo dari Yogyakarta (demikian Mulder menyebutnya, tanpa menjelaskan dari universitas mana sang dekan berasal) yang datang ke NIU pada kesempatan berbeda menganjurkan Mulder untuk berkunjung ke Yogyakarta dan melakukan penelitian di sana. Mulder tertarik, setidaknya ini tercermin dari keseriusannya untuk mengikuti kuliah bahasa Indonesia di NIU dan usahanya membaca bahan-bahan tentang Jawa dan berbagai partai dan aliran politik agama seperti diuraikan Clifford Geertz dalam bukunya, The Religion of Java.
Mulder lalu menabung, mengajukan permohonan cuti tanpa dibayar, dan menyusun proposal penelitian. Ia pun juga telah meminta LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk memberinya visa penelitian melalui Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Namun, KBRI malah memberinya visa turis dan surat pembebasan sepeda motor yang terdaftar di Muang Thai. Pada akhir Januari 1969, Mulder menuju Indonesia melalui Singapura. Karena kapal reguler milik PT PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia) telah berlayar meski ia telah dijanjikan keberangkatannya sesuai keterangan yang tertera pada tiket yang diperolehnya, Mulder lalu menumpang kapal milik perusahaan minyak Caltex yang berlayar menuju Dumai. Dari Dumai, dengan berkendara sepeda motor, Mulder menuju Pekanbaru lalu Bukit Tinggi, Padang, Jambi, Palembang dan menyeberang menuju Merak dengan menumpang kapal feri. Dan tiba di Jawa (Jakarta) pada April 1969. Di kota ini ia bertemu kolega-koleganya, beristirahat, dan mengurus segala keperluan administrasi penelitiannya sebelum kembali melanjutkan perjalanan melalui rute Bogor, Bandung, dan berakhir di Yogyakarta. Ia tiba di Kota Gudeg itu pada Mei 1969.
Selama tiga kali masa tinggalnya di Yogyakarta, dari 1969-1993, melalui serangkaian wawancara dan pengamatan lapangan, Mulder hendak melihat dari dekat tentang dunia kebatinan orang Jawa. Yogya dipilih Mulder karena pertimbangan istimewa: bagaimana daerah itu diperlakukan sebagai daerah istimewa dan juga karena penegasannya sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Dunia kebatinan, menurutnya, mengalihkan perhatiannya dari dunia, menemukan kepuasan dalam usaha merenungkan alasan mistis untuk menjelaskan bagaimanakah alam semesta berjalan sembari mengagung-agungkan keutamaan dan kebijaksanaan tentang sikap nrima (menerima) dunia sebagaimana adanya dengan tenang dan penuh syukur. Mulder melihat dunia kebatinan bersifat dinamis; ia senantiasa mengalami perubahan di setiap zamannya. Mulder menemukan hal itu dalam diri Mas Hartono, salah seorang respondennya. Pada 1969, saat kali pertama bertemu, Mas Hartono memutuskan untuk beristirahat dari keterlibatan aktif dari dunia dengan cara bersemadi dan bermati raga. Namun, ketika berjumpa lagi pada 1979, Mas Hartono yang dikenalnya “sudah berubah”. Kepada Mulder, dia bercerita jika sudah menikah lagi setelah istri sebelumnya meninggal, lalu bercerita pula soal Singapura dan Jakarta, tempat dia biasa berlibur seminggu sekali. Mulder melihat Mas Hartono yang sekarang adalah pribadi yang begitu leluasa mengejar kesenangan duniawi (halaman 261).
Tak Hitam-Putih
Atas fakta ini, Mulder pun tidak hendak menghakimi dan melakukan penilaian secara hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, tetapi ia mencoba merefleksikan bagaimana jarak pemisah antara dunia batin dan dunia sosial dewasa ini sudah sangat pendek. Orang mulai lebih terbuka pada bujuk-rayu kehidupan, tetapi sebenarnya mereka rapuh dan kurang mampu masuk kembali ke dalam dunia batinnya.
Apa yang telah dilakukan Mulder sejak 38 tahun yang lalu kini bisa kita simak dalam buku ini. Ia mengaku sungguh senang bisa menuliskan kisah-kisah petualangannya di sini. Tidak hanya secara khusus soal penelitiannya tetapi juga soal tutup tangki bensin motornya yang raib di depan Toko Buku Gunung Agung di Jalan Diponegoro, Yogyakarta. Atau cerita lain bagaimana sewaktu di Pekanbaru, dengan harapan bisa menemukan kamus Indonesia-Inggris, eh, satu-satunya buku yang ia jumpai di kota itu hanyalah komik, seperti Pembalasan Dendam Kesumat Tarzan dan Arwah Kuburan (halaman 16). Mulder boleh dibilang piawai dalam menggambarkan setiap peristiwa yang dijumpai dengan begitu detail, khas seorang antropolog. Namun demikian, ia tetap seorang manusia biasa. Ketika tiba di Jakarta, ia mulai bimbang dan bertanya dalam diri: mengapa kulakukan semua ini? Apakah yang menarik diriku ke sini atau yang membuatku meninggalkan tempat asalku? Apakah ini hanya perjalanan yang tak pernah berakhir yang mendorongku menuju ke horizon yang tidak pernah bisa dicapai?
“Aku pernah ke San Francisco, Honolulu, Tokyo, Manila serta sejumlah tempat lain, namun ke mana pun aku berjalan, aku hanya bertemu dengan diriku sendiri. Kota hanyalah menegaskan kesendirianku, kujalani perburuan sunyiku untuk meraih apakah yang sebenarnya?.”
Judul Asli: Doing Java An Anthropological Detective Story
Penulis: Niels Mulder
Penerjemah: Sofia Mansoor
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Peresensi: Aris Darmawan
http://suaramerdeka.com/
PERJALANAN itu telah dimulai sejak Januari 1969. Niels Mulder, padri Katolik berkewarganegaraan Belanda ini membulatkan tekad pergi ke Indonesia, tepatnya ke Yogyakarta. Kendati sejak 1957 Indonesia merupakan wilayah terlarang bagi bangsanya lantaran kebencian pada segala sesuatu yang serba Asing yang terjadi pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Soekarno, namun hal ini tak menyurutkan langkah Mulder. “Pokoknya, aku harus mengunjunginya,” katanya bersemangat (halaman 11). “Justru karena ketakterjangkauan ini semakin memperbesar daya tarik negeri tersebut.”
Mulder pun lalu mempersiapkan segala sesuatu. Termasuk mengikuti kuliah bahasa Melayu yang diberikan oleh Profesor CC Berg. Alih-alih mempelajari bahasa Melayu, mereka malah lebih banyak belajar tentang keajaiban dunia Timur, terutama Jawa. Bagaimana melalui Berg, mereka dikenalkan pada babad-babad Jawa kuno, pentingnya warisan budaya India bagi kebudayaan Jawa berikut perkembangan Islam selanjutnya, lalu soal kedudukan perusahaan Belanda-Hindia Timur (VOC), serta tentang rahasia simbolisme Jawa. Mulder terpikat dengan pengajaran yang diberikan Berg. Kepada Berg, ia bercerita soal keinginannya untuk ke Indonesia, namun Berg menyarankan Mulder untuk ke Bangkok terlebih dahulu, sebuah tempat yang sangat kuat dipengaruhi budaya India yang tidak banyak diketahui orang, sebelum ke Indonesia.
Mulder mengikuti saran Berg. Di kota ini, ia lalu menjalin kontak dengan
Program Asia Tenggara dari Northern Illinois University (NIU), dan malah direkrut sebagai “pakar Muang Thai”. “Meskipun aku dianggap pakar soal Muang Thai, namun tujuanku masih tetap Indonesia,” ujarnya.
Di kota ini pula, Mulder membeli sepeda motor merek Honda, yang nantinya ia gunakan untuk menempuh perjalanan darat menuju Yogyakarta.
Tiba di Jawa
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Profesor Koentjaraningrat yang ketika itu berkunjung ke NIU mengatakan, Indonesia sekarang telah terbuka lebar terhadap dunia luar. Bahkan Dekan Soegondo dari Yogyakarta (demikian Mulder menyebutnya, tanpa menjelaskan dari universitas mana sang dekan berasal) yang datang ke NIU pada kesempatan berbeda menganjurkan Mulder untuk berkunjung ke Yogyakarta dan melakukan penelitian di sana. Mulder tertarik, setidaknya ini tercermin dari keseriusannya untuk mengikuti kuliah bahasa Indonesia di NIU dan usahanya membaca bahan-bahan tentang Jawa dan berbagai partai dan aliran politik agama seperti diuraikan Clifford Geertz dalam bukunya, The Religion of Java.
Mulder lalu menabung, mengajukan permohonan cuti tanpa dibayar, dan menyusun proposal penelitian. Ia pun juga telah meminta LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk memberinya visa penelitian melalui Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Namun, KBRI malah memberinya visa turis dan surat pembebasan sepeda motor yang terdaftar di Muang Thai. Pada akhir Januari 1969, Mulder menuju Indonesia melalui Singapura. Karena kapal reguler milik PT PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia) telah berlayar meski ia telah dijanjikan keberangkatannya sesuai keterangan yang tertera pada tiket yang diperolehnya, Mulder lalu menumpang kapal milik perusahaan minyak Caltex yang berlayar menuju Dumai. Dari Dumai, dengan berkendara sepeda motor, Mulder menuju Pekanbaru lalu Bukit Tinggi, Padang, Jambi, Palembang dan menyeberang menuju Merak dengan menumpang kapal feri. Dan tiba di Jawa (Jakarta) pada April 1969. Di kota ini ia bertemu kolega-koleganya, beristirahat, dan mengurus segala keperluan administrasi penelitiannya sebelum kembali melanjutkan perjalanan melalui rute Bogor, Bandung, dan berakhir di Yogyakarta. Ia tiba di Kota Gudeg itu pada Mei 1969.
Selama tiga kali masa tinggalnya di Yogyakarta, dari 1969-1993, melalui serangkaian wawancara dan pengamatan lapangan, Mulder hendak melihat dari dekat tentang dunia kebatinan orang Jawa. Yogya dipilih Mulder karena pertimbangan istimewa: bagaimana daerah itu diperlakukan sebagai daerah istimewa dan juga karena penegasannya sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Dunia kebatinan, menurutnya, mengalihkan perhatiannya dari dunia, menemukan kepuasan dalam usaha merenungkan alasan mistis untuk menjelaskan bagaimanakah alam semesta berjalan sembari mengagung-agungkan keutamaan dan kebijaksanaan tentang sikap nrima (menerima) dunia sebagaimana adanya dengan tenang dan penuh syukur. Mulder melihat dunia kebatinan bersifat dinamis; ia senantiasa mengalami perubahan di setiap zamannya. Mulder menemukan hal itu dalam diri Mas Hartono, salah seorang respondennya. Pada 1969, saat kali pertama bertemu, Mas Hartono memutuskan untuk beristirahat dari keterlibatan aktif dari dunia dengan cara bersemadi dan bermati raga. Namun, ketika berjumpa lagi pada 1979, Mas Hartono yang dikenalnya “sudah berubah”. Kepada Mulder, dia bercerita jika sudah menikah lagi setelah istri sebelumnya meninggal, lalu bercerita pula soal Singapura dan Jakarta, tempat dia biasa berlibur seminggu sekali. Mulder melihat Mas Hartono yang sekarang adalah pribadi yang begitu leluasa mengejar kesenangan duniawi (halaman 261).
Tak Hitam-Putih
Atas fakta ini, Mulder pun tidak hendak menghakimi dan melakukan penilaian secara hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, tetapi ia mencoba merefleksikan bagaimana jarak pemisah antara dunia batin dan dunia sosial dewasa ini sudah sangat pendek. Orang mulai lebih terbuka pada bujuk-rayu kehidupan, tetapi sebenarnya mereka rapuh dan kurang mampu masuk kembali ke dalam dunia batinnya.
Apa yang telah dilakukan Mulder sejak 38 tahun yang lalu kini bisa kita simak dalam buku ini. Ia mengaku sungguh senang bisa menuliskan kisah-kisah petualangannya di sini. Tidak hanya secara khusus soal penelitiannya tetapi juga soal tutup tangki bensin motornya yang raib di depan Toko Buku Gunung Agung di Jalan Diponegoro, Yogyakarta. Atau cerita lain bagaimana sewaktu di Pekanbaru, dengan harapan bisa menemukan kamus Indonesia-Inggris, eh, satu-satunya buku yang ia jumpai di kota itu hanyalah komik, seperti Pembalasan Dendam Kesumat Tarzan dan Arwah Kuburan (halaman 16). Mulder boleh dibilang piawai dalam menggambarkan setiap peristiwa yang dijumpai dengan begitu detail, khas seorang antropolog. Namun demikian, ia tetap seorang manusia biasa. Ketika tiba di Jakarta, ia mulai bimbang dan bertanya dalam diri: mengapa kulakukan semua ini? Apakah yang menarik diriku ke sini atau yang membuatku meninggalkan tempat asalku? Apakah ini hanya perjalanan yang tak pernah berakhir yang mendorongku menuju ke horizon yang tidak pernah bisa dicapai?
“Aku pernah ke San Francisco, Honolulu, Tokyo, Manila serta sejumlah tempat lain, namun ke mana pun aku berjalan, aku hanya bertemu dengan diriku sendiri. Kota hanyalah menegaskan kesendirianku, kujalani perburuan sunyiku untuk meraih apakah yang sebenarnya?.”
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita