Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/
Orang kerap menganggap dalam realitas kehidupan ini selalu terjadi pemarjinalan terhadap kaum perempuan. Itu akar pondasinya bertumpu pada suatu kisah sejarah akan keberadaan manusia yang disimbolkan dengan keberadaan Adam dan Hawa. Berdasarkan kisah tersebut, kebanyakan orang berasumsi akan keberadaan wanita yang selalu berada dibawah bayang-bayang laki-laki. Ia sebagai kaum lemah yang berfungsi sebagai pelengkap hidup bagi kaum laki-laki.
Dikaitkan dengan tindak pemarjinalan, ada beberapa persepsi tentang kedudukan wanita yang menempatkan dirinya sebagai sosok yang selalu berada di bawah bayang-bayang kaum lelaki. Persepsi yang berkembang selama ini, kedudukan wanita tersebut dapat dilihat dari beberapa fokus, yaitu (1) dilihat dari faktor biologis, menempatakan perempuan lebih interior, lembut, lemah, dan rendah. (2) dilihat dari pengalaman, sering kali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah menstruasi, melahirkn, menyusui, dst. (3) dilihat dari wacana, biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan laki-laki memiliki tuntutan kuat, sehingga mengakibatkan akan timbulnya stereotipe yang negatif pada diri wanita, wanita sekedar kanca wingking.
Seiring kemajuan zaman dan berkembangnya intelektualitas kaum wanita, wacana seperti di atas sedikit demi sedikit mulai dikikisnya. Kaum wanita seolah-olah menunjukkan eksistensi dirinya dalam segala bidang, sehingga ia tidak dipandang sebelah mata oleh kaum lelaki. Dengan segala talenta yang dimiliki, ia memperjuangkan hak-haknya. Ia ingin memperoleh persamaan hak dengan lelaki. Ia ingin mendongkrak legitimasi yang ada yang menempatkan dirinya hanya sekedar kanca wingking bagi kaum laki-laki. Ia ingin mendapat pengakuan yang sama dengan kaum laki-laki. Pada akhirnya muncullah gerakan feminisme yang lahir awal abad 20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf lewat tulisan-tulisannya.
Lagi-lagi kata-kata yang dituangkan dalam bentuk tekslah yang memompa semangat perubahan sosial kemasyarakatan manusia. Bahkan peradaban umat manusia. Sengguh betapa dahsyatnya kekuatan kata-kata dalam realitas ini sehingga dalam segala hal ia menjadi pemantik semangat perubahan. Sehingga pada puncaknya, yaitu abad 21, menjadi tonggak sejarah abad kebangkitan kaum wanita dengan segala amunisinya. Sebagaimana yang diramalkan John Naisibit tentang abad itu. Pada masa-masa itulah, peranserta wanita terlihat kentara di berbagai lapisan sosial kemasyarakatan. Mulai dari sektor politik, ekonomi, hukum, pendidikan, pemerintahan, media massa, seni, dan lain-lain.
Dari sektor seni (sastra) misalnya. Ini berimbas pada perkembangan kesusastraan Indonesia. Pada saat-saat itulah mulai bermunculan para pengarang wanita di Indonesia. Di antaranya ada Sariamin, Hamidah, Maria Amin, Nursyamsu, Waluyati, Ida Nasution, S. Rukiah, Sitti Nuraini, Suwarsih Djojopuspito, NH. Dini, Titie Said, Titis Basino, Sugiarti Siswadi, Ernisiswati Hutomo, Poppy Hutagalung, Isma Sawitri Enny Sumargo, Dwi Arti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soenhatjo, Toety Noerhadi, Rita Oetoro, dll. Meskipun saat ini kita jarang menemukan dan menikmati karya-karya mereka, yang jelas nama mereka tengah tercatat dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Pada masanya, peranserta mereka ikut mewarnai perjuangan emansipasi wanita melalui jalur sastra saat itu.
Dewasa ini, setelah Ayu Utami (lewat Saman) dan Jenar Mahesa Ayu (lewat Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu) tampil membombastis khasana kesusastraan Indonesia, muncullah gerakan emansipasi sastra dari komunitas ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra) UPI Bandung. ASAS meluncurkan antologi puisi perempuan dengan judul Sihir Terakhir sebagai amunisi gerakan emansipasi wanita dalam kesusastraan Indonesia. Antologi ini diterbitkan oleh PUstaka puJAngga tahun 2009. Sihir Terakhir dihuni 23 penyair wanita dengan muatan 72 puisi. Secara mayoritas, mereka adalah seorang mahasiswa yang tengah menempuh gelar S1 dan hanya ada 4 wanita yang bukan mahasiswa lagi. Mereka adalah Dian Hartati, Fina Sato, Seli Desmiarti, dan Tita Maria Kanita.
Ditinjau dari judulnya, kehadiran antologi ini multi tafsir. Dengan hadirnya antologi ini, komunitas ASAS seolah berharap ini adalah suatu usaha yang maksimal dan pamungkas dalam tindak penyadaran akan emansipasi wanita. Setelah ini, para pembaca (khususnya kaum lelaki) akan tercerahkan dan tidak menganggap sebelah mata kaum wanita. Ia akan berkenan memberikan persamaan hak terhadap kaum wanita dalam realitas kehidupan yang ada. Lebih menghargai pendapat, pola pikir, dan pola kerja wanita. Ia tidak hanya sekadar menganggap wanita sebagai pelampiasan seksualitas saja. Tapi lebih dari itu, yaitu sebagai partner hidup yang sederajat dalam hak dan kewajiban. Oleh karena itu, sisi lain dari sasjak Sihir Terakhir karya Seli Desmiarti menegaskan agar kaum wanita selalu berdoa agar tidak lagi menggenggam masa-masa kelam yang sebelumnya tengah menimpa dirinya. “… … Berdoalah jangan // ada kelak // teryakini di punggung tanganmu, // menggenggam murung itu.” (Sihir Terakhir, hal: 80). Walaupun begitu, jika suatu persamaan hak telah terdapatkan, seorang wanita tidak serta merta menghapus kodrat kewanitaannya. Ia harus menguasai secara penuh apa yang telah menjadi kewajibannya. Paling tidak ia harus bisa memasak, mendidik anak, dan berhias diri. Ini adalah hal dasar yang menjadi ciri khas wanita. Dengan melakukan hal itu, maka sisi-sisi kewanitaan akan terlihat dengan jelas.
Tafsiran berikutnya mencanang pada suatu usaha final yang dilakukan oleh komunitas ASAS dalam menyuarakan emansipasi wanita lewat sastra. Konkritnya, setalah peluncuran antologi ini, maka dikhawatirkan dari komunitas ASAS tidak ada lagi usaha dan kiat-kiat yang sama; yaitu tidak ada lagi perjuangan emansipasi wanita dalam jalur kesusastraan. Baik dari komunitas maupun para penyairnya sendiri. Para penyairnya akan mandeg berproses. Terpangan siklus waktu. Terkalahkan oleh realitas hidup rumah tangga dan keadaan finansial kewanitaannya. Tafsiran ini bertumpu pada fenomena para penghuni antologi ini yang notabenenya lebih dari 85 % adalah seorang mahasiswa. Yang sangat riskan adalah masa-masa pasca perkuliahan dan masa-masa hidup berumah tangga. Semangat bersastra dan api emansipasi wanitanya saat itu akan meredup. Bahkan padam terguyur hujan keadaan. Sehingga tidak heran, jika cukup banyak sastrawan wanita yang sedikit nenunjukkan eksistensi bersastra hingga akhir hayatnya. Kita sulit menemukan dan menikmati prodiktifitas karya-karyanya lagi. Dan ini sudah jadi wacana umum yang tidak dapat dielak lagi. Selain itu mungkin ada faktor lain yang menyebabkan para sastrawan hilang termakan zaman beserta karya-karyanya.
Ini hanya sebatas tafsiran. Benar dan tidaknya, hanya waktu yang berhak menjwabnya. Selain itu eksistensi komunitas dan personalitas sastrawan yang berperan aktif di dalamnya. Kata-kata yang telah terujar, tak mungkin kembali pada artikulatornya. Dan sesunguhnya kata-kata adalah cambuk semangat bagi mereka yang mendambakan perubahan. Maka membaralah seperti api dalam pelukan minyak tanah. Ciptakan pejuang sejati emansipasi wanita dalam khasanah sastra.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
14/04/10
Perempuankah Aku
A Rodhi Murtadho
http://www.sastra-indonesia.com/
Perempuankah aku? Sementara aku sendiri berpikir, aku bukan perempuan. Mungkin aku seharusnya dilahirkan sebagai laki-laki. Namun alat kelamin laki-laki yang seharusnya kumiliki tertinggal di rahim ibu saat melahirkanku. Perutku tergores pisau bidan saat persalinan ibu. Membentuk tubuh bagian bawah seperi perempuan. Sehingga aku diberi nama perempuan, dirawat dan dibesarkan layaknya anak perempuan.
Erlinda Putri. Nama perempuan yang seharusnya kumiliki. Namun ketika besar, nama itu berubah menjadi Dada Putra. Tak bisa kusalahkan mereka yang mengganti nama dan menyebutnya demikian. Memang dada yang seharusnya tumbuh, jika aku perempuan, tak juga tumbuh. Hanya rambut panjang yang menggambarkan aku perempuan. Memang aneh, tubuh yang kumiliki rata. Tak seperti perempuan seusiaku. Hampir dua puluh tahun umurku. Dada dan pantat seharusnya tumbuh menonjol dan memperlihatkan aku perempuan, tak juga tampak. Seperti laki-laki badanku tumbuh.
“Mau ke mana Dada Putra?” tanya Gugun, teman kuliah satu jurusan tetapi berbeda kelas.
“Mau ke kampus,” jawabku lirih.
Pada hari selasa, tak pernah kulewatkan sapaan Gugun sejak dua tahun silam setiap kali aku berangkat ke kampus. Sapaan dengan pertanyaan yang sama. Seperti dipersiapkan. Di depan kosnya yang berada di depan kampus, duduk sendiri menghadap jalan. Kadang ada temannya yang menemani. Namun lebih sering terlihat sendiri.
Rumah yang agak jauh membuatku harus naik angkutan kota untuk sampai di kampus. Angkutan yang tak bisa mengantar sampai ke dalam lingkungan kampus membuatku harus berjalan. Sekitar seratus meter. Melewati banyak warung dan rumah-rumah. Termasuk kos Gugun. Itu sebabnya Gugun seperti selalu memiliki kesempatan untuk menyapaku.
Kadang lawakan dari teman-temannya mencibir tubuhku. Namun terdengar secepat kilat Gugun menghentikan mereka. Terlihat pelan-pelan mereka. Saling tertawa. Gugun hanya melayangkan sapaan dan senyum seramah-ramahnya.
Bentuk tubuh yang aneh membuat aku minder di hadapan teman-teman. Perempuan sebagai status dan dandanan. Namun laki-laki yang menyelimuti tubuh dan jiwa. Aku semakin aneh dengan namaku. Dada Putra. Seolah aku berubah menjadi laki-laki. Rambut makin hari makin menyusut pendek. Tumbuh kumis di atas bibir. Aku semakin bertingkah menjadi laki-laki. Itu sebabnya teman-teman perempuan enggan mengajakku pergi bersama ke kamar mandi. Kalaupun bertemu di kamar mandi, mereka langsung mengingsutkan badan menghindar dariku.
Semakin berpikir kalau aku ini laki-laki. Aku harus mencari kelaminku yang tertinggal di rahim ibu. Tapi entah bagaimana caranya. Aku jarang sekali bertemu ibu. Aku berangkat kuliah, ibu baru pulang. Kerja katanya. Dan ketika sore hari sepulang dari kampus, ibu pergi. Kerja katanya. Kapan aku bisa merogoh rahim ibu untuk mencari alat kelaminku.
Semakin bingung aku dengan keadaan yang terus berubah. Kadang kulihat tubuh di cermin, sangat mirip laki-laki. Hanya saja tak ada alat kelamin laki-laki sebagai kesempurnaannya.
“Hai, ngelamun ya?” sontak suara Gugun mengagetkanku.
“Nggak…nggak!” spontan aku menimpali.
Kami mengobrol. Tak jelas arahnya. Mendiskusikan masalah yang kadang sudah kami bahas. Seperti memiliki banyak waktu untuk bertukar pikiran. Menumpahkan masalah walaupun kami sesibuk apapun. Tugas kuliah, jadwal kuliah, hobi, keluarga, rencana masa depan, atau hal-hal yang pribadi. Namun obrolan menjelang sore menjadi obrolan yang sangat baru dan mengejutkan.
“Aku suka dan sayang kamu, Da.”
Spontan aku kaget setengah mati. Layaknya badai sunami dicampur gempa tanpa penerangan dari matahari karena terjadi gerhana matahari total. Longsor seketika mental yang aku punya. Banjir tubuh dengan keringat yang mengucur perlahan. Panas dan terbakar wajah. Memerah. Jantung semakin berpacu cepat.
“Kau menghina aku ya, Gun.”
“Bukan. Memang sejak lama aku menyimpan rasa ini dan menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya padamu.”
Semakin besar badai yang datang. Semakin besar kekuatan gempa. Semakin gelap suasana. Semakin panas wajah. Semakin basah baju oleh keringat. Mati rasa tubuh. Nafas pun sudah tak terasa alirannya. Hanya otak yang berpikir keheranan dan syaraf mata yang harus berkedip.
“Aku tak tahu, Gun. Rasanya tak pantas. Kau laki-laki. Sementara keperempuananku hanya status. Orang-orang memanggilku Dada Putra. Pasti mereka menilaiku sebagai laki-laki. Aku juga berpikir kalau aku bukan perempuan. Itu sebabnya aku tak tahu bagaimana aku bersikap dan menjadi perempuan.”
“Kau perempuan bagiku, Linda.”
“Bukan. Aku bukan perempuan. Aku tak tahu bagaimana menjadi perempuan. Mengasihi dan menyayangi layaknya perempuan. Kau tahu sendiri, mengapa orang-orang mengganti dan memanggil namaku dengan Dada Putra. Karena aku memang bukan perempuan.”
Gugun. Tertunduk tersipu. Terdiam dengan raut muka yang menegang. Tak ada sunggingan senyum di wajahnya seperti biasa yang kulihat. Tampak berpikir dan lesu. Aku pun ikut terdiam. Hening suasana. Mengubah keriangan obrolan.
“Linda kau memang perempuan. Rambutmu panjang. Wajahmu mulus dan cantik. Suaramu nyaring menandakan perempuan. Ssetiap kali kulihat kau ke kamar mandi, kau pergi ke kamar mandi perempuan. Mengapa mesti kau ingkari kalau kau perempuan?”
“Itu hanya status, Gun. Perempuan. Hanya menjalankan statusku yang tertulis di akta kelahiranku. Sudah kubilang, aku tak layak menjadi perempuan. Kumisku akan tumbuh. Rambutku sebentar lagi akan pendek. Sementara dadaku tak seperti perempuan kebanyakan. Aku sama seperti kamu.”
“Persetan dengan statusmu yang kau ragukan. Persetan dengan ucapanmu bahwa kau bukan perempuan. Namun, kau tetap perempuan bagiku. Kau layak sebagai perempuan. Penerus Kartini, sebagai perempuan.”
Aku tak tahu yang dipikirkan Gugun. Mungkin semua laki-laki yang sedang kasmaran akan bersikap demikian. Selalu menerima kekurangan orang yang disukainya.
“Benar, Gun. Mungkin yang dimaksud Kartini dengan perempuan sejajar dengan laki-laki itu aku. Perempuan yang tak lagi menjadi perempuan. Aku tumbuh menjadi laki-laki.”
Hari semakin sore. Kami mengakhiri pembicaraan. Aku pulang ke rumah. Begitu juga dengan Gugun. Mungkin pulang ke kos. Aku tak tahu. Gugun mengambil jalan yang tak searah denganku untuk keluar kampus. Tak lagi berjalan bersama seperti biasa. Mengobrol sampai di depan kosnya.
Selama perjalanan, aku selalu terpikir ibu. Andai ibu memiliki waktu untukku, tentu akan kuceritakan kejadian tadi. Namun bagaimana mungkin. Ibu selalu bekerja setiba aku di rumah. Tak pernah aku tanyakan pekerjaanya. Hanya senyum yang tertinggal ketika ibu akan berangkat bekerja. Lesu dan marah ketika pulang. Namun ketika melihatku, ibu berusaha tersenyum. Seperti ada yang terpendam dalam pikiran ibu.
Aku hanya tahu maksud ibu bekerja. Menghidupi dan menyekolahkanku. Tak pernah tahu yang dipikirkan ibu ketika termenung duduk sendiri. Air mata berlinang. Isak tangis yang tertahan. Sering ibu memandang fotoku dan almarhum bapak. Seperti ada yang mau diucapkan tapi tetap tertahan. Ketika aku datang menghampiri, cepat-cepat diseka air matanya. Isak tangis cepat diubahnya menjadi senyum. Belain tangan mulus menyayang. Kadang kecupannya di keningku mampir begitu saja. Cepat-cepat pula ibu berpamit untuk pergi bekerja.
Aku tiba di rumah. Tak seperti biasanya pula terlihat. Ketika memasuki rumah, biasanya kulihat ibu berkemas dan berpamitan. Aneh. Tak kujumpai ibu di persimpanngan pintu rumah. Cemas mulai menghantui. Atau mungkin hanya sekadar cemas yang berlebih karena aku terlambat setengah jam dari biasanya. Kulangkahkah kaki menuju kamar ibu. Kubuka pintu perlahan. Terlihat ibu terbaring di ranjang. Seketika langsung kuhampiri.
“Ibu tidak kerja?” tanyaku membisik.
“Tidak, Ibu capek dan tidak enak badan,” jawab ibu tertatih.
“Badan Ibu panas, ke dokter ya?”
“Tidak usah. Buang-buang uang saja. Mending uangnya kamu pakai untuk biaya kuliah. Nanti juga Ibu sembuh sendiri.”
Tak kusangka perjuangan ibu begitu besar. Tak seperti yang terpikirkan dan terhayalkan. Ibu yang tak punya hati, kejam, tak mau memperhatikan, ternyata salah. Ibu penyayang dan penuh perhatian, penuh pengorbanan. Bahkan, jika pengorbanan itu harus dibayar dengan harus menahan sakit.
Malam bertambah buta. Aku menemani ibu yang terbujur lemas di ranjang. Kutunggui di sampingnya. Mencoba untuk mendekatkan jiwa yang lama terpisah. Pikiran mulai mengarahkan mataku. Menggerakkan tangan. Memfokuskan seluruh tubuh pada rahim ibu. Pikiran yang terus mengatakan kalau alat kelaminku tertinggal di sana dan harus segera kuambil.
“Ibu!” berbisik lirih.
“Ya, Lin. Ada apa?”
“Ibu, aku ini perempuan atau laki-laki?”
“Tentu saja kau perempuan, Lin. Namamu saja Erlinda Putri. Kau adalah putri ibu yang cantik. Aku bangga, Nak. Mestinya kau juga bangga dan bersyukur dengan dirimu.”
“Tapi aku merasa bukan perempuan. Aku tidak punya dada seperti Ibu. Di atas bibirku mulai tumbuh kumis. Banyak orang memanggilku Dada Putra. Pasti aku mestinya terlahir sebagai laki-laki dan alat kelaminku tertinggal di rahim Ibu. Dan pisau bedah milik bidan yang menolong persalinan Ibu menggores perutku.”
Lega rasanya mengungkap uneg-uneg yang lama bersarang di benak. Meski penuh ketakutan karena mungkin bisa saja ibu akan tersinggung. Namun bagaimana lagi aku akan mengungkapkannya. Atau mungkin kapan. Waktu dan kesempatan yang hadir untuk berbagi pikiran tak begitu banyak.
“Mengapa kau berpikir seperti itu, Nak? Kau Linda, putri Ibu. Kau perempuan, Anakku. Yakinlah itu. Dan cobalah untuk bersyukur kepada Tuhan atas dirimu. Cobalah untuk menerima apa adanya segala pemberian Tuhan.”
“Tapi, aku tak yakin, Bu, kalau aku perempuan.”
Sunggingan senyum di paras ibu yang cantik menghibur hati. Meskipun dalam pikiran, aku semakin bingung. Semakin yakin dengan keyakinan bahwa aku lelaki yang kehilangan kelamin saat persalinan. Tak pernah kusalahkan ibu dengan itu semua.
“Aku tak tahu, Bu. Bagaimana mengasihi dan menyayangi orang lain. Seperti Ibu menyayangi dan mengasihi almarhum bapak. Kalau aku perempuan, tentu akan dapat melakukan yang Ibu lakukan kepada Bapak.”
“Kau sedang jatuh hati dengan seseorang ya, Nak?” tanya ibu seraya menyunggingkan senyum lagi di bibirnya. Membuat parasnya makin nampak ayu. Tak heran kalau almarhum bapak sangat menyayangi ibu.
“Ehm tidak, Bu. Mungkin Gugun hanya bergurau. Tak mungkin menyukai diriku yang seperti ini.”
Senyum lebar makin terlihat di wajah ibu. Menampakkan seri wajah indah. Aku kontan merasa malu. Kata-kata yang terlontar, mencuat begitu saja dari bibir. Tak kusangka akan ditanggapi ibu dengan senyum.
“Nak, semua orang bisa mengasihi dan menyayangi. Termasuk kau. Wajar saja kalau Gugun suka dan sayang kepadamu. Sangat wajar jika kau juga jatuh hati dan ingin menyayangi Gugun. Kita memang digariskan untuk saling menyayangi dan mengasihi.”
“Ibu..,” kupeluk ibu dan seperti merengek di pelukannya, “lantas aku harus bagaimana. Aku merasa diriku adalah laki-laki. Sama dengan Gugun. Rasanya tak pantas jika aku…”
“Sudahlah. Gugun menyukaimu karena ada hal dari dirimu yang menarik baginya. Kau cantik. Biarkanlah rasa yang ada itu tumbuh. Sekarang mari kita istirahat. Ibu sudah sangat mengantuk. Kita lanjutkan besok saja. Sepertinya Ibu tidak bekerja lagi besok.”
Sepi tercipta seketika. Aliran nafas pelan dan teratur mengalir terasa. Kamar hangat membuat aliran darah mengalir terasa di pori-pori. Aku tak bisa berhenti berpikir.
Kecamuk semakin menggelora dalam benak. Tekad yang tertanam dan tertunda untuk kubuktikan akan menjadi kenyataan. Jika saja kuungkapkan kalau aku ingin melihat dan mencari sendiri alat kelaminku di rahim ibu. Namun bibir seperti kelu dan dingin. Tak sanggup untuk berucap.
Hari makin larut. Buta dan gelap menggerayangi malam. Mata kami terpejam dengan sendirinya. Tiba-tiba saja mataku terbelalak lebar. Kata maaf lirih terdengar dari mulut untuk ibu. Tangan menggerayang dan merogoh masuk ke dalam rahim ibuku untuk mencari alat kelaminku yang tertinggal. Memang tak salah lagi, alat kelamin laki-laki benar-benar kutemukan di sana. Rasa puas melegakan pikiran. Sekarang aku tahu kalau sebenarnya dan seharusnya aku terlahir sebagai laki-laki. Tetapi, mengapa banyak kutemukan alat kelamin laki-laki di rahim ibu?
Surabaya, 30 November 2004
http://www.sastra-indonesia.com/
Perempuankah aku? Sementara aku sendiri berpikir, aku bukan perempuan. Mungkin aku seharusnya dilahirkan sebagai laki-laki. Namun alat kelamin laki-laki yang seharusnya kumiliki tertinggal di rahim ibu saat melahirkanku. Perutku tergores pisau bidan saat persalinan ibu. Membentuk tubuh bagian bawah seperi perempuan. Sehingga aku diberi nama perempuan, dirawat dan dibesarkan layaknya anak perempuan.
Erlinda Putri. Nama perempuan yang seharusnya kumiliki. Namun ketika besar, nama itu berubah menjadi Dada Putra. Tak bisa kusalahkan mereka yang mengganti nama dan menyebutnya demikian. Memang dada yang seharusnya tumbuh, jika aku perempuan, tak juga tumbuh. Hanya rambut panjang yang menggambarkan aku perempuan. Memang aneh, tubuh yang kumiliki rata. Tak seperti perempuan seusiaku. Hampir dua puluh tahun umurku. Dada dan pantat seharusnya tumbuh menonjol dan memperlihatkan aku perempuan, tak juga tampak. Seperti laki-laki badanku tumbuh.
“Mau ke mana Dada Putra?” tanya Gugun, teman kuliah satu jurusan tetapi berbeda kelas.
“Mau ke kampus,” jawabku lirih.
Pada hari selasa, tak pernah kulewatkan sapaan Gugun sejak dua tahun silam setiap kali aku berangkat ke kampus. Sapaan dengan pertanyaan yang sama. Seperti dipersiapkan. Di depan kosnya yang berada di depan kampus, duduk sendiri menghadap jalan. Kadang ada temannya yang menemani. Namun lebih sering terlihat sendiri.
Rumah yang agak jauh membuatku harus naik angkutan kota untuk sampai di kampus. Angkutan yang tak bisa mengantar sampai ke dalam lingkungan kampus membuatku harus berjalan. Sekitar seratus meter. Melewati banyak warung dan rumah-rumah. Termasuk kos Gugun. Itu sebabnya Gugun seperti selalu memiliki kesempatan untuk menyapaku.
Kadang lawakan dari teman-temannya mencibir tubuhku. Namun terdengar secepat kilat Gugun menghentikan mereka. Terlihat pelan-pelan mereka. Saling tertawa. Gugun hanya melayangkan sapaan dan senyum seramah-ramahnya.
Bentuk tubuh yang aneh membuat aku minder di hadapan teman-teman. Perempuan sebagai status dan dandanan. Namun laki-laki yang menyelimuti tubuh dan jiwa. Aku semakin aneh dengan namaku. Dada Putra. Seolah aku berubah menjadi laki-laki. Rambut makin hari makin menyusut pendek. Tumbuh kumis di atas bibir. Aku semakin bertingkah menjadi laki-laki. Itu sebabnya teman-teman perempuan enggan mengajakku pergi bersama ke kamar mandi. Kalaupun bertemu di kamar mandi, mereka langsung mengingsutkan badan menghindar dariku.
Semakin berpikir kalau aku ini laki-laki. Aku harus mencari kelaminku yang tertinggal di rahim ibu. Tapi entah bagaimana caranya. Aku jarang sekali bertemu ibu. Aku berangkat kuliah, ibu baru pulang. Kerja katanya. Dan ketika sore hari sepulang dari kampus, ibu pergi. Kerja katanya. Kapan aku bisa merogoh rahim ibu untuk mencari alat kelaminku.
Semakin bingung aku dengan keadaan yang terus berubah. Kadang kulihat tubuh di cermin, sangat mirip laki-laki. Hanya saja tak ada alat kelamin laki-laki sebagai kesempurnaannya.
“Hai, ngelamun ya?” sontak suara Gugun mengagetkanku.
“Nggak…nggak!” spontan aku menimpali.
Kami mengobrol. Tak jelas arahnya. Mendiskusikan masalah yang kadang sudah kami bahas. Seperti memiliki banyak waktu untuk bertukar pikiran. Menumpahkan masalah walaupun kami sesibuk apapun. Tugas kuliah, jadwal kuliah, hobi, keluarga, rencana masa depan, atau hal-hal yang pribadi. Namun obrolan menjelang sore menjadi obrolan yang sangat baru dan mengejutkan.
“Aku suka dan sayang kamu, Da.”
Spontan aku kaget setengah mati. Layaknya badai sunami dicampur gempa tanpa penerangan dari matahari karena terjadi gerhana matahari total. Longsor seketika mental yang aku punya. Banjir tubuh dengan keringat yang mengucur perlahan. Panas dan terbakar wajah. Memerah. Jantung semakin berpacu cepat.
“Kau menghina aku ya, Gun.”
“Bukan. Memang sejak lama aku menyimpan rasa ini dan menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya padamu.”
Semakin besar badai yang datang. Semakin besar kekuatan gempa. Semakin gelap suasana. Semakin panas wajah. Semakin basah baju oleh keringat. Mati rasa tubuh. Nafas pun sudah tak terasa alirannya. Hanya otak yang berpikir keheranan dan syaraf mata yang harus berkedip.
“Aku tak tahu, Gun. Rasanya tak pantas. Kau laki-laki. Sementara keperempuananku hanya status. Orang-orang memanggilku Dada Putra. Pasti mereka menilaiku sebagai laki-laki. Aku juga berpikir kalau aku bukan perempuan. Itu sebabnya aku tak tahu bagaimana aku bersikap dan menjadi perempuan.”
“Kau perempuan bagiku, Linda.”
“Bukan. Aku bukan perempuan. Aku tak tahu bagaimana menjadi perempuan. Mengasihi dan menyayangi layaknya perempuan. Kau tahu sendiri, mengapa orang-orang mengganti dan memanggil namaku dengan Dada Putra. Karena aku memang bukan perempuan.”
Gugun. Tertunduk tersipu. Terdiam dengan raut muka yang menegang. Tak ada sunggingan senyum di wajahnya seperti biasa yang kulihat. Tampak berpikir dan lesu. Aku pun ikut terdiam. Hening suasana. Mengubah keriangan obrolan.
“Linda kau memang perempuan. Rambutmu panjang. Wajahmu mulus dan cantik. Suaramu nyaring menandakan perempuan. Ssetiap kali kulihat kau ke kamar mandi, kau pergi ke kamar mandi perempuan. Mengapa mesti kau ingkari kalau kau perempuan?”
“Itu hanya status, Gun. Perempuan. Hanya menjalankan statusku yang tertulis di akta kelahiranku. Sudah kubilang, aku tak layak menjadi perempuan. Kumisku akan tumbuh. Rambutku sebentar lagi akan pendek. Sementara dadaku tak seperti perempuan kebanyakan. Aku sama seperti kamu.”
“Persetan dengan statusmu yang kau ragukan. Persetan dengan ucapanmu bahwa kau bukan perempuan. Namun, kau tetap perempuan bagiku. Kau layak sebagai perempuan. Penerus Kartini, sebagai perempuan.”
Aku tak tahu yang dipikirkan Gugun. Mungkin semua laki-laki yang sedang kasmaran akan bersikap demikian. Selalu menerima kekurangan orang yang disukainya.
“Benar, Gun. Mungkin yang dimaksud Kartini dengan perempuan sejajar dengan laki-laki itu aku. Perempuan yang tak lagi menjadi perempuan. Aku tumbuh menjadi laki-laki.”
Hari semakin sore. Kami mengakhiri pembicaraan. Aku pulang ke rumah. Begitu juga dengan Gugun. Mungkin pulang ke kos. Aku tak tahu. Gugun mengambil jalan yang tak searah denganku untuk keluar kampus. Tak lagi berjalan bersama seperti biasa. Mengobrol sampai di depan kosnya.
Selama perjalanan, aku selalu terpikir ibu. Andai ibu memiliki waktu untukku, tentu akan kuceritakan kejadian tadi. Namun bagaimana mungkin. Ibu selalu bekerja setiba aku di rumah. Tak pernah aku tanyakan pekerjaanya. Hanya senyum yang tertinggal ketika ibu akan berangkat bekerja. Lesu dan marah ketika pulang. Namun ketika melihatku, ibu berusaha tersenyum. Seperti ada yang terpendam dalam pikiran ibu.
Aku hanya tahu maksud ibu bekerja. Menghidupi dan menyekolahkanku. Tak pernah tahu yang dipikirkan ibu ketika termenung duduk sendiri. Air mata berlinang. Isak tangis yang tertahan. Sering ibu memandang fotoku dan almarhum bapak. Seperti ada yang mau diucapkan tapi tetap tertahan. Ketika aku datang menghampiri, cepat-cepat diseka air matanya. Isak tangis cepat diubahnya menjadi senyum. Belain tangan mulus menyayang. Kadang kecupannya di keningku mampir begitu saja. Cepat-cepat pula ibu berpamit untuk pergi bekerja.
Aku tiba di rumah. Tak seperti biasanya pula terlihat. Ketika memasuki rumah, biasanya kulihat ibu berkemas dan berpamitan. Aneh. Tak kujumpai ibu di persimpanngan pintu rumah. Cemas mulai menghantui. Atau mungkin hanya sekadar cemas yang berlebih karena aku terlambat setengah jam dari biasanya. Kulangkahkah kaki menuju kamar ibu. Kubuka pintu perlahan. Terlihat ibu terbaring di ranjang. Seketika langsung kuhampiri.
“Ibu tidak kerja?” tanyaku membisik.
“Tidak, Ibu capek dan tidak enak badan,” jawab ibu tertatih.
“Badan Ibu panas, ke dokter ya?”
“Tidak usah. Buang-buang uang saja. Mending uangnya kamu pakai untuk biaya kuliah. Nanti juga Ibu sembuh sendiri.”
Tak kusangka perjuangan ibu begitu besar. Tak seperti yang terpikirkan dan terhayalkan. Ibu yang tak punya hati, kejam, tak mau memperhatikan, ternyata salah. Ibu penyayang dan penuh perhatian, penuh pengorbanan. Bahkan, jika pengorbanan itu harus dibayar dengan harus menahan sakit.
Malam bertambah buta. Aku menemani ibu yang terbujur lemas di ranjang. Kutunggui di sampingnya. Mencoba untuk mendekatkan jiwa yang lama terpisah. Pikiran mulai mengarahkan mataku. Menggerakkan tangan. Memfokuskan seluruh tubuh pada rahim ibu. Pikiran yang terus mengatakan kalau alat kelaminku tertinggal di sana dan harus segera kuambil.
“Ibu!” berbisik lirih.
“Ya, Lin. Ada apa?”
“Ibu, aku ini perempuan atau laki-laki?”
“Tentu saja kau perempuan, Lin. Namamu saja Erlinda Putri. Kau adalah putri ibu yang cantik. Aku bangga, Nak. Mestinya kau juga bangga dan bersyukur dengan dirimu.”
“Tapi aku merasa bukan perempuan. Aku tidak punya dada seperti Ibu. Di atas bibirku mulai tumbuh kumis. Banyak orang memanggilku Dada Putra. Pasti aku mestinya terlahir sebagai laki-laki dan alat kelaminku tertinggal di rahim Ibu. Dan pisau bedah milik bidan yang menolong persalinan Ibu menggores perutku.”
Lega rasanya mengungkap uneg-uneg yang lama bersarang di benak. Meski penuh ketakutan karena mungkin bisa saja ibu akan tersinggung. Namun bagaimana lagi aku akan mengungkapkannya. Atau mungkin kapan. Waktu dan kesempatan yang hadir untuk berbagi pikiran tak begitu banyak.
“Mengapa kau berpikir seperti itu, Nak? Kau Linda, putri Ibu. Kau perempuan, Anakku. Yakinlah itu. Dan cobalah untuk bersyukur kepada Tuhan atas dirimu. Cobalah untuk menerima apa adanya segala pemberian Tuhan.”
“Tapi, aku tak yakin, Bu, kalau aku perempuan.”
Sunggingan senyum di paras ibu yang cantik menghibur hati. Meskipun dalam pikiran, aku semakin bingung. Semakin yakin dengan keyakinan bahwa aku lelaki yang kehilangan kelamin saat persalinan. Tak pernah kusalahkan ibu dengan itu semua.
“Aku tak tahu, Bu. Bagaimana mengasihi dan menyayangi orang lain. Seperti Ibu menyayangi dan mengasihi almarhum bapak. Kalau aku perempuan, tentu akan dapat melakukan yang Ibu lakukan kepada Bapak.”
“Kau sedang jatuh hati dengan seseorang ya, Nak?” tanya ibu seraya menyunggingkan senyum lagi di bibirnya. Membuat parasnya makin nampak ayu. Tak heran kalau almarhum bapak sangat menyayangi ibu.
“Ehm tidak, Bu. Mungkin Gugun hanya bergurau. Tak mungkin menyukai diriku yang seperti ini.”
Senyum lebar makin terlihat di wajah ibu. Menampakkan seri wajah indah. Aku kontan merasa malu. Kata-kata yang terlontar, mencuat begitu saja dari bibir. Tak kusangka akan ditanggapi ibu dengan senyum.
“Nak, semua orang bisa mengasihi dan menyayangi. Termasuk kau. Wajar saja kalau Gugun suka dan sayang kepadamu. Sangat wajar jika kau juga jatuh hati dan ingin menyayangi Gugun. Kita memang digariskan untuk saling menyayangi dan mengasihi.”
“Ibu..,” kupeluk ibu dan seperti merengek di pelukannya, “lantas aku harus bagaimana. Aku merasa diriku adalah laki-laki. Sama dengan Gugun. Rasanya tak pantas jika aku…”
“Sudahlah. Gugun menyukaimu karena ada hal dari dirimu yang menarik baginya. Kau cantik. Biarkanlah rasa yang ada itu tumbuh. Sekarang mari kita istirahat. Ibu sudah sangat mengantuk. Kita lanjutkan besok saja. Sepertinya Ibu tidak bekerja lagi besok.”
Sepi tercipta seketika. Aliran nafas pelan dan teratur mengalir terasa. Kamar hangat membuat aliran darah mengalir terasa di pori-pori. Aku tak bisa berhenti berpikir.
Kecamuk semakin menggelora dalam benak. Tekad yang tertanam dan tertunda untuk kubuktikan akan menjadi kenyataan. Jika saja kuungkapkan kalau aku ingin melihat dan mencari sendiri alat kelaminku di rahim ibu. Namun bibir seperti kelu dan dingin. Tak sanggup untuk berucap.
Hari makin larut. Buta dan gelap menggerayangi malam. Mata kami terpejam dengan sendirinya. Tiba-tiba saja mataku terbelalak lebar. Kata maaf lirih terdengar dari mulut untuk ibu. Tangan menggerayang dan merogoh masuk ke dalam rahim ibuku untuk mencari alat kelaminku yang tertinggal. Memang tak salah lagi, alat kelamin laki-laki benar-benar kutemukan di sana. Rasa puas melegakan pikiran. Sekarang aku tahu kalau sebenarnya dan seharusnya aku terlahir sebagai laki-laki. Tetapi, mengapa banyak kutemukan alat kelamin laki-laki di rahim ibu?
Surabaya, 30 November 2004
Jalan Spiritualitas Tasawuf Kerakyatan
Judul Buku : Kunci Rahasia Ketuhanan, Iblis dan Ifrit hingga 40 Juz al-Qur’an
Penulis : Muchammad Hormus
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), Januari 2010
Tebal : xiv + 204 halaman
Peresensi : Humaidiy AS *)
http://oase.kompas.com/
Salah satu ciri fenomena yang paling menonjol dakam perkembangan kehidupan modern dan serba sekuleristik ini ialah bangkitnya dimensi spriritualitas. Bangkitnya spiritualitas ditandai dengan semakin marak dan berkembangnya pengkajian dan diskusi seputar tasawuf dan “tarekat” tidak hanya di pesantren-pesantren atau lembaga keagamaan, tetapi juga di wilayah perkotaan.
Konon, menurut para sejarawan Islam, kemunculan tasawuf merupakan respons terhadap gemerlapnya dunia yang sangat berlebihan. Pada saat itu Islam memuncaki kejayaannya, sehingga kekayaan melimpah, dan kemewahan menjadi tak terkendali. Namun, dalam perkembangannya, tasawuf juga dianggap sebagai biangnya kemunduran umat Islam. Konsep-konsep tasawuf seperti zuhud, khalwat, wira’i dan riyadhoh tidak lain adalah konsep-konsep yang anti-dunia, yang membawa pelakunya berasyik-masyuk dengan dirinya sendiri, Tuhannya dan melupakan kehidupan sosial kemasyarakatan disekitarnya. Tasawuf kemudian diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Orang takut belajar tasawuf karena kuatir menjadi miskin. Padahal, kemiskinan yang disamakan dengan kesalihan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadis. Pemahaman sufisme yang parsial dan sempit ataupun kekelruan praktek ajaran-ajaran yang disalahfami, kerapkali menjadi pemicu pemahamn yang tidak tepat terhadap dunia sufistik.
Pada titik inilah, Muhammad Hormus; seorang Mursyid Thoriqoh Syadziliyyah Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang menggeluti dunia tasawuf sejak masa muda melalui buku Kunci Rahasia Ketuhanan,menjadi bacaan alternatif bagi pembaca yang ingin menekuni dunia sufi. Pengalaman otentik penulis dan renungan-renungannya yang mendalam, membuat tulisan esai-esainya terasa begitu mengalir dan reflektif. Dalam uraian-uraiannya, seorang sufi sejati, tidak hanya peduli pada “keselamatan” pribadi, tetapi juga berpartisipasi mengentaskan dan berperan aktif di lingkungan masyarakatnya (hlm. vi). Sebab, sufi sejati adalah mereka yang mampu mengaplikasikan perjalanan ruhani yang meng-Allah, yang aktualisasinya merupakan pengabdian diri kepada seluruh umat manusia seumur hidup. Pengabdian diri kepada seluruh umat inilah yang dilandasi dengan cinta (hubb). Cinta seorang sufi kepada seluruh umat manusia itu melampaui batas-batas kemanusiaan, nasionalitas, etnis, ras, suku, ideologi, golongan, budaya, dan bahkan agama.
Lebih jauh, membaca buku ini ditemukan bahwa di dalam tasawuf, kedalaman makna hidup ditemukan. Dari sini hubungan personal antara manusia dan Tuhan yang sangat intim diharapkan bisa berimplikasi positif secara lebih luas dalam tatanan kolektif masyarakat umat manusia. Logikanya, hubungan personal dengan Tuhan itu tidak hanya berhenti pada titik personal itu, juga tidak hanya dipenuhi oleh kebernikmatan hidup secara spiritual individual. Melainkan, berujung dan ditujukan untuk meraih implikasi sosial yang luas. Sehingga, bagi Sayyed Hossein Nasr, misalnya, tasawuf setidaknya bisa turut serta berperan dalam pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan dari kondisi yang penuh kecemasan.
Berangkat dari spirit bahwa kehidupan dunia dan akhirat adalah manunggal. Buku setebal 204 halaman ini juga menegaskan bahwa jalan spiritual seharusnya juga dapat menjadi ilham bagi gerakan sosial. Islam dan tasawuf dengan demikian tidaklah anti-dunia dan anti-sosial. Dalam kaitannya dengan itu, maka ibadah sholat, perjalanan spirirtual haji dan puasa Ramadhan dan berbagai bentuk kesalehan lainnya yang kita amalkan akan sangat kering makna ideologisnya, manakala sekedar diniati sebagai “laku spiritual” tanpa kemudian menjadi kritik sosial (hlm. 126). Agenda mengembalikan misi universalitas agama tentu saja tidak segampang yang dibayangkan. Namun, kebutuhan spiritual dan implementasi amal-amal sosial serta kemanusiaan adalah misi universal agama yang mesti ditegakkan kembali dan karenanya tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Walhasil, Sufi sejati adalah mereka yang mampu mengaplikasikan “tasawuf kerakyatan”, yang tidak hanya berperang melawan Iblis dan Ifrit saja. Lebih dari itu, ia juga harus melawan “iblis” sufisme itu sendiri, melampauinya dan mengabdikannya kepada kemanusiaan sepenuh-penuhnya. Apa yang ditulis oleh Penulis melalui buku ini, percikan-percikan pemikiran dan gagasannya, pembaca setidaknya memperoleh “pencerahan baru” tentang dunia tasawuf dan gerakan kerakyatan Indonesia berbasis spiritualitas Islam. Pembaca juga akan mengerti bahwa hakikat tasawuf sebagai bagian dari spirit ajaran Islam jauh dari anti-dunia dan anti-sosial kemanusiaan.
Akhirnya, dalam konteks seperti itulah buku ini bisa dibaca dan difahami. Kehadiran buku ini layak dianggap sebagai penambah khazanah wacana kontekstualitas ajaran agama agar lebih membumi dan bermakna. Selamat membaca!
*) Peresensi adalah Pengajar pada Pondok Pesantren Krapyak dan Aktivis pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.
Penulis : Muchammad Hormus
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), Januari 2010
Tebal : xiv + 204 halaman
Peresensi : Humaidiy AS *)
http://oase.kompas.com/
Salah satu ciri fenomena yang paling menonjol dakam perkembangan kehidupan modern dan serba sekuleristik ini ialah bangkitnya dimensi spriritualitas. Bangkitnya spiritualitas ditandai dengan semakin marak dan berkembangnya pengkajian dan diskusi seputar tasawuf dan “tarekat” tidak hanya di pesantren-pesantren atau lembaga keagamaan, tetapi juga di wilayah perkotaan.
Konon, menurut para sejarawan Islam, kemunculan tasawuf merupakan respons terhadap gemerlapnya dunia yang sangat berlebihan. Pada saat itu Islam memuncaki kejayaannya, sehingga kekayaan melimpah, dan kemewahan menjadi tak terkendali. Namun, dalam perkembangannya, tasawuf juga dianggap sebagai biangnya kemunduran umat Islam. Konsep-konsep tasawuf seperti zuhud, khalwat, wira’i dan riyadhoh tidak lain adalah konsep-konsep yang anti-dunia, yang membawa pelakunya berasyik-masyuk dengan dirinya sendiri, Tuhannya dan melupakan kehidupan sosial kemasyarakatan disekitarnya. Tasawuf kemudian diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Orang takut belajar tasawuf karena kuatir menjadi miskin. Padahal, kemiskinan yang disamakan dengan kesalihan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadis. Pemahaman sufisme yang parsial dan sempit ataupun kekelruan praktek ajaran-ajaran yang disalahfami, kerapkali menjadi pemicu pemahamn yang tidak tepat terhadap dunia sufistik.
Pada titik inilah, Muhammad Hormus; seorang Mursyid Thoriqoh Syadziliyyah Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang menggeluti dunia tasawuf sejak masa muda melalui buku Kunci Rahasia Ketuhanan,menjadi bacaan alternatif bagi pembaca yang ingin menekuni dunia sufi. Pengalaman otentik penulis dan renungan-renungannya yang mendalam, membuat tulisan esai-esainya terasa begitu mengalir dan reflektif. Dalam uraian-uraiannya, seorang sufi sejati, tidak hanya peduli pada “keselamatan” pribadi, tetapi juga berpartisipasi mengentaskan dan berperan aktif di lingkungan masyarakatnya (hlm. vi). Sebab, sufi sejati adalah mereka yang mampu mengaplikasikan perjalanan ruhani yang meng-Allah, yang aktualisasinya merupakan pengabdian diri kepada seluruh umat manusia seumur hidup. Pengabdian diri kepada seluruh umat inilah yang dilandasi dengan cinta (hubb). Cinta seorang sufi kepada seluruh umat manusia itu melampaui batas-batas kemanusiaan, nasionalitas, etnis, ras, suku, ideologi, golongan, budaya, dan bahkan agama.
Lebih jauh, membaca buku ini ditemukan bahwa di dalam tasawuf, kedalaman makna hidup ditemukan. Dari sini hubungan personal antara manusia dan Tuhan yang sangat intim diharapkan bisa berimplikasi positif secara lebih luas dalam tatanan kolektif masyarakat umat manusia. Logikanya, hubungan personal dengan Tuhan itu tidak hanya berhenti pada titik personal itu, juga tidak hanya dipenuhi oleh kebernikmatan hidup secara spiritual individual. Melainkan, berujung dan ditujukan untuk meraih implikasi sosial yang luas. Sehingga, bagi Sayyed Hossein Nasr, misalnya, tasawuf setidaknya bisa turut serta berperan dalam pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan dari kondisi yang penuh kecemasan.
Berangkat dari spirit bahwa kehidupan dunia dan akhirat adalah manunggal. Buku setebal 204 halaman ini juga menegaskan bahwa jalan spiritual seharusnya juga dapat menjadi ilham bagi gerakan sosial. Islam dan tasawuf dengan demikian tidaklah anti-dunia dan anti-sosial. Dalam kaitannya dengan itu, maka ibadah sholat, perjalanan spirirtual haji dan puasa Ramadhan dan berbagai bentuk kesalehan lainnya yang kita amalkan akan sangat kering makna ideologisnya, manakala sekedar diniati sebagai “laku spiritual” tanpa kemudian menjadi kritik sosial (hlm. 126). Agenda mengembalikan misi universalitas agama tentu saja tidak segampang yang dibayangkan. Namun, kebutuhan spiritual dan implementasi amal-amal sosial serta kemanusiaan adalah misi universal agama yang mesti ditegakkan kembali dan karenanya tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Walhasil, Sufi sejati adalah mereka yang mampu mengaplikasikan “tasawuf kerakyatan”, yang tidak hanya berperang melawan Iblis dan Ifrit saja. Lebih dari itu, ia juga harus melawan “iblis” sufisme itu sendiri, melampauinya dan mengabdikannya kepada kemanusiaan sepenuh-penuhnya. Apa yang ditulis oleh Penulis melalui buku ini, percikan-percikan pemikiran dan gagasannya, pembaca setidaknya memperoleh “pencerahan baru” tentang dunia tasawuf dan gerakan kerakyatan Indonesia berbasis spiritualitas Islam. Pembaca juga akan mengerti bahwa hakikat tasawuf sebagai bagian dari spirit ajaran Islam jauh dari anti-dunia dan anti-sosial kemanusiaan.
Akhirnya, dalam konteks seperti itulah buku ini bisa dibaca dan difahami. Kehadiran buku ini layak dianggap sebagai penambah khazanah wacana kontekstualitas ajaran agama agar lebih membumi dan bermakna. Selamat membaca!
*) Peresensi adalah Pengajar pada Pondok Pesantren Krapyak dan Aktivis pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.
Sketsa Permukiman Tionghoa
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.*
http://www.jawapos.co.id/
SETIAP kali saya tuntas menyimak buku berbobot seputar Tionghoa, selalu saja tebersit kesan keterlambatan di benak. Termasuk, ketika menyimak 311 halaman buku ini. Ya, buku hasil disertasi Pratiwo berjudul Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota ini paling tepat dihadirkan seketika setelah ditulis pada 1996 -ua tahun menjelang huru-hara 1998. Mengapa demikian? Sekali lagi, bagi kita yang mau membaca tuntas buku ini, akan terasa betapa rentetan sejarah diskriminasi politik terhadap etnis Tionghoa merupakan kekerdilan yang menggadaikan budaya dan peradaban leluhur -yang bahkan sejak abad XIV, menurut N.J. Krom, orang Tionghoa pun sudah memiliki permukiman di Pulau Jawa.
Pratiwo membuktikan kebenaran premis itu dengan kerja tekun ”menyusuri” gang-gang dan arsitektur seratus lebih rumah Tionghoa di Semarang dan Lasem. Di negeri ini, fokus kajian arsitektur tradisional Tionghoa memang amat jarang diseriusi sekaligus melulu diimpit literatur ketionghoaan berbahasa Indonesia dari disiplin ilmu sosial-humaniora. Tak ayal, melalui puluhan sketsa hasil coretan tangan Pratiwo sendiri, menyimak buku ini seolah merupakan cara lain menikmati buku. Apalagi, meskipun berbahasa Inggris saat diajukan sebagai penelitian doktoral di RWTH Achen, Jerman, dengan judul The Transformation of Traditional Chinese Architecture, terjemahan Pratiwo ini enak dibaca dan mengalir.
Di ranah akademik, Pratiwo merupakan sosok dengan level kepakaran dan kecintaan tinggi terhadap arsitektur Tionghoa. Sebelum menggarap disertasi ini, dia merampungkan studi post-graduate di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia, dengan mengusung tesis berjudul The Architecture of Lasem: A Typho-Morphological Approach for Redifining the Architecture of Lasem (1990). Beberapa tulisan di jurnal internasional dan penelitian-penelitiannya pun masih mengupas tema serupa, arsitektur Tionghoa, khususnya di Lasem. Bahkan, di akhir sebuah artikelnya yang bertajuk Menggugat Jalan Lewat Arsitektur Pembebasan, dia membubuhkan anotasi kecil begini: ”Dari Saya, yang Mencintai Lasem”.
Sulit disanggah, Lasem memang unik hingga seolah tak terceraikan dari arsitektur Tionghoa. Meminjam penuturan Prof Dr Ing L.M.F. Purwanto di pengantar buku (hlm xxii), ”Kalau membicarakan arsitektur Tionghoa di Indonesia, akan selalu teringat Lasem serta apabila menceritakan Lasem pasti yang terbayang adalah arsitektur Tionghoa yang kental dan khas.” Tak salah belakangan sejarawan ingin memasukkan Lasem sebagai kota cagar budaya. Dan, ketika buku ini menyasar Lasem (dan Semarang) sebagai subjek analisis, sungguh kita mesti melayangkan apresiasi serta berkata bahwa ini kajian yang ”persis di lubuk jantung”.
Nah, baik di Lasem maupun Semarang, ilmu tata letak bangunan dan permukiman -biasa disebut hongshui- bersandar pada ide dasar kosmologi Tiongkok. ”Permukiman yang paling ideal, menurut hongshui, adalah dilatarbelakangi pegunungan atau perbukitan dan menghadap ke sungai atau laut,” tulis Pratiwo. ”Jika dihubungkan dengan simbol binatang kosmologis; sungai yang di depan rumah adalah burung merak merah yang membawa kemakmuran, di belakang rumah adalah kura-kura hitam, di sebelah kanan duduk macan putih yang membawa sial, dan di sebelah kiri adalah sang naga biru yang juga membawa keberuntungan,” urainya. Kosmologi ini dipercaya dapat menangkap ”Qi” atau napas hidup.
Gambar di sampul depan buku ini merupakan contoh sketsa permukiman yang menarasikan (problematika) penerapan ide kosmologi tersebut. Sketsa itu melukiskan bagian belakang rumah di Jalan Petudungan, Semarang, pada 1991. Permukiman Tionghoa (pecinan) di Jalan Petudungan sebenarnya merupakan pindahan dari pecinan pertama di Semarang yang terletak di Simongan. Pada 1841, politik wijkenstelsel -pemisahan permukiman berdasarkan etnisitas- oleh Hindia Belanda-lah yang memaksa kaum Tionghoa berpindah ke kawasan tersebut. Rumah-rumah pun tak lagi diposisikan menghadap sungai, tapi membelakanginya.
Selain itu, sketsa permukiman Tionghoa yang membelakangi Sungai Semarang tersebut membentangkan sejarah tergadainya arsitektur tradisional Tionghoa. Pada 1980-an, sebagai politik penanganan banjir, pejabat kota madya bermaksud ”menormalisasi” sungai, yakni melalui pelebaran, pengerukan, dan pembuatan sepasang jalan inspeksi di sepanjang sungai. Hasilnya, proyek itu memotong beberapa meter setiap 24 rumah Tionghoa di Jalan Petudungan dan Gang Warung. Rumah kuno yang seharusnya dikonversi malah dipotong. Kini, kalau Anda menyusuri Sungai Semarang; airnya tetap tak mengalir, jalan di kedua sisinya justru menjadi slum area, dan saban tahun banjir di kota itu tetap tak teratasi.
Tak berhenti sampai di situ, pada pertengahan 1980-an, gubernur Jawa Tengah mengeluarkan peraturan tentang pemakaian atap tradisional Jawa (baca: joglo) di setiap bangunan baru. Dia melarang pemakaian ornamen-ornamen Barat maupun Tionghoa, tanpa peduli itu di daerah pecinan dan pemiliknya seorang Tionghoa. Salah satu dampaknya, arsitektur rumah toko Tionghoa -yang merupakan ciri umum rumah-rumah di jalan utama di kota kabupaten- dipandang kumuh sehingga harus diruntuhkan dan diganti dengan arsitektur beton.
Menurut kesimpulan Pratiwo, sederet realitas itu amat kontradiktif tatkala dihadapkan pada sejarah transformasi permukiman dan rumah-rumah Tionghoa pada masa-masa sebelumnya yang menuruti akulturasi dengan karakter ekspresi seni yang tinggi.
Buku ini serius tapi menghibur. Ya, menghibur dahaga baca kita atas pustaka mengenai arsitektur Tionghoa dan perkembangan kota dengan penelitian akademik yang mendalam. Sebab, selama ini memang belum pernah ada. Menghibur yang berarti meletakkan beban lanjutan, ”Bagaimana andai subjek analisis diputaralihkan ke kawasan lain di sepanjang Semenanjung Muria, seperti Bunyaran, Demak, Kudus, Pati, Juwana, Rembang, Welahan, Jepara, atau Tayu?” Dengan maksud sebagai tambahan data, informasi pendeknya memang disediakan Pratiwo di bab terakhir. Tapi, itu saja belumlah cukup. Benar saja, sembilan area kaji dalam sembilan belas halaman (hlm 261-279)? Tidak!
Dengan kata lain, ketika Pratiwo menyusunnya berjejalan di hanya satu bab, tidakkah hal itu ungkapan lain buat periset-periset selanjutnya guna memperkaya dan menuntaskan kajian, setidaknya dalam fokus bahasan arsitektural yang serupa? Di titik itukah kini kita ditantang? (*)
Judul buku: Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota
Penulis: Pratiwo
Penerbit: Ombak, Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xxiii+311 halaman
*) Peminat sejarah, bergiat di Komunitas Kembang Merak, Jogjakarta.
http://www.jawapos.co.id/
SETIAP kali saya tuntas menyimak buku berbobot seputar Tionghoa, selalu saja tebersit kesan keterlambatan di benak. Termasuk, ketika menyimak 311 halaman buku ini. Ya, buku hasil disertasi Pratiwo berjudul Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota ini paling tepat dihadirkan seketika setelah ditulis pada 1996 -ua tahun menjelang huru-hara 1998. Mengapa demikian? Sekali lagi, bagi kita yang mau membaca tuntas buku ini, akan terasa betapa rentetan sejarah diskriminasi politik terhadap etnis Tionghoa merupakan kekerdilan yang menggadaikan budaya dan peradaban leluhur -yang bahkan sejak abad XIV, menurut N.J. Krom, orang Tionghoa pun sudah memiliki permukiman di Pulau Jawa.
Pratiwo membuktikan kebenaran premis itu dengan kerja tekun ”menyusuri” gang-gang dan arsitektur seratus lebih rumah Tionghoa di Semarang dan Lasem. Di negeri ini, fokus kajian arsitektur tradisional Tionghoa memang amat jarang diseriusi sekaligus melulu diimpit literatur ketionghoaan berbahasa Indonesia dari disiplin ilmu sosial-humaniora. Tak ayal, melalui puluhan sketsa hasil coretan tangan Pratiwo sendiri, menyimak buku ini seolah merupakan cara lain menikmati buku. Apalagi, meskipun berbahasa Inggris saat diajukan sebagai penelitian doktoral di RWTH Achen, Jerman, dengan judul The Transformation of Traditional Chinese Architecture, terjemahan Pratiwo ini enak dibaca dan mengalir.
Di ranah akademik, Pratiwo merupakan sosok dengan level kepakaran dan kecintaan tinggi terhadap arsitektur Tionghoa. Sebelum menggarap disertasi ini, dia merampungkan studi post-graduate di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia, dengan mengusung tesis berjudul The Architecture of Lasem: A Typho-Morphological Approach for Redifining the Architecture of Lasem (1990). Beberapa tulisan di jurnal internasional dan penelitian-penelitiannya pun masih mengupas tema serupa, arsitektur Tionghoa, khususnya di Lasem. Bahkan, di akhir sebuah artikelnya yang bertajuk Menggugat Jalan Lewat Arsitektur Pembebasan, dia membubuhkan anotasi kecil begini: ”Dari Saya, yang Mencintai Lasem”.
Sulit disanggah, Lasem memang unik hingga seolah tak terceraikan dari arsitektur Tionghoa. Meminjam penuturan Prof Dr Ing L.M.F. Purwanto di pengantar buku (hlm xxii), ”Kalau membicarakan arsitektur Tionghoa di Indonesia, akan selalu teringat Lasem serta apabila menceritakan Lasem pasti yang terbayang adalah arsitektur Tionghoa yang kental dan khas.” Tak salah belakangan sejarawan ingin memasukkan Lasem sebagai kota cagar budaya. Dan, ketika buku ini menyasar Lasem (dan Semarang) sebagai subjek analisis, sungguh kita mesti melayangkan apresiasi serta berkata bahwa ini kajian yang ”persis di lubuk jantung”.
Nah, baik di Lasem maupun Semarang, ilmu tata letak bangunan dan permukiman -biasa disebut hongshui- bersandar pada ide dasar kosmologi Tiongkok. ”Permukiman yang paling ideal, menurut hongshui, adalah dilatarbelakangi pegunungan atau perbukitan dan menghadap ke sungai atau laut,” tulis Pratiwo. ”Jika dihubungkan dengan simbol binatang kosmologis; sungai yang di depan rumah adalah burung merak merah yang membawa kemakmuran, di belakang rumah adalah kura-kura hitam, di sebelah kanan duduk macan putih yang membawa sial, dan di sebelah kiri adalah sang naga biru yang juga membawa keberuntungan,” urainya. Kosmologi ini dipercaya dapat menangkap ”Qi” atau napas hidup.
Gambar di sampul depan buku ini merupakan contoh sketsa permukiman yang menarasikan (problematika) penerapan ide kosmologi tersebut. Sketsa itu melukiskan bagian belakang rumah di Jalan Petudungan, Semarang, pada 1991. Permukiman Tionghoa (pecinan) di Jalan Petudungan sebenarnya merupakan pindahan dari pecinan pertama di Semarang yang terletak di Simongan. Pada 1841, politik wijkenstelsel -pemisahan permukiman berdasarkan etnisitas- oleh Hindia Belanda-lah yang memaksa kaum Tionghoa berpindah ke kawasan tersebut. Rumah-rumah pun tak lagi diposisikan menghadap sungai, tapi membelakanginya.
Selain itu, sketsa permukiman Tionghoa yang membelakangi Sungai Semarang tersebut membentangkan sejarah tergadainya arsitektur tradisional Tionghoa. Pada 1980-an, sebagai politik penanganan banjir, pejabat kota madya bermaksud ”menormalisasi” sungai, yakni melalui pelebaran, pengerukan, dan pembuatan sepasang jalan inspeksi di sepanjang sungai. Hasilnya, proyek itu memotong beberapa meter setiap 24 rumah Tionghoa di Jalan Petudungan dan Gang Warung. Rumah kuno yang seharusnya dikonversi malah dipotong. Kini, kalau Anda menyusuri Sungai Semarang; airnya tetap tak mengalir, jalan di kedua sisinya justru menjadi slum area, dan saban tahun banjir di kota itu tetap tak teratasi.
Tak berhenti sampai di situ, pada pertengahan 1980-an, gubernur Jawa Tengah mengeluarkan peraturan tentang pemakaian atap tradisional Jawa (baca: joglo) di setiap bangunan baru. Dia melarang pemakaian ornamen-ornamen Barat maupun Tionghoa, tanpa peduli itu di daerah pecinan dan pemiliknya seorang Tionghoa. Salah satu dampaknya, arsitektur rumah toko Tionghoa -yang merupakan ciri umum rumah-rumah di jalan utama di kota kabupaten- dipandang kumuh sehingga harus diruntuhkan dan diganti dengan arsitektur beton.
Menurut kesimpulan Pratiwo, sederet realitas itu amat kontradiktif tatkala dihadapkan pada sejarah transformasi permukiman dan rumah-rumah Tionghoa pada masa-masa sebelumnya yang menuruti akulturasi dengan karakter ekspresi seni yang tinggi.
Buku ini serius tapi menghibur. Ya, menghibur dahaga baca kita atas pustaka mengenai arsitektur Tionghoa dan perkembangan kota dengan penelitian akademik yang mendalam. Sebab, selama ini memang belum pernah ada. Menghibur yang berarti meletakkan beban lanjutan, ”Bagaimana andai subjek analisis diputaralihkan ke kawasan lain di sepanjang Semenanjung Muria, seperti Bunyaran, Demak, Kudus, Pati, Juwana, Rembang, Welahan, Jepara, atau Tayu?” Dengan maksud sebagai tambahan data, informasi pendeknya memang disediakan Pratiwo di bab terakhir. Tapi, itu saja belumlah cukup. Benar saja, sembilan area kaji dalam sembilan belas halaman (hlm 261-279)? Tidak!
Dengan kata lain, ketika Pratiwo menyusunnya berjejalan di hanya satu bab, tidakkah hal itu ungkapan lain buat periset-periset selanjutnya guna memperkaya dan menuntaskan kajian, setidaknya dalam fokus bahasan arsitektural yang serupa? Di titik itukah kini kita ditantang? (*)
Judul buku: Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota
Penulis: Pratiwo
Penerbit: Ombak, Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xxiii+311 halaman
*) Peminat sejarah, bergiat di Komunitas Kembang Merak, Jogjakarta.
Prosa Rumah: Referensi dan Representasi
Bandung Mawardi
http://www.lampungpost.com/
Rabindranath Tagore dalam novel The Home and The World mengisahkan politik, cinta, nasionalisme, ideologi kelas, dan kolonialisme. Tagore dalam novel itu mengonstruksi rumah dengan pandangan liris dan menegangkan. Rumah menjadi metafor untuk manusia dan negeri India yang merumuskan diri pada awal abad XX dalam kuasa kolonialisme Inggris dan modernitas.
Rumah berbeda dengan dunia (luar rumah). Rumah identik dengan runag (kurungan) yang tidak memberi kebebasan. Dunia identik dengan kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicari dan ditemukan. Tokoh Bimala berada dalam tegangan untuk lari dari rumah dan hadir di dunia atau menghidupi rumah dengan kesetiaan dan pembebasan diri yang menganut konvensi. Bimala sebagai perempuan sadar tradisi dan sadar pandangan politik-intelektual yang membebaskan dengan risiko besar. Rumah dan dunia adalah tragedi.
Rumah dan dunia dalam novel Tagore adalah kisah kekacauan dan ketertiban, politik radikal dan politik moderat, modernitas dan tradisionalis, kesetiaan dan pengkhianatan, kejujuran dan kebohongan, cinta dan kebencian, kelemahan dan kekuatan. Novel The Home and The World adalah representasi kisah kolonialisme dan modernitas. Tagore melahirkan kisah rumah sebagai seorang India tulen.
Kisah rumah lain dikisahkan V.S. Naipul. Pengarang ini lahir di Trinidad dari keluarga imigran India. Rumah dalam pemahaman Naipul adalah sesuatu yang dipikirkan dalam pemikiran seorang bocah. Rumah adalah sesuatu yang naif, fantasi, ketakutan, kebebasan, siksa, dan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas. Rumah menjadi ruang untuk merumuskan identitas diri dan kultural.
Rumah adalah perkara gairah dan pertanyaan. Naipul mesti membedakan “rumah hidup” atau “rumah mati” dari sekian rumah yang pernah dihuni di sekian negeri. Naipul lalu mengisahkan rumah dalam teks-teks yang merepresentasikan identitas, sejarah, politik, geografi, dan peradaban. Teks penting dari Naipul mengenai rumah yakni novel A House for Mr Biswas. Naipul dalam novel itu mengisahkan rumah sebagai metafor untuk manusia yang merumuskan identitas.
Rumah adalah metafor yang kompleks untuk kisah manusia dan peradaban. Tagore dan Naipul sanggup mengisahkan rumah untuk pembaca di pelbagai negeri dalam realitas kultural yang berbeda. Bagaimana pengarang Indonesia mengisahkan rumah?
Asrul Sani lumayan intens dan representatif mengisahkan rumah dalam buku kumpulan cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1971). Cerpen Beri Aku Rumah dengan satir mengisahkan seorang tokoh yang mencari rumah. Rumah adalah hidup dan ruang untuk biografi manusia yang lelah dalam perjalanan intelektual dan penggelandangan hidup. Tokoh dalam cerpen Asrul Sani melakukan migrasi epistemologis dan geografis tanpa ada kepastian bahwa migrasi berhenti karena ada rumah yang ditemukan. Tokoh itu merasa rumah adalah hak manusia. Pertanyaan yang muncul adalah hak itu belum tentu ada pemenuhan dalam bentuk pemberian atau pencarian.
Metafor rumah yang liris dikisahkan Asrul Sani dalam cerpen Perumahan bagi Fadjria Novari. Rumah adalah kisah manusia dan hidup yang mesti dijalani dengan nostalgia dan utopia. Rumah adalah kepergian dan kepulangan; awal dan akhir. Inilah alinea puitis dari Asrul Sani: “Orang tidak dapat terus-menerus hidup di bawah kolong langit. Kau harus cari tempat pulang dan tempat di mana pemberian dapat diberikan dan segala dapat dimulai.”
Trisno Sumardjo mengisahkan rumah dalam novel kecil berjudul Rumah Raya (1973). Rumah adalah kisah keluarga, harga diri, status sosial, pertikaian, dosa, dendam, kematian, benci, dan modernitas. Rumah Raden Mas Sumonegoro didirikan dengan kelicikan dan keserakahan untuk merebut dan menguasai tanah yang bukan hak.
Rumah besar dengan arsitektur dan peniruan perilaku hidup Eropa. Rumah didirikan untuk menghadirkan kuasa, status sosial (priyayi), dan kemodernan. Rumah itu jadi cerita orang-orang kota dengan segala yang mencengangkan dan menegangkan. Konflik terus lahir dalam rumah dan berhembus ke luar untuk menjadi gosip dan berita umum. Rumah itu perlahan menjadi kisah sedih dan tragis.
Rumah adalah metafora untuk biografi keluarga yang pecah dan kisah modernitas yang tidak terealisasikan dengan sempurna. Rumah tak mungkin jadi acuan tunggal dari harga diri dan modernitas. Kepercayaan atas peran rumah niscaya terbatasi oleh etika, kondisi zaman, dan progresivitas kultural. Rumah adalah kisah kehidupan dan kematian manusia dengan pelbagai pamrih, impian, dan tragedi.
Kisah rumah dituliskan Y.B. Mangunwijaya dalam cerpen Rumah Bambu yang ditulis pada tahun 1980. Cerpen itu identik dengan laku hidup Mangunwijaya dalam melibatkan diri dengan kehidupan rakyat kecil. Tokoh Parji adalah seroang miskin yang hidup dengan Pinuk (isteri) dan seorang bayi dalam rumah bambu. Rumah itu didirikan dan dihidupi dengan keterbatasan uang dan bantuan orang lain. Parji menginginkan rumah itu jadi ruang hidup yang harmonis. Parji menyebut rumah itu sebagai “sarang yang biar sederhana, akan tetapi bagus dan terhormat”.
Rumah bambu itu tak luput dari kisah pertikaian. Pinuk ingin rumah yang tidak sekadar itu, dan Parji tak mungkin bisa lekas menuruti. Pinuk memiliki argumen bahwa rumah itu tak baik untuk pertumbuhan bayi karena lantai yang bukan ubin. Argumen itu dibantah Parji, tapi tidak bisa berterima. Parji dan Pinuk terlanjur membuat pamrih dan pemaknaan berbeda untuk hidup bersama dalam rumah bambu. Rumah dalam cerpen Mangunwijaya adalah kisah kaum miskin berhadapan dengan sesuatu atau impian yang susah direalisasikan. Kebutuhan dan keinginan menjadi suatu keputusan dengan kompromi dan pilihan sadar. Rumah adalah penerimaan menjalani lakon hidup dengan keterbatasan-keterbatasan dan mimpi yang bisa diciptakan untuk penebus realitas atau mungkin menjadi perubahan mengejutkan.
Kisah-kisah rumah dalam teks sastra memberi keterbukaan untuk interpretasi dalam konteks sejarah, antropologi, geografi, arsitektur, sosiologi, politik, dan studi kebudayaan. Rumah menjadi referensi yang representatif untuk kisah manusia dan peradaban. Begitu.
*) Kritikus sastra; peneliti Kabut Institut; redaktur buletin sastra Pawon (Solo)
http://www.lampungpost.com/
Rabindranath Tagore dalam novel The Home and The World mengisahkan politik, cinta, nasionalisme, ideologi kelas, dan kolonialisme. Tagore dalam novel itu mengonstruksi rumah dengan pandangan liris dan menegangkan. Rumah menjadi metafor untuk manusia dan negeri India yang merumuskan diri pada awal abad XX dalam kuasa kolonialisme Inggris dan modernitas.
Rumah berbeda dengan dunia (luar rumah). Rumah identik dengan runag (kurungan) yang tidak memberi kebebasan. Dunia identik dengan kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicari dan ditemukan. Tokoh Bimala berada dalam tegangan untuk lari dari rumah dan hadir di dunia atau menghidupi rumah dengan kesetiaan dan pembebasan diri yang menganut konvensi. Bimala sebagai perempuan sadar tradisi dan sadar pandangan politik-intelektual yang membebaskan dengan risiko besar. Rumah dan dunia adalah tragedi.
Rumah dan dunia dalam novel Tagore adalah kisah kekacauan dan ketertiban, politik radikal dan politik moderat, modernitas dan tradisionalis, kesetiaan dan pengkhianatan, kejujuran dan kebohongan, cinta dan kebencian, kelemahan dan kekuatan. Novel The Home and The World adalah representasi kisah kolonialisme dan modernitas. Tagore melahirkan kisah rumah sebagai seorang India tulen.
Kisah rumah lain dikisahkan V.S. Naipul. Pengarang ini lahir di Trinidad dari keluarga imigran India. Rumah dalam pemahaman Naipul adalah sesuatu yang dipikirkan dalam pemikiran seorang bocah. Rumah adalah sesuatu yang naif, fantasi, ketakutan, kebebasan, siksa, dan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas. Rumah menjadi ruang untuk merumuskan identitas diri dan kultural.
Rumah adalah perkara gairah dan pertanyaan. Naipul mesti membedakan “rumah hidup” atau “rumah mati” dari sekian rumah yang pernah dihuni di sekian negeri. Naipul lalu mengisahkan rumah dalam teks-teks yang merepresentasikan identitas, sejarah, politik, geografi, dan peradaban. Teks penting dari Naipul mengenai rumah yakni novel A House for Mr Biswas. Naipul dalam novel itu mengisahkan rumah sebagai metafor untuk manusia yang merumuskan identitas.
Rumah adalah metafor yang kompleks untuk kisah manusia dan peradaban. Tagore dan Naipul sanggup mengisahkan rumah untuk pembaca di pelbagai negeri dalam realitas kultural yang berbeda. Bagaimana pengarang Indonesia mengisahkan rumah?
Asrul Sani lumayan intens dan representatif mengisahkan rumah dalam buku kumpulan cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1971). Cerpen Beri Aku Rumah dengan satir mengisahkan seorang tokoh yang mencari rumah. Rumah adalah hidup dan ruang untuk biografi manusia yang lelah dalam perjalanan intelektual dan penggelandangan hidup. Tokoh dalam cerpen Asrul Sani melakukan migrasi epistemologis dan geografis tanpa ada kepastian bahwa migrasi berhenti karena ada rumah yang ditemukan. Tokoh itu merasa rumah adalah hak manusia. Pertanyaan yang muncul adalah hak itu belum tentu ada pemenuhan dalam bentuk pemberian atau pencarian.
Metafor rumah yang liris dikisahkan Asrul Sani dalam cerpen Perumahan bagi Fadjria Novari. Rumah adalah kisah manusia dan hidup yang mesti dijalani dengan nostalgia dan utopia. Rumah adalah kepergian dan kepulangan; awal dan akhir. Inilah alinea puitis dari Asrul Sani: “Orang tidak dapat terus-menerus hidup di bawah kolong langit. Kau harus cari tempat pulang dan tempat di mana pemberian dapat diberikan dan segala dapat dimulai.”
Trisno Sumardjo mengisahkan rumah dalam novel kecil berjudul Rumah Raya (1973). Rumah adalah kisah keluarga, harga diri, status sosial, pertikaian, dosa, dendam, kematian, benci, dan modernitas. Rumah Raden Mas Sumonegoro didirikan dengan kelicikan dan keserakahan untuk merebut dan menguasai tanah yang bukan hak.
Rumah besar dengan arsitektur dan peniruan perilaku hidup Eropa. Rumah didirikan untuk menghadirkan kuasa, status sosial (priyayi), dan kemodernan. Rumah itu jadi cerita orang-orang kota dengan segala yang mencengangkan dan menegangkan. Konflik terus lahir dalam rumah dan berhembus ke luar untuk menjadi gosip dan berita umum. Rumah itu perlahan menjadi kisah sedih dan tragis.
Rumah adalah metafora untuk biografi keluarga yang pecah dan kisah modernitas yang tidak terealisasikan dengan sempurna. Rumah tak mungkin jadi acuan tunggal dari harga diri dan modernitas. Kepercayaan atas peran rumah niscaya terbatasi oleh etika, kondisi zaman, dan progresivitas kultural. Rumah adalah kisah kehidupan dan kematian manusia dengan pelbagai pamrih, impian, dan tragedi.
Kisah rumah dituliskan Y.B. Mangunwijaya dalam cerpen Rumah Bambu yang ditulis pada tahun 1980. Cerpen itu identik dengan laku hidup Mangunwijaya dalam melibatkan diri dengan kehidupan rakyat kecil. Tokoh Parji adalah seroang miskin yang hidup dengan Pinuk (isteri) dan seorang bayi dalam rumah bambu. Rumah itu didirikan dan dihidupi dengan keterbatasan uang dan bantuan orang lain. Parji menginginkan rumah itu jadi ruang hidup yang harmonis. Parji menyebut rumah itu sebagai “sarang yang biar sederhana, akan tetapi bagus dan terhormat”.
Rumah bambu itu tak luput dari kisah pertikaian. Pinuk ingin rumah yang tidak sekadar itu, dan Parji tak mungkin bisa lekas menuruti. Pinuk memiliki argumen bahwa rumah itu tak baik untuk pertumbuhan bayi karena lantai yang bukan ubin. Argumen itu dibantah Parji, tapi tidak bisa berterima. Parji dan Pinuk terlanjur membuat pamrih dan pemaknaan berbeda untuk hidup bersama dalam rumah bambu. Rumah dalam cerpen Mangunwijaya adalah kisah kaum miskin berhadapan dengan sesuatu atau impian yang susah direalisasikan. Kebutuhan dan keinginan menjadi suatu keputusan dengan kompromi dan pilihan sadar. Rumah adalah penerimaan menjalani lakon hidup dengan keterbatasan-keterbatasan dan mimpi yang bisa diciptakan untuk penebus realitas atau mungkin menjadi perubahan mengejutkan.
Kisah-kisah rumah dalam teks sastra memberi keterbukaan untuk interpretasi dalam konteks sejarah, antropologi, geografi, arsitektur, sosiologi, politik, dan studi kebudayaan. Rumah menjadi referensi yang representatif untuk kisah manusia dan peradaban. Begitu.
*) Kritikus sastra; peneliti Kabut Institut; redaktur buletin sastra Pawon (Solo)
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita