Pewawancara: Luky Setyarini
http://www.ruangbaca.com/
Ketika Revolusi Budaya dilancarkan di Cina antara 1966-1976, ada sekelompok penyair yang karena gaya puisinya yang sulit dipahami, seperti berkabut, disebut sebagai Misty Poets. Salah satu dari para penyair kritis yang aktif menulis di majalah Jintian (Today) itu adalah Yang Lian.
Lahir di Swiss pada 1955, ayah Yang seorang diplomat. Ketika keluarganya pulang kampung, Yang muda dikirim ke pedesaan Changping dekat Beijing, untuk mengikuti program reedukasi. Seorang putra diplomat yang berpendidikan tinggi memang diwajibkan belajar dari petani. Metode ini digunakan di masa Mao Zedong pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Selama tinggal di pedesaan, Yang mulai menulis puisi.
Sekembalinya ke Beijing, Yang bekerja di stasiun pemancar radio pemerintah. Pada 1979, Yang bergabung dengan kelompok penyair yang menulis untuk Jintian. Gaya puisi pria berusia 54 tahun ini berubah menjadi modern, eksperimental, yang jamak dipraktekkan para penyair Misty Poets. Pada 1983, karyanya berjudul Norlang (nama suatu air terjun di Tibet) membuat gusar pemerintah Cina. Surat penangkapan untuk Yang dikeluarkan, namun Yang berhasil lolos.
Ketika militer Cina menumpas demonstrasi di Lapangan Tiananmen dengan kekerasan –dikenal sebagai Peristiwa 4 Juni 1989 — Yang berada di Selandia Baru dan ikut menggelar aksi protes terhadap kekerasan oleh pemerintah Cina. Karya-karyanya kemudian dilarang beredar di Cina, termasuk dua calon buku yang akan diterbitkan waktu itu. Tak lama kemudian, kewarganegaraannya pun dicabut dan dia memohon suaka di Selandia Baru. Pada 2008, dia terpilih sebagai salah satu anggota Dewan PEN Internasional, perhimpunan penyair, esais, dan novelis. Sejak 1993, dia bermukim di London.
Pada pertengahan Oktober lalu, Yang hadir di Pameran Buku Frankfurt. Reporter Tempo Luky Setyarini berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya.
Kenapa Anda hadir di pameran ini?
Titik perhatian dari pameran ini adalah seluruhnya mengenai Cina, tentang sastranya, politiknya. Dalam hal ini, membawa Cina menjadi fokus masyarakat internasional. Karena itu, diskusinya mengenai apa pun, politiknya, atau sastra, linguistik. Saya pikir ini sangat penting bagi pernyataan mengenai perubahan Cina dari versi lama era Perang Dingin hingga bergerak menjadi — yang saya harap –sedikit menjadi versi baru. Makanya saya tertarik untuk datang.
Pemerintah Cina juga hadir. Anda tidak merasa khawatir, takut, atau terancam dengan melontarkan pendapat Anda?
Tidak. Saya memang sudah beberapa kali ke Cina. Namun setelah peristiwa Tiananmen saya tidak pernah kembali menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Pertama kali saya kembali ke Cina pada 1995, ketika saya mengganti kewarganegaraan Selandia Baru. Cina menjadi negara asing bagi saya, tapi saya menulis dalam bahasa ibu. Saya tidak mengakui badan politiknya, tapi saya mengakui bahasa dan tradisinya. Ya, saya tahu mereka di sini. Lalu mengapa? Mereka ada di mana saja.
Cina saat ini ibarat memiliki wajah ganda. Satu wajah kapitalis, satu lagi komunis. Menurut Anda?
Istilah yang tepat adalah Cina merupakan komunis terburuk dan kapitalis terburuk. Inilah yang paling tepat untuk menggambarkan Cina, karena saya dapat kembali ke Cina dan melihat Cina dari dalam, sejauh ini. Ada beberapa bagian, seperti menteri propaganda, yang menjadi mitra langsung penyelenggara Pameran Buku Frankfurt. Mereka adalah bagian dari Cina dan pemerintah Cina yang paling, paling buruk. Mereka tidak membawa tanggung jawab yang nyata ke dunia nyata. Mereka hanya bertanggung jawab supaya mesin ideologi tetap berfungsi, bertanggung jawab hanya terhadap pemimpin mereka, dan tidak terhadap rakyat.
Banyak penulis dan seniman Cina dipenjara karena pemikiran vokal dan bebas mereka. Bagaimana menurut Anda?
Memang, sayang sekali. Sekali lagi, secara linguistik, ini merupakan bagian terburuk dari yang terburuk dari Cina, yaitu sensor tegas terhadap pendapat dan pemikiran bebas, dan mereka sangat takut terhadap kata-kata. Di titik ini, tidak disangkal lagi, kita harus berjuang demi pembebasan para penulis itu. Kita harus berbicara untuk mereka, kita harus berjuang sebisa mungkin untuk mereka. Makanya, ketika tahun lalu saya dipilih menjadi anggota Dewan PEN Internasional, saya juga mendorong perubahan di lapisan lain, tapi fokusnya terutama pada para penulis yang ditahan. Kami mempublikasikan daftar penulis yang berada di penjara ke hadapan internasional. Ini merupakan hal yang menyedihkan.
Anda kan dapat mengunjungi Cina. Bisa diceritakan bagaimana situasi kesusastraannya saat ini?
Inilah masalah terbesarnya. Karena kontrol politik dan sensor di satu sisi, dan pasar yang sangat besar di sisi lain, para penulis yang sebenarnya pemikir independen ditekan dari dua sisi, kekuasaan dan uang.
Jadi, ada dua kemungkinan. Pertama, penulis menjadi seseorang yang punya pemikiran kuat, memiliki pemahaman yang jernih mengenai dirinya, tulisan apa yang ingin dibuat, makanya peganglah prinsip itu, jangan peduli akan dipublikasikan atau tidak, penulis itu akan menjelma dengan jiwa tradisi klasik yang luar biasa dan menjadi penulis besar internasional.
Tapi, sayangnya, hanya sedikit penulis Cina yang ingin melakukannya. Sebagian besar lebih suka menjadi pemain, terikat pada pohon sensor, tapi bergegas ke pihak komersial dan menulis hal seperti makanan instan, seperti McDonald’s. Karena mereka ingin menulis hari ini, menjualnya besok, dan mendapat banyak uang besok lusanya. Dalam kasus ini, pasar bukanlah pasar yang sebenarnya. Ini sebenarnya pasar yang tidak sehat dengan kontrol ideologi.
Saya sudah membaca puisi Anda dan saya pikir karya Anda tidak ’berbahaya’. Apakah puisi Anda masih dilarang diterbitkan di Cina?
Puisi punya gerakan yang menarik. Kami untungnya menulis puisi yang tak mudah dipahami. Sejak kami mulai menulis, sejak kami meninggalkan dunia yang besar dan palsu seperti sosialisme, kapitalisme, kami menggunakan bahasa yang murni dan klasik, serta menggunakan matahari, bulan, air, kegelapan, kehidupan, ajal. Makanya, puisi-puisi kami disebut misty poems atau puisi yang diselubungi kabut. Karena, itu tadi, puisi kami tidak mudah dipahami, dan diasosiasikan dengan slogan politik.
Jadi, puisi-puisi kami tak hanya bercerita mengenai perlawanan terhadap propaganda politik, tapi juga menunjukkan hasrat puitis, melalui bahasa, juga mempertanyakan diri sendiri sedalam mungkin. Makanya tidak hanya mengenai hitam dan putih, tapi penuh dengan kompleksitas, kekayaan, perasaan diri yang kontradiktif, tapi pada akhirnya bentuk yang kreatif.
Pada dasawarsa 1980-an, ketika gerakan politik dibungkam, karya saya dilarang, lalu ketika demonstrasi Tiananmenn dirusak, buku-buku dimusnahkan. Itu bukan karena mereka memahami puisi saya. Mereka melarang karya saya, bukan karena puisinya, tapi mereka ingin menghancurkan saya. Jadi, sebetulnya, sang penyairlah alasannya. Jadi, puisi mati mengatasnamakan penyairnya.
Sekarang, ketika seluruh Cina menjadi komersial, masalahnya bukan lagi sensor dan melarang puisi karena politis. Puisi itu sendiri disensor secara komersial, alasan komersial. Para penerbit hampir begitu saja berhenti mencetak puisi apa pun. Karena tidak menjual. Karena itu bukanlah bisnis budaya, melainkan sekedar bisnis. Mereka tidak peduli pada gelombang budaya. Sangat menyedihkan bagi Cina, negara yang memiliki tradisi besar dalam puisi klasik. Tapi saya tetap melanjutkan menulis puisi. Tak peduli apa mereka mau menerbitkannya atau tidak, atau mereka bilang bagus atau tidak. Saya pikir, puisi itu sangat penting bagi saya sendiri.
Anda tinggal di London, Anda juga berkeliling dunia. Apakah Anda merasa bagian dari masyarakat penulis dan seniman dunia?
London adalah tempat pertemuan yang besar. Bukan karena begitu banyaknya komunitas, tapi sebenarnya karena kedalaman, sejarah, dan tradisi Inggris Raya itu sendiri sebagai lapangan pemikiran terbuka. Namun saya tidak menempatkan diri saya dalam panggung besar itu. Saya juga menciptakan London versi sendiri. Buku yang Anda miliki, Lee Valley Poems, adalah puisi-puisi London versi saya. Ini bukanlah puisipuisi London, tapi puisi-puisi London kepunyaan Yang Lian. Lee Valley adalah lembah dekat rumah saya di London, tempat saya jalan-jalan.
Apakah dengan begitu, London menjadi kampung halaman Anda? Atau masihkah Cina menjadi kampung halaman Anda? Ataukah dunia adalah tanah air Anda?
Puisi adalah kampung halaman saya. Itulah yang selalu saya gapai melalui pemikiran kaya saya. Itu tidak dibatasi oleh batas negara, abadi dan tanpa batas.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
20/03/10
Memilih Sekolah Alternatif Romo Mangun
Judul: Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional
Penulis: Y Dedy Pradipto
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 272 Halaman
Peresensi: Hanik Uswatun Khasanah
http://suaramerdeka.com/
BUKU ini mengaji konsep dan praksis pendidikan alternatif-eksperimental yang diwariskan oleh seorang pedagog besar bernama YB Mangunwijawa. Konsep pendidikan ini menawarkan kurikulum yang berbeda dari kurikulum nasional. Konsep tersebut sudah lama diberlakukan di Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental (SDKE) Mangunan.
Pemikiran Romo Mangun tentang pendidikan alternatif-eksperimental bermula dari kritik-kritiknya terhadap bentuk pendidikan nasional yang cenderung seragam. Bentuk penyeragaman pendidikan nasional dapat dicermati dari kurikulum yang dibuat pemerintah, mulai Kurikulum 1974 hingga 1994. Romo Mangun tentu saja tidak berhenti pada kritik bernada ketidaksetujuan, tetapi juga berpikir tentang bentuk pendidikan lain yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
Menurut Y Dedy Pradipto, Romo Mangun tidak mengartikan pendidikan alternatif-eksperimental dengan “mengganti sekolah formal”, melainkan merumuskan materi dan metode baru pendidikan yang akhirnya digunakan di SDKE Mangunan dengan Dinamika Edukasi Dasar (DED) sebagai supporting system. Bagi Romo Mangun, sekolah formal yang disediakan pemerintah telah kehilangan arti sejati karena menjadikan anak didik sebagai robot. Sekolah formal menjadi kelas-kelas penataran dan lomba rangking. Akibatnya, peran guru tereduksi hanya menjadi penatar dan birokrat. Mereka tidak lagi diposisikan sebagai anak yang kreatif (halaman 65).
Karena alasan itulah, Romo Mangun mulai berpikir tentang bentuk pendidikan alternatif yang mengajarkan kepada anak didik kemampuan atau keterampilan hidup. Untuk memiliki keterampilan hidup, seseorang memerlukan sebuah proses belajar yang berlangsung seumur hidupnya. Romo Mangun lalu menyebutnya sebagai “belajar sejati”, yaitu belajar sebagai bentuk kesadaran yang tidak akan berhenti meskipun sekolah telah usai. Agar bisa mengantarkan anak pada “belajar sejati”, maka diperlukan “suasana hati yang merdeka” yang memungkinkan mereka bisa belajar tanpa paksaan dan tekanan.
Konsep “belajar sejati” yang digagas Romo Mangun mirip dengan konsep pendidikan pembebasan yang telah lama dipopulerkan Paulo Freire dalam buku Pedagogy of the Oppressed. Menurut Freire, pendidikan merupakan proses memerdekakan dan memanusiakan manusia. Karena itu, segala bentuk paksaan dan tekanan yang datang dari luar diri anak didik harus disingkirkan. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, Freire kemudian membangun konsep pendidikan “bersama dengan”, bukan “diperuntukkan bagi” anak didik.
Pendidikan “bersama dengan” ini tidak menempatkan guru sebagai satu-satunya subjek pendidikan yang paling otoritatif dan anak didik sebagai objek pendidikan yang serbapatuh. Keduanya sama-sama diposisikan sebagai subjek pendidikan yang belajar bersama, sedangkan objeknya adalah realitas dan pengetahuan. Ini bisa direalisasikan dengan metode dialogis yang tidak berhenti di dalam kelas saja, tetapi bisa bahkan sangat penting dilanjutkan pascaproses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah.
Khusus untuk merealisasikan konsep “belajar sejati”, Romo Mangun menunjuk dua kompetensi dasar yang hendak dikembangkan di lembaga pendidikan yang dirintis. Pertama, kemampuan komunikasi dan penguasaan bahasa anak yang dilengkapi dengan kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan sesama. Kedua, pemekaran jiwa anak yang eksploratif, kreatif, dan integral. Kemampuan eksploratif membuat anak suka mencari dan bertanya. Kemampuan kreatif membuat anak bisa mencipta hal-hal baru. Kemampuan integral membuat anak bisa menghadapi beragam segi kehidupan dalam keterpaduan yang utuh.
Sebagaimana dituturkan Y Dedy Pradipto dalam buku ini, untuk memenuhi kebutuhan anak didik, Romo Mangun menerapkan pendekatan active learning, joyful learning, dan child-centered learning. Active learning adalah sistem belajar-mengajar yang memungkinkan anak bisa aktif. Joyful learning adalah proses belajar-mengajar yang mengedepankan kegembiraan dan kegairahan anak. Adapun child-centered learning adalah proses pembelajaran yang berpusat pada anak dengan mengembangkan secara optimal pusat-pusat perhatiannya. Dengan pendekatan ini, pendidikan alternatif-eksperimental diwujudkan di SDKE Mangunan (halaman 71).
Konsep pendidikan alternatif-eksperimental Romo Mangun tentu saja berlawanan dengan paket pendidikan nasional yang sentralistik. Negara melalui kurikulum nasional berusaha mewujudkan suatu bentuk pendidikan yang berlaku seragam. Romo Mangun melalui “belajar sejati” yang diwujudkan dalam kegiatan belajar-mengajar di SDKE Mangunan seakan ingin menunjukkan bahwa gagasan pendidikan tidak bisa diberlakukan secara seragam. Di sini terjadi kontestasi kekuasaan antarkeduanya yang diulas dengan lugas oleh Y Dedy Pradipto dalam buku ini.
Permasalahan kontestasi kekuasaan tersebut memaksa Y Dedy Pradipto untuk mendiskusikan teori kekuasaan dalam dunia pendidikan. Konsep kekuasaan dalam buku ini merujuk pada pemikiran Foucault tentang kekuasaan. Mengikuti Foucault, Y Dedy Pradipto tidak mengartikan kekuasaan sebagai sebuah benda yang bisa dimiliki, diberikan atau dipindahtangankan. Kekuasaan merupakan strategi yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan mekanisme tertentu.
Dengan demikian, negara sesungguhnya tidak memunyai kekuasaan. Kekuasaan bekerja pada negara, dan kurikulum nasional dapat dilihat sebagai salah satu wujud. Kurikulum nasional inilah yang berseberangan dengan konsep “belajar sejati” Romo Mangun.
Penulis: Y Dedy Pradipto
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 272 Halaman
Peresensi: Hanik Uswatun Khasanah
http://suaramerdeka.com/
BUKU ini mengaji konsep dan praksis pendidikan alternatif-eksperimental yang diwariskan oleh seorang pedagog besar bernama YB Mangunwijawa. Konsep pendidikan ini menawarkan kurikulum yang berbeda dari kurikulum nasional. Konsep tersebut sudah lama diberlakukan di Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental (SDKE) Mangunan.
Pemikiran Romo Mangun tentang pendidikan alternatif-eksperimental bermula dari kritik-kritiknya terhadap bentuk pendidikan nasional yang cenderung seragam. Bentuk penyeragaman pendidikan nasional dapat dicermati dari kurikulum yang dibuat pemerintah, mulai Kurikulum 1974 hingga 1994. Romo Mangun tentu saja tidak berhenti pada kritik bernada ketidaksetujuan, tetapi juga berpikir tentang bentuk pendidikan lain yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
Menurut Y Dedy Pradipto, Romo Mangun tidak mengartikan pendidikan alternatif-eksperimental dengan “mengganti sekolah formal”, melainkan merumuskan materi dan metode baru pendidikan yang akhirnya digunakan di SDKE Mangunan dengan Dinamika Edukasi Dasar (DED) sebagai supporting system. Bagi Romo Mangun, sekolah formal yang disediakan pemerintah telah kehilangan arti sejati karena menjadikan anak didik sebagai robot. Sekolah formal menjadi kelas-kelas penataran dan lomba rangking. Akibatnya, peran guru tereduksi hanya menjadi penatar dan birokrat. Mereka tidak lagi diposisikan sebagai anak yang kreatif (halaman 65).
Karena alasan itulah, Romo Mangun mulai berpikir tentang bentuk pendidikan alternatif yang mengajarkan kepada anak didik kemampuan atau keterampilan hidup. Untuk memiliki keterampilan hidup, seseorang memerlukan sebuah proses belajar yang berlangsung seumur hidupnya. Romo Mangun lalu menyebutnya sebagai “belajar sejati”, yaitu belajar sebagai bentuk kesadaran yang tidak akan berhenti meskipun sekolah telah usai. Agar bisa mengantarkan anak pada “belajar sejati”, maka diperlukan “suasana hati yang merdeka” yang memungkinkan mereka bisa belajar tanpa paksaan dan tekanan.
Konsep “belajar sejati” yang digagas Romo Mangun mirip dengan konsep pendidikan pembebasan yang telah lama dipopulerkan Paulo Freire dalam buku Pedagogy of the Oppressed. Menurut Freire, pendidikan merupakan proses memerdekakan dan memanusiakan manusia. Karena itu, segala bentuk paksaan dan tekanan yang datang dari luar diri anak didik harus disingkirkan. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, Freire kemudian membangun konsep pendidikan “bersama dengan”, bukan “diperuntukkan bagi” anak didik.
Pendidikan “bersama dengan” ini tidak menempatkan guru sebagai satu-satunya subjek pendidikan yang paling otoritatif dan anak didik sebagai objek pendidikan yang serbapatuh. Keduanya sama-sama diposisikan sebagai subjek pendidikan yang belajar bersama, sedangkan objeknya adalah realitas dan pengetahuan. Ini bisa direalisasikan dengan metode dialogis yang tidak berhenti di dalam kelas saja, tetapi bisa bahkan sangat penting dilanjutkan pascaproses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah.
Khusus untuk merealisasikan konsep “belajar sejati”, Romo Mangun menunjuk dua kompetensi dasar yang hendak dikembangkan di lembaga pendidikan yang dirintis. Pertama, kemampuan komunikasi dan penguasaan bahasa anak yang dilengkapi dengan kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan sesama. Kedua, pemekaran jiwa anak yang eksploratif, kreatif, dan integral. Kemampuan eksploratif membuat anak suka mencari dan bertanya. Kemampuan kreatif membuat anak bisa mencipta hal-hal baru. Kemampuan integral membuat anak bisa menghadapi beragam segi kehidupan dalam keterpaduan yang utuh.
Sebagaimana dituturkan Y Dedy Pradipto dalam buku ini, untuk memenuhi kebutuhan anak didik, Romo Mangun menerapkan pendekatan active learning, joyful learning, dan child-centered learning. Active learning adalah sistem belajar-mengajar yang memungkinkan anak bisa aktif. Joyful learning adalah proses belajar-mengajar yang mengedepankan kegembiraan dan kegairahan anak. Adapun child-centered learning adalah proses pembelajaran yang berpusat pada anak dengan mengembangkan secara optimal pusat-pusat perhatiannya. Dengan pendekatan ini, pendidikan alternatif-eksperimental diwujudkan di SDKE Mangunan (halaman 71).
Konsep pendidikan alternatif-eksperimental Romo Mangun tentu saja berlawanan dengan paket pendidikan nasional yang sentralistik. Negara melalui kurikulum nasional berusaha mewujudkan suatu bentuk pendidikan yang berlaku seragam. Romo Mangun melalui “belajar sejati” yang diwujudkan dalam kegiatan belajar-mengajar di SDKE Mangunan seakan ingin menunjukkan bahwa gagasan pendidikan tidak bisa diberlakukan secara seragam. Di sini terjadi kontestasi kekuasaan antarkeduanya yang diulas dengan lugas oleh Y Dedy Pradipto dalam buku ini.
Permasalahan kontestasi kekuasaan tersebut memaksa Y Dedy Pradipto untuk mendiskusikan teori kekuasaan dalam dunia pendidikan. Konsep kekuasaan dalam buku ini merujuk pada pemikiran Foucault tentang kekuasaan. Mengikuti Foucault, Y Dedy Pradipto tidak mengartikan kekuasaan sebagai sebuah benda yang bisa dimiliki, diberikan atau dipindahtangankan. Kekuasaan merupakan strategi yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan mekanisme tertentu.
Dengan demikian, negara sesungguhnya tidak memunyai kekuasaan. Kekuasaan bekerja pada negara, dan kurikulum nasional dapat dilihat sebagai salah satu wujud. Kurikulum nasional inilah yang berseberangan dengan konsep “belajar sejati” Romo Mangun.
Mengunjungi Rumah Anne Frank
M. Mushthafa
http://www.jawapos.com/
DARI luar, tak tampak sesuatu yang istimewa pada rumah itu. Di tepi sebuah kanal, berjarak sekitar 1,5 km dari Amsterdam Centraal Station, rumah yang berdiri kokoh itu tampak biasa saja, seperti rumah-rumah lain di sebelahnya. Namun, di siang hari, di pintu masuk rumah itu akan sering tampak orang-orang berbaris panjang membentuk antrean.
Rumah itu tak lain adalah ”Anne Frank House”, sebuah museum yang mendokumentasikan kisah persembunyian Anne Frank dari kejaran rezim Hitler Jerman di era Perang Dunia Kedua. Gadis yang bernama lengkap Annelies Frank itu adalah satu dari jutaan korban pembantaian atas orang-orang Yahudi oleh Hitler.
Gadis kelahiran Frankfurt 12 Juni 1929 ini pada 1933 bersama keluarganya mengungsi ke Belanda, saat Hitler memulai kekuasaannya yang anti-Yahudi di Jerman. Namun, pada Mei 1940, tentara Jerman berhasil menduduki Belanda. Perburuan Yahudi pun terjadi di Belanda.
Terhitung sejak 6 Juli 1942, keluarga Anne Frank bersembunyi di rumah yang kini telah dijadikan museum itu. Lebih dua tahun mereka bersembunyi di tempat itu, sampai akhirnya pada Agustus 1944 tentara Nazi berhasil menemukan mereka.
Bagaimana kisah Anne Frank dapat tersiar ke seluruh penjuru dunia? Selama di persembunyian, Anne Frank menuliskan catatan-catatan hariannya dan akhirnya diterbitkan pertama kali pada 1947. Saat ini, buku harian yang berjudul The Diary of a Young Girl itu telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Saat berkunjung ke museum ini, saya berusaha menangkap dari dekat suasana tempat yang menjadi latar penulisan salah satu autobiografi atau catatan harian yang paling menarik untuk dibaca itu. Rumah itu sendiri ditata sedemikian rupa sehingga tetap menyerupai kondisi aslinya.
Ketika berhasil menangkap mereka yang bersembunyi di rumah itu, tentara Jerman juga mengangkut semua furnitur. Akan tetapi, untuk dapat mengetahui gambaran lengkap kondisi rumah sebelum dikosongkan, di salah satu kamar terdapat miniatur rumah yang memberi gambaran detail setiap kamar-kamarnya.
Selain itu, di beberapa kamar terdapat semacam layar televisi yang menampilkan video-video pendek berkaitan dengan sejarah Anne Frank, termasuk video Otto Frank, ayah Anne Frank yang selamat dari eksekusi tentara Jerman.
Tentu saja, salah satu bagian paling penting dalam rumah ini adalah Secret Annex, sebutan untuk tempat persembunyian keluarga Anne Frank. Kamar yang menjadi persembunyian itu tampak begitu muram dengan pencahayaan yang terbatas. Toilet dan alat memasak yang cukup sederhana dibiarkan sebagaimana adanya.
Di salah satu sisi dinding, ada garis-garis pendek menandai perkembangan tinggi badan Anne Frank dan saudarinya, Margot. Dekat jendela, tampak sebuah iklan Opekta, perusahaan Otto Frank, yang selama pendudukan tak dikelola secara langsung olehnya. Ada pula beberapa edisi majalah hiburan tergeletak di meja di ruangan lain, yang dahulu disuplai oleh pegawai Victor Kugler dan rekan-rekannya, yang mengamankan keluarga Anne Frank di rumah itu dan membantu mengelola perusahaan Otto.
Hidup yang muram dan sangat mendambakan kebebasan memang sempat tergambar dalam catatan harian Anne Frank. Bukalah catatan harian tanggal 24 Desember 1943, saat Anne Frank menulis: ”I long to ride a bike, dance, whistle, look at the world, feel young and know that I’m free.”
Selama dalam persembunyian di Secret Annex, mereka harus menggunakan toilet dan bak cuci seminimal mungkin. Suara pun harus benar-benar dijaga –karena nyawa adalah taruhannya.
Sesungguhnya, hidup dalam persembunyian sekian lama karena nyawa yang terancam memang merupakan sebuah tragedi dan tekanan psikologis yang tak mudah dilewati. Hari-hari tak hanya dilalui dengan membosankan, tapi penuh waspada dan kecemasan. Apalagi untuk anak gadis belia seusia Anne Frank saat itu, yang mestinya melewati masa-masa indahnya dengan hari-hari penuh kebebasan. Namun, Anne Frank mengaku dengan tegas bahwa menulis dapat memberinya jalan pembebasan dalam mengatasi segala dukanya itu.
”When I write I can shake off all my cares. My sorrow disappears, my spirits are revived!” tulisnya pada 5 April 1944. Menulis kemudian ternyata memang benar-benar menjadi satu-satunya jalan bagi Anne Frank untuk menyapa dunia yang sulit untuk dijangkaunya saat itu.
Rumah Anne Frank yang beralamat di Prinsengracht 263, Amsterdam, itu mulai dibuka untuk masyarakat umum sejak 1960, 50 tahun yang lalu. Otto Frank sendiri yang secara aktif terlibat mengusahakan agar Secret Annex itu dapat diakses oleh publik sebagai sebuah museum.
Museum ini bukanlah museum biasa. Siapa pun yang menyusuri ruang-ruang kecilnya yang penuh dengan sejarah pasti akan dengan cukup mudah terlibat secara emosional ke dalam situasi yang ingin digambarkannya. Sebagaimana disadari oleh Otto Frank, museum ini dapat menjadi tempat berbagi nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, kesadaran akan ancaman prasangka, diskriminasi, dan kekerasan.
Meninggalkan Rumah Anne Frank, kesan mendalam tetap tertanam dalam ingatan. Saat ini, prasangka dan diskriminasi masih terus saja menghantui pergaulan masyarakat dunia. Kelompok masyarakat tertentu di berbagai belahan dunia masih sering dilekati dengan atribut-atribut tertentu yang secara sosial merugikan dan cenderung diskriminatif.
Rupanya, mempromosikan cara pandang yang sederhana untuk melihat orang lain memang tidak mudah. Proses dan dinamika sosial yang kompleks kadang mendorong seseorang untuk memperlakukan orang lain tidak sebagai manusia, tapi sebagai seseorang-dengan-atribut-tertentu–dengan berbagai konsekuensinya.
Beberapa pekan setelah mengunjungi Rumah Anne Frank, saya membayangkan, andai orang-orang yang telah pernah berkunjung ke rumah itu bisa menangkap kesadaran etis dalam memandang manusia yang lain, alangkah damainya dunia ini. Seandainya bukan seandainya. (*)
*) Mahasiswa program Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics Utrecht University, Belanda.
http://www.jawapos.com/
DARI luar, tak tampak sesuatu yang istimewa pada rumah itu. Di tepi sebuah kanal, berjarak sekitar 1,5 km dari Amsterdam Centraal Station, rumah yang berdiri kokoh itu tampak biasa saja, seperti rumah-rumah lain di sebelahnya. Namun, di siang hari, di pintu masuk rumah itu akan sering tampak orang-orang berbaris panjang membentuk antrean.
Rumah itu tak lain adalah ”Anne Frank House”, sebuah museum yang mendokumentasikan kisah persembunyian Anne Frank dari kejaran rezim Hitler Jerman di era Perang Dunia Kedua. Gadis yang bernama lengkap Annelies Frank itu adalah satu dari jutaan korban pembantaian atas orang-orang Yahudi oleh Hitler.
Gadis kelahiran Frankfurt 12 Juni 1929 ini pada 1933 bersama keluarganya mengungsi ke Belanda, saat Hitler memulai kekuasaannya yang anti-Yahudi di Jerman. Namun, pada Mei 1940, tentara Jerman berhasil menduduki Belanda. Perburuan Yahudi pun terjadi di Belanda.
Terhitung sejak 6 Juli 1942, keluarga Anne Frank bersembunyi di rumah yang kini telah dijadikan museum itu. Lebih dua tahun mereka bersembunyi di tempat itu, sampai akhirnya pada Agustus 1944 tentara Nazi berhasil menemukan mereka.
Bagaimana kisah Anne Frank dapat tersiar ke seluruh penjuru dunia? Selama di persembunyian, Anne Frank menuliskan catatan-catatan hariannya dan akhirnya diterbitkan pertama kali pada 1947. Saat ini, buku harian yang berjudul The Diary of a Young Girl itu telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Saat berkunjung ke museum ini, saya berusaha menangkap dari dekat suasana tempat yang menjadi latar penulisan salah satu autobiografi atau catatan harian yang paling menarik untuk dibaca itu. Rumah itu sendiri ditata sedemikian rupa sehingga tetap menyerupai kondisi aslinya.
Ketika berhasil menangkap mereka yang bersembunyi di rumah itu, tentara Jerman juga mengangkut semua furnitur. Akan tetapi, untuk dapat mengetahui gambaran lengkap kondisi rumah sebelum dikosongkan, di salah satu kamar terdapat miniatur rumah yang memberi gambaran detail setiap kamar-kamarnya.
Selain itu, di beberapa kamar terdapat semacam layar televisi yang menampilkan video-video pendek berkaitan dengan sejarah Anne Frank, termasuk video Otto Frank, ayah Anne Frank yang selamat dari eksekusi tentara Jerman.
Tentu saja, salah satu bagian paling penting dalam rumah ini adalah Secret Annex, sebutan untuk tempat persembunyian keluarga Anne Frank. Kamar yang menjadi persembunyian itu tampak begitu muram dengan pencahayaan yang terbatas. Toilet dan alat memasak yang cukup sederhana dibiarkan sebagaimana adanya.
Di salah satu sisi dinding, ada garis-garis pendek menandai perkembangan tinggi badan Anne Frank dan saudarinya, Margot. Dekat jendela, tampak sebuah iklan Opekta, perusahaan Otto Frank, yang selama pendudukan tak dikelola secara langsung olehnya. Ada pula beberapa edisi majalah hiburan tergeletak di meja di ruangan lain, yang dahulu disuplai oleh pegawai Victor Kugler dan rekan-rekannya, yang mengamankan keluarga Anne Frank di rumah itu dan membantu mengelola perusahaan Otto.
Hidup yang muram dan sangat mendambakan kebebasan memang sempat tergambar dalam catatan harian Anne Frank. Bukalah catatan harian tanggal 24 Desember 1943, saat Anne Frank menulis: ”I long to ride a bike, dance, whistle, look at the world, feel young and know that I’m free.”
Selama dalam persembunyian di Secret Annex, mereka harus menggunakan toilet dan bak cuci seminimal mungkin. Suara pun harus benar-benar dijaga –karena nyawa adalah taruhannya.
Sesungguhnya, hidup dalam persembunyian sekian lama karena nyawa yang terancam memang merupakan sebuah tragedi dan tekanan psikologis yang tak mudah dilewati. Hari-hari tak hanya dilalui dengan membosankan, tapi penuh waspada dan kecemasan. Apalagi untuk anak gadis belia seusia Anne Frank saat itu, yang mestinya melewati masa-masa indahnya dengan hari-hari penuh kebebasan. Namun, Anne Frank mengaku dengan tegas bahwa menulis dapat memberinya jalan pembebasan dalam mengatasi segala dukanya itu.
”When I write I can shake off all my cares. My sorrow disappears, my spirits are revived!” tulisnya pada 5 April 1944. Menulis kemudian ternyata memang benar-benar menjadi satu-satunya jalan bagi Anne Frank untuk menyapa dunia yang sulit untuk dijangkaunya saat itu.
Rumah Anne Frank yang beralamat di Prinsengracht 263, Amsterdam, itu mulai dibuka untuk masyarakat umum sejak 1960, 50 tahun yang lalu. Otto Frank sendiri yang secara aktif terlibat mengusahakan agar Secret Annex itu dapat diakses oleh publik sebagai sebuah museum.
Museum ini bukanlah museum biasa. Siapa pun yang menyusuri ruang-ruang kecilnya yang penuh dengan sejarah pasti akan dengan cukup mudah terlibat secara emosional ke dalam situasi yang ingin digambarkannya. Sebagaimana disadari oleh Otto Frank, museum ini dapat menjadi tempat berbagi nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, kesadaran akan ancaman prasangka, diskriminasi, dan kekerasan.
Meninggalkan Rumah Anne Frank, kesan mendalam tetap tertanam dalam ingatan. Saat ini, prasangka dan diskriminasi masih terus saja menghantui pergaulan masyarakat dunia. Kelompok masyarakat tertentu di berbagai belahan dunia masih sering dilekati dengan atribut-atribut tertentu yang secara sosial merugikan dan cenderung diskriminatif.
Rupanya, mempromosikan cara pandang yang sederhana untuk melihat orang lain memang tidak mudah. Proses dan dinamika sosial yang kompleks kadang mendorong seseorang untuk memperlakukan orang lain tidak sebagai manusia, tapi sebagai seseorang-dengan-atribut-tertentu–dengan berbagai konsekuensinya.
Beberapa pekan setelah mengunjungi Rumah Anne Frank, saya membayangkan, andai orang-orang yang telah pernah berkunjung ke rumah itu bisa menangkap kesadaran etis dalam memandang manusia yang lain, alangkah damainya dunia ini. Seandainya bukan seandainya. (*)
*) Mahasiswa program Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics Utrecht University, Belanda.
18/03/10
Sajak-Sajak Saut Situmorang*
http://sautsitumorang.blogspot.com/
aku adalah mayat*
yang terapung di sungai
di samping rumahmu
aku adalah laki laki itu yang kemarin
berpapasan denganmu tapi tak kau hirau
aku adalah laki laki itu yang
melompat masuk ke dalam bus kota
sesak dengan anak anak sekolah dan orang orang pergi kerja
aku adalah bau busuk di sungai
yang meresahkan cicak cicak kecil di rumahmu
aku duduk di bangku kayu warung pinggir jalan
dan memesan sepiring nasi, sepotong ikan asin,
dan sambal belacan
aku adalah laki laki itu yang berteduh di bawah
pohon di pinggir jalan waktu turun hujan
dan sebuah mercedes mencipratkan air lumpur
ke baju dan celanaku
aku selalu ingin makan di restauran mewah
dengan seorang perempuan muda yang jelita
menemani di meja
aku adalah mayat membusuk yang terapung
tersangkut bambu di sungai dekat rumahmu
aku adalah laki laki itu yang mendayung becak
penuh air laut dalam mimpiku
aku adalah laki laki itu yang berjalan terburu buru
tiap kali polisi memapasiku
aku adalah sepucuk surat yang ditunggu tunggu
tapi tak pernah muncul di kampungku
aku adalah laki laki itu yang melambaikan tangannya
dan tinggal airmata di pipi ibu tercinta
aku adalah mayat busuk tak berbaju
yang mengapung di sungai pagi itu
aku adalah perempuan muda tak berbaju yang
terapung di sungai di samping rumahmu
aku adalah perempuan itu yang naik bus antar provinsi
ditangisi sawah sawah tak berpadi di kampungku yang jauh
aku adalah perempuan itu yang duduk termangu
di stasiun bus kotamu sore sore mau kemana tak tahu
aku didekati seorang laki laki yang pandai berkata kata
aku adalah perempuan itu yang cuma punya
sepuluh ribu di saku
aku adalah bau busuk yang mengganggu tidurmu
sepanjang malam itu
aku berdiri di trotoar jalan ditutupi malam
menunggumu
aku tidur sepanjang hari di kampung kumuh
dipagari hotel hotel tinggi bernama asing
aku adalah perempuan itu yang bermimpi
sambil merias diri
aku adalah bus antar provinsi penuh debu
yang tak pernah pulang kembali
kami bertemu di atas truk polisi waktu
bulan purnama gemerlapan di air sungai
aku adalah laki laki itu yang memungut puntung
rokok dari dekat kakimu
aku adalah perempuan itu yang memungut
pecah belah dari tong sampah depan rumahmu
aku adalah laki laki itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
aku adalah perempuan itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
kami adalah wajah wajah itu yang menatap kosong
waktu rumah tepas kami kau buldozer
kami adalah wajah wajah itu yang tertunduk
di atas truk diangkut seperti sampah busuk
aku adalah laki laki itu yang diusir dari kota
terpisah dari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang diusir dari kota
terpisah dari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang menyusup kembali
ke kota mencari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang menyusup kembali
ke kota mencari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
kota terbakar!
kota terbakar!
kami adalah mayat membusuk yang
terapung tanpa baju di sungai
di samping rumahmu
pagi itu!
auckland, oktober 1998
sajak buah buahan
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang ngisap ganja
sebesar M-16 yang diimpor dari Amerika
dalam lemari besi berkaca besi
yang tergantung di dinding kamar mandi istana kerajaan
betapa menyedihkan
laba laba main layangan
di kepala dan kuping yang sudah terlalu masak betul itu
dan lalat lalat hijau loreng loreng
main sembunyi sembunyian di kedua
lobang hidungnya yang mirip lobang kakus berjamur
dari mana menetes lahar berbau amonia
ini adalah sebuah sajak sentimental
yang ingin sekali kelak jadi kekal
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang jongkok semedi di sehelai daun keladi
yang terapung di air kuning kencing di bak mandi
monyet monyet berbulu hijau loreng loreng
tegak berdiri mengelilinginya
sambil masturbasi
betapa menyedihkan
di luar
tergantung di pintu
sebuah pengumuman:
JANGAN DIGANGGU!
ATAU KULIBAS KAU!!!
1966
-untuk Jimi Hendrix
di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah
orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan
di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh
bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah
di malam aku lahir
*) Sumber: otobiografi ([sic] 2007)
aku adalah mayat*
yang terapung di sungai
di samping rumahmu
aku adalah laki laki itu yang kemarin
berpapasan denganmu tapi tak kau hirau
aku adalah laki laki itu yang
melompat masuk ke dalam bus kota
sesak dengan anak anak sekolah dan orang orang pergi kerja
aku adalah bau busuk di sungai
yang meresahkan cicak cicak kecil di rumahmu
aku duduk di bangku kayu warung pinggir jalan
dan memesan sepiring nasi, sepotong ikan asin,
dan sambal belacan
aku adalah laki laki itu yang berteduh di bawah
pohon di pinggir jalan waktu turun hujan
dan sebuah mercedes mencipratkan air lumpur
ke baju dan celanaku
aku selalu ingin makan di restauran mewah
dengan seorang perempuan muda yang jelita
menemani di meja
aku adalah mayat membusuk yang terapung
tersangkut bambu di sungai dekat rumahmu
aku adalah laki laki itu yang mendayung becak
penuh air laut dalam mimpiku
aku adalah laki laki itu yang berjalan terburu buru
tiap kali polisi memapasiku
aku adalah sepucuk surat yang ditunggu tunggu
tapi tak pernah muncul di kampungku
aku adalah laki laki itu yang melambaikan tangannya
dan tinggal airmata di pipi ibu tercinta
aku adalah mayat busuk tak berbaju
yang mengapung di sungai pagi itu
aku adalah perempuan muda tak berbaju yang
terapung di sungai di samping rumahmu
aku adalah perempuan itu yang naik bus antar provinsi
ditangisi sawah sawah tak berpadi di kampungku yang jauh
aku adalah perempuan itu yang duduk termangu
di stasiun bus kotamu sore sore mau kemana tak tahu
aku didekati seorang laki laki yang pandai berkata kata
aku adalah perempuan itu yang cuma punya
sepuluh ribu di saku
aku adalah bau busuk yang mengganggu tidurmu
sepanjang malam itu
aku berdiri di trotoar jalan ditutupi malam
menunggumu
aku tidur sepanjang hari di kampung kumuh
dipagari hotel hotel tinggi bernama asing
aku adalah perempuan itu yang bermimpi
sambil merias diri
aku adalah bus antar provinsi penuh debu
yang tak pernah pulang kembali
kami bertemu di atas truk polisi waktu
bulan purnama gemerlapan di air sungai
aku adalah laki laki itu yang memungut puntung
rokok dari dekat kakimu
aku adalah perempuan itu yang memungut
pecah belah dari tong sampah depan rumahmu
aku adalah laki laki itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
aku adalah perempuan itu yang tersenyum tapi tak kau hirau
kami adalah wajah wajah itu yang menatap kosong
waktu rumah tepas kami kau buldozer
kami adalah wajah wajah itu yang tertunduk
di atas truk diangkut seperti sampah busuk
aku adalah laki laki itu yang diusir dari kota
terpisah dari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang diusir dari kota
terpisah dari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang menyusup kembali
ke kota mencari istri tercinta
aku adalah perempuan itu yang menyusup kembali
ke kota mencari suami tercinta
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu melihat
gedung gedung kota terbakar membara
aku adalah laki laki itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
aku adalah perempuan itu yang di pinggir jalan
berdiri termangu…
kota terbakar!
kota terbakar!
kami adalah mayat membusuk yang
terapung tanpa baju di sungai
di samping rumahmu
pagi itu!
auckland, oktober 1998
sajak buah buahan
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang ngisap ganja
sebesar M-16 yang diimpor dari Amerika
dalam lemari besi berkaca besi
yang tergantung di dinding kamar mandi istana kerajaan
betapa menyedihkan
laba laba main layangan
di kepala dan kuping yang sudah terlalu masak betul itu
dan lalat lalat hijau loreng loreng
main sembunyi sembunyian di kedua
lobang hidungnya yang mirip lobang kakus berjamur
dari mana menetes lahar berbau amonia
ini adalah sebuah sajak sentimental
yang ingin sekali kelak jadi kekal
seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang jongkok semedi di sehelai daun keladi
yang terapung di air kuning kencing di bak mandi
monyet monyet berbulu hijau loreng loreng
tegak berdiri mengelilinginya
sambil masturbasi
betapa menyedihkan
di luar
tergantung di pintu
sebuah pengumuman:
JANGAN DIGANGGU!
ATAU KULIBAS KAU!!!
1966
-untuk Jimi Hendrix
di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah
orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan
di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh
bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah
di malam aku lahir
*) Sumber: otobiografi ([sic] 2007)
Henri de Régnier (1864-1936)
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=406
BULAN KUNING
Henri de Régnier
Siang panjang itu berakhir dengan satu bulan kuning
Yang pelahan bangkit di antara pepohonan,
Sementara di udara menyerbak dan berkembang:
Bau air yang antara pimping basah bertiduran,
Insyafkah kita, bila, dua-dua, di bawah Surya memanggang
Kita siksa tanah merah dan tunggal jerami yang memberkah,
Takukah kita, bila kaki menginjak pasir gersang
Ia tinggalkan bekas langkah bagai langkahnya darah,
Takukah kita, bila kasih menjulangkan nyalanya
Di hati kita yang renyai dengan siksa putus asa,
Takukah kita, bila padam api yang membakar kita,
Bahwa nanti baranya mesra berasa di senja kita,
Dan bahwa hari getir dekat silamnya, diserbak rangsang,
Bau air yang termenung di antara pimping basah,
Nanti pelahan berakhir dengan itu bulan kuning
Yang di antara pohonan meningkat jadi purnama?
Henri François Joseph de Régnier (28 December 1864 – 23 Mei 1936) penyair Perancis lahir di Honfleur. Mulanya anggota golongan Parnasse (aliran anti romantik meluap-luap, menghendaki jiwa yang tenang, serta teratur sewaktu mencipta, juga menggunakan teknik tepat) bersama Paul Verlaine. Kemudian menjadi pengikut Mallarmé, menganut aliran simbolik, demi tidak kentara kembali pada serba klasik. Régnier dipandang ahli menggunakan sajak bebas. Tahun 1911 diangkat sebagai anggota Akademi Prancis. Kumpulan sajaknya terpenting Les jeux rustiques et divins, 1897, Les Médailles d’argile (1900), dan La cité des eaux (1902). {dari buku Puisi Dunia, jilid I, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***
Musim kemarau panjang, dahaga di tenggorokan, kerongkongan bau kayu arang, bersimpan segala kenangan; haus kerontang menjelma tuntunan di kemudian.
Kala surya menyapa, dengan warna paling gemilang, satu bulan kuning menggantung nganggur serupa ocehan tidak juntrung, berpusar-pusar mencari ruang.
Aku lihat terbelit-belit kemabukan bayangan, yang sontak pelahan bangkit, antara pepohon pemikiran.
Sementara udara, berselimut misteri bau air tiduran, atau kapan menujah tubuh binal kepastian.
Régnier dengan kebebasan, telah diperhitungkan di tubuh kesakitan; hawa yang panjang menelusup membelukar.
Puisinya menjadi tantangan mewarnai keberanian, kekontrasan serupa lukisan mengangkat kemungkinan, yang tersimpan di balik pengalaman.
Menyegrak hidung berbau kepincangan, namun begitu purna saat keyakinan melampaui kantuk sembarang siang.
Semacam ruh dilambungkan ke angkasa, dan mata-mata menanti kejatuhannya.
Ada gema menggetarkan tubuh memperinding bulu, kala benda-benda angkasa jauh didekatkan, tepat di depan mata sasaran; degup jantung kata-kata sangkala.
Seperti terpanggang ketakutan dosa api neraka, penyiksaan bathin menggila dari sekadar ribuan gelisah.
Ada kuku-kuku tajam mencabik kalbu memburai usus empedu niat busuk, ada sesalan tak lekas mampus, terus menggoyang iman melantakkan jerami kering yang lemah.
Entah memberkah, atau masih dihantam ketakutan dalam kubur mulut terkunci. Yang setiap langkah meninggalkan diri, membekasi darah siksa.
Menyerukan keinsyafan dengan tubuh goyah, tidak tahan pilu namun merindu. Seakan mencampakkan bungkusan hitam kental padat cairan.
Atau jangan-jangan, darah menghitam oleh pukulan nafsu, serta iman yang berbenturan tiada perlawanan.
Di ambang percobaan siksa bathin keyakinan, di samping madu menguntit senyuman goda percumbuan, yang berujung maut tiada tentu memastikan.
Tapi sangatlah nyata, dan mampu menggerogoti mental pencarian.
Régnier bertanya-tanya, taukah kita? Hati terpaut-pagut disertai uraian rambut memanjang ke senjakala, atas tangisan pesisir pantai selatan memerah.
Durjanakah putus asa? Jiwanya menggelinjak berpusaran, menggelinding menyerupai bola api, lantas lenyap dalam gelap keraguan, atau ketakutan enyah.
Adakah gemuruh ruh bathiniah menyala-nyala? Hati yang terbakar, bagai lempengan besi siap ditempa kepastian, sedang jiwa manis mereka telah lenyap, sebelum matahari jaman menggumuli perasaan semesta.
Régnier melanjutkan tanya dalam batu padamnya api debu-debu peperangan, puing-puing berserakan meragukan muksa.
Kemesraan yang mana? Jikalau belum tuntaskan malam-malam genap, sebelum perpisahan takdir menyerap lenyap.
Atau hantu macam apa? Kesetiaan pulang pergi mencari kejayaan di hutan rimba.
Hendak tuntaskan sesuatu, tetapi pertanyaannya berbalik memukul, sekuat yang selama ini diyakini, merongrong ke dasar hati mengaduk-aduk kemunafikan diri.
Lantas diriku menjajal pertanyaan, Régnier, benarkah ada kemesraan bara di senjakala?
Jawabnya, “hari getir dekat silamnya” dan diriku seperti “bau air yang termenung.”
Ya, mari kita rangsang hingga tandas segala pemahaman, dengan berakhirnya bulan kemuning di telaga.
Antara pepohonan meningkatkan deru angin, yang pucuk-pucuknya membekasi tapakan di jendela.
Dan mereka melihat kita beterbangan purnama, puisi-puisi lebur dalam satuan tarikan cakrawala, berdentut-denyut di setiap kepala hati manusia.
Inilah akhir pertanyaanmu, jawaban sungguh dari nafasan pelita kalbu; kita teguk harum kembang bau dupa, begitu pula gemintang hadir di siang harinya.
http://pustakapujangga.com/?p=406
BULAN KUNING
Henri de Régnier
Siang panjang itu berakhir dengan satu bulan kuning
Yang pelahan bangkit di antara pepohonan,
Sementara di udara menyerbak dan berkembang:
Bau air yang antara pimping basah bertiduran,
Insyafkah kita, bila, dua-dua, di bawah Surya memanggang
Kita siksa tanah merah dan tunggal jerami yang memberkah,
Takukah kita, bila kaki menginjak pasir gersang
Ia tinggalkan bekas langkah bagai langkahnya darah,
Takukah kita, bila kasih menjulangkan nyalanya
Di hati kita yang renyai dengan siksa putus asa,
Takukah kita, bila padam api yang membakar kita,
Bahwa nanti baranya mesra berasa di senja kita,
Dan bahwa hari getir dekat silamnya, diserbak rangsang,
Bau air yang termenung di antara pimping basah,
Nanti pelahan berakhir dengan itu bulan kuning
Yang di antara pohonan meningkat jadi purnama?
Henri François Joseph de Régnier (28 December 1864 – 23 Mei 1936) penyair Perancis lahir di Honfleur. Mulanya anggota golongan Parnasse (aliran anti romantik meluap-luap, menghendaki jiwa yang tenang, serta teratur sewaktu mencipta, juga menggunakan teknik tepat) bersama Paul Verlaine. Kemudian menjadi pengikut Mallarmé, menganut aliran simbolik, demi tidak kentara kembali pada serba klasik. Régnier dipandang ahli menggunakan sajak bebas. Tahun 1911 diangkat sebagai anggota Akademi Prancis. Kumpulan sajaknya terpenting Les jeux rustiques et divins, 1897, Les Médailles d’argile (1900), dan La cité des eaux (1902). {dari buku Puisi Dunia, jilid I, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***
Musim kemarau panjang, dahaga di tenggorokan, kerongkongan bau kayu arang, bersimpan segala kenangan; haus kerontang menjelma tuntunan di kemudian.
Kala surya menyapa, dengan warna paling gemilang, satu bulan kuning menggantung nganggur serupa ocehan tidak juntrung, berpusar-pusar mencari ruang.
Aku lihat terbelit-belit kemabukan bayangan, yang sontak pelahan bangkit, antara pepohon pemikiran.
Sementara udara, berselimut misteri bau air tiduran, atau kapan menujah tubuh binal kepastian.
Régnier dengan kebebasan, telah diperhitungkan di tubuh kesakitan; hawa yang panjang menelusup membelukar.
Puisinya menjadi tantangan mewarnai keberanian, kekontrasan serupa lukisan mengangkat kemungkinan, yang tersimpan di balik pengalaman.
Menyegrak hidung berbau kepincangan, namun begitu purna saat keyakinan melampaui kantuk sembarang siang.
Semacam ruh dilambungkan ke angkasa, dan mata-mata menanti kejatuhannya.
Ada gema menggetarkan tubuh memperinding bulu, kala benda-benda angkasa jauh didekatkan, tepat di depan mata sasaran; degup jantung kata-kata sangkala.
Seperti terpanggang ketakutan dosa api neraka, penyiksaan bathin menggila dari sekadar ribuan gelisah.
Ada kuku-kuku tajam mencabik kalbu memburai usus empedu niat busuk, ada sesalan tak lekas mampus, terus menggoyang iman melantakkan jerami kering yang lemah.
Entah memberkah, atau masih dihantam ketakutan dalam kubur mulut terkunci. Yang setiap langkah meninggalkan diri, membekasi darah siksa.
Menyerukan keinsyafan dengan tubuh goyah, tidak tahan pilu namun merindu. Seakan mencampakkan bungkusan hitam kental padat cairan.
Atau jangan-jangan, darah menghitam oleh pukulan nafsu, serta iman yang berbenturan tiada perlawanan.
Di ambang percobaan siksa bathin keyakinan, di samping madu menguntit senyuman goda percumbuan, yang berujung maut tiada tentu memastikan.
Tapi sangatlah nyata, dan mampu menggerogoti mental pencarian.
Régnier bertanya-tanya, taukah kita? Hati terpaut-pagut disertai uraian rambut memanjang ke senjakala, atas tangisan pesisir pantai selatan memerah.
Durjanakah putus asa? Jiwanya menggelinjak berpusaran, menggelinding menyerupai bola api, lantas lenyap dalam gelap keraguan, atau ketakutan enyah.
Adakah gemuruh ruh bathiniah menyala-nyala? Hati yang terbakar, bagai lempengan besi siap ditempa kepastian, sedang jiwa manis mereka telah lenyap, sebelum matahari jaman menggumuli perasaan semesta.
Régnier melanjutkan tanya dalam batu padamnya api debu-debu peperangan, puing-puing berserakan meragukan muksa.
Kemesraan yang mana? Jikalau belum tuntaskan malam-malam genap, sebelum perpisahan takdir menyerap lenyap.
Atau hantu macam apa? Kesetiaan pulang pergi mencari kejayaan di hutan rimba.
Hendak tuntaskan sesuatu, tetapi pertanyaannya berbalik memukul, sekuat yang selama ini diyakini, merongrong ke dasar hati mengaduk-aduk kemunafikan diri.
Lantas diriku menjajal pertanyaan, Régnier, benarkah ada kemesraan bara di senjakala?
Jawabnya, “hari getir dekat silamnya” dan diriku seperti “bau air yang termenung.”
Ya, mari kita rangsang hingga tandas segala pemahaman, dengan berakhirnya bulan kemuning di telaga.
Antara pepohonan meningkatkan deru angin, yang pucuk-pucuknya membekasi tapakan di jendela.
Dan mereka melihat kita beterbangan purnama, puisi-puisi lebur dalam satuan tarikan cakrawala, berdentut-denyut di setiap kepala hati manusia.
Inilah akhir pertanyaanmu, jawaban sungguh dari nafasan pelita kalbu; kita teguk harum kembang bau dupa, begitu pula gemintang hadir di siang harinya.
Pengusaha Tikus
Haris del Hakim
http://www.sastra-indonesia.com/
Seekor tikus berlarian di antara tubuh Donggos dan keluarganya yang sedang terlelap. Kemudian puluhan dan ratusan yang lain mengikutinya. Bunyi cericitnya menggeritik telinga. Donggos membuka mata, mengangkat kepala, melirik kedua anak dan istrinya yang masih tertidur pulas, kemudian berbaring lagi.
Donggos bangun paling pagi. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mengundang dan memilih tikus yang paling gemuk untuk ditangkap. Begitu setiap hari. Kalau salah seorang dari anak atau istrinya bangun terlebih dulu darinya, ia akan menggoyang atau mencubit tubuh lelaki berusia empatpuluhan itu. Tikus-tikus itu memang sudah akrab dengan anak dan istri Donggos, tapi mereka tidak mau ditangkap oleh selain Donggos. Bahkan, mereka tidak mau dilihat orang lain bila sedang ditangkap Donggos.
Donggos berdecak. Puluhan tikus mendekat dan berkerumun di sekelilingnya. Pada saat itu tidak boleh seorang pun menyaksikan. Pernah suatu ketika istrinya memergoki, akibatnya selama tiga hari tikus-tikus itu tidak mau dipanggil lagi oleh Donggos.
Pagi harinya semua anggota keluarga bangun seperti biasa. Istri Donggos sibuk di dapur, kedua anaknya bersiap-siap sekolah, dan ia sendiri menguliti tikus yang baru ditangkapnya; setiap hari Donggos menangkap lebih dari seratus ekor tikus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tetap pembeli daging tikusnya, yaitu penjual mie ayam dan pembuat bakso.
Kedua anak Donggos sudah berpakaian rapi. Si Sulung berlari ke arah ibunya yang sedang menanak nasi lalu bergayut di pinggang perempuan yang ramping itu. “Bu, aku mau digoreng saja tikusnya,” katanya dengan manja. Si Bungsu yang hendak langsung berangkat kembali lagi dan berlari ke dapur. Ia mendongakkan kepala ke wajah ibunya yang cantik. “Bu, bagianku disop saja.” Istri Donggos tidak memberikan jawaban dan masih meracik bumbu untuk sayur. “Ya, Bu?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.
Perempuan bertubuh ramping dengan wajah cantik, dulu ia pernah dinobatkan sebagai remaja tercantik tingkat kabupaten, menjawab dengan nada lembut. “Tanyakan pada bapakmu, apakah ada lebihan?”
Dua anak berseragam sekolah itu berlari ke ayahnya yang sedang duduk berjongkok di atas meja setinggi pinggang lelaki dewasa. Laki-laki yang hanya mengenakan kaos singlet, sehingga memperlihatkan pundaknya yang kekar, tidak memperhatikan kedatangan keduanya. Matanya tidak lepas dari tangan kanannya yang sedang memegang pisau dan tangan kiri yang mencengkeram badan tikus yang tinggal separuh. Sementara di samping kirinya teronggok puluhan tubuh tikus yang baru dikuliti. Dagingnya merah merona dengan ekor dan kepala yang saling bersilang tindih. Di samping kanan teronggok irisan daging tikus. Sedangkan di depannya terkumpul ekor dan kepala tikus yang telah diambil dagingnya.
“Bapak, apakah ada lebihan? Aku ingin sop,” tanya si Bungsu.
“Aku ingin goreng tikus,” tambah yang Sulung.
Donggos tidak berkata apa-apa. Ia melepaskan tikus di cengkeraman tangan kirinya, memilih tikus yang terkuliti di samping kirinya, mencengkiwing bagian ekornya, dan mengulurkannya pada si Bungsu. Tikus gemuk itu bergelantung di tangan Donggos. Matanya yang hitam masih terbuka. Keempat kakinya yang sengaja tidak dikuliti terlihat seperti congolan cakar dari perut yang terbelah. Si Bungsu itu tertawa kesenangan. Tangan kecilnya menyambar pemberian ayahnya, memegang bagian perutnya, dan membawanya berlari ke dapur. Kemudian Donggos mencengkiwing seekor lagi dan mengulurkannya pada si Sulung. Bocah itu kegirangan, “Besar sekali, Ayah?!”
Donggos tersenyum dan membiarkan anaknya pergi. Ia kembali meneruskan pekerjaannya setelah menoleh ke bak hitam besar di bawah meja. Ia mendengus. Di dalam bak itu masih ada puluhan tikus yang belum diapa-apakan. Ia menjawab lirih ketika kedua anaknya berpamitan, “Ayah, kami berangkat ke sekolah.” Ia telah cukup diwakili oleh istrinya yang berpesan kepada anaknya. “Hati-hati dan belajar yang rajin.”
Istri Donggos segera ke belakang setelah selesai di dapur. Donggos memberikan pisau kepada perempuan cantik itu. Ia sendiri mengambil pisau lain di dalam rumah, kembali ke meja kerjanya, menggeret bak besar berisi tikus yang belum diapa-apakan, dan duduk dengan satu kaki jongkok di atas meja. Sedangkan istrinya duduk di kursi sambil mengiris-iris badan tikus. Donggos membungkukkan badan, mengambil seekor wirok, mencantolkannya dengan menusukkan lehernya ke kawat yang dibentuk menyerupai mata kail, setelah itu tangan kanannya meraih pisau dan mulai mengulitinya mulai dari kepala. Ia mengerati kulit di bawah leher, di atas kaki, dan di atas ekornya terlebih dulu. Tangannya bekerja sangat cepat sehingga dalam lima menit saja ia telah berhasil menguliti seekor. Ia lemparkan tikus terkuliti itu ke hadapan istrinya. Kemudian ia bungkukkan badannya dan mengambil tikus di dalam bak hitam besar.
Setiap hari Donggos harus menghasilkan sepuluh kilo daging tikus yang sudah dipotong-potong sebelum pukul 08.00, sepuluh kilo lagi pukul 09.00, dan tigapuluh kilo saat siang hari. Ia tidak perlu susah mengantarkannya, sebab para pelanggannya akan datang sendiri.
“Mas,” kata istrinya. “Pak Renggo panen besar. Sawahnya di desa sebelah menghasilkan padi sepuluh ton.”
“Syukurlah!” jawab Donggos pendek.
“Kemarin istrinya mengatakan kalau akan dibelikan kalung dan gelang. Begitu juga dengan anak-anaknya,” tambah istrinya tanpa menoleh sedikit pun.
“Bohong! Kembali modal saja dia sudah untung.” Donggos membentak.
“Istrinya sendiri yang bilang begitu,” kata istri Donggos meyakinkan.
“Jangan percaya. Dia tidak tahu berapa modal mulai tanam sampai panen. Pak Renggo setiap hari mengeluh di warung. Harga pupuk makin tinggi, biaya air tidak sedikit, upah pekerja juga sangat mahal, sedangkan harga padi tidak bisa bersaing.” Donggos orang yang tidak banyak bicara bila tidak memahami persoalan dengan terperinci, tetapi sedapat mungkin ia mempertahankan pengetahuan yang dikuasainya. Karena itu, ia dikenal sebagai orang keras kepala.
Ia diam sejenak, melemparkan tikus yang telah dikuliti, membungkuk, mengambil seekor tikus besar, dan mencantolkannya di kawat. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Siapa pun yang panen, kita yang paling beruntung. Tikus-tikus kita gemuk dan pekerjaan bertambah ringan.”
Istri Donggos tidak menimpali ungkapan suaminya itu. Ia mendengar bunyi klakson sepeda motor dari halaman rumah dan bergegas keluar. Tidak lama kemudian ia kembali.
“Pak Warsono,” kata istrinya sambil duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaannya.
Donggos menghentikan pekerjaannya. Ia mencuci tangan, melewati ruang tengah, dan ke ruang tamu. Ia memutar kincir di atas meja belajar anaknya. Bunyi gemerincing terdengar seirama putaran kincir. Suara itu cukup mengganggu gendang telinga. Dan Donggos selalu membunyikannya bila ada tamu di rumahnya. Kawanan tikus akan berlarian ke liangnya begitu mendengar bunyi yang memekakkan telinganya. Dengan begitu, Donggos tidak perlu kuatir bila tikusnya akan menyerobot pembicaraan mereka. Meskipun semua orang tahu bila ia memelihara tikus, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan binatang piaraannya kepada semua orang. Ia telah mengatur rumahnya sedemikian rapi; sebuah bungker besar, lantai ruang tengah yang selalu dibersihkan oleh air, ruang tamu yang dikelilingi kabel alarm sehingga bila terinjak tikus akan mengeluarkan dering panjang dan mengusir mereka seketika, tidak lupa ac ruangan yang mengeluarkan aroma wangi. Donggos mempelajari semua tehnik mengembangkan tikus itu dari para pemelihara tikus yang terkenal.
Warsono pulang setengah jam kemudian. Donggos ke belakang dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hanya melirik istrinya yang sedang memasukkan irisan daging tikus ke dalam plastik dan menimbangnya. Ia melongok ke bak besar dan dibuat tergesa-gesa, karena sadar sebentar lagi seorang pelanggan akan datang mengambil bagiannya.
“Ada perlu apa, Pak Warsono?” tanya istrinya.
“Urusan pajak,” jawab Donggos sambil menguliti tikus. “Dia katakan kita adalah pengusaha tikus yang sukses dan harus membayar pajak usaha.”
“Apakah ada peraturan tentang usaha tikus?”
“Tidak ada. Tapi, Pak Warsono bilang sama-sama tahu saja.”
“Apa maksudnya?”
“Tidak tahu. Dia mengatakan uang kas, uang administratif, atau uang apa tadi. Aku tidak tahu urusan Pak Warsono.”
Donggos tidak berkedip mengelupasi lapisan kulit berwarna coklat kehitaman dari badan yang kemerahan itu. Ia menarik kulit itu hati-hati, kuatir sobek, dan berkali-kali memutar badan tikus yang baru seperempat bagian tanpa kulit. Ia menggunakan pisau saat kulit itu terlalu rekat dengan daging kemudian perlahan-lahan dibesetnya.
“Pak Warsono juga cerita. Di desa kita akan dibangun gudang beras untuk pegawai negeri sekabupaten. Ini kabar bagus. Usaha kita pasti berkembang pesat. Tikus-tikus kita semakin cepat beranak dan gemuk-gemuk. Bagaimana kalau salah satu adik atau keponakanmu bekerja di sini?” tanya Donggos. Ia sudah menguliti seekor tikus.
“Mengapa harus keluargaku?” tanya istri Donggos yang mulai memotong daging tikus kembali. Ia terlebih dulu memotong bagian kepala, keempat kakinya, kemudian memutuskan ekornya. Setelah itu ia membelah perut tikus tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa ekor itu. Ia mengeluarkan ususnya dan melemparkannya ke pot bekas cat yang diletakkan di samping kaki kirinya.
“Keluargaku sudah pergi ke luar negeri semua,” jawab Donggos. “Mereka tentu menjaga harga diri berdagang tikus kecil-kecilan seperti kita. Lima tahun lagi, saat kita sudah mampu membangun pabrik sarden tikus, baru kita memerlukan mereka.”
Perempuan cantik itu berkata lirih. “Ya, nanti aku telpon mereka. Mudah-mudahan ada yang mau.”
Seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 08.00, 09.00, dan 12.00, ada seseorang yang mengambil jatahnya. Donggos berpesan agar mereka menambah jumlah pesanannya, sebab ia akan meningkatkan produksinya dan meyakinkan mereka bahwa besok tikusnya lebih gemuk dari yang mereka bawa selama ini.
Sore hari adalah waktu yang menyenangkan bagi Donggos dan keluarganya. Ia sudah selesai bekerja. Anak-anaknya sudah pulang dari sekolah. Istrinya juga sudah tidak mengerjakan apa-apa. Mereka biasa menghabiskan sore dengan jalan-jalan bersama keluarga keliling desa atau di depan televisi menonton acara hiburan anak-anak. Kali ini mereka menghabiskan sore di rumah saja. Donggos duduk di kursi panjang bersama istrinya, sementara kedua anaknya duduk di lantai yang dialasi kasur tipis berwarna biru. Selama itu tikus-tikus berkeliaran di sekeliling tubuh keduanya. Rupanya mereka sudah bangun dan keluar dari liangnya. Seekor yang besar menabrak kaki si Bungsu. Anak kecil itu menarik kakinya. Matanya belum lepas dari kaca televisi. Satu lagi menabrak pantat si sulung yang ditanggapi dengan bergeser sedikit. Hampir menjelang senja tikus-tikus semakin banyak. Hampir semua lantai dari keramik itu berwarna hitam kecoklatan. Baunya pun menyengat di hidung.
Ketika layar televisi menampilkan iklan, si Bungsu naik ke kursi di antara ayah dan ibunya. Ia berdiri sambil menunjuk salah seekor tikus paling besar seukuran kucing. “Pak, tangkap yang itu. Tentu dagingnya sangat lezat.”
“Mana?” tanya Donggos melongok ke arah yang ditunjuk anaknya.
Donggos melihat si Bungsu yang kecewa tikusnya menyelinap ke balik almari. Ia menghiburnya. Mata anaknya terus mencari-cari barangkali tikus itu akan kembali lagi. Mata kecil itu berbinar-binar dan hendak mengucapkan sesuatu ketika si Sulung berteriak, “Aku yang itu, Ayah.”
“Ya,” jawab Donggos sambil mengusap rambut si Bungsu.
November-maret 2006
http://www.sastra-indonesia.com/
Seekor tikus berlarian di antara tubuh Donggos dan keluarganya yang sedang terlelap. Kemudian puluhan dan ratusan yang lain mengikutinya. Bunyi cericitnya menggeritik telinga. Donggos membuka mata, mengangkat kepala, melirik kedua anak dan istrinya yang masih tertidur pulas, kemudian berbaring lagi.
Donggos bangun paling pagi. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mengundang dan memilih tikus yang paling gemuk untuk ditangkap. Begitu setiap hari. Kalau salah seorang dari anak atau istrinya bangun terlebih dulu darinya, ia akan menggoyang atau mencubit tubuh lelaki berusia empatpuluhan itu. Tikus-tikus itu memang sudah akrab dengan anak dan istri Donggos, tapi mereka tidak mau ditangkap oleh selain Donggos. Bahkan, mereka tidak mau dilihat orang lain bila sedang ditangkap Donggos.
Donggos berdecak. Puluhan tikus mendekat dan berkerumun di sekelilingnya. Pada saat itu tidak boleh seorang pun menyaksikan. Pernah suatu ketika istrinya memergoki, akibatnya selama tiga hari tikus-tikus itu tidak mau dipanggil lagi oleh Donggos.
Pagi harinya semua anggota keluarga bangun seperti biasa. Istri Donggos sibuk di dapur, kedua anaknya bersiap-siap sekolah, dan ia sendiri menguliti tikus yang baru ditangkapnya; setiap hari Donggos menangkap lebih dari seratus ekor tikus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tetap pembeli daging tikusnya, yaitu penjual mie ayam dan pembuat bakso.
Kedua anak Donggos sudah berpakaian rapi. Si Sulung berlari ke arah ibunya yang sedang menanak nasi lalu bergayut di pinggang perempuan yang ramping itu. “Bu, aku mau digoreng saja tikusnya,” katanya dengan manja. Si Bungsu yang hendak langsung berangkat kembali lagi dan berlari ke dapur. Ia mendongakkan kepala ke wajah ibunya yang cantik. “Bu, bagianku disop saja.” Istri Donggos tidak memberikan jawaban dan masih meracik bumbu untuk sayur. “Ya, Bu?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.
Perempuan bertubuh ramping dengan wajah cantik, dulu ia pernah dinobatkan sebagai remaja tercantik tingkat kabupaten, menjawab dengan nada lembut. “Tanyakan pada bapakmu, apakah ada lebihan?”
Dua anak berseragam sekolah itu berlari ke ayahnya yang sedang duduk berjongkok di atas meja setinggi pinggang lelaki dewasa. Laki-laki yang hanya mengenakan kaos singlet, sehingga memperlihatkan pundaknya yang kekar, tidak memperhatikan kedatangan keduanya. Matanya tidak lepas dari tangan kanannya yang sedang memegang pisau dan tangan kiri yang mencengkeram badan tikus yang tinggal separuh. Sementara di samping kirinya teronggok puluhan tubuh tikus yang baru dikuliti. Dagingnya merah merona dengan ekor dan kepala yang saling bersilang tindih. Di samping kanan teronggok irisan daging tikus. Sedangkan di depannya terkumpul ekor dan kepala tikus yang telah diambil dagingnya.
“Bapak, apakah ada lebihan? Aku ingin sop,” tanya si Bungsu.
“Aku ingin goreng tikus,” tambah yang Sulung.
Donggos tidak berkata apa-apa. Ia melepaskan tikus di cengkeraman tangan kirinya, memilih tikus yang terkuliti di samping kirinya, mencengkiwing bagian ekornya, dan mengulurkannya pada si Bungsu. Tikus gemuk itu bergelantung di tangan Donggos. Matanya yang hitam masih terbuka. Keempat kakinya yang sengaja tidak dikuliti terlihat seperti congolan cakar dari perut yang terbelah. Si Bungsu itu tertawa kesenangan. Tangan kecilnya menyambar pemberian ayahnya, memegang bagian perutnya, dan membawanya berlari ke dapur. Kemudian Donggos mencengkiwing seekor lagi dan mengulurkannya pada si Sulung. Bocah itu kegirangan, “Besar sekali, Ayah?!”
Donggos tersenyum dan membiarkan anaknya pergi. Ia kembali meneruskan pekerjaannya setelah menoleh ke bak hitam besar di bawah meja. Ia mendengus. Di dalam bak itu masih ada puluhan tikus yang belum diapa-apakan. Ia menjawab lirih ketika kedua anaknya berpamitan, “Ayah, kami berangkat ke sekolah.” Ia telah cukup diwakili oleh istrinya yang berpesan kepada anaknya. “Hati-hati dan belajar yang rajin.”
Istri Donggos segera ke belakang setelah selesai di dapur. Donggos memberikan pisau kepada perempuan cantik itu. Ia sendiri mengambil pisau lain di dalam rumah, kembali ke meja kerjanya, menggeret bak besar berisi tikus yang belum diapa-apakan, dan duduk dengan satu kaki jongkok di atas meja. Sedangkan istrinya duduk di kursi sambil mengiris-iris badan tikus. Donggos membungkukkan badan, mengambil seekor wirok, mencantolkannya dengan menusukkan lehernya ke kawat yang dibentuk menyerupai mata kail, setelah itu tangan kanannya meraih pisau dan mulai mengulitinya mulai dari kepala. Ia mengerati kulit di bawah leher, di atas kaki, dan di atas ekornya terlebih dulu. Tangannya bekerja sangat cepat sehingga dalam lima menit saja ia telah berhasil menguliti seekor. Ia lemparkan tikus terkuliti itu ke hadapan istrinya. Kemudian ia bungkukkan badannya dan mengambil tikus di dalam bak hitam besar.
Setiap hari Donggos harus menghasilkan sepuluh kilo daging tikus yang sudah dipotong-potong sebelum pukul 08.00, sepuluh kilo lagi pukul 09.00, dan tigapuluh kilo saat siang hari. Ia tidak perlu susah mengantarkannya, sebab para pelanggannya akan datang sendiri.
“Mas,” kata istrinya. “Pak Renggo panen besar. Sawahnya di desa sebelah menghasilkan padi sepuluh ton.”
“Syukurlah!” jawab Donggos pendek.
“Kemarin istrinya mengatakan kalau akan dibelikan kalung dan gelang. Begitu juga dengan anak-anaknya,” tambah istrinya tanpa menoleh sedikit pun.
“Bohong! Kembali modal saja dia sudah untung.” Donggos membentak.
“Istrinya sendiri yang bilang begitu,” kata istri Donggos meyakinkan.
“Jangan percaya. Dia tidak tahu berapa modal mulai tanam sampai panen. Pak Renggo setiap hari mengeluh di warung. Harga pupuk makin tinggi, biaya air tidak sedikit, upah pekerja juga sangat mahal, sedangkan harga padi tidak bisa bersaing.” Donggos orang yang tidak banyak bicara bila tidak memahami persoalan dengan terperinci, tetapi sedapat mungkin ia mempertahankan pengetahuan yang dikuasainya. Karena itu, ia dikenal sebagai orang keras kepala.
Ia diam sejenak, melemparkan tikus yang telah dikuliti, membungkuk, mengambil seekor tikus besar, dan mencantolkannya di kawat. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Siapa pun yang panen, kita yang paling beruntung. Tikus-tikus kita gemuk dan pekerjaan bertambah ringan.”
Istri Donggos tidak menimpali ungkapan suaminya itu. Ia mendengar bunyi klakson sepeda motor dari halaman rumah dan bergegas keluar. Tidak lama kemudian ia kembali.
“Pak Warsono,” kata istrinya sambil duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaannya.
Donggos menghentikan pekerjaannya. Ia mencuci tangan, melewati ruang tengah, dan ke ruang tamu. Ia memutar kincir di atas meja belajar anaknya. Bunyi gemerincing terdengar seirama putaran kincir. Suara itu cukup mengganggu gendang telinga. Dan Donggos selalu membunyikannya bila ada tamu di rumahnya. Kawanan tikus akan berlarian ke liangnya begitu mendengar bunyi yang memekakkan telinganya. Dengan begitu, Donggos tidak perlu kuatir bila tikusnya akan menyerobot pembicaraan mereka. Meskipun semua orang tahu bila ia memelihara tikus, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan binatang piaraannya kepada semua orang. Ia telah mengatur rumahnya sedemikian rapi; sebuah bungker besar, lantai ruang tengah yang selalu dibersihkan oleh air, ruang tamu yang dikelilingi kabel alarm sehingga bila terinjak tikus akan mengeluarkan dering panjang dan mengusir mereka seketika, tidak lupa ac ruangan yang mengeluarkan aroma wangi. Donggos mempelajari semua tehnik mengembangkan tikus itu dari para pemelihara tikus yang terkenal.
Warsono pulang setengah jam kemudian. Donggos ke belakang dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hanya melirik istrinya yang sedang memasukkan irisan daging tikus ke dalam plastik dan menimbangnya. Ia melongok ke bak besar dan dibuat tergesa-gesa, karena sadar sebentar lagi seorang pelanggan akan datang mengambil bagiannya.
“Ada perlu apa, Pak Warsono?” tanya istrinya.
“Urusan pajak,” jawab Donggos sambil menguliti tikus. “Dia katakan kita adalah pengusaha tikus yang sukses dan harus membayar pajak usaha.”
“Apakah ada peraturan tentang usaha tikus?”
“Tidak ada. Tapi, Pak Warsono bilang sama-sama tahu saja.”
“Apa maksudnya?”
“Tidak tahu. Dia mengatakan uang kas, uang administratif, atau uang apa tadi. Aku tidak tahu urusan Pak Warsono.”
Donggos tidak berkedip mengelupasi lapisan kulit berwarna coklat kehitaman dari badan yang kemerahan itu. Ia menarik kulit itu hati-hati, kuatir sobek, dan berkali-kali memutar badan tikus yang baru seperempat bagian tanpa kulit. Ia menggunakan pisau saat kulit itu terlalu rekat dengan daging kemudian perlahan-lahan dibesetnya.
“Pak Warsono juga cerita. Di desa kita akan dibangun gudang beras untuk pegawai negeri sekabupaten. Ini kabar bagus. Usaha kita pasti berkembang pesat. Tikus-tikus kita semakin cepat beranak dan gemuk-gemuk. Bagaimana kalau salah satu adik atau keponakanmu bekerja di sini?” tanya Donggos. Ia sudah menguliti seekor tikus.
“Mengapa harus keluargaku?” tanya istri Donggos yang mulai memotong daging tikus kembali. Ia terlebih dulu memotong bagian kepala, keempat kakinya, kemudian memutuskan ekornya. Setelah itu ia membelah perut tikus tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa ekor itu. Ia mengeluarkan ususnya dan melemparkannya ke pot bekas cat yang diletakkan di samping kaki kirinya.
“Keluargaku sudah pergi ke luar negeri semua,” jawab Donggos. “Mereka tentu menjaga harga diri berdagang tikus kecil-kecilan seperti kita. Lima tahun lagi, saat kita sudah mampu membangun pabrik sarden tikus, baru kita memerlukan mereka.”
Perempuan cantik itu berkata lirih. “Ya, nanti aku telpon mereka. Mudah-mudahan ada yang mau.”
Seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 08.00, 09.00, dan 12.00, ada seseorang yang mengambil jatahnya. Donggos berpesan agar mereka menambah jumlah pesanannya, sebab ia akan meningkatkan produksinya dan meyakinkan mereka bahwa besok tikusnya lebih gemuk dari yang mereka bawa selama ini.
Sore hari adalah waktu yang menyenangkan bagi Donggos dan keluarganya. Ia sudah selesai bekerja. Anak-anaknya sudah pulang dari sekolah. Istrinya juga sudah tidak mengerjakan apa-apa. Mereka biasa menghabiskan sore dengan jalan-jalan bersama keluarga keliling desa atau di depan televisi menonton acara hiburan anak-anak. Kali ini mereka menghabiskan sore di rumah saja. Donggos duduk di kursi panjang bersama istrinya, sementara kedua anaknya duduk di lantai yang dialasi kasur tipis berwarna biru. Selama itu tikus-tikus berkeliaran di sekeliling tubuh keduanya. Rupanya mereka sudah bangun dan keluar dari liangnya. Seekor yang besar menabrak kaki si Bungsu. Anak kecil itu menarik kakinya. Matanya belum lepas dari kaca televisi. Satu lagi menabrak pantat si sulung yang ditanggapi dengan bergeser sedikit. Hampir menjelang senja tikus-tikus semakin banyak. Hampir semua lantai dari keramik itu berwarna hitam kecoklatan. Baunya pun menyengat di hidung.
Ketika layar televisi menampilkan iklan, si Bungsu naik ke kursi di antara ayah dan ibunya. Ia berdiri sambil menunjuk salah seekor tikus paling besar seukuran kucing. “Pak, tangkap yang itu. Tentu dagingnya sangat lezat.”
“Mana?” tanya Donggos melongok ke arah yang ditunjuk anaknya.
Donggos melihat si Bungsu yang kecewa tikusnya menyelinap ke balik almari. Ia menghiburnya. Mata anaknya terus mencari-cari barangkali tikus itu akan kembali lagi. Mata kecil itu berbinar-binar dan hendak mengucapkan sesuatu ketika si Sulung berteriak, “Aku yang itu, Ayah.”
“Ya,” jawab Donggos sambil mengusap rambut si Bungsu.
November-maret 2006
KIDUNG IMANENSI RUMI DI BALIK JUBAH MUSA
Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/
Untuk tiap-tiap umat itu ada rasulnya (QS. Yunus, ayat 47). Berdasarkan ayat tersebut, dalam tiap umat manusia pasti memiliki seorang rasul di setiap zamanya. Rasul tersebut diutus tuhan hanya untuk menyampaikan ajaran kebenaran tentang esensi Tuhan yang telah diselewengkan dan bahkan diingkari oleh suatu umat. Ia mengajak sekaligus mengarahkan mereka yang berada dalam kesesatan agar kembali pada jalan yang benar serta memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Hal tersebut ia lakukan dengan meneladankan sifat dan sikap yang terpancar melalui perkataan maupun perbuatan.
Ajaran-ajaran yang dibawakan oleh seorang rasul bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran-ajaran tersebut diterimanya sebagai wahyu dari Tuhan. Adapun proses penurunan wahyu itu dilakukan dalam situasi, tempat, maupun bentuk yang berfariasi. Hal ini menunjukan bahwa eksistensi wahyu berdasakan pada eksistensi Tuhan, sehingga seseorang tidak dapat mengetahui, apalagi menentukan, kapan wahyu akan diberikan.
Dalam sebuah kisah diceritakan, bahwa saat Musa AS bersama keluarganya hendak kembali ke mesir, ia melihat sinar api yang menyala-nyala di atas bukit Thursina. Melihat hal semacam itu, Musa AS kemudian mengharap kepada keluarganya untuk tenang dan berdiam diri di tempat tersebut. Ia kemudian berlari menghampiri sumber api tersebut. Tatkala ia telah sampai di sumber api itu, terdengarlah seruan kepadanya yang bersumber dari kobaran api yang menyala-nyala. Kisah ini terdapat dalam surat Thaha ayat 9-13.
Kisah tersebut di atas dilukiskan Rumi secara indah dan mempunyai kandungan makna yang lebih menyentuh sekaligus mendalam. Rumi seolah-olah mengingatkan dan memberikan gambaran secara khusus kepada orang-orang akan esensi tuhan yang sejati.
……Ingatlah kisah musa dalam semak yang terbakar, semak berkata: “Aku adalah air telaga Kautsar, lepaslah terompahmu, mari!”
“Janganlah takut pada api karena aku adalah air dan madu dalam api:”…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Kisah ini mengandung esensi yang sama dengan surat Thaha ayat 11-14. Peristiwa itu termasuk peristiwa penurunan wahyu yang pertama kepada Musa AS. Di tempat itu, ia memperoleh wahyu ketauhidan, yaitu tentang keimanan kepada Tuhan yang berorientasi pada keesaan-Nya.
Saat itu, Tuhan memanggil-manggil Musa AS dan menyatakan diri dengan ungkapan: Aku ini tuhanmu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha, ayat:12 dan 14). Hal ini digambarkan Rumi, bahwa suara tersebut bersumber dari semak yang terbakar. Dalam ungkapan Rumi, pernyatana diri tuhan lebih disublimkan lagi. Ia mengungkapkanya dengan gaya bahasa metafora dengan pernyataan: Aku adalah air telaga Kautsar.
Kisah ini bukanlah sebuah pernyataan yang menyatakan wujud Tuhan yang sebenarnya. Tuhan bukan berbentuk semak, api, maupun yang lainya, sebab wujud Tuhan adalah sempurna yang tidak menyerupai suatu apapun. Sebagaimana Ibnu Sina menegaskan bahwa Tuhan itu tidak bersekutu dengan benda-benda apapun, karena benda yang lain termasuk sesuatu yang boleh ada dan boleh tidak, dan merupakan hasil ciptaan dari Tuhan. Dzat Tuhan berbeda dengan dzat-dzat yang lainya, Dzat Tuhan tidak ada batasnya sehingga Ia tidak ada yang menyamai-Nya. Begitu juga Ibnu Arabi menambahkan, bahwa tidak ada yang menyamai Dia dalam penciptaan-Nya. Esensi-Nya tidak dapat ditangkap oleh kita, sehingga kita tidak dapat membandingkan Dia dengan objek-objek terlihat, dan tidak pula tindakan-tindakan-Nya itu menyerupai kita. Pesona ini hanyalah sarana penurunan wahyu. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa wahyu diturunkan dalam situasi, tempat, maupun bentuk yang berfariasi, dan suasana yang semacam ini merupakan kejadian penurunan wahyu kepada Musa AS.
Kata Aku dalam ungkapan: Aku adalah air telaga Kautsar, merupakan bentuk ungkapan tuhan yang menggunakan perantara atau medium semak yang terbakar. Air adalah sumber kehidupan yang menghidupi segala-galanya. Air bagi Thales adalah pangkal, pokok dan dasar segala-galanya. Telaga Kautsar adalah telaga yang berada di surga yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang mensyukuri nikmat Allah dengan cara beribadah dan berkorban kepad-Nya, sedangkan surga adalah tempat yang indah yang dipenuhi dengan kenikmatan-kenikmatan.
Dari gambaran tersebut, maka ketauhidan yang tecermin adalah: Tuhan (Allah) adalah sumber, pangkal, serta pokok kehidupan yang mutlak Dialah yang memberi kehidupan, keindahan, serta kenikmatan-kenikmatan. Dialah tujuan hidup dan kehidupan bagi manusia, yang tidak harus didekati dengan perasaan taku terhadap sesuatu apapun sebab Dia adalah pemegang segalanya yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
“……………….., lepaslah terompahmu, mari!”
“Janganlah takut pada api karena aku adalah air dan madu dalam api: ……” (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Sejak awal, penggambaran kembali kisah Musa AS dalam puisi tersebut dengan maksud memberikan doktrin ketauhidan kepada tiap-tiap orang. Setiap orang yang telah yakin akan esensi dan eksistensi Tuhan, seyogyanya menanggalkan perasaan takut terhadap segala sesuatu yang berada di luar keberadaan Tuhan yang sanggup menghalang-halangi proses menuju kepada-Nya. Hal tersebut disebabkan oleh hakekat Tuhan yang kuasa atas segala sesuatu termasuk kehidupan, panas, dan pembicaraan pada api yang terpancar dari kisah Musa AS.
Ketika seseorang telah yakin akan ke-kuasa-an Tuhan, mengapa dia harus takut terhadap sesuatu yang lain yang mesih berada dalam ruanglingkup kuasa-Nya? Tuhan bahkan sanggup menjadikan panas api menjadi dingin sebagaimana kisah Ibrahim AS saat dilemparkan Namrud dan pengikut-pengikutnya ke dalam tungku api yang besar. Ibrahim AS justru memperoleh tahta dan kedudukan yang mulia di sisi Tuhan dan di antara sesamanya. Ia memperoleh keselamatan sekaligus kesejahteraan dari-Nya.
……”Kesejahteran pasti saatnya datang padamu, tahta ini bagimu, selamatlah!” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Ungkapan di atas tidak mengarah pada kisah Ibrahim AS, melainkan lanjutan dari kisah Musa AS. Ungkapan tesebut memiliki kronologis yang sama dengan kisah Ibrahim AS, yaitu apabila seorang manusia sanggup melepas segala kebendaan serta yakin bahwa segalanya berada dalam kekuasaan Tuhan, maka ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan dan martabat tinggi disisi Tuhan dan di antara sesamanya.
Rujukan serta lanjutan kisah tersebut dinyatakan bahwa setelah Musa AS sanggup menanggalkan rasa takutnya terhadap kobaran semak yang sanggup berbicara, ia memperoleh kesejahteraan, martabat tertinggi dan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kesejahteraan hidupnya tercermin melalui penurunan wahyu dan penganugrahan mu’kizat yang diberikan kepadanya yang berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular dan tangan yang bisa memancarkan sinar putih yang cemerlang saat dikepitkan ke ketiaknya. Martabat tertinggi tercermin dari proses pengangkatannya sebagai nabi dan rasul. Adapun keselamtanya berupa keselamatan di dunia dan akhirat. Keselamatan di dunia berupa kemenangan dari bala tentara Fir’aun yang menyerangnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa doktrin keimanan yang tercermin dalam sub pembahasan ini adalah: Tuhan (Allah) adalah sumber, pangkal, serta pokok kehidupan yang mutlak Dialah yang memberi kehidupan, keindahan, serta kenikmatan-kenikmatan. Dialah tujuan hidup dan kehidupan bagi manusia, yang tidak harus didekati dengan perasaan takut terhadap sesuatu apapun sebab Dia adalah pemegang dan kuasa atas segalanya yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Jika hal tersebut telah melekat erat dalam hati seseoarang, ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan dan martabat tinggi di sisi tuhan dan di antara sesamanya.
http://www.sastra-indonesia.com/
Untuk tiap-tiap umat itu ada rasulnya (QS. Yunus, ayat 47). Berdasarkan ayat tersebut, dalam tiap umat manusia pasti memiliki seorang rasul di setiap zamanya. Rasul tersebut diutus tuhan hanya untuk menyampaikan ajaran kebenaran tentang esensi Tuhan yang telah diselewengkan dan bahkan diingkari oleh suatu umat. Ia mengajak sekaligus mengarahkan mereka yang berada dalam kesesatan agar kembali pada jalan yang benar serta memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Hal tersebut ia lakukan dengan meneladankan sifat dan sikap yang terpancar melalui perkataan maupun perbuatan.
Ajaran-ajaran yang dibawakan oleh seorang rasul bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran-ajaran tersebut diterimanya sebagai wahyu dari Tuhan. Adapun proses penurunan wahyu itu dilakukan dalam situasi, tempat, maupun bentuk yang berfariasi. Hal ini menunjukan bahwa eksistensi wahyu berdasakan pada eksistensi Tuhan, sehingga seseorang tidak dapat mengetahui, apalagi menentukan, kapan wahyu akan diberikan.
Dalam sebuah kisah diceritakan, bahwa saat Musa AS bersama keluarganya hendak kembali ke mesir, ia melihat sinar api yang menyala-nyala di atas bukit Thursina. Melihat hal semacam itu, Musa AS kemudian mengharap kepada keluarganya untuk tenang dan berdiam diri di tempat tersebut. Ia kemudian berlari menghampiri sumber api tersebut. Tatkala ia telah sampai di sumber api itu, terdengarlah seruan kepadanya yang bersumber dari kobaran api yang menyala-nyala. Kisah ini terdapat dalam surat Thaha ayat 9-13.
Kisah tersebut di atas dilukiskan Rumi secara indah dan mempunyai kandungan makna yang lebih menyentuh sekaligus mendalam. Rumi seolah-olah mengingatkan dan memberikan gambaran secara khusus kepada orang-orang akan esensi tuhan yang sejati.
……Ingatlah kisah musa dalam semak yang terbakar, semak berkata: “Aku adalah air telaga Kautsar, lepaslah terompahmu, mari!”
“Janganlah takut pada api karena aku adalah air dan madu dalam api:”…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Kisah ini mengandung esensi yang sama dengan surat Thaha ayat 11-14. Peristiwa itu termasuk peristiwa penurunan wahyu yang pertama kepada Musa AS. Di tempat itu, ia memperoleh wahyu ketauhidan, yaitu tentang keimanan kepada Tuhan yang berorientasi pada keesaan-Nya.
Saat itu, Tuhan memanggil-manggil Musa AS dan menyatakan diri dengan ungkapan: Aku ini tuhanmu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha, ayat:12 dan 14). Hal ini digambarkan Rumi, bahwa suara tersebut bersumber dari semak yang terbakar. Dalam ungkapan Rumi, pernyatana diri tuhan lebih disublimkan lagi. Ia mengungkapkanya dengan gaya bahasa metafora dengan pernyataan: Aku adalah air telaga Kautsar.
Kisah ini bukanlah sebuah pernyataan yang menyatakan wujud Tuhan yang sebenarnya. Tuhan bukan berbentuk semak, api, maupun yang lainya, sebab wujud Tuhan adalah sempurna yang tidak menyerupai suatu apapun. Sebagaimana Ibnu Sina menegaskan bahwa Tuhan itu tidak bersekutu dengan benda-benda apapun, karena benda yang lain termasuk sesuatu yang boleh ada dan boleh tidak, dan merupakan hasil ciptaan dari Tuhan. Dzat Tuhan berbeda dengan dzat-dzat yang lainya, Dzat Tuhan tidak ada batasnya sehingga Ia tidak ada yang menyamai-Nya. Begitu juga Ibnu Arabi menambahkan, bahwa tidak ada yang menyamai Dia dalam penciptaan-Nya. Esensi-Nya tidak dapat ditangkap oleh kita, sehingga kita tidak dapat membandingkan Dia dengan objek-objek terlihat, dan tidak pula tindakan-tindakan-Nya itu menyerupai kita. Pesona ini hanyalah sarana penurunan wahyu. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa wahyu diturunkan dalam situasi, tempat, maupun bentuk yang berfariasi, dan suasana yang semacam ini merupakan kejadian penurunan wahyu kepada Musa AS.
Kata Aku dalam ungkapan: Aku adalah air telaga Kautsar, merupakan bentuk ungkapan tuhan yang menggunakan perantara atau medium semak yang terbakar. Air adalah sumber kehidupan yang menghidupi segala-galanya. Air bagi Thales adalah pangkal, pokok dan dasar segala-galanya. Telaga Kautsar adalah telaga yang berada di surga yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang mensyukuri nikmat Allah dengan cara beribadah dan berkorban kepad-Nya, sedangkan surga adalah tempat yang indah yang dipenuhi dengan kenikmatan-kenikmatan.
Dari gambaran tersebut, maka ketauhidan yang tecermin adalah: Tuhan (Allah) adalah sumber, pangkal, serta pokok kehidupan yang mutlak Dialah yang memberi kehidupan, keindahan, serta kenikmatan-kenikmatan. Dialah tujuan hidup dan kehidupan bagi manusia, yang tidak harus didekati dengan perasaan taku terhadap sesuatu apapun sebab Dia adalah pemegang segalanya yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
“……………….., lepaslah terompahmu, mari!”
“Janganlah takut pada api karena aku adalah air dan madu dalam api: ……” (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Sejak awal, penggambaran kembali kisah Musa AS dalam puisi tersebut dengan maksud memberikan doktrin ketauhidan kepada tiap-tiap orang. Setiap orang yang telah yakin akan esensi dan eksistensi Tuhan, seyogyanya menanggalkan perasaan takut terhadap segala sesuatu yang berada di luar keberadaan Tuhan yang sanggup menghalang-halangi proses menuju kepada-Nya. Hal tersebut disebabkan oleh hakekat Tuhan yang kuasa atas segala sesuatu termasuk kehidupan, panas, dan pembicaraan pada api yang terpancar dari kisah Musa AS.
Ketika seseorang telah yakin akan ke-kuasa-an Tuhan, mengapa dia harus takut terhadap sesuatu yang lain yang mesih berada dalam ruanglingkup kuasa-Nya? Tuhan bahkan sanggup menjadikan panas api menjadi dingin sebagaimana kisah Ibrahim AS saat dilemparkan Namrud dan pengikut-pengikutnya ke dalam tungku api yang besar. Ibrahim AS justru memperoleh tahta dan kedudukan yang mulia di sisi Tuhan dan di antara sesamanya. Ia memperoleh keselamatan sekaligus kesejahteraan dari-Nya.
……”Kesejahteran pasti saatnya datang padamu, tahta ini bagimu, selamatlah!” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Ungkapan di atas tidak mengarah pada kisah Ibrahim AS, melainkan lanjutan dari kisah Musa AS. Ungkapan tesebut memiliki kronologis yang sama dengan kisah Ibrahim AS, yaitu apabila seorang manusia sanggup melepas segala kebendaan serta yakin bahwa segalanya berada dalam kekuasaan Tuhan, maka ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan dan martabat tinggi disisi Tuhan dan di antara sesamanya.
Rujukan serta lanjutan kisah tersebut dinyatakan bahwa setelah Musa AS sanggup menanggalkan rasa takutnya terhadap kobaran semak yang sanggup berbicara, ia memperoleh kesejahteraan, martabat tertinggi dan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kesejahteraan hidupnya tercermin melalui penurunan wahyu dan penganugrahan mu’kizat yang diberikan kepadanya yang berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular dan tangan yang bisa memancarkan sinar putih yang cemerlang saat dikepitkan ke ketiaknya. Martabat tertinggi tercermin dari proses pengangkatannya sebagai nabi dan rasul. Adapun keselamtanya berupa keselamatan di dunia dan akhirat. Keselamatan di dunia berupa kemenangan dari bala tentara Fir’aun yang menyerangnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa doktrin keimanan yang tercermin dalam sub pembahasan ini adalah: Tuhan (Allah) adalah sumber, pangkal, serta pokok kehidupan yang mutlak Dialah yang memberi kehidupan, keindahan, serta kenikmatan-kenikmatan. Dialah tujuan hidup dan kehidupan bagi manusia, yang tidak harus didekati dengan perasaan takut terhadap sesuatu apapun sebab Dia adalah pemegang dan kuasa atas segalanya yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Jika hal tersebut telah melekat erat dalam hati seseoarang, ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan dan martabat tinggi di sisi tuhan dan di antara sesamanya.
Sajak-Sajak Persembahan Denny Mizhar
Kepada Sang Maestro Topeng Malangan
Kau Dalam Kenangan
;Mbah Karimun
Merindu waktu
kau sematkan roh
pada kayu berwajah dirimu.
Lembut tanganmu
membelah, membedah
garis-garis kehidupan
dengan rancak gemulai.
Nampak detak jantung mu
dalam bingkai foto
ketika aku pandang
saat kau menari.
Kau bangun sumber air hayati
dari guratanmu
merubah wujudmu
menjadi burung melintasi awan
;maka terbacalah
dirimu di garis cakrawala.
Di sini aku tunggu
berduaan denganmu
di tepi dunia yang beda
menggambar wajahmu
dengan harum kamboja.
Jarak antara kau
aku cukup jauh
kau tiupkan nyawa
melekat di wajahku
memainkan rindu di panggungmu.
Malang, 16 Februari 2010
Tarian Kepulangan
;Mbah Karimun
Langit gerimis
Pekat hitam
Menurunkan malaikat.
Bumi pun terbela
Mengantar pada malam duka
Kepergian nafas sukma.
Kau melintas disebuah tarian kepulangan
Memelukku yang resah akan kota bersegala warna
:Sempurnalah wajah ciptaanmu.
Kau yang pergi
kau yang hidup
kau yang menari.
Langit membuka pintu
panggung sunyi untukmu
harum kamboja pesonamu.
Malang, 15 Februari 2010
Membangun Duka
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
berkali-kali aku merenungi duka cita semalam,
sehabis angin mewartakan rintik hujan di mataku.
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
air mataku tak sanggup lagi tumpah,
sehabis nasib patah dari masaku.
Menggenggam tanah,
bau harum melati terasa.
menyimpan prasasti misteri tangan-Nya.
Membangun kembali rumahku,
dengan tanah yang aku genggam.
menghiasnya kamboja dan wangi serimpi
Rumahku tersusun
dari duka mendalam.
Sehabis kau pergi,
aku meninggalkan nisanmu.
Malang, 2010
Di Pintu Surga
terbuka sudah
rahasia surga
kau mengetuk
dengan lekuk tubuhmu
berduan sepasang wajah
melangkah masuk dengan tarian
Malang, Februari 2010
*) Mbah Karimun: Sang Maestro Topeng Malangan, Beliau telah telah berpulang kerumah Tuhan pada14/2/2010
Kau Dalam Kenangan
;Mbah Karimun
Merindu waktu
kau sematkan roh
pada kayu berwajah dirimu.
Lembut tanganmu
membelah, membedah
garis-garis kehidupan
dengan rancak gemulai.
Nampak detak jantung mu
dalam bingkai foto
ketika aku pandang
saat kau menari.
Kau bangun sumber air hayati
dari guratanmu
merubah wujudmu
menjadi burung melintasi awan
;maka terbacalah
dirimu di garis cakrawala.
Di sini aku tunggu
berduaan denganmu
di tepi dunia yang beda
menggambar wajahmu
dengan harum kamboja.
Jarak antara kau
aku cukup jauh
kau tiupkan nyawa
melekat di wajahku
memainkan rindu di panggungmu.
Malang, 16 Februari 2010
Tarian Kepulangan
;Mbah Karimun
Langit gerimis
Pekat hitam
Menurunkan malaikat.
Bumi pun terbela
Mengantar pada malam duka
Kepergian nafas sukma.
Kau melintas disebuah tarian kepulangan
Memelukku yang resah akan kota bersegala warna
:Sempurnalah wajah ciptaanmu.
Kau yang pergi
kau yang hidup
kau yang menari.
Langit membuka pintu
panggung sunyi untukmu
harum kamboja pesonamu.
Malang, 15 Februari 2010
Membangun Duka
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
berkali-kali aku merenungi duka cita semalam,
sehabis angin mewartakan rintik hujan di mataku.
Aku tak lagi berdiri di samping nisan itu.
air mataku tak sanggup lagi tumpah,
sehabis nasib patah dari masaku.
Menggenggam tanah,
bau harum melati terasa.
menyimpan prasasti misteri tangan-Nya.
Membangun kembali rumahku,
dengan tanah yang aku genggam.
menghiasnya kamboja dan wangi serimpi
Rumahku tersusun
dari duka mendalam.
Sehabis kau pergi,
aku meninggalkan nisanmu.
Malang, 2010
Di Pintu Surga
terbuka sudah
rahasia surga
kau mengetuk
dengan lekuk tubuhmu
berduan sepasang wajah
melangkah masuk dengan tarian
Malang, Februari 2010
*) Mbah Karimun: Sang Maestro Topeng Malangan, Beliau telah telah berpulang kerumah Tuhan pada14/2/2010
Kisah Menyerikan Melawan Patriarkat
Judul: La Grande Borne
Pengarang: Nh Dini
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 286 halaman.
Peresensi: Gunawan Budi Susanto
http://suaramerdeka.com/
YAP, inilah kisah perlawanan seorang istri. Seorang istri beranak dua, Lintang dan Padang, yang berkali-kali berpindah tempat tinggal, sesuai dengan daerah penugasan sang suami, diplomat Kementerian Luar Negeri Prancis.
Dini -begitulah nama sang aku cerita- melakukan perlawanan diam-diam menghadapi sikap patriarkat sang suami. Itulah lelaki yang pelit, suka nyusuh, kering perhatian terhadap istri dan anak, acap ingkar janji, egoistis, yang acap berkata, "Ini tidak baik, ini tidak bagus." Lelaki yang tidak peka, suami "penguasa", serba mau memonopoli segalanya (halaman 107).
Itulah "Tuan Konsul Yang Terhormat" (halaman 123), yang senantiasa disebut Dini dengan kata diaan, tanpa kehangatan cinta. Ya, setiap kali berkisah tentang sang diplomat itu, Dini selalu menyebutnya "suamiku", "ayahnya anak-anak", "lelaki pilihanku sendiri".
Terasa sekali paradoks tajam dalam berbagai sebutan itu. Kata-kata yang terdengar akrab di kuping itu sesungguh benar menguarkan sinisme. Sinisme itu kian mengiris saat "kehadiran" sang suami dimunculkan secara diametral, vis a vis, dalam narasi dengan sang kapten, Bayu.
Siapakah Bayu, "kaptenku"? Oho, dialah lelaki selingkuhan Dini, sang aku pencerita. Ya, dialah lelaki tambatan hati Dini ketika sang suami "lelaki pilihanku sendiri" makin menyisih dalam relung hati. Dialah lelaki yang, tanpa sepengetahuan siapa pun, selalu "menyetok" tambahan tabungan di rekening Dini. Dialah lelaki yang acap kali, sekali lagi tanpa sepengetahuan sang suami, menjadi teman kencan, rendezvous, di luar kesibukan Dini sebagai ibu rumah tangga.
Perselingkuhan, itulah puncak perlawanan diam-diam Dini terhadap "lelaki pilihanku sendiri" yang telah kehilangan makna sebagai suami. Dan, dia punya pembelaan. Simaklah, bahwa "Perselingkuhan istri lebih disebabkan oleh tingkah suami yang kurang perhatian. Sedangkan suami yang bermain mata dengan perempuan lain, lebih disebabkan imannya yang tidak tangguh sehingga menyerah kepada godaan" (halaman 83).
Padahal, dulu, lelaki itulah yang melamar dia dengan "kata-kata yang menawan serta meluluhkan hati" (halaman 124). Namun, seiring dengan perjalanan waktu, Dini merasa bahwa "kebersamaan dengan leleki pilihanku sendiri itu bagaikan duri yang menunjam di dagingku, yang kadang terasa ngilu, nyeri" (halaman 124).
Menjemukan?
Inilah kisah yang menarik dalam perspektif perlawanan terhadap (kekuasaan) patriarkat dari seorang istri, dari seorang ibu rumah tangga. Mungkin, mungkin saja, bagi kebanyakan pembaca, kisah ini menjemukan. Sebab, sebagian besar kisah "kenangan" yang terfokus pada kehidupan keluarga aku pencerita ini memang berkutat di dan berkait dengan aktivitas kerumahtanggaan seorang istri, seorang ibu.
Apalagi "kenangan" tentang penataan ruangan, tentang penanganan stok makanan, tentang kucing piaraan, tentang pengelolaan ekonomi rumah tangga, dan tentang segala perkara "remeh-temeh" dalam urusan kerumahtanggaan ini terceritakan secara nyaris lamban. Tak pelak, dari halaman ke halaman, perangkap rutinitas terasa memberat, menjemukan.
Namun, itulah justru kekuatan kisah ini: cermin kasatmata betapa tak ringan, dan kadang amat-sangat menjemukan, melakonkan peran sebagai ibu rumah tangga. Suatu keniscayaan, seperti suratan takdir, yang cuma bisa dilakoni oleh peraga super: perempuan yang telah menemu maqam sebagai ibu. Ibu yang melahirkan, ibu yang menghidupi, ibu yang menghidup-hidupkan apa pun yang tak selayaknya mati.
Kisah yang berlangsung di Prancis, di jantung Benua Eropa, lebih dari 30 tahun lalu ini, adalah cermin kekinian di negeri ini. Ya, inilah sebenarnya kisah terkini yang -saya yakin- harus dirasakan dan dihadapi banyak, amat banyak, perempuan di negeri ini.
Lihatlah, sebagai kenyataan objektif, ibu rumah tangga adalah "profesi tanpa gaji" yang mesti dilakoni perempuan bersuami atau tidak, punya anak atau tidak, yang kering apresiasi. Sebagai profesi, ibu rumah tangga sekadar imbuhan status "ikut suami". Karena itulah, mereka tak perlu digaji, tak perlu pengakuan kelembagaan. Dan, karena itu pula, jangan harap beroleh hak atas perlindungan profesional (dari negara sekalipun).
Maka, ketika manifestasi peran dan fungsi sebagai ibu (rumah tangga) di ranah domestik itu tak diapresiasi secara wajar dan semestinya bahkan oleh sang suami, sesungguhnya itulah ironi, itulah tragedi menyerikan. Namun Dini, sang aku pencerita, bukan boneka. Meski berkesan mengalah, diam-diam dia melawan. Dan, perlawanan itu menemu wujud yang ekstrem: berselingkuh!
Apa "dalih pembenar" bagi perselingkuhan itu? Cinta? Pelarian dari "neraka jahanam" di bawah duli sang "suami penguasa"? Atau..., ah, bukankah dalih itu telah tuntas terbuka dalam kisah-kisah serial sebelumnya? Dalam Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, La Barka?
Bukankah ketiga novel itu memang karya puncak Nh Dini? Karya paling menarik, paling monumental. Namun, lantaran Nh Dini memang piawai meracik dan menyuguhkan "kisah kenangan" semacam ini, sungguh tak rugi kembali menikmati sajian kali ini: La Grande Borne. Kisah yang menyerikan, mengilukan, tetapi menguarkan harapan untuk menemu kesejatian.
Pengarang: Nh Dini
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 286 halaman.
Peresensi: Gunawan Budi Susanto
http://suaramerdeka.com/
YAP, inilah kisah perlawanan seorang istri. Seorang istri beranak dua, Lintang dan Padang, yang berkali-kali berpindah tempat tinggal, sesuai dengan daerah penugasan sang suami, diplomat Kementerian Luar Negeri Prancis.
Dini -begitulah nama sang aku cerita- melakukan perlawanan diam-diam menghadapi sikap patriarkat sang suami. Itulah lelaki yang pelit, suka nyusuh, kering perhatian terhadap istri dan anak, acap ingkar janji, egoistis, yang acap berkata, "Ini tidak baik, ini tidak bagus." Lelaki yang tidak peka, suami "penguasa", serba mau memonopoli segalanya (halaman 107).
Itulah "Tuan Konsul Yang Terhormat" (halaman 123), yang senantiasa disebut Dini dengan kata diaan, tanpa kehangatan cinta. Ya, setiap kali berkisah tentang sang diplomat itu, Dini selalu menyebutnya "suamiku", "ayahnya anak-anak", "lelaki pilihanku sendiri".
Terasa sekali paradoks tajam dalam berbagai sebutan itu. Kata-kata yang terdengar akrab di kuping itu sesungguh benar menguarkan sinisme. Sinisme itu kian mengiris saat "kehadiran" sang suami dimunculkan secara diametral, vis a vis, dalam narasi dengan sang kapten, Bayu.
Siapakah Bayu, "kaptenku"? Oho, dialah lelaki selingkuhan Dini, sang aku pencerita. Ya, dialah lelaki tambatan hati Dini ketika sang suami "lelaki pilihanku sendiri" makin menyisih dalam relung hati. Dialah lelaki yang, tanpa sepengetahuan siapa pun, selalu "menyetok" tambahan tabungan di rekening Dini. Dialah lelaki yang acap kali, sekali lagi tanpa sepengetahuan sang suami, menjadi teman kencan, rendezvous, di luar kesibukan Dini sebagai ibu rumah tangga.
Perselingkuhan, itulah puncak perlawanan diam-diam Dini terhadap "lelaki pilihanku sendiri" yang telah kehilangan makna sebagai suami. Dan, dia punya pembelaan. Simaklah, bahwa "Perselingkuhan istri lebih disebabkan oleh tingkah suami yang kurang perhatian. Sedangkan suami yang bermain mata dengan perempuan lain, lebih disebabkan imannya yang tidak tangguh sehingga menyerah kepada godaan" (halaman 83).
Padahal, dulu, lelaki itulah yang melamar dia dengan "kata-kata yang menawan serta meluluhkan hati" (halaman 124). Namun, seiring dengan perjalanan waktu, Dini merasa bahwa "kebersamaan dengan leleki pilihanku sendiri itu bagaikan duri yang menunjam di dagingku, yang kadang terasa ngilu, nyeri" (halaman 124).
Menjemukan?
Inilah kisah yang menarik dalam perspektif perlawanan terhadap (kekuasaan) patriarkat dari seorang istri, dari seorang ibu rumah tangga. Mungkin, mungkin saja, bagi kebanyakan pembaca, kisah ini menjemukan. Sebab, sebagian besar kisah "kenangan" yang terfokus pada kehidupan keluarga aku pencerita ini memang berkutat di dan berkait dengan aktivitas kerumahtanggaan seorang istri, seorang ibu.
Apalagi "kenangan" tentang penataan ruangan, tentang penanganan stok makanan, tentang kucing piaraan, tentang pengelolaan ekonomi rumah tangga, dan tentang segala perkara "remeh-temeh" dalam urusan kerumahtanggaan ini terceritakan secara nyaris lamban. Tak pelak, dari halaman ke halaman, perangkap rutinitas terasa memberat, menjemukan.
Namun, itulah justru kekuatan kisah ini: cermin kasatmata betapa tak ringan, dan kadang amat-sangat menjemukan, melakonkan peran sebagai ibu rumah tangga. Suatu keniscayaan, seperti suratan takdir, yang cuma bisa dilakoni oleh peraga super: perempuan yang telah menemu maqam sebagai ibu. Ibu yang melahirkan, ibu yang menghidupi, ibu yang menghidup-hidupkan apa pun yang tak selayaknya mati.
Kisah yang berlangsung di Prancis, di jantung Benua Eropa, lebih dari 30 tahun lalu ini, adalah cermin kekinian di negeri ini. Ya, inilah sebenarnya kisah terkini yang -saya yakin- harus dirasakan dan dihadapi banyak, amat banyak, perempuan di negeri ini.
Lihatlah, sebagai kenyataan objektif, ibu rumah tangga adalah "profesi tanpa gaji" yang mesti dilakoni perempuan bersuami atau tidak, punya anak atau tidak, yang kering apresiasi. Sebagai profesi, ibu rumah tangga sekadar imbuhan status "ikut suami". Karena itulah, mereka tak perlu digaji, tak perlu pengakuan kelembagaan. Dan, karena itu pula, jangan harap beroleh hak atas perlindungan profesional (dari negara sekalipun).
Maka, ketika manifestasi peran dan fungsi sebagai ibu (rumah tangga) di ranah domestik itu tak diapresiasi secara wajar dan semestinya bahkan oleh sang suami, sesungguhnya itulah ironi, itulah tragedi menyerikan. Namun Dini, sang aku pencerita, bukan boneka. Meski berkesan mengalah, diam-diam dia melawan. Dan, perlawanan itu menemu wujud yang ekstrem: berselingkuh!
Apa "dalih pembenar" bagi perselingkuhan itu? Cinta? Pelarian dari "neraka jahanam" di bawah duli sang "suami penguasa"? Atau..., ah, bukankah dalih itu telah tuntas terbuka dalam kisah-kisah serial sebelumnya? Dalam Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, La Barka?
Bukankah ketiga novel itu memang karya puncak Nh Dini? Karya paling menarik, paling monumental. Namun, lantaran Nh Dini memang piawai meracik dan menyuguhkan "kisah kenangan" semacam ini, sungguh tak rugi kembali menikmati sajian kali ini: La Grande Borne. Kisah yang menyerikan, mengilukan, tetapi menguarkan harapan untuk menemu kesejatian.
Sabda Kepada Pewarta
Pernahkah Anda mendengar kisah seorang wartawan yang bermaksud mengungkap kebenaran namun menyebabkan sahabat karibnya tewas? Cerita ini benar-benar terjadi. Bill Kovach, penulis buku ini menuturkan pada Andreas Harsono dari Majalah Pantau.
Judul Buku: Sembilan Elemen Jurnalisme
Penulis: Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
Pengantar: Goenawan Mohamad
Penerbit: Yayasan Pantau
Cetakan: Pertama, Oktober 2003
Tebal: xii + 273 halaman
Peresensi: Bonnie Triyana
http://suaramerdeka.com/
Pada 1960, ketika Richard Nixon berhadapan dengan John F. Kennedy untuk jadi Presiden Amerika Serikat, Homer Peas, sahabat Kovach membantu Kennedy untuk memenangkan Pemilu. Ia menempuh berbagai cara termasuk melakukan transaksi jual-beli suara. Hasilnya, Kennedy menang atas Nixon. Kovach menemukan kecurangan itu, lalu menulisnya. Akibatnya Homer Peas dimintai keterangan oleh polisi, lalu diadili dan terbukti bersalah. Ada dua bentuk hukuman yang harus dipilihnya: masuk penjara atau masuk dinas militer. Peas pilih jadi tentara dan dikirim ke Vietnam. Pada 1966 ia tewas dalam sebuah pertempuran dekat Bien Dien Phu, Vietnam.
Hingga kini Kovach selalu merasa bersalah atas kematian Peas.
"Saya sering sedih dan marah karena secara langsung menyebabkan kematian teman saya. Kalau saya tak menyebut nama Homer, dia jelas takkan berangkat ke Vietnam dan mati di sana. Tapi saya juga tahu bahwa keputusan untuk berbuat salah atau berbuat benar adalah keputusan Homer sendiri. Homer bisa menolak untuk ikut kejahatan yang membahayakan demokrasi kami. Tapi Homer memilih berbuat salah," ungkapnya getir.
Begitulah konsekuensi menjadi wartawan jika dijalankan dengan sungguh-sungguh. Bill Kovach ialah figur wartawan yang berdedikasi tinggi pada profesinya. Ia menjalani itu selama 43 tahun dan telah memenangi sejumlah Pulitzer. Buku ini lahir dari proses wawancara terhadap 3.000 wartawan selama tiga tahun. Bersama Tom Rosenstiel ia mendiskusikan hasil wawancara tersebut. Walhasil, mereka menyimpulkan ada sembilan elemen yang harus dijadikan pijakan oleh para jurnalis dalam melakukan pekerjaannya.
Bagaimana Seharusnya Wartawan Bekerja?
Dalam buku ini disebutkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Wartawan bukan jagoan seperti dalam film, bukan pula malaikat penjaga surga. Wartawan bisa saja salah, dan itu manusiawi. Prinsip kebenaran di sini bermakna bahwa sintesis dan verifikasi data lebih utama daripada memperbesar aspek interpretasi dalam sebuah berita. Data yang kurang lengkap, akurat, dan kemalasan wartawan untuk memverifikasi data atau fakta, membuat para pewarta mengandalkan intuisinya semata. Celakanya, interpretasi yang didasarkan atas data yang minimalis menyebabkan berita menjadi bias, sumbang, dan nirobyektivitas. Oleh karena itu, Kovach dan Rosenstiel menekankan pentingnya sintesis dan verifikasi data untuk menjadi tulang punggung peran baru penjaga gerbang yang dimainkan wartawan, yaitu menjadi "penyampai hal yang masuk akal".
Kepada siapakah wartawan bekerja? Pertanyaan itu agaknya menohok batin kita. Di negeri ini, wartawan berdiri pada sebuah persimpangan jalan yang melimbungkan. Di satu jalan, wartawan bekerja di sebuah industri media besar, di mana ia ditempatkan sebagai pekerja atau bahkan, buruh. Bicara industri adalah bicara untung rugi. Konsekuensi logisnya, berita harus layak dijual di pasar. Lebih parah lagi, buruh tinta (baca: wartawan) kadang harus manut pada majikannya Hasilnya adalah infotainment yang jauh dari disiplin verifikasi. Di jalan lain, wartawan ialah profesi panggilan nurani, yang dengan segala resikonya harus mampu menyediakan berita bermutu bagi warga pembacanya. Mengenai hal ini Kovach dan Rosenstiel kembali mengambil sikap tegas: loyalitas pertama jurnalisme ialah kepada warga.
Loyalitas kepada warga kadangkala menjadi buah simalakama. Di banyak negara yang belum tersentuh oleh iklim demokratisasi pers, wabilkhusus Indonesia pada zaman Orde Baru, pers selalu menjadi bulan-bulanan. Misalnya: majalah TEMPO yang memberitakan ketidak-beresan pembelian kapal eks Perang Dunia ke-2 dari Jerman Timur, dibredel pada 1994. Apa yang dilakukan oleh TEMPO --jika memang terlebih dahulu memenuhi disiplin sintesis dan verifikasi-- benar adanya. Dalam buku ini dikatakan bahwa, "jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan". Jurnalisme sebisa mungkin bersikap kritis terhadap penguasa dan menjadi penyambung lidah rakyat yang tertindas.
Lalu, apakah dengan berbagai kewajiban yang telah disebutkan di atas wartawan harus bekerja sepenuhnya bagi warga? Apakah hal ini justru akan membuat wartawan berat sebelah? Untuk mengatasi hal tersebut, Kovach dan Rosenstiel memunyai jurus yang ampuh, yakni jurnalis harus menjaga berita komprehensif dan proporsional. Dalam beberapa kasus seringkali wartawan melebih-lebihkan penderitaan seorang tenaga kerja migran ilegal tanpa memperhatikan keterangan petugas dinas tenaga kerja. Berkenaan dengan hal ini, buku Sembilan Elemen Jurnalisme memberikan sebuah analogi yang cerdas: "jika Anda ingin menarik audiens, copoti pakaian, dan bertelanjanglah!" Namun berapa lama dan tahan anda berbugil ria? Jadi, penting bagi praktisi jurnalistik untuk proporsional dalam menulis berita.
Jurus pamungkas dari Kovach dan Rosenstiel adalah: para jurnalis harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka.
"Kemampuan wartawan untuk mengikuti nurani jauh lebih penting daripada apapun yang mereka percayai atau keyakinan apa pun yang mereka bawa ke dalam pekerjaan mereka," kata Linda Foley, presiden Newspaper Guild.
Adalah keharusan bagi wartawan untuk memiliki bekal pengetahuan dalam pekerjaannya, namun di atas segalanya wartawan wajib memiliki modal kejujuran di dalam dirinya. Tanpa kejujuran, wartawan tak lebih dari penggosip ulung yang akan mencelakakan komunitas warga. Inilah pentingnya nurani bagi seorang jurnalis.
Menjadi Wartawan Adalah Laku Moral
Apakah wartawan harus selalu benar? Seperti yang dikemukakan di atas, kesalahan adalah hal yang manusiawi. Melalui buku Sembilan Elemen Jurnalisme ini, wartawan dianjurkan agar disiplin bekerja, mengikuti hati nurani dan mereduksi kesalahan sedikit demi sedikit, sehingga pada akhirnya mampu menyuguhkan berita yang obyektif, faktual, independen dan berlandaskan kejujuran.
Dalam pengantarnya Goenawan Mohamad, redaktur senior dan pendiri majalah TEMPO mengatakan bahwa jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahu adalah awalnya dan dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut menjadi sebuah fondasi sebuah lorong. Setelah itu jurnalisme menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin. Pada akhirnya menulis atau menyampaikan berita adalah sebuah laku moral.
Buku ini hadir di waktu yang tepat. Di saat jagat jurnalisme Indonesia diwarnai oleh maraknya isu "amplop", kematian Udin yang belum terungkap dan disusul tewasnya Sori Ersa Siregar. Karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel diharapkan mampu menjadi sumber referensi praktisi jurnalisme dan warga pembaca di Indonesia untuk bersama-sama membuat dunia jurnalisme kita lebih baik, semoga.
*) Editor Buku pada Penerbit Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass). Menyunting buku Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Soekarno 30 September 1965 - Pelengkap Nawaksara.
Judul Buku: Sembilan Elemen Jurnalisme
Penulis: Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
Pengantar: Goenawan Mohamad
Penerbit: Yayasan Pantau
Cetakan: Pertama, Oktober 2003
Tebal: xii + 273 halaman
Peresensi: Bonnie Triyana
http://suaramerdeka.com/
Pada 1960, ketika Richard Nixon berhadapan dengan John F. Kennedy untuk jadi Presiden Amerika Serikat, Homer Peas, sahabat Kovach membantu Kennedy untuk memenangkan Pemilu. Ia menempuh berbagai cara termasuk melakukan transaksi jual-beli suara. Hasilnya, Kennedy menang atas Nixon. Kovach menemukan kecurangan itu, lalu menulisnya. Akibatnya Homer Peas dimintai keterangan oleh polisi, lalu diadili dan terbukti bersalah. Ada dua bentuk hukuman yang harus dipilihnya: masuk penjara atau masuk dinas militer. Peas pilih jadi tentara dan dikirim ke Vietnam. Pada 1966 ia tewas dalam sebuah pertempuran dekat Bien Dien Phu, Vietnam.
Hingga kini Kovach selalu merasa bersalah atas kematian Peas.
"Saya sering sedih dan marah karena secara langsung menyebabkan kematian teman saya. Kalau saya tak menyebut nama Homer, dia jelas takkan berangkat ke Vietnam dan mati di sana. Tapi saya juga tahu bahwa keputusan untuk berbuat salah atau berbuat benar adalah keputusan Homer sendiri. Homer bisa menolak untuk ikut kejahatan yang membahayakan demokrasi kami. Tapi Homer memilih berbuat salah," ungkapnya getir.
Begitulah konsekuensi menjadi wartawan jika dijalankan dengan sungguh-sungguh. Bill Kovach ialah figur wartawan yang berdedikasi tinggi pada profesinya. Ia menjalani itu selama 43 tahun dan telah memenangi sejumlah Pulitzer. Buku ini lahir dari proses wawancara terhadap 3.000 wartawan selama tiga tahun. Bersama Tom Rosenstiel ia mendiskusikan hasil wawancara tersebut. Walhasil, mereka menyimpulkan ada sembilan elemen yang harus dijadikan pijakan oleh para jurnalis dalam melakukan pekerjaannya.
Bagaimana Seharusnya Wartawan Bekerja?
Dalam buku ini disebutkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Wartawan bukan jagoan seperti dalam film, bukan pula malaikat penjaga surga. Wartawan bisa saja salah, dan itu manusiawi. Prinsip kebenaran di sini bermakna bahwa sintesis dan verifikasi data lebih utama daripada memperbesar aspek interpretasi dalam sebuah berita. Data yang kurang lengkap, akurat, dan kemalasan wartawan untuk memverifikasi data atau fakta, membuat para pewarta mengandalkan intuisinya semata. Celakanya, interpretasi yang didasarkan atas data yang minimalis menyebabkan berita menjadi bias, sumbang, dan nirobyektivitas. Oleh karena itu, Kovach dan Rosenstiel menekankan pentingnya sintesis dan verifikasi data untuk menjadi tulang punggung peran baru penjaga gerbang yang dimainkan wartawan, yaitu menjadi "penyampai hal yang masuk akal".
Kepada siapakah wartawan bekerja? Pertanyaan itu agaknya menohok batin kita. Di negeri ini, wartawan berdiri pada sebuah persimpangan jalan yang melimbungkan. Di satu jalan, wartawan bekerja di sebuah industri media besar, di mana ia ditempatkan sebagai pekerja atau bahkan, buruh. Bicara industri adalah bicara untung rugi. Konsekuensi logisnya, berita harus layak dijual di pasar. Lebih parah lagi, buruh tinta (baca: wartawan) kadang harus manut pada majikannya Hasilnya adalah infotainment yang jauh dari disiplin verifikasi. Di jalan lain, wartawan ialah profesi panggilan nurani, yang dengan segala resikonya harus mampu menyediakan berita bermutu bagi warga pembacanya. Mengenai hal ini Kovach dan Rosenstiel kembali mengambil sikap tegas: loyalitas pertama jurnalisme ialah kepada warga.
Loyalitas kepada warga kadangkala menjadi buah simalakama. Di banyak negara yang belum tersentuh oleh iklim demokratisasi pers, wabilkhusus Indonesia pada zaman Orde Baru, pers selalu menjadi bulan-bulanan. Misalnya: majalah TEMPO yang memberitakan ketidak-beresan pembelian kapal eks Perang Dunia ke-2 dari Jerman Timur, dibredel pada 1994. Apa yang dilakukan oleh TEMPO --jika memang terlebih dahulu memenuhi disiplin sintesis dan verifikasi-- benar adanya. Dalam buku ini dikatakan bahwa, "jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan". Jurnalisme sebisa mungkin bersikap kritis terhadap penguasa dan menjadi penyambung lidah rakyat yang tertindas.
Lalu, apakah dengan berbagai kewajiban yang telah disebutkan di atas wartawan harus bekerja sepenuhnya bagi warga? Apakah hal ini justru akan membuat wartawan berat sebelah? Untuk mengatasi hal tersebut, Kovach dan Rosenstiel memunyai jurus yang ampuh, yakni jurnalis harus menjaga berita komprehensif dan proporsional. Dalam beberapa kasus seringkali wartawan melebih-lebihkan penderitaan seorang tenaga kerja migran ilegal tanpa memperhatikan keterangan petugas dinas tenaga kerja. Berkenaan dengan hal ini, buku Sembilan Elemen Jurnalisme memberikan sebuah analogi yang cerdas: "jika Anda ingin menarik audiens, copoti pakaian, dan bertelanjanglah!" Namun berapa lama dan tahan anda berbugil ria? Jadi, penting bagi praktisi jurnalistik untuk proporsional dalam menulis berita.
Jurus pamungkas dari Kovach dan Rosenstiel adalah: para jurnalis harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka.
"Kemampuan wartawan untuk mengikuti nurani jauh lebih penting daripada apapun yang mereka percayai atau keyakinan apa pun yang mereka bawa ke dalam pekerjaan mereka," kata Linda Foley, presiden Newspaper Guild.
Adalah keharusan bagi wartawan untuk memiliki bekal pengetahuan dalam pekerjaannya, namun di atas segalanya wartawan wajib memiliki modal kejujuran di dalam dirinya. Tanpa kejujuran, wartawan tak lebih dari penggosip ulung yang akan mencelakakan komunitas warga. Inilah pentingnya nurani bagi seorang jurnalis.
Menjadi Wartawan Adalah Laku Moral
Apakah wartawan harus selalu benar? Seperti yang dikemukakan di atas, kesalahan adalah hal yang manusiawi. Melalui buku Sembilan Elemen Jurnalisme ini, wartawan dianjurkan agar disiplin bekerja, mengikuti hati nurani dan mereduksi kesalahan sedikit demi sedikit, sehingga pada akhirnya mampu menyuguhkan berita yang obyektif, faktual, independen dan berlandaskan kejujuran.
Dalam pengantarnya Goenawan Mohamad, redaktur senior dan pendiri majalah TEMPO mengatakan bahwa jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahu adalah awalnya dan dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut menjadi sebuah fondasi sebuah lorong. Setelah itu jurnalisme menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin. Pada akhirnya menulis atau menyampaikan berita adalah sebuah laku moral.
Buku ini hadir di waktu yang tepat. Di saat jagat jurnalisme Indonesia diwarnai oleh maraknya isu "amplop", kematian Udin yang belum terungkap dan disusul tewasnya Sori Ersa Siregar. Karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel diharapkan mampu menjadi sumber referensi praktisi jurnalisme dan warga pembaca di Indonesia untuk bersama-sama membuat dunia jurnalisme kita lebih baik, semoga.
*) Editor Buku pada Penerbit Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass). Menyunting buku Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Soekarno 30 September 1965 - Pelengkap Nawaksara.
10/03/10
Teater Kontemporer
Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/
Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah.
Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada gilirannya juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan.
Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan para tuan-tuan untuk memanfaatkannya. Walhasil pendewa-dewaan pada apa yang disebut: efisiensi.
Moderninasi semacam itu, mungkin amat berguna pada masyarakat tertentu, tatkala orang baru belajar untuk mepergunakan akal. Ketika orang berusaha memisahkan rasa dengan pikir. Waktu orang jatuh cinta untuk menguasai alam.
Ketika orang sedang memuja-muja logika/teknologi, sebagai instrumen yang paling menjamin sebagai kendaraan untuk memenangkan masa depan umat manusia. Ketika orang dengan membabi-buta mengaplikasi matematika dan mencoba menerapkannya pada segala sektor kehidupan, tak terkuali juga kesenian dan bahkan masalah-masalah yang sakral.
Maka terjadilah satu keseragaman berpikir, yang dikuntit oleh pemujaan kepada intelektualita, yang percaya bahwa semuanya sudah diberikan kerangka. Mereka yakin tidak ada fenomena yang tidak bisa dianalisa. Tidak ada sesuatu yang baru yang tidak dikenal.
Semua sudah terdeteksi. Semua sudah terangkum dalam sebuah peta agung yang bisa menerangkan segalanya. Semua bisa dilacak dengan struktur berpikir yang sudah ada.
Konsep kontemporer, menolak pembunuhan diri seperti itu. Manusia tidak perlu menciptakan kuburan-kuburan untuk manusia-manusia yang masih hidup. Tidak perlu mendirikan liang-liang mosolium yang tak lebih dari benteng kepala batu yang ngotot karena sudah malas untuk berpikir, mempertimbangkan sekali lagi segala keputusan untuk melihat kemungkinan baru.
Konsep dasar kontemporer adalah pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah — bukan saja kedaluwarsa, akan tetapi juga bisa — berbalik menjadi dehumanisasi, akulturasi dan dekadensi.
Seni kontemporer sebagai bagian dari pelafalan konsep kontemporer, selalu membebaskan diri dari kemacatan pada satu nilai yang semula disangka sebagai sumber segalanya, padahal segala sesuatu itu ternyata sudah bergeser dan menjungkir-balik segala-galanya.
Karena semuanya tak tercegah, tak dapat disekap dari hukum kehidupan, untuk selalu bergerak mengikuti nafas waktu, ruang, serta kembang-kempis alam pikiran yang tak henti-hentinya, yang tak takut oleh apa pun, untuk terus tumbuh. Pertumbuhan yang abadi. Ketika kehidupan diupayakan oleh manusia untuk hadir lebih baik, mendarat lebih lentur, lebih berarti dan lebih menghayat, segalanya juga ikut bergulir.
Usaha untuk mengaktualisasi diri, agar jadi sinkron dan menyuarakan zamannya, agar kontekstual dengan konteksnya, agar “menjati diri”, dapat ditempuh dengan berbagai cara. Bisa mengejewantah dalam berbagai variasi bentuk.
Tergantung dari desa-kala-patra (tempat-waktu-kondisi). Tergantung dari bibit-bebet-bobot. Tergantung dari watak-perilaku-lingkungan-peradaban dan pendidikan yang bersangkutan. Tergantung dari derap dharma individu atau kelompok yang berkepentingan.
Bisa keras mengental bagaikan jotosan tangan yang terkepal. Bisa berupa pembrontakan spiritual dan konfrontasi argumen. Dapat juga lemah gemulai seperti tarian oleg tamulilingan atau gesekan rebab. Mungkin juga teror mental.
Berseloroh seperti badut-badut dalam adegan bebagrigan. Juga bukan tak mungkin ngepop seperti di dalam kesenian-kesenian kacangan atau jajanan yang dikemas khusus untuk para turis.
Pertunjukan Indonesia kontemporer, sebagai bagian dari seni Indonesia kontemporer, adalah anak dari konsep kontemporer. Segala tontonan yang mengandung arti, misi, gebrakan bahkan cukup percobaan, untuk membebaskan diri dari kungkungan waktu, tempat, situasi; gondelan nilai-nilai usang, mayat-mayat pengembaraan spiritual yang tidak relevan lagi — adalah pertunjukan kontemporer.
Karenanya, pertunjukan kontemporer, bukan hanya tontonan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia masa kini, tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang mencerminkan cita-rasa pembebasan.
Wujudnya bisa pertunjukan eksperimental, yang merupakan usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa pengucapan yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional, yang memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah diterima oleh masyarakat, namun memberikan nuansa yang baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya.
Dan — ini yang seringkali dilupakan — dapat juga merupakan pertunjukan seni tradisional yang baik karena kemasan-semangat-orientasinya, maupun saat dan tempat penampilannya, memungkinkan ia bersentuhan dengan manusia-manusia masa kini, sehingga menghadirkan pengalaman spiritual yang aktual.
Di masa yang akan datang, apa yang dipersoalkan sebagai perbedaan-perbedaan akan dibunuh atau terbunuh dalam interaksi dan adaptasi. Yang kemudian menonjol adalah nuansa-nuansa yang yang menggantikan istilah perbedaan-perbedaan.
Dan karena perbedaan berarti nuansa, maka perbedaan tidak lagi sesederhana hitam kontra putih, kiri versus kanan, buruk lawan baik, atau tradisi lawan kontemporer saja, tetapi akan hadir ribuan, jutaan atau tak terhingga nuansa yang memerlukan cara berpikir baru — baca kontemporer — untuk menguasainya. Nilai-nilai bertumpukan, tumpang-tindih, nyaris membingungkan, dalam satu susunan harmoni baru yang tak terbayangkan sebelumnya.
Akan diperlukan setiap saat cara memberikan kesaksian yang baru. Cara berekspresi baru untuk mengutarakan kebenaran-kebenaran yang terus tumbuh itu. Akan diperlukan bahasa yang baru, untuk memenangkan dan mengucapkan kenyataan-kenyataan yang terus bergerak itu. Apa pun bentuk, apa pun namanya, itu adalah bahasa kontemporer.
Desa-kala-patra adalah konsep yang mendasari selurup konsep kontemporer, termasuk konsep tontonan Indonesia kontemporer. Sesuatu yang pada dasarnya sudah terpraktekkan secara sehari-hari di Bali.
Desa-kala-patra adalah keterikatan pada desa-kala-patra yang aktual dan sekaligus pembebasan pada desa-kala-patra yang kedaluwarsa. Konsep dasar kontemporer, dengan sendirinya adalah juga konsep dasar pertunjukan Indonesia kontemporer.
Hampir semua penghuni seni tontonan tradisional Bali adalah seni kontemporer. Karena bukan saja dulu ketika ia diciptakan untuk pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan orang Bali, tapi sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang Bali kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu, tetap hidup menggebu-gebu.
Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan hal-hal yang bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made Madem dalam buku “Kaje dan Kelod”, telah membuat hampir semua jenis pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi berdegup hidup. Berdarah, berdaging dan bernyawa.
Semua seni tontonan itu menjadi aktual, relevan dan mewakili zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra, sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.
Bahkan seni pertunjukan yang langka digeber, seperti gambuh, seperti topeng pajegan, misalnya, dalam kesepiannya di dalam peti, tetap berinteraksi dengan zaman, melalui/karena orang-orang Bali sendiri selalu bersentuhan dengan nilai-nilai aktual dan universal lewat konsep desa-kala-patra.
Begitu dia dapat kesempatan tampil, kita tidak usah terkejut, karena ia langsung memuncratkan ciri-ciri kontemporer.
Teater tradisi Bali, tak perlu susah-susah mempermasalahkan apa konsep-konsep pertunjukan kontemporer, karena sudah melaksanakannya. Memang orang-orang dari belahan yang menyebut dirinya pulau kontemporer, umumnya justru mempermasalahkan hubungannya dengan tradisi, karena tidak melihat kaitan dirinya secara langsung dengan bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional.
Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak menyangkut hal-hal yang konsepsual, tetapi sekedar kemasan, yang dapat langsung diselesaikan dengan mengubah cara melihat “perbedaan” sebagai “nuansa”. Karena tiadanya hubungan yang bersifat phisikal, tidak berarti, ada jurang pemisah.
Justru tidak adanya persamaan-persamaan di dalam bentuk-bentuk pengucapan, sering akan mempertemukan yang saling kontra itu secara spiritual, karena lahirnya kebutuhan untuk saling mengisi. Walhasil, ketiadaan hubungan, otomatis adalah juga hubungan. Itu cara berpikir konsep kontemporer.
Tak pernah sungguh-sungguh ada pertentangan antara hitam dan putih. Tak pernah benar-benar ada konfrontasi antara buruk dan baik. Tak pernah ada jurang antara kawan dan lawan.
Dan tak pernah ada masalah antara tradisi dan ekspresi kontemporer. Yang ada adalah kealpaan untuk mengakui keberadaan nuansa-nuansa di antara kedua kutub tersebut, yang tak terhingga jumlahnya. Keterbatasan untuk menangkap yang ada, dari sesuatu yang selalu dianggap tidak ada, karena adanya usaha untuk membuat penyederhanaan — hitam-putih — yang kadangkala sedemikian keji dan semana-menanya.
Kesalahkaprahan dalam membuat peta, yang kemudian membuat kita menjadi benar-benar buta dan tuli, adalah bencana tetapi sekaligus hikmah yang telah melahirkan konsep kontemporer. Sebuah usaha untuk menangkap dengan lebih jujur, bulat, lengkap dan tuntas apa saja. Alhasil sebuah upaya, tetapi sama sekali bukan tujuan. Karena dia juga akan terus bergerak, sesuai dengan desa-kala-patra.
*) Makalah ini dibuat untuk memenuhi undangan seminar sehari STSI Denpasar 21 Oktober 1993 - dengan tema: KONSEP DASAR DALAM SENI PERTUNJUKAN KONTEMPORER INDONESIA.
http://putuwijaya.wordpress.com/
Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah.
Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada gilirannya juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan.
Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan para tuan-tuan untuk memanfaatkannya. Walhasil pendewa-dewaan pada apa yang disebut: efisiensi.
Moderninasi semacam itu, mungkin amat berguna pada masyarakat tertentu, tatkala orang baru belajar untuk mepergunakan akal. Ketika orang berusaha memisahkan rasa dengan pikir. Waktu orang jatuh cinta untuk menguasai alam.
Ketika orang sedang memuja-muja logika/teknologi, sebagai instrumen yang paling menjamin sebagai kendaraan untuk memenangkan masa depan umat manusia. Ketika orang dengan membabi-buta mengaplikasi matematika dan mencoba menerapkannya pada segala sektor kehidupan, tak terkuali juga kesenian dan bahkan masalah-masalah yang sakral.
Maka terjadilah satu keseragaman berpikir, yang dikuntit oleh pemujaan kepada intelektualita, yang percaya bahwa semuanya sudah diberikan kerangka. Mereka yakin tidak ada fenomena yang tidak bisa dianalisa. Tidak ada sesuatu yang baru yang tidak dikenal.
Semua sudah terdeteksi. Semua sudah terangkum dalam sebuah peta agung yang bisa menerangkan segalanya. Semua bisa dilacak dengan struktur berpikir yang sudah ada.
Konsep kontemporer, menolak pembunuhan diri seperti itu. Manusia tidak perlu menciptakan kuburan-kuburan untuk manusia-manusia yang masih hidup. Tidak perlu mendirikan liang-liang mosolium yang tak lebih dari benteng kepala batu yang ngotot karena sudah malas untuk berpikir, mempertimbangkan sekali lagi segala keputusan untuk melihat kemungkinan baru.
Konsep dasar kontemporer adalah pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah — bukan saja kedaluwarsa, akan tetapi juga bisa — berbalik menjadi dehumanisasi, akulturasi dan dekadensi.
Seni kontemporer sebagai bagian dari pelafalan konsep kontemporer, selalu membebaskan diri dari kemacatan pada satu nilai yang semula disangka sebagai sumber segalanya, padahal segala sesuatu itu ternyata sudah bergeser dan menjungkir-balik segala-galanya.
Karena semuanya tak tercegah, tak dapat disekap dari hukum kehidupan, untuk selalu bergerak mengikuti nafas waktu, ruang, serta kembang-kempis alam pikiran yang tak henti-hentinya, yang tak takut oleh apa pun, untuk terus tumbuh. Pertumbuhan yang abadi. Ketika kehidupan diupayakan oleh manusia untuk hadir lebih baik, mendarat lebih lentur, lebih berarti dan lebih menghayat, segalanya juga ikut bergulir.
Usaha untuk mengaktualisasi diri, agar jadi sinkron dan menyuarakan zamannya, agar kontekstual dengan konteksnya, agar “menjati diri”, dapat ditempuh dengan berbagai cara. Bisa mengejewantah dalam berbagai variasi bentuk.
Tergantung dari desa-kala-patra (tempat-waktu-kondisi). Tergantung dari bibit-bebet-bobot. Tergantung dari watak-perilaku-lingkungan-peradaban dan pendidikan yang bersangkutan. Tergantung dari derap dharma individu atau kelompok yang berkepentingan.
Bisa keras mengental bagaikan jotosan tangan yang terkepal. Bisa berupa pembrontakan spiritual dan konfrontasi argumen. Dapat juga lemah gemulai seperti tarian oleg tamulilingan atau gesekan rebab. Mungkin juga teror mental.
Berseloroh seperti badut-badut dalam adegan bebagrigan. Juga bukan tak mungkin ngepop seperti di dalam kesenian-kesenian kacangan atau jajanan yang dikemas khusus untuk para turis.
Pertunjukan Indonesia kontemporer, sebagai bagian dari seni Indonesia kontemporer, adalah anak dari konsep kontemporer. Segala tontonan yang mengandung arti, misi, gebrakan bahkan cukup percobaan, untuk membebaskan diri dari kungkungan waktu, tempat, situasi; gondelan nilai-nilai usang, mayat-mayat pengembaraan spiritual yang tidak relevan lagi — adalah pertunjukan kontemporer.
Karenanya, pertunjukan kontemporer, bukan hanya tontonan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia masa kini, tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang mencerminkan cita-rasa pembebasan.
Wujudnya bisa pertunjukan eksperimental, yang merupakan usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa pengucapan yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional, yang memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah diterima oleh masyarakat, namun memberikan nuansa yang baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya.
Dan — ini yang seringkali dilupakan — dapat juga merupakan pertunjukan seni tradisional yang baik karena kemasan-semangat-orientasinya, maupun saat dan tempat penampilannya, memungkinkan ia bersentuhan dengan manusia-manusia masa kini, sehingga menghadirkan pengalaman spiritual yang aktual.
Di masa yang akan datang, apa yang dipersoalkan sebagai perbedaan-perbedaan akan dibunuh atau terbunuh dalam interaksi dan adaptasi. Yang kemudian menonjol adalah nuansa-nuansa yang yang menggantikan istilah perbedaan-perbedaan.
Dan karena perbedaan berarti nuansa, maka perbedaan tidak lagi sesederhana hitam kontra putih, kiri versus kanan, buruk lawan baik, atau tradisi lawan kontemporer saja, tetapi akan hadir ribuan, jutaan atau tak terhingga nuansa yang memerlukan cara berpikir baru — baca kontemporer — untuk menguasainya. Nilai-nilai bertumpukan, tumpang-tindih, nyaris membingungkan, dalam satu susunan harmoni baru yang tak terbayangkan sebelumnya.
Akan diperlukan setiap saat cara memberikan kesaksian yang baru. Cara berekspresi baru untuk mengutarakan kebenaran-kebenaran yang terus tumbuh itu. Akan diperlukan bahasa yang baru, untuk memenangkan dan mengucapkan kenyataan-kenyataan yang terus bergerak itu. Apa pun bentuk, apa pun namanya, itu adalah bahasa kontemporer.
Desa-kala-patra adalah konsep yang mendasari selurup konsep kontemporer, termasuk konsep tontonan Indonesia kontemporer. Sesuatu yang pada dasarnya sudah terpraktekkan secara sehari-hari di Bali.
Desa-kala-patra adalah keterikatan pada desa-kala-patra yang aktual dan sekaligus pembebasan pada desa-kala-patra yang kedaluwarsa. Konsep dasar kontemporer, dengan sendirinya adalah juga konsep dasar pertunjukan Indonesia kontemporer.
Hampir semua penghuni seni tontonan tradisional Bali adalah seni kontemporer. Karena bukan saja dulu ketika ia diciptakan untuk pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan orang Bali, tapi sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang Bali kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu, tetap hidup menggebu-gebu.
Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan hal-hal yang bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made Madem dalam buku “Kaje dan Kelod”, telah membuat hampir semua jenis pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi berdegup hidup. Berdarah, berdaging dan bernyawa.
Semua seni tontonan itu menjadi aktual, relevan dan mewakili zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra, sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.
Bahkan seni pertunjukan yang langka digeber, seperti gambuh, seperti topeng pajegan, misalnya, dalam kesepiannya di dalam peti, tetap berinteraksi dengan zaman, melalui/karena orang-orang Bali sendiri selalu bersentuhan dengan nilai-nilai aktual dan universal lewat konsep desa-kala-patra.
Begitu dia dapat kesempatan tampil, kita tidak usah terkejut, karena ia langsung memuncratkan ciri-ciri kontemporer.
Teater tradisi Bali, tak perlu susah-susah mempermasalahkan apa konsep-konsep pertunjukan kontemporer, karena sudah melaksanakannya. Memang orang-orang dari belahan yang menyebut dirinya pulau kontemporer, umumnya justru mempermasalahkan hubungannya dengan tradisi, karena tidak melihat kaitan dirinya secara langsung dengan bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional.
Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak menyangkut hal-hal yang konsepsual, tetapi sekedar kemasan, yang dapat langsung diselesaikan dengan mengubah cara melihat “perbedaan” sebagai “nuansa”. Karena tiadanya hubungan yang bersifat phisikal, tidak berarti, ada jurang pemisah.
Justru tidak adanya persamaan-persamaan di dalam bentuk-bentuk pengucapan, sering akan mempertemukan yang saling kontra itu secara spiritual, karena lahirnya kebutuhan untuk saling mengisi. Walhasil, ketiadaan hubungan, otomatis adalah juga hubungan. Itu cara berpikir konsep kontemporer.
Tak pernah sungguh-sungguh ada pertentangan antara hitam dan putih. Tak pernah benar-benar ada konfrontasi antara buruk dan baik. Tak pernah ada jurang antara kawan dan lawan.
Dan tak pernah ada masalah antara tradisi dan ekspresi kontemporer. Yang ada adalah kealpaan untuk mengakui keberadaan nuansa-nuansa di antara kedua kutub tersebut, yang tak terhingga jumlahnya. Keterbatasan untuk menangkap yang ada, dari sesuatu yang selalu dianggap tidak ada, karena adanya usaha untuk membuat penyederhanaan — hitam-putih — yang kadangkala sedemikian keji dan semana-menanya.
Kesalahkaprahan dalam membuat peta, yang kemudian membuat kita menjadi benar-benar buta dan tuli, adalah bencana tetapi sekaligus hikmah yang telah melahirkan konsep kontemporer. Sebuah usaha untuk menangkap dengan lebih jujur, bulat, lengkap dan tuntas apa saja. Alhasil sebuah upaya, tetapi sama sekali bukan tujuan. Karena dia juga akan terus bergerak, sesuai dengan desa-kala-patra.
*) Makalah ini dibuat untuk memenuhi undangan seminar sehari STSI Denpasar 21 Oktober 1993 - dengan tema: KONSEP DASAR DALAM SENI PERTUNJUKAN KONTEMPORER INDONESIA.
Meluruskan Tafsir Terorisme
Muhammadun A.S.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Bangsa Indonesia kembali diguncang tragedi bom. Kalau kita mencermati lebih jauh, berbagai tragedi kemanusiaan dewasa ini sebenarnya merupakan ekses dari kepungan globalisasi. Kehidupan di tengah kepungan globalisasi (hyperglobalization) penuh dengan misteri dan absurditas. Misteri hyperglobalization terlihat dengan tercengangnya manusia terhadap berbagai penemuan yang begitu dahsyat dan mengagumkan. Ketercengangan banyak membuat manusia kehilangan identitas dan budaya lokal, sehingga manusia sering kehilangan nilai eksistensial untuk menatap masa depan.
Inilah yang terjadi dalam misteri terorisme. Walaupun era modern meniscayakan kemajuan suatu peradaban, namun ternyata ada noda hitam yang menghinggapi laju peradaban tersebut. Manusia terlibas dengan modernitas, sehingga tidak ada kendali yang cukup untuk melunakkannya. Yang terjadi justru melakukan apa saja yang malah menentang laju peradaban modern. Hypermodernization atau kepungan modernitas yang menghilangkan nalar kritis manusia telah mencederai esensi modernitas itu sendiri.
Terorisme adalah hasil dari ironi kepungan modernitas. Terorisme yang terjadi dewasa ini dilakukan oknum tertentu yang kehilangan kesadaran, sehingga terorisme tidak hanya menghancurkan bangunan gedung dan membunuh manusia yang bergelimpangan, namun juga telah membunuh nalar dan moral kemanusiaan yang dibangun para pendahulu kita.
Giovanna Borradori dalam Philosophy in a Time of Terror [2005] memberikan penafsiran ulang secara lebih dalam dan kritis terhadap berbagai fenomena global, khususnya yang dinamakan terorisme. Bagi dia, istilah terorisme merupakan tafsir pragmatis, yang banyak terselubung di dalamnya berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya.
Jurgen Habermes [2001] juga menilai, tafsir terorisme yang berkembang selama ini begitu sepihak. Fundamentalisme sebagai kelompok utama yang bertanggung jawab atas peristiwa 11 September begitu diekspos besar-besaran oleh media Barat, sehingga komunitas mana pun yang berkaitan dan berhubungan bahkan "sama dalam pakaian formal" diklaim sebagai bagian dari arus fundamentalisme.
Bagi Jurgen Habermes, fundamentalisme sangat politis. Dalam Islam khususnya, arus fundamentalisme telah dipolitisasi oknum tertentu untuk memainkan politik kepentingan yang sepihak. Dengan demikian, klaim kebenaran yang sering diusung kaum fundamentalis, tidak hanya menyalahkan umat Islam yang tidak sepaham dengan an sich, namun yang lebih tragis adalah menyalahkan kaum agama lain yang dianggap merusak agamanya.
Sementara dalam politik kenegaraan internasional, fundamentalisme juga dilakukan elite politik negara. Semua pihak yang tidak sejalan dengan kebijakan politik negara tersebut, tragisnya harus dimusnahkan. Tragedi 11 September dan luluh lantaknya Afganistan dan Irak adalah bukti realistisnya.
Filsuf asal Prancis, Jacques Derrida menganggap istilah terorisme sebagai bentuk keangkuhan. Terorisme lahir karena adanya eksploitasi terhadap orang yang tak tahu apa-apa. Tindakan eksploitatif telah menewaskan beragam dimensi kehidupan, sehingga esensi kehidupan di persimpangan jalan. Bagi Derrida, perlu upaya dekonstruksi terhadap penafsiran yang ada. Jihad melawan ketidakadilan bukanlah dengan memberikan pressure yang sejalan, namun harus dengan "nada" kritis mencerahkan. Derrida sepakat dengan pemikiran Kant, tindakan moral bukan hanya dilakukan sesuai dengan aturan hukum (pflichtmassig) melainkan karena "tugas" (eigentlicht aus pflicht), "tugas murni" (aus reiner pflicht). Dalam arti, moralitas manusia tidak hanya dilihat dalam perspektif hukum, namun juga dalam perspektif kemaslahatan kemanusiaan yang menjadi tugas murni manusia.
Dari berbagai tafsir filsuf tersebut, penulis mengindikasikan bahwa terorisme selama ini lebih ditafsirkan secara marginal dan pragmatis, hanya memenuhi kepentingan kelompok tertentu an sich. Untuk itu, agenda yang harus dikedepankan penghuni Planet Bumi ini adalah membangun jaringan kelembagaan transnasional secara kosmopolit sehingga terbentuk institusi-institusi multilateral dan aliansi-aliansi yang akan menjadi pelaku-pelaku utama meneguhkan perdamaian global.
Dalam perspektif Islam, misalnya, sekaranglah momentum kaum Islam yang moderat untuk bangkit kembali menyuarakan nilai-nilai Islam yang emansipatoris, progresif, mencerahkan, dan memberikan kedamaian. Yang harus diciptakan dalam mendorong keberagamaan yang ramah dan progresif adalah memperkuat kantong-kantong civil society. Proses pemberdayaan masyarakat yang pluralis, kritis, dan egaliter harus terus ditingkatkan, sehingga diharapkan mampu memberikan pemaknaan yang progresif atas doktrin keagamaan.
Zuhairi Misrawi (2002) mengidentifikasikan bahwa dalam konsep civil society, transformasi sosial harus dimulai dari perubahan nalar dan wacana berpikir, terutama doktrin agama yang selama ini dipahami secara simplistik, literalistik, dan reduksionis. Model literalistik inilah yang membentuk karakter Muslim yang arogan dalam memahami teks.
Untuk itu perlu pemahaman yang progresif, di mana doktrin dimaknai sebagai cahaya yang membebaskan bukan mencekam. Kebangkitan keberagaman kaum moderat inilah yang dinantikan mampu menghadirkan keberagamaan yang radikal-fundamental (yang bercorak keras dan marah) menuju wajah keberagamaan yang ramah, sejuk, penuh kedamaian, dan mengantarkan kepada pemahaman umat yang progresif, egaliter, dan tranformatif. ***
*) Penulis, peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cedes) Jakarta.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Bangsa Indonesia kembali diguncang tragedi bom. Kalau kita mencermati lebih jauh, berbagai tragedi kemanusiaan dewasa ini sebenarnya merupakan ekses dari kepungan globalisasi. Kehidupan di tengah kepungan globalisasi (hyperglobalization) penuh dengan misteri dan absurditas. Misteri hyperglobalization terlihat dengan tercengangnya manusia terhadap berbagai penemuan yang begitu dahsyat dan mengagumkan. Ketercengangan banyak membuat manusia kehilangan identitas dan budaya lokal, sehingga manusia sering kehilangan nilai eksistensial untuk menatap masa depan.
Inilah yang terjadi dalam misteri terorisme. Walaupun era modern meniscayakan kemajuan suatu peradaban, namun ternyata ada noda hitam yang menghinggapi laju peradaban tersebut. Manusia terlibas dengan modernitas, sehingga tidak ada kendali yang cukup untuk melunakkannya. Yang terjadi justru melakukan apa saja yang malah menentang laju peradaban modern. Hypermodernization atau kepungan modernitas yang menghilangkan nalar kritis manusia telah mencederai esensi modernitas itu sendiri.
Terorisme adalah hasil dari ironi kepungan modernitas. Terorisme yang terjadi dewasa ini dilakukan oknum tertentu yang kehilangan kesadaran, sehingga terorisme tidak hanya menghancurkan bangunan gedung dan membunuh manusia yang bergelimpangan, namun juga telah membunuh nalar dan moral kemanusiaan yang dibangun para pendahulu kita.
Giovanna Borradori dalam Philosophy in a Time of Terror [2005] memberikan penafsiran ulang secara lebih dalam dan kritis terhadap berbagai fenomena global, khususnya yang dinamakan terorisme. Bagi dia, istilah terorisme merupakan tafsir pragmatis, yang banyak terselubung di dalamnya berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya.
Jurgen Habermes [2001] juga menilai, tafsir terorisme yang berkembang selama ini begitu sepihak. Fundamentalisme sebagai kelompok utama yang bertanggung jawab atas peristiwa 11 September begitu diekspos besar-besaran oleh media Barat, sehingga komunitas mana pun yang berkaitan dan berhubungan bahkan "sama dalam pakaian formal" diklaim sebagai bagian dari arus fundamentalisme.
Bagi Jurgen Habermes, fundamentalisme sangat politis. Dalam Islam khususnya, arus fundamentalisme telah dipolitisasi oknum tertentu untuk memainkan politik kepentingan yang sepihak. Dengan demikian, klaim kebenaran yang sering diusung kaum fundamentalis, tidak hanya menyalahkan umat Islam yang tidak sepaham dengan an sich, namun yang lebih tragis adalah menyalahkan kaum agama lain yang dianggap merusak agamanya.
Sementara dalam politik kenegaraan internasional, fundamentalisme juga dilakukan elite politik negara. Semua pihak yang tidak sejalan dengan kebijakan politik negara tersebut, tragisnya harus dimusnahkan. Tragedi 11 September dan luluh lantaknya Afganistan dan Irak adalah bukti realistisnya.
Filsuf asal Prancis, Jacques Derrida menganggap istilah terorisme sebagai bentuk keangkuhan. Terorisme lahir karena adanya eksploitasi terhadap orang yang tak tahu apa-apa. Tindakan eksploitatif telah menewaskan beragam dimensi kehidupan, sehingga esensi kehidupan di persimpangan jalan. Bagi Derrida, perlu upaya dekonstruksi terhadap penafsiran yang ada. Jihad melawan ketidakadilan bukanlah dengan memberikan pressure yang sejalan, namun harus dengan "nada" kritis mencerahkan. Derrida sepakat dengan pemikiran Kant, tindakan moral bukan hanya dilakukan sesuai dengan aturan hukum (pflichtmassig) melainkan karena "tugas" (eigentlicht aus pflicht), "tugas murni" (aus reiner pflicht). Dalam arti, moralitas manusia tidak hanya dilihat dalam perspektif hukum, namun juga dalam perspektif kemaslahatan kemanusiaan yang menjadi tugas murni manusia.
Dari berbagai tafsir filsuf tersebut, penulis mengindikasikan bahwa terorisme selama ini lebih ditafsirkan secara marginal dan pragmatis, hanya memenuhi kepentingan kelompok tertentu an sich. Untuk itu, agenda yang harus dikedepankan penghuni Planet Bumi ini adalah membangun jaringan kelembagaan transnasional secara kosmopolit sehingga terbentuk institusi-institusi multilateral dan aliansi-aliansi yang akan menjadi pelaku-pelaku utama meneguhkan perdamaian global.
Dalam perspektif Islam, misalnya, sekaranglah momentum kaum Islam yang moderat untuk bangkit kembali menyuarakan nilai-nilai Islam yang emansipatoris, progresif, mencerahkan, dan memberikan kedamaian. Yang harus diciptakan dalam mendorong keberagamaan yang ramah dan progresif adalah memperkuat kantong-kantong civil society. Proses pemberdayaan masyarakat yang pluralis, kritis, dan egaliter harus terus ditingkatkan, sehingga diharapkan mampu memberikan pemaknaan yang progresif atas doktrin keagamaan.
Zuhairi Misrawi (2002) mengidentifikasikan bahwa dalam konsep civil society, transformasi sosial harus dimulai dari perubahan nalar dan wacana berpikir, terutama doktrin agama yang selama ini dipahami secara simplistik, literalistik, dan reduksionis. Model literalistik inilah yang membentuk karakter Muslim yang arogan dalam memahami teks.
Untuk itu perlu pemahaman yang progresif, di mana doktrin dimaknai sebagai cahaya yang membebaskan bukan mencekam. Kebangkitan keberagaman kaum moderat inilah yang dinantikan mampu menghadirkan keberagamaan yang radikal-fundamental (yang bercorak keras dan marah) menuju wajah keberagamaan yang ramah, sejuk, penuh kedamaian, dan mengantarkan kepada pemahaman umat yang progresif, egaliter, dan tranformatif. ***
*) Penulis, peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cedes) Jakarta.
09/03/10
Sajak-Sajak Saut Situmorang
http://sautsitumorang.wordpress.com/
exquisite corpse
buah dadaMu
dan buah dada kanvasku
bertemu dalam birahi
kata kata puisi
penaKu terkapar
kehabisan tinta
alkohol menguap
jadi embun di rumputan
menari bersama kicau burung
di jari jari lentik
cahaya matahari pagi
semua rambut di tubuhku
basah kuyup
oleh kebinalan bulan purnama
di jalanan kota yang sunyi
ditinggalkan memori cinta
dan pengkhianatan
wajahMu adalah
buku
dengan sampul
bercecer cat
mungkin merah mungkin coklat
dan bekas jari masih
basah wangi mimpi
palette
wajahMu terlukis
dalam kalimat kalimat warna
terang benderang
seperti layang layang
di musim hujan
seperti kembang api
di pasar malam
wajahMu
tergantung di dinding kamar
tempat laba laba menyembunyikan
bekas mayat makan malamnya
tempat semut berbaris diagonal
karavan hitam merangkak dari langit di luar
masuk ke dalam mimpi malam di dalam
tempat memori bunuh diri
bersama lapuk kasur dingin
tertutup bayang jendela
berkaca buram
sepotong kepala nyamuk
terseret terantuk di
situ
jogja, september 2002
graffiti cemburu
-eine kleine nachtmusik
aku merindukanMu.
malam di kotaku sesak terhimpit
cahaya bulan tembaga.
layang layang yang dinaikkan
anak anak desa tadi siang
bagai kalong kalong kematian hitam
menganyam bayang bayang panjang
menjerat rumah rumah berlampu tak terang
dan derunya
sampai ke kamarku yang penuh bising nyamuk.
rambut kusutku lengket
di bantal basah keringat
menginginkan goresan ujung kukumu.
Aku ingin tenggelam dalam
ombak birahiMu, badai rinduMu.
para tetangga yang berjudi di kamar sebelah
tertawa pada kartu kartu berwajah sama
tangis anak istrinya –
apa yang sedang kau lakukan malam ini?
malam di kotaku sesak terhimpit
bau knalpot bau asap rokok
dan bulan tembaga yang pucat
berdarah matanya
tertusuk cakar layang layang
yang dibiarkan anak anak desa kelaparan di pekat malam.
betapa ingin kupanggil namaMu!
seperti bocah kecil terjaga
dari kejaran raksasa dalam tidurnya
tapi kamar yang gelap penuh sarang laba laba
telah lama kehilangan suara langkah kaki bunda.
aku merindukanMu
di tengah pengap puntung puntung rokok
dan hujan malam bulan Juni
yang menambah gelisah layang layang raksasa di atas rumah
merindukanMu lewat desah sungai alkohol bening
yang menghanyutkan batu batu hitam masalaluku
daun daun kering luka lukaku.
aku merindukanMu
di pasir putih puri kanak kanakku
patung patung pasir tak berbaju mimpi mimpiku
bagai kupu kupu kecil terbang dari sunyi kepompong mati
Aku menari dalam hujan malam bulan Juni
di bawah panas cahaya bulan tembaga
mengikuti irama deru layang layang raksasa basah
yang tersesat dalam labirin rumah rumah tak terang lampunya
Aku menari dan menari
tanpa suara
hilang dalam pusaran lubuk badai rindu
tak sanggup memanggil namaMu.
malam di kotaKu terpanggang
hangus api cemburu.
denpasar, 9 juni 2001
kepada P
di kotaku
yang pernah merasakan
panas bibirmu, malam turun
memperkelam segala.
jalanan
cuma aspal hitam
kerontang kehilangan basah
hujan birahi musim.
kata kata pun
menghilang ke bukit tandus
tempat dikubur segala yang mati.
bayang bulan
menambah sunyi malam. tak ada
gonggong anjing yang dulu
mencoba menyesatkan
langkahku dari hangat hitam rambutmu.
cinta dan penyair keduanya
matikah? atau cuma
sekedar rindu?
2007
exquisite corpse
buah dadaMu
dan buah dada kanvasku
bertemu dalam birahi
kata kata puisi
penaKu terkapar
kehabisan tinta
alkohol menguap
jadi embun di rumputan
menari bersama kicau burung
di jari jari lentik
cahaya matahari pagi
semua rambut di tubuhku
basah kuyup
oleh kebinalan bulan purnama
di jalanan kota yang sunyi
ditinggalkan memori cinta
dan pengkhianatan
wajahMu adalah
buku
dengan sampul
bercecer cat
mungkin merah mungkin coklat
dan bekas jari masih
basah wangi mimpi
palette
wajahMu terlukis
dalam kalimat kalimat warna
terang benderang
seperti layang layang
di musim hujan
seperti kembang api
di pasar malam
wajahMu
tergantung di dinding kamar
tempat laba laba menyembunyikan
bekas mayat makan malamnya
tempat semut berbaris diagonal
karavan hitam merangkak dari langit di luar
masuk ke dalam mimpi malam di dalam
tempat memori bunuh diri
bersama lapuk kasur dingin
tertutup bayang jendela
berkaca buram
sepotong kepala nyamuk
terseret terantuk di
situ
jogja, september 2002
graffiti cemburu
-eine kleine nachtmusik
aku merindukanMu.
malam di kotaku sesak terhimpit
cahaya bulan tembaga.
layang layang yang dinaikkan
anak anak desa tadi siang
bagai kalong kalong kematian hitam
menganyam bayang bayang panjang
menjerat rumah rumah berlampu tak terang
dan derunya
sampai ke kamarku yang penuh bising nyamuk.
rambut kusutku lengket
di bantal basah keringat
menginginkan goresan ujung kukumu.
Aku ingin tenggelam dalam
ombak birahiMu, badai rinduMu.
para tetangga yang berjudi di kamar sebelah
tertawa pada kartu kartu berwajah sama
tangis anak istrinya –
apa yang sedang kau lakukan malam ini?
malam di kotaku sesak terhimpit
bau knalpot bau asap rokok
dan bulan tembaga yang pucat
berdarah matanya
tertusuk cakar layang layang
yang dibiarkan anak anak desa kelaparan di pekat malam.
betapa ingin kupanggil namaMu!
seperti bocah kecil terjaga
dari kejaran raksasa dalam tidurnya
tapi kamar yang gelap penuh sarang laba laba
telah lama kehilangan suara langkah kaki bunda.
aku merindukanMu
di tengah pengap puntung puntung rokok
dan hujan malam bulan Juni
yang menambah gelisah layang layang raksasa di atas rumah
merindukanMu lewat desah sungai alkohol bening
yang menghanyutkan batu batu hitam masalaluku
daun daun kering luka lukaku.
aku merindukanMu
di pasir putih puri kanak kanakku
patung patung pasir tak berbaju mimpi mimpiku
bagai kupu kupu kecil terbang dari sunyi kepompong mati
Aku menari dalam hujan malam bulan Juni
di bawah panas cahaya bulan tembaga
mengikuti irama deru layang layang raksasa basah
yang tersesat dalam labirin rumah rumah tak terang lampunya
Aku menari dan menari
tanpa suara
hilang dalam pusaran lubuk badai rindu
tak sanggup memanggil namaMu.
malam di kotaKu terpanggang
hangus api cemburu.
denpasar, 9 juni 2001
kepada P
di kotaku
yang pernah merasakan
panas bibirmu, malam turun
memperkelam segala.
jalanan
cuma aspal hitam
kerontang kehilangan basah
hujan birahi musim.
kata kata pun
menghilang ke bukit tandus
tempat dikubur segala yang mati.
bayang bulan
menambah sunyi malam. tak ada
gonggong anjing yang dulu
mencoba menyesatkan
langkahku dari hangat hitam rambutmu.
cinta dan penyair keduanya
matikah? atau cuma
sekedar rindu?
2007
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita