Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=331
Paul Ambroise Valéry (1871-1945) penyair Prancis lahir di Cette (Languedoc), mempelajari hukum di Montpellier. Masa mudanya asyik bersajak romantik dan simbolik, berkenalan Mallarmé juga André Gide 1890. Di tahun 1892 berpaling pandangan intelektualisme. Buahpena pertamanya di padang kesusastraan, esai-esai bersajak Introduction à La méthode de Léonardo da Vinci (1895), dan Les Soires avec Monsieur Teste (1896). Sesudahnya 17 tahun menghilang dari dunia sastra, bekerja di kementerian peperangan, lalu di kantor berita Haves, hanya catatan-catatan harian dimunculkan. Mencontoh Léonardo da Vinci rajin mempelajari falsafah ilmu pasti serta pengetahuan lain. 1913 muncul kembali dengan sajak-sajak pendek, pada 1917 barulah dengan sajak lebih panjang yang bertahun-tahun dikerjakannya, La Jeune Parque, disusul Palme (1919), Le cimetière marin (1920), serta Ébauche d’un serpent (1921) semuanya terhimpun dalam kumpulan Charmes. Sejak perang dunia pertama mengutamakan pembacaan masyarakat dan politik berbentuk esai, antaranya Sur la crise d’intelligence (1925), di tahun tersebut diangkat menjadi anggota Akademi Prancis. Lantas terbit Rhumbs (1926), Regards sur le monde actuel (1931) dan Choses tues (1932). Valéry menegaskan pentingnya golongan intelektual dalam membimbing masyarakat, sedang berkenaan teori persajakan, perlunya membentuk yang murni dengan isi padat serta serba otak. Valéry merupakan pentolan dari golongan menyanjung puisi murni, umumnya sajak-sajaknya dingin berasa sebab berasal nalar dingin. Pandangan dewasa ini terhadapnya lebih besar sebagai pengarang esai daripada seorang penyair.
LANGKAH-LANGKAH
Paul Valéry
Langkahmu, kanak-kanak sepiku,
Kudus dan pelan diinjakkan,
Menuju ranjang waspadaku,
Bisu dan kelu dimajukan.
Makhluk murni, bayangan luhur,
Lembut nian langkahmu-teguh!
Tuhan… semua berkah kutaksir,
Telanjang kaki datang padaku.
Jika, dari bibirmu meluncung,
Kau siapkan, sebagai pengaman,
Bagi penghuni serba fikiranku,
Sari hidup suatu ciuman,
Jangan gegaskan tuk tindak mesra,
Gairah jumpaan diri-takdiri:
Karena hidupku: tunggu-kau cuma.
Dan itu langkahmu: hatiku ini.
{dari buku Puisi Dunia, jilid I, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***
I
Membaca Valéry menyimak langkah dia, pun mereka, atau pada dirinya semata, terbangun naluri kanak dari kepompong kudus yang lembut pelahan membuka katupan mesra, atas gubahan lagu purba sejarah silam, suatu tindak perjelas angan belia ke jenjang pengertian.
Langkah mematangkan padatan renung, menjejak keyakinan bathin, setiap krentek niat kedalaman sepi memanggil sunyi, dirindu gerak, nalar digubah dari tidur pengembaraan angan, diwujudkan warna cahaya, serta bayang-bayang memantul pemahaman.
Menuju ranjang pergulatan dramatis, oleh wangi bunga-bunga ditaburkan, keharuman memenuhi ruang, kemungkinan lebih menujah dalam, khusyuk keluh kesah sehabis memandang cakrawala, di balik jendela membuka rekaman lama, was-was dilalui, menjajaki penjegal keraguan, apakah sampai atau mandek.
Kebisuan rasa takut diberanikan berucap, ada masa menyekat hingga sulit tak bersuara, dan tatkala kegelisahan memuncak, tibalah gema, lantas dimajukan sebagai kehendak kehadiran, demikian kutafsirkan bait pertama.
II
Bayangan luhur pesona jelita bidadari telah menanam perasaan, dari tiupan panjang alunan alam, serupa hawa wingit nenek moyang melebur bersatu jiwa, melembutkan lelangkah teguh, santun berdendang menyeiramakan daging, atas gelembung udara yang dipompa darah juang, kangen tiada terkira.
Seperti pengertian sampai bulir-bulir embun kenangan ditanak malam-malam mengharukan sukma paling murni. Panjatan doa memberkahi perkiraan, selalu digayuh peroleh limpahan deras kejuntrungan, keberuntungan mula menyungguhi keadaan, menyimak situasi merapal kejadian tertanda, demi manfaat lebih dimengerti, dari sekadar kerenyutan dahi tiada kelapangkan.
Maka perluas jaring kesadaran kata-kata, agar tak madek dalam tubuh semata, olehnya ketelanjangan kaki-kaki segarkan maknawi penghayatan, di setiap denyut batuan krikil pada jalanan sunyi.
Apa yang dipunggah menemui kehadiran purna, bulan dinanti-nanti tampak cantik kemewah, kala hitam panggung taburkan bintik gemintang, atas pantulan hati berkerlipan pandang kesaksian.
III
Di bibir jurang lintasan fikir mengaduk bethin perasaan, daun-daun mungil diterpa angin ketinggian, dan awan penghayatan menebarkan penalaran, taburkan wasangka menduga hari-hari tetap sumringah, di mana kabar keabadian berdendang pada puncak kesejatian, jauh dari kecurigaan, hanya kupu-kupu bertekat bulat mendiami musim kekekalan, bersanggup mencapai kuntum-kuntum tak tersaksikan, bersama kabut merekam.
Pohon-pohon tetap sama berdiri tegak, batu-batu pun khusyuk bersila memaduka air hujan kadang terik menyengat, yang sampai diharuskan berjalan, turun kembali ke jalanan setapak menemui ramainya peradaban, lalu dikisahkan penghuni serba fikiran, atas saripati ciuman, yakni kenangan dirasai Valéry.
Di tempat lain, pohon-pohon tumbang ditarik arus kencang, masih membawa akarnya, sehingga tak jauh terhanyut kecuali banjir bandang ketaksadaran. Maka, menegakkan fikir laksana ciuman singkat diterjemah berbagai kemajuan, demi tak lepas semua digayuh rupa kayungyung kerinduan, sepadan waktu bersahabat kian jauh muntahkan gelisah, menyatukan apa saja, demi bersetia meski lain suasana, tetap sepaduan jiwa mengeja kembara.
IV
Manakala jumpaan takdir terlaksana, kerinduan bertumpuk ingin bersigegas lumatkan bibir kemerah hasrat kuasa, namun toh tidak begitu, yang pelahan semakin menggelora di kedalaman ingin muntahkan lahar halilintar, serupa hujan tiba-tiba menderas.
Bukan keterkejutan lama, tapi ketakjuban membawa jiwa disertai rintihan hangat mesra, jalanan licin kaki-kaki kehati-hatian, sebab hidupnya ditunggu, walau hilang keringat, atau lenyap bersatunya kesemangatan langkah, hanya pada kasih terpaan bathin disandarkan di pundak setia.
Di sisi tertentu, debaran penantian terus menggejalai ranum buah-buahan, siap dipetik pertemuan, jemari tangan menggenggam hayat kata-kata, demi terus dilafalkan, oleh cuma hidup menunggu datang masa kasih mendekap purna, umpama helaian rambut berjalin, keringat darah bercumpur dalam pergumukan rahayu, hidup mati batas ditentukan jiwa kunjungi alam kandungan masa paling samar, sebelum kembali pada langkah hati memutiara.
Valéry ialah kepastian puitik dari hati tertunduk setia, seperti masyarakat pedesaan mendiami keluguan, bukan kebodohan menjemukan kala lantunan kalimah mampu memadukan pasti, dengan ngeranggenya angan dari kedalaman gugusan penalaran saling mengerti, umpama kehilangan jasad pecinta hanya lenyap sementara, sebab kalbu didiami segugus keabadian kasih sayang, ketulusan sama-sama mendiami kerahasiaan, dengan selalu menempa kerinduan.
Nafasan pendek maupun panjang, hasil olahan jiwa menyungguhi ikhtisar hayat melingkupi kerelaan. Valéry mengenyam hidup bersosial membalut tangkai menuju kembang, membimbing bunga-bunga lain di padang, demi kesegaran angin berkumandang ke lembah-lembah penciuman, memurnikan nalar puitik para insan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
27/02/10
DEWA MABUK :Naskah Monolog karya Akhudiat
http://teaterapakah.blogspot.com/
Peran: Seorang Dionisian
Dionisian:
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Teruskan, mabukkan, pestakan, sukaria, topeng, rumbai-rumbai, musik, tari, nyanyi. Rayakan dewa anggur, kesuburan, dan ramalan. Pesta musim panas, bumi baru, kesuburan setelah membeku. Kemabukan tiada tara. Mari terbang, melayang, jungkir dan balikkan. Tanpa kemabukan bukan lagi teater namanya, dan tak ada lagi hasrat serta manfaat gunanya. Bukanlah cinta tanpa mabuk kepayang-payang, barangkali cuma letup sesaat dan tak sengaja kayak kentut. “Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian,” ujar Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi. Tanpa kemabukan bagaimana bisa bertahan antara realitas dan mimpi?
Kami Dionisian-dionisian setiamu, dalam kemabukan, kerasukan, cinta, dan bermain.
Dengan kemabukan kami rasuki roh-roh dan mainkan mereka, peran-peran, jadi hidup, bertindak, menjalani takdir lakon. Dalam lingkaran tari dan koor “nyanyian kambing” kami sembahkan drama Dionisian, bahkan kami perankan Sang Dewa Mabuk, Dionisos Maha Tuan Asal-muasal Drama. Kami rayakan kambing, pengganti ritus kanibalisme kuno, sesajen sebutir kepala manusia. Drama mengubah ritus darah dan nyawa menjadi seni.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Dengan kemabukan dan kesyahidan kami hidupkan Sayidina Husein, cucu kesayangan Nabi, beserta anak-anak, keluarga, dan para pengikutnya, berguguran sehabis perlawanan habis-habisan yang gagah berani dalam Perang Karbala. Kami hidupkan kembali di arena Teater Takziah, “teater dukacita”, selama hari-hari ritual Asyura di bulan Muharam yang suci. Kami nyanyikan penderitaan dan kesyahidan Sayidina Husein bin Ali; perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan dengan keteguhan otoritas moralnya. Juga kami deklamasikan kebrutalan para penindas, pelibas, pembantai, yang otoritasnya tirani berbendera agama. Di tangan tiran agama jadi sektarian, eksklusif, pembenaran ideologi. Agama bukan lagi sirath-al-mustaqim, jalan lempang, jalan pencerdasan, pembebasan, pencerahan. Teater menemukan dan membangkitkan penderitaan/catharsis dan kesyahidan/martyrdom.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami adalah shaman, pawang, bomoh, dukun, “terkun”, “orang pintar”, “orang tua”, “orang aneh”, orang suci, wali, pendeta, peramal, paranormal, “para tidak normal”, atau terserah sapaan apa saja yang kalian pantas-pantaskan. Dengan kemabukan dan kerasukan dan kesurupan, trance, ekstase, kami tinggalkan tubuh kasar, dan naik ke langit, dunia-atas, berkendara roh kuda atau angsa; berbahasa langit, mempelajari ilmu langit dan mengambil untuk mengajarkannya kepada dan menyembuhkan orang bumi. Memohon Penguasa Dunia Atas agar menerima persembahan, dan mendapat petunjuk beerkenaan cuaca yang akan datang, panen, berburu, dan juga sesajen apa yang dibutuhkan. Atau turun ke dunia-bawah, menemani-membimbing roh ke hunian baru, atau mengambil roh dari kuasa hantu-mambang-danyang. Kami mediator antara dunia nyata dan dunia lain.
Dengan irama pukulan genderang atau rebana di tangan dan hentakan giring-giring di kaki, jenis musik tonal; mantera, doa, dzikir yang berulang-ulang; mengundang mahluk gaib pembantu, berbicara dengan bahasa rahasia, “bahasa hewan”, menirukan jeritan binatang buas, dan kicauan burung. Irama kendang, giring-giring, tari, nyanyi, makin lama makin keras, makin liar, konsentrasi penuh ke dunia lain, kami shaman mencapai kesadaran yang lain.
Kami lakukan perjalanan sangat dramatik ke kraton Penguasa Dunia Bawah; kami perankan dewa-dewa dan tokoh-tokoh lainnya; kami berdialog dengan hantu-mambang-danyang dan hewan serta burung. Dramatisasi tingkat tinggi kehidupan dewa-dewa oleh kami para anggota kultus-misteri. Kami “mulut para dewa”.
Kami hidupkan suara seorang samurai sebagai saksi di pengadilan, bahwa dia dibunuh oleh tertuduh, si perampok, bukan oleh pedang di tangan isterinya sendiri, dalam tragedi Rashomon. Kami pawang dalam tari misteri lais atau sintren; kami mendapuk, memerankan, Besut—mbekto maksut/pembawa tujuan—dalam drama ritual Ludruk Besutan; kami di mulut Gandrung Seblang “mewahyukan” apa yang harus dilaksanakan penduduk pada ritus Seblang di tahun mendatang.
Kami senantiasa mempertahankan kehidupan, kesehatan, kesuburan, dan “dunia terang”; melawan kematian, penyakit, kemandulan, malapetaka, dan “dunia gelap”. “Drama misteri” menyambungkan masa lampau ke masa kini, menelusuri masa kini sampai masa primordial, asal-muasal segala hal.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami Dionisian-dionisian setiamu, mengalami jatuh-bangun, pasang-surut, sedih dan gembira, bahkan menikmatinya. Tapi kini, aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan. Aku melata, mengenaskan, bagai orong-orong dalam gorong-gorong, tersekap di labirin, di hunian mutakhir: ruko. Ukuran: 5X10X10 meter, dua lantai. Lantai bawah tempat usaha dan kerja apa saja, lantai atas ruang tinggal, makan, minum, tidur, masak, macak, manak dan berak.
Aku turun-naik, naik-turun, entah sudah berapa ribuan kali. Mirip ritus komedi-kuda-putar, atau bajing-dalam-kerangkeng-pusing, atau kakatua-dengan-gelang-dan-rantai-panjang-keliling-batang-besi-tempat-hinggap-abadinya. Sudah ribuan meter jalan-lari-terbang masih juga tetap di titik semula.
Aku manusia ruko. Nenek-moyang dulu kala manusia gua, zaman berburu dan meramu; berbicara dengan bahasa uh-uh-uh. Gua rumah kedua, “rumah pertama” di atas pepohonan, tidak bisa tidur nyenyak, sering terkejut, terjaga, dan tidur-tidur ayam, agar tak jatuh ke tanah dimangsa predator. Keterkejutan dan keterjagaan primordial itu tertinggal di otak belakang sampai kini, dan sering muncul dalam mimpi “jatuh dari ketinggian”, baik selonjor di ranjang maupun lantai. Semak belukar adalah perbatasan genting: yang berbalik ke rimba menjadi orang utan, yang turun ke padang rumput menjadi homo-sapien; berladang, bertanam, bertugal, menabur benih, bertegal, bersawah; menjadi manusia pertanian, pedalaman, pedesaan, perkampungan, pinggiran. Ketika migrasi dan tranformasi ke manusia urban terjadi diversifikasi besar-besaran sesuai kelas hunian: dari manusia istana, menara, kondominium sampai manusia kapsul dan kondom.
Manusia kondom bagian dari MT4: Manusia Tanpa Tempat Tinggal Tetap, antara lain, berupa kapsul, ujudnya gerobak, cikar, dokar, sepeda, becak, atau bermotor, cukup dilembari gombal atau karton, gampang bongkar-pasang-pindah. Yang berbentuk kurungan tegak menonjol atau rebah ke samping, sama sekali tertutup plastik putih, mirip kondom gede.
Dan meledak Revolusi Abu-abu.
O Dewa Mabuk!
Sang pemimpin, pra-revolusi dedengkot demokrasi, pasca-revolusi tersibak watak asli, gila sanjungan dan otoriter, campuran kekanakan, kelatahan dan kepala batu. Di masa kanak, dia digendong, dikudang, digadang-gadang, ditimang-timang kakeknya dengan senandung sindiran, setengah ramalan: Putu, putu, abote koyo watu—gede-gede mbentuki watu. Cucuku, cucuku, bobotnya seberat batu—besar nanti menimpuki dengan batu. Dia canangkan dan terapkan trilogi yang dialektis-dinamis-romantis-nostalgis: TRISAMARA—sama-rasa, sama-rata-sama-ragam. Di sektor hunian, segala gedung, segala pencakar langit, segala perumahan, segala gubuk, di-retool: didinamit, dirontokkan, dihancur-leburkan, diratakan sepermukaan bumi asal, dan diperintahkan bagi setiap keluarga inti dua lantai ruko. Pembangunan ruko besar-besaran oleh pabrik ruko-prefab/bongkar-pasang. Pembangunan semesta rencana revolusioner yang diiringi semangat lagu lama lirik plesetan: Dari barat sampai ke timur berjajar ruko-ruko, sambung-menyambung menjadi satu itulah Republik Ruko… Aku manusia ruko, saksi akhir sejarah arsitektur.
Wajah bumi berubah total. Tidak ada lagi keaslian lama atau alami. Pedesaan, perkotaan, pedalaman, pesisiran, bantaran sungai, hutan, huma, gunung, sabana, semak belukar, kebun kangkung, lahan tidur, padang gambut, pulau kosong, delta gosong; semua dikepung, dijalari, dijajari, digantungi, ditumpuki, digudangi, atau dipersiapkan bagi karya arsitektur agung mutakhir: ruko.
Saat bangun pagi, saat belum siap buka mata benar-benar, selalu rona melankolis di langit timur dan pikiran sepi sendiri sepanjang malam, aku berada di ruko sendiri, atau mungkin juga ruko tetangga, asrama, gardu jaga, rumah sakit, penjara, penampungan sementara, kontrakan abadi, guest-house, hotel, motel, losmen, luar kota, kota lain, ibukota, pulau sini, pulau seberang, atau ruko trailer ditarik truk yang bisa kembara ke mana-mana. Tidak ada bedanya. Ranjang standar, kamar standar, hunian rakitan. Keunikan dan kekhasan milik masalalu. Aku mengais-ais remah-remahnya.
Pergi, masuk, keluar, pulang, ngendon, ngendok, andok, minggat, menghindar, terlantar, bertualang, menjauh, mendekat, bahkan menghilang sekalipun: dalam sekapan ruko. Mereka tidak hilang, mungkin hanya tersesat, terlalu jauh atau lama di luar ruko sendiri, tak bisa pulang kandang, selalu keliru masuk alamat lain. Semua ruko sama dan serupa. Harus ingat betul peta, letak, kawasan, wilayah, susunan, kelompok, ruang, sektor, nomor. Ruko kehilangan penghuni, bukan penghuni kehilangan ruko, tapi kehilangan akal.
Aktivitas apa pun: transaksi, negosiasi, janji, kencan, selingkuh, tatap muka, inisiasi, jual-beli-sewa, belanja, ngutil, memborong, memboyong, gotong-royong, tanggung-renteng, menalangi, ngebosi, bersaing, saling-silang, sidang, debat, silat, arisan, ngrumpi, ngantri, pemilu, kampanye; kebaktian, meditasi, pengajian, salat jamaah, pengakuan dosa, retret, i’tikaf, misa; kuliah, sekolah, pacaran, bolos, coblosan, tawuran, keluyuran, cangkruk, tenguk-tenguk, mabuk, flai, nyetun; mandi kembang, mandi susu, mandi kucing, bobok-bobok siang, obok-obok malam, ngamar, “karaoke”, mandi kuyup sekalian ketimbang cincang-cincing, mandi keris setahun sekali, mandi ruwatan, mandi mayat; hidup, sakit, koma, failit, bangkrut, dipenjara, diamankan, “dipinjam instansi lain”, dipermak, dihilangkan, dipancung, digantung, dihukum mati tak pernah dieksekusi, dikremasi; segalanya dicukupi oleh Departemen Ruko. Baju adalah kulit kedua, ruko adalah langit kedua, pengayom dan pengendali apa-dan-siapa saja.
O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Aku melata, menelengkan kuping, menempelkan, mencari, menanggap, menangkap, menyabet udara, meraih-raih suara/bunyi gres, baru, yang tidak baku. Kutunggu, tak terdengar apa pun, sunyi, lama sekali, hampa. Kebisuan itu menggantung, memadat, serasa akan menyedot atau menimpaku. Segera kubuka jendela dan seperti rangkaian kereta dan gerbong…lebih sejuta jendela terdengar buka dan bunyi menggerendeng serempak bersama!
Setiap hari, bunyi/suara serentak-segerak, setajam-sepelan, sepanjang- sependek, selengking-seinterval, senada-se-staccato, sesepele-semelompong, segema-segemuruh, seruang-sewaktu: merongrong/menindih/menghisapku. Gedoran dinding, getaran kaca, kreotan ranjang, helaan napas, igauan tidur, gemertak gigi-gerigi, sendawa, tapakan kaki naik-turun tangga, tepuk nyamuk, tabokan, tempelengan, siulan mulut, nyanyi kamarmandi, kepakan sayap, meong kucing, cicit tikus, cericit burung, dentingan piring, tarikan kursi, gemerincing kunci, sobekan kertas, goresan/klik korek api, geseran buah catur, krobokan cairan, kibasan handuk, kucuran kencing. Buka-tutup pintu WC, ngejan dan lepas, telepok berak dan grujukan air; bahkan bentuk-rupa-bau tai pun sepadan-serupa. Berkat standarisasi teknologi “ma-min”, makanan-minuman, mutakhir: pentolan bakso.
Bakso, adalah akhir sejarah gastronomi atau seni makan-memakan, diawali oleh diversifikasi ma-min instant. Segalanya serba instan: dari mi, nasi, santan, susu, krim, buah, sampai sari buah, air mineral, kolak, degan kopyor, gudeg, gado-gado, rendang, empek-pek, botok, nyamikan, kudapan, snack dan tiwul serta jajanan pasar lainnya. Departemen Gastronomi perintah hanya boleh satu bentuk dan warna ma-min, maka terciptalah kemasan pentolan daging dan bukan daging, mulai ukuran gotri, kelereng, bola bekel, golf, kasti, tenis, sepak raga/tekong, sampai boling dan basket. Berisi segala jenis ma-min serba instan, dibikin di pabrik besar Departemen dan dipasok ke seluruh Republik dengan armada truk katering. Republik pun bertambah julukannya dan menjadi setengah resmi: Republik Ruko & Bakso. Sempurna dan lengkap sudah, samarasa-samarata-samaragam merasuk hingga rinci-rinci dan inti prikehidupan. Mimpi pun mulai dibakukan dengan “paket stimulan”, hasil litbang obat dan jamu, Departemen Sehat dan Waras.
O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan. Melata, mengenaskan, bagai tikus eksperimen di labirin laboratorium. Jalan, lari, ketabrak dinding, mundur, berputar, berhenti, jalan, berbalik, lari-lari, ketubruk lorong buntu, mundur, mengendap-endap, berbelok, loncat ke ujung lorong lain, rebut hadiah bakso…
O Dewa Mabuk,
Aku mengangankan, melesat ke awang-awang, berkendara roh puisi Sultan Walad, putra Sufi Agung Jalaluddin Rumi:
Kata-kata adalah tangga ke langit
Sesiapa menaikinya ke atap ia sampai
Bukan langit biru atap itu
Tapi atap di balik segala langit dunia
Glodak! Kubuka pintu WC, dan sejuta lebih pintu WC bergelodak, buka-tutup-telepok-grojok serentak! Masih kupegangi pintu, aku berdiri di ambang, tidak masuk dan tutup, hanya mendengar-nikmati gemuruh sejuta lebih pintu dan lubang tai bernyanyi koor pagi buta. Aku setengah ngantuk, kemulan sarung, bungkus tidur antik kawasan tropik, tanpa baju dan celana. WC duduk itu kering dan masih rapi terbungkus kertas cap dagang hotel. Aku baru sadar, sedang bermalam di hotel, urusan kondangan di sebuah kota—kecil atau besar apa pula bedanya?—pantai utara. Ternyata agak berbeda. Pantai di seberang jalan masih tetap pesisir landai, tanpa ditanami serial ruko-ruko, hanya ditancapi papan pengumuman besar tulisan merah: DILARANG BERAK. Sebelum Revolusi pantai utara WC terpanjang sedunia, masuk buku “Rekor Sejagat-Rat”, penerbit pabrik ciu gambar manuk.
Timbul iseng semasa usia pancaroba, mengusili barang atau tempat atau milik umum yang baru. Kaca mobil atau etalase toko kucorat-coret dengan kata-kata cabul, atau di gedung pencakar langit kupilih lantai puncak, kuludahi westafel, kukencingi urinoir, kuberaki WC wangi, dengan memandangi awan-gemawan, seperti burung terbang sambil crat-cret-crot mengecat udara dan bumi.
Setengah ngantuk, kemulan sarung, aku keluar hotel, tanpa toleh kanan-kiri lari menyeberangi jalan, sarung berkibar-kibar, niat memberaki Dilarang Berak…
Entah dari kanan entah kiri, truk besar panjang menanduk, aku terpental, jatuh terkapar di aspal, telanjang bulat. Sarung terbang, tersangkut truk, menutupi kaca depan, sopir kaget, tak bisa lihat jalan, oleng, menabrak tanggul pantai, terguling. Pintu belakang trailer ma-min terbuka, kaldu dan ribuan bola-bola bakso tumpah dan banjir ke jalan, bergelindingan, berenang, berlomba, berkejaran. Bagai tarikan magnet bola-bola daging dan bukan daging mengerubuti dan menempeli tubuhku. Daging ketemu daging tumbuh daging ketemu daging tumbuh… Mengerubuti ujung kaki sampai ubun-ubun seperti serbuan ikan piranha.
Ujung-ujung jari kaki dan tangan ditumbuhi pentilan-pentilan ukuran gotri; kedua ketiak disangga pentolan boling sehingga dua tangan terangkat siap terbang. Kedua lutut ditamengi petolan tenis; kantong pelir ditempeli dua pentolan bekel seperti sepasang roda, menyangga batang zakar tegak seperti meriam mini penangkis serangan udara, di ujungnya pentolan kelereng mirip peluru. Persis di pusar pentolan golf pada posisi tee, untuk pukulan pertama. Tiga pentolan mirip “bola raga dari rotan” di bidang dada sebagai perisai, atau “tiga buah dada perempuan Mars”. Garis mulut didereti pentolan kelereng mirip untaian gigi-gerigi, dari telinga ke telinga. Kedua telinga tambah melebar oleh sepasang pentolan basket. Hidung lebih akbar ketimbang Pinokio karena dipanjangkan pentolan tenis+bekel+kelereng +gotri. Pada dahi dua pentolan tenis plus jadi sepasang tanduk Viking. Rambut lebih gimbal ketimbang megabintang Reggae karena segala pentolan segala ukuran melekat-rekat, memilin-plintir, dikeramas kaldu daging, berlemak-peak.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos,
Di pagi sedang merekah, Dionisian setiamu mempersembahkan instalasi, “Manusia Baru”, pada latar baru, kanvas aspal.
Surabaya, 2008
Peran: Seorang Dionisian
Dionisian:
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Teruskan, mabukkan, pestakan, sukaria, topeng, rumbai-rumbai, musik, tari, nyanyi. Rayakan dewa anggur, kesuburan, dan ramalan. Pesta musim panas, bumi baru, kesuburan setelah membeku. Kemabukan tiada tara. Mari terbang, melayang, jungkir dan balikkan. Tanpa kemabukan bukan lagi teater namanya, dan tak ada lagi hasrat serta manfaat gunanya. Bukanlah cinta tanpa mabuk kepayang-payang, barangkali cuma letup sesaat dan tak sengaja kayak kentut. “Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian,” ujar Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi. Tanpa kemabukan bagaimana bisa bertahan antara realitas dan mimpi?
Kami Dionisian-dionisian setiamu, dalam kemabukan, kerasukan, cinta, dan bermain.
Dengan kemabukan kami rasuki roh-roh dan mainkan mereka, peran-peran, jadi hidup, bertindak, menjalani takdir lakon. Dalam lingkaran tari dan koor “nyanyian kambing” kami sembahkan drama Dionisian, bahkan kami perankan Sang Dewa Mabuk, Dionisos Maha Tuan Asal-muasal Drama. Kami rayakan kambing, pengganti ritus kanibalisme kuno, sesajen sebutir kepala manusia. Drama mengubah ritus darah dan nyawa menjadi seni.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Dengan kemabukan dan kesyahidan kami hidupkan Sayidina Husein, cucu kesayangan Nabi, beserta anak-anak, keluarga, dan para pengikutnya, berguguran sehabis perlawanan habis-habisan yang gagah berani dalam Perang Karbala. Kami hidupkan kembali di arena Teater Takziah, “teater dukacita”, selama hari-hari ritual Asyura di bulan Muharam yang suci. Kami nyanyikan penderitaan dan kesyahidan Sayidina Husein bin Ali; perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan dengan keteguhan otoritas moralnya. Juga kami deklamasikan kebrutalan para penindas, pelibas, pembantai, yang otoritasnya tirani berbendera agama. Di tangan tiran agama jadi sektarian, eksklusif, pembenaran ideologi. Agama bukan lagi sirath-al-mustaqim, jalan lempang, jalan pencerdasan, pembebasan, pencerahan. Teater menemukan dan membangkitkan penderitaan/catharsis dan kesyahidan/martyrdom.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami adalah shaman, pawang, bomoh, dukun, “terkun”, “orang pintar”, “orang tua”, “orang aneh”, orang suci, wali, pendeta, peramal, paranormal, “para tidak normal”, atau terserah sapaan apa saja yang kalian pantas-pantaskan. Dengan kemabukan dan kerasukan dan kesurupan, trance, ekstase, kami tinggalkan tubuh kasar, dan naik ke langit, dunia-atas, berkendara roh kuda atau angsa; berbahasa langit, mempelajari ilmu langit dan mengambil untuk mengajarkannya kepada dan menyembuhkan orang bumi. Memohon Penguasa Dunia Atas agar menerima persembahan, dan mendapat petunjuk beerkenaan cuaca yang akan datang, panen, berburu, dan juga sesajen apa yang dibutuhkan. Atau turun ke dunia-bawah, menemani-membimbing roh ke hunian baru, atau mengambil roh dari kuasa hantu-mambang-danyang. Kami mediator antara dunia nyata dan dunia lain.
Dengan irama pukulan genderang atau rebana di tangan dan hentakan giring-giring di kaki, jenis musik tonal; mantera, doa, dzikir yang berulang-ulang; mengundang mahluk gaib pembantu, berbicara dengan bahasa rahasia, “bahasa hewan”, menirukan jeritan binatang buas, dan kicauan burung. Irama kendang, giring-giring, tari, nyanyi, makin lama makin keras, makin liar, konsentrasi penuh ke dunia lain, kami shaman mencapai kesadaran yang lain.
Kami lakukan perjalanan sangat dramatik ke kraton Penguasa Dunia Bawah; kami perankan dewa-dewa dan tokoh-tokoh lainnya; kami berdialog dengan hantu-mambang-danyang dan hewan serta burung. Dramatisasi tingkat tinggi kehidupan dewa-dewa oleh kami para anggota kultus-misteri. Kami “mulut para dewa”.
Kami hidupkan suara seorang samurai sebagai saksi di pengadilan, bahwa dia dibunuh oleh tertuduh, si perampok, bukan oleh pedang di tangan isterinya sendiri, dalam tragedi Rashomon. Kami pawang dalam tari misteri lais atau sintren; kami mendapuk, memerankan, Besut—mbekto maksut/pembawa tujuan—dalam drama ritual Ludruk Besutan; kami di mulut Gandrung Seblang “mewahyukan” apa yang harus dilaksanakan penduduk pada ritus Seblang di tahun mendatang.
Kami senantiasa mempertahankan kehidupan, kesehatan, kesuburan, dan “dunia terang”; melawan kematian, penyakit, kemandulan, malapetaka, dan “dunia gelap”. “Drama misteri” menyambungkan masa lampau ke masa kini, menelusuri masa kini sampai masa primordial, asal-muasal segala hal.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami Dionisian-dionisian setiamu, mengalami jatuh-bangun, pasang-surut, sedih dan gembira, bahkan menikmatinya. Tapi kini, aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan. Aku melata, mengenaskan, bagai orong-orong dalam gorong-gorong, tersekap di labirin, di hunian mutakhir: ruko. Ukuran: 5X10X10 meter, dua lantai. Lantai bawah tempat usaha dan kerja apa saja, lantai atas ruang tinggal, makan, minum, tidur, masak, macak, manak dan berak.
Aku turun-naik, naik-turun, entah sudah berapa ribuan kali. Mirip ritus komedi-kuda-putar, atau bajing-dalam-kerangkeng-pusing, atau kakatua-dengan-gelang-dan-rantai-panjang-keliling-batang-besi-tempat-hinggap-abadinya. Sudah ribuan meter jalan-lari-terbang masih juga tetap di titik semula.
Aku manusia ruko. Nenek-moyang dulu kala manusia gua, zaman berburu dan meramu; berbicara dengan bahasa uh-uh-uh. Gua rumah kedua, “rumah pertama” di atas pepohonan, tidak bisa tidur nyenyak, sering terkejut, terjaga, dan tidur-tidur ayam, agar tak jatuh ke tanah dimangsa predator. Keterkejutan dan keterjagaan primordial itu tertinggal di otak belakang sampai kini, dan sering muncul dalam mimpi “jatuh dari ketinggian”, baik selonjor di ranjang maupun lantai. Semak belukar adalah perbatasan genting: yang berbalik ke rimba menjadi orang utan, yang turun ke padang rumput menjadi homo-sapien; berladang, bertanam, bertugal, menabur benih, bertegal, bersawah; menjadi manusia pertanian, pedalaman, pedesaan, perkampungan, pinggiran. Ketika migrasi dan tranformasi ke manusia urban terjadi diversifikasi besar-besaran sesuai kelas hunian: dari manusia istana, menara, kondominium sampai manusia kapsul dan kondom.
Manusia kondom bagian dari MT4: Manusia Tanpa Tempat Tinggal Tetap, antara lain, berupa kapsul, ujudnya gerobak, cikar, dokar, sepeda, becak, atau bermotor, cukup dilembari gombal atau karton, gampang bongkar-pasang-pindah. Yang berbentuk kurungan tegak menonjol atau rebah ke samping, sama sekali tertutup plastik putih, mirip kondom gede.
Dan meledak Revolusi Abu-abu.
O Dewa Mabuk!
Sang pemimpin, pra-revolusi dedengkot demokrasi, pasca-revolusi tersibak watak asli, gila sanjungan dan otoriter, campuran kekanakan, kelatahan dan kepala batu. Di masa kanak, dia digendong, dikudang, digadang-gadang, ditimang-timang kakeknya dengan senandung sindiran, setengah ramalan: Putu, putu, abote koyo watu—gede-gede mbentuki watu. Cucuku, cucuku, bobotnya seberat batu—besar nanti menimpuki dengan batu. Dia canangkan dan terapkan trilogi yang dialektis-dinamis-romantis-nostalgis: TRISAMARA—sama-rasa, sama-rata-sama-ragam. Di sektor hunian, segala gedung, segala pencakar langit, segala perumahan, segala gubuk, di-retool: didinamit, dirontokkan, dihancur-leburkan, diratakan sepermukaan bumi asal, dan diperintahkan bagi setiap keluarga inti dua lantai ruko. Pembangunan ruko besar-besaran oleh pabrik ruko-prefab/bongkar-pasang. Pembangunan semesta rencana revolusioner yang diiringi semangat lagu lama lirik plesetan: Dari barat sampai ke timur berjajar ruko-ruko, sambung-menyambung menjadi satu itulah Republik Ruko… Aku manusia ruko, saksi akhir sejarah arsitektur.
Wajah bumi berubah total. Tidak ada lagi keaslian lama atau alami. Pedesaan, perkotaan, pedalaman, pesisiran, bantaran sungai, hutan, huma, gunung, sabana, semak belukar, kebun kangkung, lahan tidur, padang gambut, pulau kosong, delta gosong; semua dikepung, dijalari, dijajari, digantungi, ditumpuki, digudangi, atau dipersiapkan bagi karya arsitektur agung mutakhir: ruko.
Saat bangun pagi, saat belum siap buka mata benar-benar, selalu rona melankolis di langit timur dan pikiran sepi sendiri sepanjang malam, aku berada di ruko sendiri, atau mungkin juga ruko tetangga, asrama, gardu jaga, rumah sakit, penjara, penampungan sementara, kontrakan abadi, guest-house, hotel, motel, losmen, luar kota, kota lain, ibukota, pulau sini, pulau seberang, atau ruko trailer ditarik truk yang bisa kembara ke mana-mana. Tidak ada bedanya. Ranjang standar, kamar standar, hunian rakitan. Keunikan dan kekhasan milik masalalu. Aku mengais-ais remah-remahnya.
Pergi, masuk, keluar, pulang, ngendon, ngendok, andok, minggat, menghindar, terlantar, bertualang, menjauh, mendekat, bahkan menghilang sekalipun: dalam sekapan ruko. Mereka tidak hilang, mungkin hanya tersesat, terlalu jauh atau lama di luar ruko sendiri, tak bisa pulang kandang, selalu keliru masuk alamat lain. Semua ruko sama dan serupa. Harus ingat betul peta, letak, kawasan, wilayah, susunan, kelompok, ruang, sektor, nomor. Ruko kehilangan penghuni, bukan penghuni kehilangan ruko, tapi kehilangan akal.
Aktivitas apa pun: transaksi, negosiasi, janji, kencan, selingkuh, tatap muka, inisiasi, jual-beli-sewa, belanja, ngutil, memborong, memboyong, gotong-royong, tanggung-renteng, menalangi, ngebosi, bersaing, saling-silang, sidang, debat, silat, arisan, ngrumpi, ngantri, pemilu, kampanye; kebaktian, meditasi, pengajian, salat jamaah, pengakuan dosa, retret, i’tikaf, misa; kuliah, sekolah, pacaran, bolos, coblosan, tawuran, keluyuran, cangkruk, tenguk-tenguk, mabuk, flai, nyetun; mandi kembang, mandi susu, mandi kucing, bobok-bobok siang, obok-obok malam, ngamar, “karaoke”, mandi kuyup sekalian ketimbang cincang-cincing, mandi keris setahun sekali, mandi ruwatan, mandi mayat; hidup, sakit, koma, failit, bangkrut, dipenjara, diamankan, “dipinjam instansi lain”, dipermak, dihilangkan, dipancung, digantung, dihukum mati tak pernah dieksekusi, dikremasi; segalanya dicukupi oleh Departemen Ruko. Baju adalah kulit kedua, ruko adalah langit kedua, pengayom dan pengendali apa-dan-siapa saja.
O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Aku melata, menelengkan kuping, menempelkan, mencari, menanggap, menangkap, menyabet udara, meraih-raih suara/bunyi gres, baru, yang tidak baku. Kutunggu, tak terdengar apa pun, sunyi, lama sekali, hampa. Kebisuan itu menggantung, memadat, serasa akan menyedot atau menimpaku. Segera kubuka jendela dan seperti rangkaian kereta dan gerbong…lebih sejuta jendela terdengar buka dan bunyi menggerendeng serempak bersama!
Setiap hari, bunyi/suara serentak-segerak, setajam-sepelan, sepanjang- sependek, selengking-seinterval, senada-se-staccato, sesepele-semelompong, segema-segemuruh, seruang-sewaktu: merongrong/menindih/menghisapku. Gedoran dinding, getaran kaca, kreotan ranjang, helaan napas, igauan tidur, gemertak gigi-gerigi, sendawa, tapakan kaki naik-turun tangga, tepuk nyamuk, tabokan, tempelengan, siulan mulut, nyanyi kamarmandi, kepakan sayap, meong kucing, cicit tikus, cericit burung, dentingan piring, tarikan kursi, gemerincing kunci, sobekan kertas, goresan/klik korek api, geseran buah catur, krobokan cairan, kibasan handuk, kucuran kencing. Buka-tutup pintu WC, ngejan dan lepas, telepok berak dan grujukan air; bahkan bentuk-rupa-bau tai pun sepadan-serupa. Berkat standarisasi teknologi “ma-min”, makanan-minuman, mutakhir: pentolan bakso.
Bakso, adalah akhir sejarah gastronomi atau seni makan-memakan, diawali oleh diversifikasi ma-min instant. Segalanya serba instan: dari mi, nasi, santan, susu, krim, buah, sampai sari buah, air mineral, kolak, degan kopyor, gudeg, gado-gado, rendang, empek-pek, botok, nyamikan, kudapan, snack dan tiwul serta jajanan pasar lainnya. Departemen Gastronomi perintah hanya boleh satu bentuk dan warna ma-min, maka terciptalah kemasan pentolan daging dan bukan daging, mulai ukuran gotri, kelereng, bola bekel, golf, kasti, tenis, sepak raga/tekong, sampai boling dan basket. Berisi segala jenis ma-min serba instan, dibikin di pabrik besar Departemen dan dipasok ke seluruh Republik dengan armada truk katering. Republik pun bertambah julukannya dan menjadi setengah resmi: Republik Ruko & Bakso. Sempurna dan lengkap sudah, samarasa-samarata-samaragam merasuk hingga rinci-rinci dan inti prikehidupan. Mimpi pun mulai dibakukan dengan “paket stimulan”, hasil litbang obat dan jamu, Departemen Sehat dan Waras.
O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan. Melata, mengenaskan, bagai tikus eksperimen di labirin laboratorium. Jalan, lari, ketabrak dinding, mundur, berputar, berhenti, jalan, berbalik, lari-lari, ketubruk lorong buntu, mundur, mengendap-endap, berbelok, loncat ke ujung lorong lain, rebut hadiah bakso…
O Dewa Mabuk,
Aku mengangankan, melesat ke awang-awang, berkendara roh puisi Sultan Walad, putra Sufi Agung Jalaluddin Rumi:
Kata-kata adalah tangga ke langit
Sesiapa menaikinya ke atap ia sampai
Bukan langit biru atap itu
Tapi atap di balik segala langit dunia
Glodak! Kubuka pintu WC, dan sejuta lebih pintu WC bergelodak, buka-tutup-telepok-grojok serentak! Masih kupegangi pintu, aku berdiri di ambang, tidak masuk dan tutup, hanya mendengar-nikmati gemuruh sejuta lebih pintu dan lubang tai bernyanyi koor pagi buta. Aku setengah ngantuk, kemulan sarung, bungkus tidur antik kawasan tropik, tanpa baju dan celana. WC duduk itu kering dan masih rapi terbungkus kertas cap dagang hotel. Aku baru sadar, sedang bermalam di hotel, urusan kondangan di sebuah kota—kecil atau besar apa pula bedanya?—pantai utara. Ternyata agak berbeda. Pantai di seberang jalan masih tetap pesisir landai, tanpa ditanami serial ruko-ruko, hanya ditancapi papan pengumuman besar tulisan merah: DILARANG BERAK. Sebelum Revolusi pantai utara WC terpanjang sedunia, masuk buku “Rekor Sejagat-Rat”, penerbit pabrik ciu gambar manuk.
Timbul iseng semasa usia pancaroba, mengusili barang atau tempat atau milik umum yang baru. Kaca mobil atau etalase toko kucorat-coret dengan kata-kata cabul, atau di gedung pencakar langit kupilih lantai puncak, kuludahi westafel, kukencingi urinoir, kuberaki WC wangi, dengan memandangi awan-gemawan, seperti burung terbang sambil crat-cret-crot mengecat udara dan bumi.
Setengah ngantuk, kemulan sarung, aku keluar hotel, tanpa toleh kanan-kiri lari menyeberangi jalan, sarung berkibar-kibar, niat memberaki Dilarang Berak…
Entah dari kanan entah kiri, truk besar panjang menanduk, aku terpental, jatuh terkapar di aspal, telanjang bulat. Sarung terbang, tersangkut truk, menutupi kaca depan, sopir kaget, tak bisa lihat jalan, oleng, menabrak tanggul pantai, terguling. Pintu belakang trailer ma-min terbuka, kaldu dan ribuan bola-bola bakso tumpah dan banjir ke jalan, bergelindingan, berenang, berlomba, berkejaran. Bagai tarikan magnet bola-bola daging dan bukan daging mengerubuti dan menempeli tubuhku. Daging ketemu daging tumbuh daging ketemu daging tumbuh… Mengerubuti ujung kaki sampai ubun-ubun seperti serbuan ikan piranha.
Ujung-ujung jari kaki dan tangan ditumbuhi pentilan-pentilan ukuran gotri; kedua ketiak disangga pentolan boling sehingga dua tangan terangkat siap terbang. Kedua lutut ditamengi petolan tenis; kantong pelir ditempeli dua pentolan bekel seperti sepasang roda, menyangga batang zakar tegak seperti meriam mini penangkis serangan udara, di ujungnya pentolan kelereng mirip peluru. Persis di pusar pentolan golf pada posisi tee, untuk pukulan pertama. Tiga pentolan mirip “bola raga dari rotan” di bidang dada sebagai perisai, atau “tiga buah dada perempuan Mars”. Garis mulut didereti pentolan kelereng mirip untaian gigi-gerigi, dari telinga ke telinga. Kedua telinga tambah melebar oleh sepasang pentolan basket. Hidung lebih akbar ketimbang Pinokio karena dipanjangkan pentolan tenis+bekel+kelereng +gotri. Pada dahi dua pentolan tenis plus jadi sepasang tanduk Viking. Rambut lebih gimbal ketimbang megabintang Reggae karena segala pentolan segala ukuran melekat-rekat, memilin-plintir, dikeramas kaldu daging, berlemak-peak.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos,
Di pagi sedang merekah, Dionisian setiamu mempersembahkan instalasi, “Manusia Baru”, pada latar baru, kanvas aspal.
Surabaya, 2008
Orang Besar
Indra Tranggono*
http://www.jawapos.com/
ADA pertanyaan yang mengusik jiwa ketika duka itu tiba. Kenapa manusia besar dan baik dipanggil Tuhan lebih cepat? Rendra, Gus Dur, Frans Seda, Munir, dan lainnya ”begitu cepat” meninggalkan bangsa yang selalu didera derita ini.
Tentu, pertanyaan itu bernuansa egois. Tuhan selalu punya perhitungan sendiri. Dan, maksud Tuhan selalu baik. Maka, kita pun harus ikhlas melepas manusia-manusia besar itu meski dada terasa sesak.
Siapa pun berhak memberikan tafsir atas teks manusia besar. Manusia besar dapat dimaknai sebagai manusia yang mampu melampau dirinya: dari individu menjadi ”institusi” nilai yang menjadi rujukan bagi kehidupan kolektif manusia. Proses melampau diri itu terjadi melalui peminggiran kepentingan individual untuk mengutamakan kepentingan sosial, bangsa, kemanusiaan, dan peradaban. Dia mendudukkan kepentingan dirinya hanyalah bagian sangat kecil dari kepentingan besar masyarakat, bangsa, dan negara. Karena itu, dia terhindar dari nafsu untuk meminta dan memiliki atau memperkaya diri. Dia bahkan selalu berusaha memberi. Dia jauh lebih mementingkan kewajiban daripada hak. Untuk itu, dia rela mengubur pamrih-pamrih pribadinya demi kepentingan yang lebih besar dan bermakna bagi kehidupan sosial.
Gua Pertapaan
Manusia besar selalu menempuh jalan asketis atau sikap menahan diri dari semua godaan duniawi. Asketisme merupakan ”gua pertapaan” untuk menempa kepribadian serta mengasah ketajaman batin dan intelektual. Di ”gua pertapaan” itu, dia tidak sedang melarikan diri, melainkan justru melakukan dialog, bahkan pertarungan nilai-nilai. Sejarawan Sartono Kartodirdjo memaknai asketisme sebagai jalan untuk mesu budi atau menggembleng jiwa, spiritualitas, dan intekektual.
Dalam konteks pemahaman Sartono, asketisme juga dapat dimaknai sebagai ”tempayan” besar tempat manusia menggodok cita-cita sosialnya menjadi idealisme; menggodok sikapnya menjadi integritas; menggodok seluruh keprihatinan sosialnya menjadi komitmen; serta menggodok potensi dan talentanya menjadi kemampuan. Dengan integritas, komitmen, dan kemampuan itu, dia menawarkan nilai pembebasan kepada publik yang sedang ditawan ketidakberdayaan akibat tekanan struktur dan kultur.
Manusia besar tidak punya ambisi menjadi besar atau menjadi hero. Dia menjalani kehidupan secara wajar, namun mampu memilah dan memilih berbagai tawaran nilai yang disodorkan kepadanya. Dia selalu teguh memilih nilai yang substansial di antara guyuran hal-hal artifisial. Karena itu, manusia besar sering juga disebut manusia substansial. Hidupnya ”menginti” atau ”inti” (nilai) adalah hidupnya itu sendiri.
Manusia yang mendasarkan diri kepada substansi adalah manusia yang telah menjatuhkan pilihan kepada kekuatan roh, bukan kepada kekuatan badaniah. Roh itu abadi, sedang badan itu fana, rapuh, dan mudah hancur diurai bakteri. Roh berposisi subjek aktif: ia menggerakkan dan memberi orientasi badan untuk selalu transenden; sebuah jalan yang menyelamatkan badan dari kehancuran yang tidak semestinya (sesuai fitrah) akibat kerakusan dan penyimpangan lainnya.
Manusia yang memuliakan kehidupan roh akan menemukan kemuliaan kehidupan. Sedangkan manusia yang memanjakan badan akan menemukan kejayaan lendir dan daging, namun rohnya kurus dan menggigil kesepian.
Manusia-manusia besar -Gus Dur, Rendra, Frans Seda, Munir, dan lainnya- selalu memuliakan roh. Roh itu bisa kita baca sebagai nilai kemanusiaan, keadilan, demokrasi, pluralisme/multikulturalisme, dan nilai fundamental lainnya. Roh itu menjaga badan (baca: masyarakat, bangsa, atau negara) agar selalu memiliki kematangan spiritual dan kecerdasan dalam menentukan setiap pilihan sehingga tidak terjebak pada kalkulasi kepentingan sesaat dan kubangan nilai yang mendangkalkan jiwa.
Kebangsaan dan Kemanusiaan
Dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan, mereka tidak pernah bosan membentangkan horizon harapan di tengah berbagai persoalan yang mengepung bangsa ini. Rendra menyebut horizon harapan itu sebagai ”daya hidup” yang menjadikan manusia tetap ”gagah dalam kemiskinan”. Rendra memandang betapa pentingnya karakter dan martabat bagi sebuah bangsa. Bangsa yang berkarakter dan bermartabat selalu mandiri, berdaya cipta, dan selalu terobsesi pada kualitas peradaban. Bukan bangsa konsumen yang hanya bisa menadahkan tangan dan mengangakan mulutnya.
Gus Dur menerjemahkan horizon harapan itu melalui empat prinsip nilai yang digenggamnya dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme/multikulturalisme, dan kemanusiaan. Empat prinsip itu adalah kedaulatan hukum, pemberantasan korupsi, pengutamaan asas keadilan, dan kesadaran melakukan perubahan (wawancara Metro TV).
Frans Seda menerjemahkan horizon harapan itu menjadi keadilan ekonomi. Dia membangun sistem ekonomi bercorak kerakyatan agar setiap warga negara dapat menemukan hak-hak untuk bernapas: hak mendapatkan penghidupan layak, hak mengembangkan usaha, dan seterusnya.
Munir menerjemahkan horizon harapan sebagai bentuk pembelaan atas hak asasi manusia. Baginya, setiap manusia bukan hanya memiliki hak hidup, namun juga hak untuk berserikat, hak berpendapat, hak mengembangkan diri, hak mengembangkan cita-cita sosialnya, hak mengembangkan kebudayaan, dan seterusnya. Negara harus menjadi fasilitator yang baik, bukan justru mengintervensi dan menekan warga negara agar melakukan hegemoni demi kepatuhan. Munir yang bersosok kecil ternyata memiliki keberanian yang luar biasa, termasuk melawan hegemoni militer. Perjuangan Munir sangat menggetarkan.
Satu per satu manusia besar Indonesia berpulang. Roh mereka terbang ke alam keabadian, ke pangkuan Tuhan. Sementara problem sosial, kebangsaan, dan kenegaraan terus mengepung kita. Mungkin, akan terus lahir manusia-manusia besar yang berani mempertaruhkan seluruh hidupnya demi cita-cita kemanusiaan, sosial, dan kebangsaan.
Namun, diam-diam kita merasa cemas. Di tengah penguatan pragmatisme dan materialisme sekarang, bangsa ini cenderung memilih jalan soliter daripada jalan solider. Masyarakat yang soliter cenderung berpikir untuk dirinya, keluarganya, atau kelompoknya (kroni-kroninya). Mereka kurang menganggap bahwa orang-orang lain (the others) juga punya hak hidup yang sama. Mereka cenderung terobsesi menjadi manusia sukses, bukan manusia besar. Ukuran sukses tak lebih dari benda-benda dan citra diri yang dimilikinya. Mereka lebih memilih ”memiliki” (kebendaan dan citra) daripada ”menjadi” sebuah eksistensi (istilah Erich Fromm). Inilah salah satu ”PR” kebudayaan bangsa ini. (*)
*) Indra Tranggono, pemerhati budaya.
http://www.jawapos.com/
ADA pertanyaan yang mengusik jiwa ketika duka itu tiba. Kenapa manusia besar dan baik dipanggil Tuhan lebih cepat? Rendra, Gus Dur, Frans Seda, Munir, dan lainnya ”begitu cepat” meninggalkan bangsa yang selalu didera derita ini.
Tentu, pertanyaan itu bernuansa egois. Tuhan selalu punya perhitungan sendiri. Dan, maksud Tuhan selalu baik. Maka, kita pun harus ikhlas melepas manusia-manusia besar itu meski dada terasa sesak.
Siapa pun berhak memberikan tafsir atas teks manusia besar. Manusia besar dapat dimaknai sebagai manusia yang mampu melampau dirinya: dari individu menjadi ”institusi” nilai yang menjadi rujukan bagi kehidupan kolektif manusia. Proses melampau diri itu terjadi melalui peminggiran kepentingan individual untuk mengutamakan kepentingan sosial, bangsa, kemanusiaan, dan peradaban. Dia mendudukkan kepentingan dirinya hanyalah bagian sangat kecil dari kepentingan besar masyarakat, bangsa, dan negara. Karena itu, dia terhindar dari nafsu untuk meminta dan memiliki atau memperkaya diri. Dia bahkan selalu berusaha memberi. Dia jauh lebih mementingkan kewajiban daripada hak. Untuk itu, dia rela mengubur pamrih-pamrih pribadinya demi kepentingan yang lebih besar dan bermakna bagi kehidupan sosial.
Gua Pertapaan
Manusia besar selalu menempuh jalan asketis atau sikap menahan diri dari semua godaan duniawi. Asketisme merupakan ”gua pertapaan” untuk menempa kepribadian serta mengasah ketajaman batin dan intelektual. Di ”gua pertapaan” itu, dia tidak sedang melarikan diri, melainkan justru melakukan dialog, bahkan pertarungan nilai-nilai. Sejarawan Sartono Kartodirdjo memaknai asketisme sebagai jalan untuk mesu budi atau menggembleng jiwa, spiritualitas, dan intekektual.
Dalam konteks pemahaman Sartono, asketisme juga dapat dimaknai sebagai ”tempayan” besar tempat manusia menggodok cita-cita sosialnya menjadi idealisme; menggodok sikapnya menjadi integritas; menggodok seluruh keprihatinan sosialnya menjadi komitmen; serta menggodok potensi dan talentanya menjadi kemampuan. Dengan integritas, komitmen, dan kemampuan itu, dia menawarkan nilai pembebasan kepada publik yang sedang ditawan ketidakberdayaan akibat tekanan struktur dan kultur.
Manusia besar tidak punya ambisi menjadi besar atau menjadi hero. Dia menjalani kehidupan secara wajar, namun mampu memilah dan memilih berbagai tawaran nilai yang disodorkan kepadanya. Dia selalu teguh memilih nilai yang substansial di antara guyuran hal-hal artifisial. Karena itu, manusia besar sering juga disebut manusia substansial. Hidupnya ”menginti” atau ”inti” (nilai) adalah hidupnya itu sendiri.
Manusia yang mendasarkan diri kepada substansi adalah manusia yang telah menjatuhkan pilihan kepada kekuatan roh, bukan kepada kekuatan badaniah. Roh itu abadi, sedang badan itu fana, rapuh, dan mudah hancur diurai bakteri. Roh berposisi subjek aktif: ia menggerakkan dan memberi orientasi badan untuk selalu transenden; sebuah jalan yang menyelamatkan badan dari kehancuran yang tidak semestinya (sesuai fitrah) akibat kerakusan dan penyimpangan lainnya.
Manusia yang memuliakan kehidupan roh akan menemukan kemuliaan kehidupan. Sedangkan manusia yang memanjakan badan akan menemukan kejayaan lendir dan daging, namun rohnya kurus dan menggigil kesepian.
Manusia-manusia besar -Gus Dur, Rendra, Frans Seda, Munir, dan lainnya- selalu memuliakan roh. Roh itu bisa kita baca sebagai nilai kemanusiaan, keadilan, demokrasi, pluralisme/multikulturalisme, dan nilai fundamental lainnya. Roh itu menjaga badan (baca: masyarakat, bangsa, atau negara) agar selalu memiliki kematangan spiritual dan kecerdasan dalam menentukan setiap pilihan sehingga tidak terjebak pada kalkulasi kepentingan sesaat dan kubangan nilai yang mendangkalkan jiwa.
Kebangsaan dan Kemanusiaan
Dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan, mereka tidak pernah bosan membentangkan horizon harapan di tengah berbagai persoalan yang mengepung bangsa ini. Rendra menyebut horizon harapan itu sebagai ”daya hidup” yang menjadikan manusia tetap ”gagah dalam kemiskinan”. Rendra memandang betapa pentingnya karakter dan martabat bagi sebuah bangsa. Bangsa yang berkarakter dan bermartabat selalu mandiri, berdaya cipta, dan selalu terobsesi pada kualitas peradaban. Bukan bangsa konsumen yang hanya bisa menadahkan tangan dan mengangakan mulutnya.
Gus Dur menerjemahkan horizon harapan itu melalui empat prinsip nilai yang digenggamnya dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme/multikulturalisme, dan kemanusiaan. Empat prinsip itu adalah kedaulatan hukum, pemberantasan korupsi, pengutamaan asas keadilan, dan kesadaran melakukan perubahan (wawancara Metro TV).
Frans Seda menerjemahkan horizon harapan itu menjadi keadilan ekonomi. Dia membangun sistem ekonomi bercorak kerakyatan agar setiap warga negara dapat menemukan hak-hak untuk bernapas: hak mendapatkan penghidupan layak, hak mengembangkan usaha, dan seterusnya.
Munir menerjemahkan horizon harapan sebagai bentuk pembelaan atas hak asasi manusia. Baginya, setiap manusia bukan hanya memiliki hak hidup, namun juga hak untuk berserikat, hak berpendapat, hak mengembangkan diri, hak mengembangkan cita-cita sosialnya, hak mengembangkan kebudayaan, dan seterusnya. Negara harus menjadi fasilitator yang baik, bukan justru mengintervensi dan menekan warga negara agar melakukan hegemoni demi kepatuhan. Munir yang bersosok kecil ternyata memiliki keberanian yang luar biasa, termasuk melawan hegemoni militer. Perjuangan Munir sangat menggetarkan.
Satu per satu manusia besar Indonesia berpulang. Roh mereka terbang ke alam keabadian, ke pangkuan Tuhan. Sementara problem sosial, kebangsaan, dan kenegaraan terus mengepung kita. Mungkin, akan terus lahir manusia-manusia besar yang berani mempertaruhkan seluruh hidupnya demi cita-cita kemanusiaan, sosial, dan kebangsaan.
Namun, diam-diam kita merasa cemas. Di tengah penguatan pragmatisme dan materialisme sekarang, bangsa ini cenderung memilih jalan soliter daripada jalan solider. Masyarakat yang soliter cenderung berpikir untuk dirinya, keluarganya, atau kelompoknya (kroni-kroninya). Mereka kurang menganggap bahwa orang-orang lain (the others) juga punya hak hidup yang sama. Mereka cenderung terobsesi menjadi manusia sukses, bukan manusia besar. Ukuran sukses tak lebih dari benda-benda dan citra diri yang dimilikinya. Mereka lebih memilih ”memiliki” (kebendaan dan citra) daripada ”menjadi” sebuah eksistensi (istilah Erich Fromm). Inilah salah satu ”PR” kebudayaan bangsa ini. (*)
*) Indra Tranggono, pemerhati budaya.
Monumentalisme Edhi Sunarso
Djuli Djatiprambudi*
http://www.jawapos.com/
SAYA yakin, andai Bung Karno masih hidup, sang proklamator itu pasti akan marah besar. Bayangkan, patung Dirgantara di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, kini ditelan jalan tol yang melintang dan mendominasi ruang kota. Patung yang berbentuk lelaki kekar seakan siap terbang itu tidak lagi tampak nyaman saat dilihat dari segala penjuru. Patung itu seolah-olah sudah kehilangan maknanya. Terjepit oleh modernitas kota yang terus-menerus mengepungnya.
Tentu, patung Dirgantara dibangun di kawasan Pancoran oleh Bung Karno untuk landmark Kota Jakarta, yang dia idamkan sebagai kota modern yang beradab. Kota yang tidak hanya besar secara fisik, tetapi sebuah ibu kota kebanggaan rakyat Indonesia yang memiliki makna besar.
Patung itu punya makna tersendiri bagi Edhi Sunarso, sang penciptanya, yang diminta Bung Karno untuk mewujudkan keinginannya untuk membangun simbol-simbol perjuangan bangsa. ”Bung Karno itu tidak suka yang nylekuthis. Dia suka seni yang monumental. Tidak hanya fisiknya, tapi juga maknanya,” kata Edhi ketika saya wawancarai awal 2001, saat saya menyiapkan buku Bung Karno: Seni Rupa dan Karya Lukisnya.
Patung berbahan perunggu dan berdiri kukuh sejak 1965 itu tidak pernah diresmikan oleh Bung Karno karena dia keburu ditelan ontran-ontran politik yang mengakibatkan dia jatuh. Bung Karno, menurut pengakuan Edhi, baru memberikan uang muka Rp 5 juta untuk membangun patung itu. Pembayaran selanjutnya diteruskan dengan cara angsuran dari uang pribadinya. Biaya keseluruhan Rp 12 juta. Tapi, hingga Bung Karno wafat, cicilan itu belum lunas. Edhi mengikhlaskan. Sebab, dari motivasi Bung Karno-lah, dia akhirnya menjadi pematung andal, penuh percaya diri, dan tidak mudah menyerah oleh kendala teknis apa pun.
”Kalau sudah mendapat order dari Bung Karno, tidak ada kata tidak bisa. Harus bisa dan harus selesai dengan sempurna,” kenang Edhi yang hingga usianya mendekati 80 tahun masih gigih membimbing mahasiswa ISI Jogjakarta.
Edhi memang punya kenangan spesial dengan Bung Karno. Pematung kelahiran Salatiga 2 Juli 1932 ini merupakan pelopor seni patung publik di Indonesia yang terpenting dan memiliki konteks historis yang kuat. Dikatakan terpenting karena dia seniman yang dipercaya Bung Karno untuk membangun ide-ide raksasa pada dekade 1950-1960. Dikatakan memiliki konteks historis kuat karena semua patung publik karyanya merefleksikan semangat bangsa yang baru merdeka.
Dari kolaborasi seorang ideolog besar sekaliber Bung Karno dan Edhi Sunarso yang pernah berguru kepada Hendra Gunawan, lahirlah sejumlah patung publik yang masih berdiri megah hingga kini. Antara lain, patung Selamat Datang (1959) di Bundaran Hotel Indonesia dan patung Pembebasan Irian Barat (1963) di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Selain itu, Edhi diminta Bung Karno untuk terlibat dalam pembuatan Diorama Sejarah Indonesia di Monumen Nasional (Monas).
Di mata Edhi Sunarso, Bung Karno memang seorang ideolog sejati. Dari pikirannya, Jakarta harus menjadi kota berperadaban modern yang memiliki nilai besar, megah, dan monumental. Untuk mewujudkan itu, Bung Karno sering memanggil sejumlah seniman dan arsitek atau dia sendiri mendatangi studio seniman dalam rangka mendiskusikan ide-ide besarnya itu. Dari situlah kemudian muncul ide untuk membangun Gelora Senayan, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, dan sejumlah bangunan besar lain yang semua itu dimaksudkan untuk menciptakan kebanggaan nasional (nasional pride), sekalipun dia mendapatkan tentangan hebat dari lawan-lawan politiknya. Dari Bung Karno, Edhi mendapatkan keyakinan tinggi untuk selalu mewujudkan ide-ide besar, sekalipun pada waktu itu dia belum paham betul teknik cor logam dan teknik membuat patung berskala besar. ”Pokoknya, Bung Karno tidak mau mendengarkan berbagai kendala yang saya hadapi waktu itu,” ujar Edhi dengan mimik bangga.
***
Kini pematung yang memperoleh pendidikan dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, sekarang ISI Jogja, Red) pada 1950-1955 dan dari Khalla Bhavan Visva Bharati Rabindranath Tagore University di Santiniketan, India pada 1955-1957 itu menyandang gelar empu ageng seni dari ISI Jogjakarta. Gelar prestisius yang diberikan pada 14 Januari 2009 itu, sekalipun terkesan terlambat untuk disematkan kepada Edhi, sungguh tepat. Gelar itu memperlihatkan bahwa Edhi memang tonggak (milestone) penting dalam dunia seni patung modern di Indonesia.
Seni patung modern Indonesia lahir sekitar 1940. Seni patung modern ini bukan kelanjutan seni patung tradisional yang memiliki garis sejarah yang kuat dan berakar dalam tradisi visual Nusantara. Pertumbuhan seni patung modern Indonesia berkiblat pada seni patung modern Barat. Jim Supangkat (1992) berpendapat, terdapat tiga gejala awal pertumbuhan seni patung baru Indonesia yang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Gejala pertama, akibat percobaan sejumlah pelukis membuat patung sebagai usaha mencari media ekspresi lain. Gejala kedua, pembuatan patung untuk melayani kebutuhan mendirikan monumen-monumen. Gejala ketiga, akibat perkembangan jurusan seni patung di akademi-akademi seni rupa.
Dalam konteks itu, sebagai seniman yang setia dengan patung sebagai media ekspresi, karya-karya patung Edhi selain berada dalam gejala kedua juga merupakan rentetan dari perkembangan gejala ketiga. Dalam konteks gejala ketiga ini, dia juga bereksplorasi dengan berbagai material, khususnya dengan logam dan kayu. Perwujudannya tidak lagi terfokus pada patung realis, tetapi lebih bervariasi. Dari situlah, kita mendapatkan karya-karya Edhi yang terkesan kuat ide-ide formalistisnya. Watak bahan, tekstur, hubungan bentuk dan ruang, karakter garis, volume, proporsi, dan besaran (skala) secara intuitif hadir mengalir dengan kepekaan estetik yang paripurna. Dengan demikian, karya-karya patung nonpublik Edhi tampak memiliki aura tersendiri.
Tentu, kehadiran patung-patung Edhi sebagaimana terlihat dalam pameran Retrospeksi di Jogja Galeri, 14-24 Januari 2010, tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai pengampu senior di jurusan seni patung ISI Jogjakarta. Artinya, dalam konteks ini, karya-karya tersebut mencerminkan kekuatan kreativitas dan produktivitas Edhi dalam konteks gejala ketiga yang disebutkan Jim Supangkat. Dalam konteks ini pula, seni rupa modern yang berbasis pada trikotomi, yaitu seni lukis, seni patung, dan seni grafis, yang berkembang cukup pesat di dunia akademis, makin mendapatkan kekuatan baru karena telah melahirkan banyak ikon dalam seni rupa modern.
Sayang, pameran sepenting itu sebagai tanda capaian Edhi yang paripurna kurang mendapatkan ruang yang cukup. Saya membayangkan, jika pameran Retrospeksi sang empu ageng seni tersebut diselenggarakan di tempat yang luas semacam Galeri Nasional Indonesia atau di Jogja Nasional Museum, tentu ”monumentalisme” Edhi Sunarso akan terasa kuat. (*)
*) Kurator seni rupa, pengajar di Jurusan Seni Rupa dan Pascasarjana Unesa.
http://www.jawapos.com/
SAYA yakin, andai Bung Karno masih hidup, sang proklamator itu pasti akan marah besar. Bayangkan, patung Dirgantara di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, kini ditelan jalan tol yang melintang dan mendominasi ruang kota. Patung yang berbentuk lelaki kekar seakan siap terbang itu tidak lagi tampak nyaman saat dilihat dari segala penjuru. Patung itu seolah-olah sudah kehilangan maknanya. Terjepit oleh modernitas kota yang terus-menerus mengepungnya.
Tentu, patung Dirgantara dibangun di kawasan Pancoran oleh Bung Karno untuk landmark Kota Jakarta, yang dia idamkan sebagai kota modern yang beradab. Kota yang tidak hanya besar secara fisik, tetapi sebuah ibu kota kebanggaan rakyat Indonesia yang memiliki makna besar.
Patung itu punya makna tersendiri bagi Edhi Sunarso, sang penciptanya, yang diminta Bung Karno untuk mewujudkan keinginannya untuk membangun simbol-simbol perjuangan bangsa. ”Bung Karno itu tidak suka yang nylekuthis. Dia suka seni yang monumental. Tidak hanya fisiknya, tapi juga maknanya,” kata Edhi ketika saya wawancarai awal 2001, saat saya menyiapkan buku Bung Karno: Seni Rupa dan Karya Lukisnya.
Patung berbahan perunggu dan berdiri kukuh sejak 1965 itu tidak pernah diresmikan oleh Bung Karno karena dia keburu ditelan ontran-ontran politik yang mengakibatkan dia jatuh. Bung Karno, menurut pengakuan Edhi, baru memberikan uang muka Rp 5 juta untuk membangun patung itu. Pembayaran selanjutnya diteruskan dengan cara angsuran dari uang pribadinya. Biaya keseluruhan Rp 12 juta. Tapi, hingga Bung Karno wafat, cicilan itu belum lunas. Edhi mengikhlaskan. Sebab, dari motivasi Bung Karno-lah, dia akhirnya menjadi pematung andal, penuh percaya diri, dan tidak mudah menyerah oleh kendala teknis apa pun.
”Kalau sudah mendapat order dari Bung Karno, tidak ada kata tidak bisa. Harus bisa dan harus selesai dengan sempurna,” kenang Edhi yang hingga usianya mendekati 80 tahun masih gigih membimbing mahasiswa ISI Jogjakarta.
Edhi memang punya kenangan spesial dengan Bung Karno. Pematung kelahiran Salatiga 2 Juli 1932 ini merupakan pelopor seni patung publik di Indonesia yang terpenting dan memiliki konteks historis yang kuat. Dikatakan terpenting karena dia seniman yang dipercaya Bung Karno untuk membangun ide-ide raksasa pada dekade 1950-1960. Dikatakan memiliki konteks historis kuat karena semua patung publik karyanya merefleksikan semangat bangsa yang baru merdeka.
Dari kolaborasi seorang ideolog besar sekaliber Bung Karno dan Edhi Sunarso yang pernah berguru kepada Hendra Gunawan, lahirlah sejumlah patung publik yang masih berdiri megah hingga kini. Antara lain, patung Selamat Datang (1959) di Bundaran Hotel Indonesia dan patung Pembebasan Irian Barat (1963) di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Selain itu, Edhi diminta Bung Karno untuk terlibat dalam pembuatan Diorama Sejarah Indonesia di Monumen Nasional (Monas).
Di mata Edhi Sunarso, Bung Karno memang seorang ideolog sejati. Dari pikirannya, Jakarta harus menjadi kota berperadaban modern yang memiliki nilai besar, megah, dan monumental. Untuk mewujudkan itu, Bung Karno sering memanggil sejumlah seniman dan arsitek atau dia sendiri mendatangi studio seniman dalam rangka mendiskusikan ide-ide besarnya itu. Dari situlah kemudian muncul ide untuk membangun Gelora Senayan, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, dan sejumlah bangunan besar lain yang semua itu dimaksudkan untuk menciptakan kebanggaan nasional (nasional pride), sekalipun dia mendapatkan tentangan hebat dari lawan-lawan politiknya. Dari Bung Karno, Edhi mendapatkan keyakinan tinggi untuk selalu mewujudkan ide-ide besar, sekalipun pada waktu itu dia belum paham betul teknik cor logam dan teknik membuat patung berskala besar. ”Pokoknya, Bung Karno tidak mau mendengarkan berbagai kendala yang saya hadapi waktu itu,” ujar Edhi dengan mimik bangga.
***
Kini pematung yang memperoleh pendidikan dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, sekarang ISI Jogja, Red) pada 1950-1955 dan dari Khalla Bhavan Visva Bharati Rabindranath Tagore University di Santiniketan, India pada 1955-1957 itu menyandang gelar empu ageng seni dari ISI Jogjakarta. Gelar prestisius yang diberikan pada 14 Januari 2009 itu, sekalipun terkesan terlambat untuk disematkan kepada Edhi, sungguh tepat. Gelar itu memperlihatkan bahwa Edhi memang tonggak (milestone) penting dalam dunia seni patung modern di Indonesia.
Seni patung modern Indonesia lahir sekitar 1940. Seni patung modern ini bukan kelanjutan seni patung tradisional yang memiliki garis sejarah yang kuat dan berakar dalam tradisi visual Nusantara. Pertumbuhan seni patung modern Indonesia berkiblat pada seni patung modern Barat. Jim Supangkat (1992) berpendapat, terdapat tiga gejala awal pertumbuhan seni patung baru Indonesia yang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Gejala pertama, akibat percobaan sejumlah pelukis membuat patung sebagai usaha mencari media ekspresi lain. Gejala kedua, pembuatan patung untuk melayani kebutuhan mendirikan monumen-monumen. Gejala ketiga, akibat perkembangan jurusan seni patung di akademi-akademi seni rupa.
Dalam konteks itu, sebagai seniman yang setia dengan patung sebagai media ekspresi, karya-karya patung Edhi selain berada dalam gejala kedua juga merupakan rentetan dari perkembangan gejala ketiga. Dalam konteks gejala ketiga ini, dia juga bereksplorasi dengan berbagai material, khususnya dengan logam dan kayu. Perwujudannya tidak lagi terfokus pada patung realis, tetapi lebih bervariasi. Dari situlah, kita mendapatkan karya-karya Edhi yang terkesan kuat ide-ide formalistisnya. Watak bahan, tekstur, hubungan bentuk dan ruang, karakter garis, volume, proporsi, dan besaran (skala) secara intuitif hadir mengalir dengan kepekaan estetik yang paripurna. Dengan demikian, karya-karya patung nonpublik Edhi tampak memiliki aura tersendiri.
Tentu, kehadiran patung-patung Edhi sebagaimana terlihat dalam pameran Retrospeksi di Jogja Galeri, 14-24 Januari 2010, tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai pengampu senior di jurusan seni patung ISI Jogjakarta. Artinya, dalam konteks ini, karya-karya tersebut mencerminkan kekuatan kreativitas dan produktivitas Edhi dalam konteks gejala ketiga yang disebutkan Jim Supangkat. Dalam konteks ini pula, seni rupa modern yang berbasis pada trikotomi, yaitu seni lukis, seni patung, dan seni grafis, yang berkembang cukup pesat di dunia akademis, makin mendapatkan kekuatan baru karena telah melahirkan banyak ikon dalam seni rupa modern.
Sayang, pameran sepenting itu sebagai tanda capaian Edhi yang paripurna kurang mendapatkan ruang yang cukup. Saya membayangkan, jika pameran Retrospeksi sang empu ageng seni tersebut diselenggarakan di tempat yang luas semacam Galeri Nasional Indonesia atau di Jogja Nasional Museum, tentu ”monumentalisme” Edhi Sunarso akan terasa kuat. (*)
*) Kurator seni rupa, pengajar di Jurusan Seni Rupa dan Pascasarjana Unesa.
Catatan Anak Ideologis Gus Dur
Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur
Adhika Prasetya
http://suaramerdeka.com/
Sejak KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur berpulang, para penerbit tampak berlomba-lomba memublikasikan buku tentang mantan Presiden ke-4 RI ini. Pribadi Gus Dur dibahas di dalam banyak buku dari berbagai sisi. Salah satu yang ikut meramaikan adalah buku ini.
Buku ini terasa lebih istimewa dari buku-buku lain karena ditulis langsung oleh ìanak ideologisî Gus Dur yang sudah lebih dari 20 tahun menjalin hubungan yang sangat dekat dengan cucu pendiri NU, KH Hasyim Asyari. Dia adalah Ali Masyur Musa, Tokoh muda NU yang saat ini menjabat sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebagian besar uraian menyangkut pemikiran politik Gus Dur dalam buku ini diambil dari tesis Ali Masykur Musa ketika menyelesaikan program pascasar- jana di Program S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tesis tersebut diberi judul Pemikiran Politik Nahdlatul Ulama Periode 1987-1994 (Studi tentang Paham Kebangsaan Indonesia). Bagi Ali Masykur Musa yang saat ini telah bergelar doktor, Gus Dur merupakan guru, pembimbing, dan bapak yang banyak memberi pengajaran, pencerdasan, dan pencerahan, baik dalam hal pemikiran, sikap kebangsaan, maupun kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana biografi, buku ini juga diawali dengan cerita tentang kisah masa kecil dan masa muda Gus Dur. Beberapa hal menarik yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia pada umumnya juga terungkap. Di antaranya tanggal lahir Gus Dur, yang sebenarnya jatuh pada 7 September 1940. Padahal informasi tang- gal lahir Gus Dur yang sering terungkap di berbagai media dan publikasi adalah 4 Agustus 1940.
Selain itu, Gus Dur sebenarnya bernama asli Abdurrahman Addakhil. Addakhil diambil dari nama seorang pejuang Islam di zaman Bani Umaiyah yang berhasil menaklukkan Spanyol dalam rangka mengembangkan Agama Islam. Secara harafiah, Addakhil berarti ìSang Penaklukî. Namun rupanya kata ini tidak cukup dikenal dan terhitung berat untuk ìdibawaî, sehingga kemudian Gus Dur menggantinya dengan Wahid, mengambil nama depan sang ayah yang merupakan mantan Menteri Agama perta- ma RI, KH Wahid Hasyim.
Dalam wawancara dengan wartawan, seperti yang dilansir oleh sebuah media online, Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia sesungguhnya masih memiliki darah Tionghoa dan keturunan dari Tan Kim Han, yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah, pendiri kesultanan Demak yang aslinya bernama Tan Eng Hwa. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, seorang putri Tiongkok yang menjadi selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Louis-Charles Damais, peneliti Prancis, diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan, Jawa Timur.
Ruang Luas
Dalam buku ini dijabarkan bahwa sebagai muslim, Gus Dur adalah seorang yang memberi ruang sangat luas untuk membangun sebuah dialog. Agama bagi Gus Dur bukan doktrin yang kaku. Agama, sebagai hak fitrah yang melekat di setiap manusia, merupakan hidayah dari Allah SWT yang berperan penting dalam pembentukan pola pikir, sikap, dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, nilai keagamaan seseorang tidak dinilai dari atribut-atribut keagamaan yang dikenakan, tetapi pada perilaku keseharian. Dan, Gus Dur percaya, implementasi agama dalam perilaku keseharian inilah yang justru menempatkan Islam sebagai agama ìRahmatan Lil Alaminî, bukan dengan cara-cara memformalkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di bidang politik yang menjadi inti dari buku ini dijelaskan bahwa akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan pada komitmen kemanusiaan (humanisme- insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komitmen kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah politik umat Islam di dalam masyarakat modern dan pruralistik Indonesia. Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial (social harmony). Menurut Gus Dur, kedua elemen asasi tersebut dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di Indonesia.
Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariah sebagaimana prinsip NU.
Karena itu, di dalam politik, Gus Dur selalu menghindari formalitas Islam dalam negara. Segala bentuk eksklusivisme dan sektarianisme politik harus dihindari. Ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara, menurut Gus Dur, juga harus dihindari karena tuntutan-tuntutan ini jelas berlawanan dengan azas kesetaraan (egalitarianisme) bagi warga negara.
Seperti yang ditulis Ali Masykur Musa dalam buku ini, pada akhirnya, peran sosial politik Gus Dur tidak boleh dipahami dari seberapa banyak sumbangan materi yang telah diberikannya pada rakyat secara langsung, melainkan bagaimana ia menggagas, merencanakan, dan menjalankan program-program pembebasan terhadap penderitaan rakyat.
Selain itu, bagaimana ia mengadaptasi nilai-nilai agama dan budaya bangsa ke dalam tindakan nyata, untuk membantu mencari pemecahan bagi berbagai persoalan kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Adhika Prasetya
http://suaramerdeka.com/
Sejak KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur berpulang, para penerbit tampak berlomba-lomba memublikasikan buku tentang mantan Presiden ke-4 RI ini. Pribadi Gus Dur dibahas di dalam banyak buku dari berbagai sisi. Salah satu yang ikut meramaikan adalah buku ini.
Buku ini terasa lebih istimewa dari buku-buku lain karena ditulis langsung oleh ìanak ideologisî Gus Dur yang sudah lebih dari 20 tahun menjalin hubungan yang sangat dekat dengan cucu pendiri NU, KH Hasyim Asyari. Dia adalah Ali Masyur Musa, Tokoh muda NU yang saat ini menjabat sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebagian besar uraian menyangkut pemikiran politik Gus Dur dalam buku ini diambil dari tesis Ali Masykur Musa ketika menyelesaikan program pascasar- jana di Program S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tesis tersebut diberi judul Pemikiran Politik Nahdlatul Ulama Periode 1987-1994 (Studi tentang Paham Kebangsaan Indonesia). Bagi Ali Masykur Musa yang saat ini telah bergelar doktor, Gus Dur merupakan guru, pembimbing, dan bapak yang banyak memberi pengajaran, pencerdasan, dan pencerahan, baik dalam hal pemikiran, sikap kebangsaan, maupun kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana biografi, buku ini juga diawali dengan cerita tentang kisah masa kecil dan masa muda Gus Dur. Beberapa hal menarik yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia pada umumnya juga terungkap. Di antaranya tanggal lahir Gus Dur, yang sebenarnya jatuh pada 7 September 1940. Padahal informasi tang- gal lahir Gus Dur yang sering terungkap di berbagai media dan publikasi adalah 4 Agustus 1940.
Selain itu, Gus Dur sebenarnya bernama asli Abdurrahman Addakhil. Addakhil diambil dari nama seorang pejuang Islam di zaman Bani Umaiyah yang berhasil menaklukkan Spanyol dalam rangka mengembangkan Agama Islam. Secara harafiah, Addakhil berarti ìSang Penaklukî. Namun rupanya kata ini tidak cukup dikenal dan terhitung berat untuk ìdibawaî, sehingga kemudian Gus Dur menggantinya dengan Wahid, mengambil nama depan sang ayah yang merupakan mantan Menteri Agama perta- ma RI, KH Wahid Hasyim.
Dalam wawancara dengan wartawan, seperti yang dilansir oleh sebuah media online, Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia sesungguhnya masih memiliki darah Tionghoa dan keturunan dari Tan Kim Han, yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah, pendiri kesultanan Demak yang aslinya bernama Tan Eng Hwa. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, seorang putri Tiongkok yang menjadi selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Louis-Charles Damais, peneliti Prancis, diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan, Jawa Timur.
Ruang Luas
Dalam buku ini dijabarkan bahwa sebagai muslim, Gus Dur adalah seorang yang memberi ruang sangat luas untuk membangun sebuah dialog. Agama bagi Gus Dur bukan doktrin yang kaku. Agama, sebagai hak fitrah yang melekat di setiap manusia, merupakan hidayah dari Allah SWT yang berperan penting dalam pembentukan pola pikir, sikap, dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, nilai keagamaan seseorang tidak dinilai dari atribut-atribut keagamaan yang dikenakan, tetapi pada perilaku keseharian. Dan, Gus Dur percaya, implementasi agama dalam perilaku keseharian inilah yang justru menempatkan Islam sebagai agama ìRahmatan Lil Alaminî, bukan dengan cara-cara memformalkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di bidang politik yang menjadi inti dari buku ini dijelaskan bahwa akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan pada komitmen kemanusiaan (humanisme- insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komitmen kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah politik umat Islam di dalam masyarakat modern dan pruralistik Indonesia. Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial (social harmony). Menurut Gus Dur, kedua elemen asasi tersebut dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di Indonesia.
Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariah sebagaimana prinsip NU.
Karena itu, di dalam politik, Gus Dur selalu menghindari formalitas Islam dalam negara. Segala bentuk eksklusivisme dan sektarianisme politik harus dihindari. Ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara, menurut Gus Dur, juga harus dihindari karena tuntutan-tuntutan ini jelas berlawanan dengan azas kesetaraan (egalitarianisme) bagi warga negara.
Seperti yang ditulis Ali Masykur Musa dalam buku ini, pada akhirnya, peran sosial politik Gus Dur tidak boleh dipahami dari seberapa banyak sumbangan materi yang telah diberikannya pada rakyat secara langsung, melainkan bagaimana ia menggagas, merencanakan, dan menjalankan program-program pembebasan terhadap penderitaan rakyat.
Selain itu, bagaimana ia mengadaptasi nilai-nilai agama dan budaya bangsa ke dalam tindakan nyata, untuk membantu mencari pemecahan bagi berbagai persoalan kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
26/02/10
Buku, Ilmu, dan Peradaban ”Kacang Goreng”
Imam Cahyono
http://www.sinarharapan.co.id/
Buku, ilmu, dan peradaban adalah satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Siapa pun tak bisa menyangkal, bahwa tonggak penyangga peradaban adalah ilmu. Dan ilmu ini tentu saja—sebagian besar—diperoleh dari buku. Buku adalah jendela dunia. Dengan buku, kita bisa melihat, memahami dan menyerap apa saja yang ada di sekitar kita. Dengan buku, kita bisa mengetahui sesuatu hal yang sebelumnya tidak kita ketahui. Buku pulalah yang mencatat, merekam setiap gerak peristiwa dan pengetahuan yang terjadi di muka bumi. Ketika ilmu bermanfaat dan dapat dimanfaatkan demi kemaslahatan umat manusia, maka di sanalah peradaban dibentuk.
Belakangan, jagad perbukuan kita sedang sedang naik daun. Penerbit-penerbit buku tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Berbagai jenis buku beredar deras di pasar. Segala macam buku dari berbagai pelosok di seluruh penjuru bumi bisa kita nikmati, tanpa halangan. Kendati, sebagian besar buku yang beredar adalah buku terjemahan, yang didominasi oleh penerbit buku Yogyakarta.
Buku pun laris manis bak kacang goreng. Apalagi dengan diskon yang biasanya juga tidak kecil. Apakah ini pertanda bahwa masyarakat kita telah melek ilmu pengetahuan? Masyarakat kita telah melek peradaban sehingga hidupnya kian hari kian beradab? Buku sebagai komoditas Sejauh ini, belum ada data yang valid, sejauh mana signifikansi beredarnya buku (terutama buku terjemahan) dengan kualitas pengetahuan dan wawasan masyarakat Indonesia. Belum ada data yang pasti, apakah jumlah penduduk yang melek buku dan melek membaca, lebih besar ketimbang mereka yang buta huruf dan buta buku.
Belum ada data yang pasti, seberapa besar menjamurnya penerbit dan membludaknya buku di pasaran ini berpengaruh signifikan terhadap peradaban, dan pengetahuan masyarakat. Fenomena membludaknya buku terjemahan mejadi penting dibicarakan sebab pilihan pembaca terhadap buku terbatas pada apa yang disuguhkan pasar. Padahal, pasar kini dibanjiri buku terjemahan. Saking derasnya aliran buku terjemahan ini, belakangan muncul apresiasi beragam. Ada pihak yang mengacungkan jempol dan ada pula yang mencemooh habis-habisan.
Sejumlah penerbit memberikan porsi lebih besar kepada buku terjemahkan di antaranya dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pada pembangunan peradaban manusia Indonesia, memperkenalkan berbagai ragam ilmu pengetahuan. Sementara, karya penulis lokal yang berkualitas sangat minim. Para penulis lokal lebih sulit ditemui. Konon, mereka kurang produktif. Hanya para penulis yang sudah punya ”nama” saja yang bukunya laku di pasaran. Bagi penulis pemula, sangat kesulitan diterima pasar.
Maraknya penerbit dan buku terjemahan kalau ditelisik, sungguh sangat spektakuler dan luar biasa sehingga terkesan melampaui ambang kewajaran. Penerbit-penerbit baru dengan giatnya mengeluarkan demikian banyak judul buku terjemahan dalam sebulan. Saking hebatnya, terkesan penerbit buku tidak semata menerbitkan buku, tapi telah berubah menjadi ”pengrajin buku”, yang giat menghasilkan buku dalam waktu yang relatif singkat. Fenomena ini tak lain disebabkan memudarnya citra buku sebagai medium ilmu pengetahuan. Lebih parah lagi jika buku dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dengan mudah, cepat, laris dan menguntungkan.
Tak bisa dipungkiri bahwa sebuah penerbitan memang membutuhkan profit agar tetap hidup. Tapi tatkala ambisi mengejar keuntungan, profit oriented lebih dikedepankan maka yang terjadi selanjutnya adalah pembodohan. Ketika orientasi bisnis lebih dominan, maka masyarakat pula yang menjadi korban. Alih-alih menjadikan buku sebagai medium transformasi pengetahuan tapi yang terjadi justru sebaliknya. Buku sebagai komoditas, sebagai ajang bisnis.
Peran penerbit dalam menentukan warna pasar buku tentu sangat besar. Kualitas penerbit buku terjemahan sangat dipengaruhi oleh tujuan penerbitan itu sendiri. Sayangnya, pola kebanyakan penerbit sekarang lebih pada tujuan komersial yang dominan. Dengan aji mumpung, mumpung pasar lagi apresiatif, penerbit dengan jor-joran menerbitkan buku. Lagi-lagi sebuah buku diterbitkan demi pasar, bukan lagi demi motivasi akademis dan pemberdayaan, transformasi. Ketika motivasi bisnis ini menjadi panglima, maka wajah jagad perbukuan kita beralih rupa menjadi industri. Buku yang semula berwajah pendidikan dan pengetahuan beralih rupa menjadi wajah industri.
Interaksi dengan Pembaca
Problematika buku terjemahan tentunya tidak saja berkutat pada penerjemah, editor dan kritikus buku saja. Dalam perkembangan jagad perbukuan, pembaca menempati posisi yang tak bisa diremehkan. Keberadaan buku tak bisa dilepaskan dari para pembacanya, si kutu buku. Apa yang ada dalam sebuah buku alias isi sebuah buku, tak dapat disampaikan oleh buku itu sendiri, melainkan oleh pembacanya. Nah, sejauh mana sebuah buku (terutama buku terjemahan) telah berinteraksi dengan baik kepada para pembacanya? Harus diakui, tidak sedikit pembaca yang kebingungan tatkala menikmati buku-buku terjemahan.
Sebagai contoh, magnum opus Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra yang diterjemahkan dua penerbit Yogya yakni Bentang dan Pustaka Pelajar menjadi Sabda Zarathustra. Buku Islam a Short History karya Karen Armstrong juga serupa, diterjemahkan dua penerbit Yogya yang berbeda (dan masih banyak lagi contoh lainnya). Nah, bagaimana pembaca harus menyikapinya? Lantaran penerbitnya beda, penerjemahnya juga beda. Maka isinya pun tak sama. Pembaca harus memilih yang mana? Mana yang lebih baik? Jika pun pembaca harus melahap keduanya, interpretasi pembaca pun akan beda ketika membaca buku satu dengan lainnya. Ini adalah bukti, bahwa penerbit kehilangan misi profetisnya tapi terjebak pada orientasi bisnis habis. Dalam konteks ini, pembacalah yang dirugikan, bahkan dipermainkan oleh penerbit. Lalu, kepada siapa pembaca harus mengadu, jika ia dirugikan?
Jika eksistensi dan orientasi penerbit dan buku-buku terjemahan semata demi orientasi keuntungan, maka yang terjadi selanjutnya bukanlah transformasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat, melainkan sebaliknya, pembunuhan karakter. Bukan pendidikan yang didapat tapi malah pembodohan dan kebodohan. Jangan sampai peradaban kita menjadi peradaban kacang goreng. Peradaban yang dibangun dengan tonggak-tonggak yang rapuh, keropos dan kering. Peradaban yang baik, mau tidak mau didapat dari buku, ilmu yang bermutu dan berbobot. Peradaban yang kokoh mengandaikan biaya yang tidak sedikit dan untuk membangunnya tentu saja tidak seperti kita mendapat kacang goreng atau jagung bakar. Ia butuh ketekunan, keseriusan, kecermatan.***
*) Penulis adalah editor Jurnal ”Interaksi” Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
http://www.sinarharapan.co.id/
Buku, ilmu, dan peradaban adalah satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Siapa pun tak bisa menyangkal, bahwa tonggak penyangga peradaban adalah ilmu. Dan ilmu ini tentu saja—sebagian besar—diperoleh dari buku. Buku adalah jendela dunia. Dengan buku, kita bisa melihat, memahami dan menyerap apa saja yang ada di sekitar kita. Dengan buku, kita bisa mengetahui sesuatu hal yang sebelumnya tidak kita ketahui. Buku pulalah yang mencatat, merekam setiap gerak peristiwa dan pengetahuan yang terjadi di muka bumi. Ketika ilmu bermanfaat dan dapat dimanfaatkan demi kemaslahatan umat manusia, maka di sanalah peradaban dibentuk.
Belakangan, jagad perbukuan kita sedang sedang naik daun. Penerbit-penerbit buku tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Berbagai jenis buku beredar deras di pasar. Segala macam buku dari berbagai pelosok di seluruh penjuru bumi bisa kita nikmati, tanpa halangan. Kendati, sebagian besar buku yang beredar adalah buku terjemahan, yang didominasi oleh penerbit buku Yogyakarta.
Buku pun laris manis bak kacang goreng. Apalagi dengan diskon yang biasanya juga tidak kecil. Apakah ini pertanda bahwa masyarakat kita telah melek ilmu pengetahuan? Masyarakat kita telah melek peradaban sehingga hidupnya kian hari kian beradab? Buku sebagai komoditas Sejauh ini, belum ada data yang valid, sejauh mana signifikansi beredarnya buku (terutama buku terjemahan) dengan kualitas pengetahuan dan wawasan masyarakat Indonesia. Belum ada data yang pasti, apakah jumlah penduduk yang melek buku dan melek membaca, lebih besar ketimbang mereka yang buta huruf dan buta buku.
Belum ada data yang pasti, seberapa besar menjamurnya penerbit dan membludaknya buku di pasaran ini berpengaruh signifikan terhadap peradaban, dan pengetahuan masyarakat. Fenomena membludaknya buku terjemahan mejadi penting dibicarakan sebab pilihan pembaca terhadap buku terbatas pada apa yang disuguhkan pasar. Padahal, pasar kini dibanjiri buku terjemahan. Saking derasnya aliran buku terjemahan ini, belakangan muncul apresiasi beragam. Ada pihak yang mengacungkan jempol dan ada pula yang mencemooh habis-habisan.
Sejumlah penerbit memberikan porsi lebih besar kepada buku terjemahkan di antaranya dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pada pembangunan peradaban manusia Indonesia, memperkenalkan berbagai ragam ilmu pengetahuan. Sementara, karya penulis lokal yang berkualitas sangat minim. Para penulis lokal lebih sulit ditemui. Konon, mereka kurang produktif. Hanya para penulis yang sudah punya ”nama” saja yang bukunya laku di pasaran. Bagi penulis pemula, sangat kesulitan diterima pasar.
Maraknya penerbit dan buku terjemahan kalau ditelisik, sungguh sangat spektakuler dan luar biasa sehingga terkesan melampaui ambang kewajaran. Penerbit-penerbit baru dengan giatnya mengeluarkan demikian banyak judul buku terjemahan dalam sebulan. Saking hebatnya, terkesan penerbit buku tidak semata menerbitkan buku, tapi telah berubah menjadi ”pengrajin buku”, yang giat menghasilkan buku dalam waktu yang relatif singkat. Fenomena ini tak lain disebabkan memudarnya citra buku sebagai medium ilmu pengetahuan. Lebih parah lagi jika buku dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dengan mudah, cepat, laris dan menguntungkan.
Tak bisa dipungkiri bahwa sebuah penerbitan memang membutuhkan profit agar tetap hidup. Tapi tatkala ambisi mengejar keuntungan, profit oriented lebih dikedepankan maka yang terjadi selanjutnya adalah pembodohan. Ketika orientasi bisnis lebih dominan, maka masyarakat pula yang menjadi korban. Alih-alih menjadikan buku sebagai medium transformasi pengetahuan tapi yang terjadi justru sebaliknya. Buku sebagai komoditas, sebagai ajang bisnis.
Peran penerbit dalam menentukan warna pasar buku tentu sangat besar. Kualitas penerbit buku terjemahan sangat dipengaruhi oleh tujuan penerbitan itu sendiri. Sayangnya, pola kebanyakan penerbit sekarang lebih pada tujuan komersial yang dominan. Dengan aji mumpung, mumpung pasar lagi apresiatif, penerbit dengan jor-joran menerbitkan buku. Lagi-lagi sebuah buku diterbitkan demi pasar, bukan lagi demi motivasi akademis dan pemberdayaan, transformasi. Ketika motivasi bisnis ini menjadi panglima, maka wajah jagad perbukuan kita beralih rupa menjadi industri. Buku yang semula berwajah pendidikan dan pengetahuan beralih rupa menjadi wajah industri.
Interaksi dengan Pembaca
Problematika buku terjemahan tentunya tidak saja berkutat pada penerjemah, editor dan kritikus buku saja. Dalam perkembangan jagad perbukuan, pembaca menempati posisi yang tak bisa diremehkan. Keberadaan buku tak bisa dilepaskan dari para pembacanya, si kutu buku. Apa yang ada dalam sebuah buku alias isi sebuah buku, tak dapat disampaikan oleh buku itu sendiri, melainkan oleh pembacanya. Nah, sejauh mana sebuah buku (terutama buku terjemahan) telah berinteraksi dengan baik kepada para pembacanya? Harus diakui, tidak sedikit pembaca yang kebingungan tatkala menikmati buku-buku terjemahan.
Sebagai contoh, magnum opus Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra yang diterjemahkan dua penerbit Yogya yakni Bentang dan Pustaka Pelajar menjadi Sabda Zarathustra. Buku Islam a Short History karya Karen Armstrong juga serupa, diterjemahkan dua penerbit Yogya yang berbeda (dan masih banyak lagi contoh lainnya). Nah, bagaimana pembaca harus menyikapinya? Lantaran penerbitnya beda, penerjemahnya juga beda. Maka isinya pun tak sama. Pembaca harus memilih yang mana? Mana yang lebih baik? Jika pun pembaca harus melahap keduanya, interpretasi pembaca pun akan beda ketika membaca buku satu dengan lainnya. Ini adalah bukti, bahwa penerbit kehilangan misi profetisnya tapi terjebak pada orientasi bisnis habis. Dalam konteks ini, pembacalah yang dirugikan, bahkan dipermainkan oleh penerbit. Lalu, kepada siapa pembaca harus mengadu, jika ia dirugikan?
Jika eksistensi dan orientasi penerbit dan buku-buku terjemahan semata demi orientasi keuntungan, maka yang terjadi selanjutnya bukanlah transformasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat, melainkan sebaliknya, pembunuhan karakter. Bukan pendidikan yang didapat tapi malah pembodohan dan kebodohan. Jangan sampai peradaban kita menjadi peradaban kacang goreng. Peradaban yang dibangun dengan tonggak-tonggak yang rapuh, keropos dan kering. Peradaban yang baik, mau tidak mau didapat dari buku, ilmu yang bermutu dan berbobot. Peradaban yang kokoh mengandaikan biaya yang tidak sedikit dan untuk membangunnya tentu saja tidak seperti kita mendapat kacang goreng atau jagung bakar. Ia butuh ketekunan, keseriusan, kecermatan.***
*) Penulis adalah editor Jurnal ”Interaksi” Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita