04/05/09

Sitor Situmorang, Karena Sastrawan Bukan Malaikat

Sitor Situmorang. Pewawancara: Bagja Hidayat, Qaris Tajudin
http://www.ruangbaca.com/

Suaranya masih bergemuruh di usia yang menanjak 82. Gayanya juga masih khas: menggebrak, menunjuk, atau mengguncang pundak lawan bicara sambil terkekeh—terutama jika menyangkut soal politik di sekitar tahun 1965. Sitor Situmorang memang tak bisa dipisahkan dari situasi politik ketika itu yang membuat dua kubu seniman berhadapan secara tegas. Di satu sisi ada seniman-seniman realisme-sosialis yang mendukung kebijakan Presiden Soekarno dan di seberangnya berdiri para seniman muda yang kemudian disebut kelompok Manikebu (Manifes Kebudayaan). “Situasi dunia akibat perang dingin antara Amerika dan Soviet yang membuat politik seperti itu,” katanya.

Banyak yang mengkritik, atau menyayangkan, terjunnya Sitor ke politik sehingga “mengganggu” bakat kepenyairannya. Pada awal-awalnya, puisi-puisi Sitor membawa gaya sendiri dengan menengok kembali tradisi lama berupa pantun, dengan renungan personal yang sublim. Setelah Sitor aktif di Lembaga Kebudayaan Nasional sajak-sajaknya lebih banyak menyuarakan pujipujian politik, terutama setelah ia melawat ke Tiongkok. A. Teeuw dan Asrul Sani menyebut Sitor sebagai “penyair yang hebat tapi politikus picisan.”

Karena aktivitasnya itu, Sitor kemudian mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun sejak 1966. Selepas dari bui, ia melanglang ke berbagai kota di dunia. Terakhir ia menetap di Belanda dan mendapat istri seorang diplomat di sana, sambil mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden dari 1978 sampai 1988. Sitor berseloroh, kepulangannya ke Indonesia kali ini untuk mengantarkan teman-temannya ke alam baka. Sejak ia di Indonesia, para sahabatnya meninggal dunia: Ramadhan KH disusul Pramoedya Ananta Toer.

Menurut Ajip Rosidi, Sitor mungkin penyair yang paling banyak menghasilkan sajak. Dari dua jilid kumpulan sajak yang terentang antara 1948 hingga 2005, ada 605 sajak yang pernah dibuat Sitor. Belum lagi sajak yang tercecer sebagai hadiah ulang tahun seseorang atau kado di sebuah pesta. “Kalau dilihat dari umur seharusnya saya bisa menghasilkan puisi dua atau tiga kali lipat lebih banyak,” katanya.

Berikut ini perbincangan Bagja Hidayat dan Qaris Tajudin dari Tempo dengan penyair Angkatan 45 ini. Percakapan dilakukan tiga kali, dengan tidak berangkat dari satu pokok, tetapi menampung pelbagai segi. Percakapan pertama di MP Book Point ketika dua jilid kumpulan sajaknya diluncurkan dua pekan lalu, kedua di rumah salah seorang anaknya di daerah Sawangan yang sepi tempat Sitor selama ini tinggal sepekan kemudian, lalu dilengkapi dengan percakapan lewat telepon.

Apa yang anda lakukan sekarang?

Saya sedang mengumpulkan data sejarah tentang perang Batak antara 1883-1907. Keluarga besar saya ikut langsung dalam perlawanan di baratlaut Danau Toba. Belanda maju dari Sibolga tahun 1878 dan mulai ke Aceh tahun 1872. Jika Pramoedya menulis periode itu di Jawa, saya di Batak, ha-ha-ha. Ternyata kolonilaisme itu satu pola saja. Jadi, perlawanan budaya lokal itu harus ditulis.

Bagaimana mencari bahan-bahannya?

Di Belanda itu bahannya lengkap sekali. Dokumentasi penjajah itu efesien. Tiap pelor harus dipertanggungjawabkan. Laporan sampai tingkat kecamatan itu ada. Sangat lengkap jika ingin menulis soal sosial, ekonomi, pemerintahan, bencana alam. Semua ada. Seluruh Indonesia.

Akan jadi novel sejarah?

Saya belum tahu bentuknya seperti apa.

Kapan selesai?

Wah, kalau pakai target saya bisa senewen. Lihat saja nanti.

Novel sejarah sekarang sedang diminati. Apakah sastra yang baik harus mengaitkan diri dengan realitas?

Sastra yang baik itu harus bermanfaat bagi pembaca. Pembaca mendapat kesempatan menghayati keragaman manusia. Pram sudah mempraktekkannya dengan sangat baik. Ia mengolah sejarah dan hidup manusia Indonesia yang bisa bicara ke dunia luar. Dia lahir dari sejarah manusia Indonesia.

Sebagai penyair Angkatan 45, apa sesungguhnya yang digarap angkatan ini?

Angkatan 45 ingin merintis jalan sendiri. (Sitor berdiri sambil menunjuk-nunjuk) Chairil Anwar teriak-teriak, “Apa itu Takdir Alisjahbana? Polemik Pujangga Baru bukan urusan kami lagi. Kami punya jalan sendiri.” Tapi itu kelancangan remaja saja meskipun ada artinya. Kami lebih diilhami oleh semangat kemerdekaan. Semangat pemberontakan.

Chairil dianggap sebagai pelopor modernisme. Dia menggarap sajak bebas, citraan baru, kekuatan bahasa, kenapa anda malah balik ke tradisi lama di tahun 1950-an?

Chairil itu orang kota, saya pedalaman, ha-ha-ha. Kalau modern sudah pasti diterima. Modernitas di Pujangga Baru itu baru tahap ambisi. Angkatan 45 memang meninggalkan gaya sajak sebelumnya. Tapi itu hanya di antaranya saja. Dalam budaya ada perhitungan faktor penerimaan bentuk baru. Menerima pengaruh dari luar dengan daya cipta sendiri. Tidak sekadar nyontek. Penghayatan generasi 45 itu terungkap jelas dalam karya mereka, terutama sajak-sajak Chairil. Ada yang terlewat, yaitu Amir Hamzah yang meskipun berakar pada sastra klasik melayu, dia sudah masuk dunia modern. Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantunpantun. Saya menggarap itu, meskipun saya juga bikin puisi bebas.

Sajak anda banyak sekali ditujukan untuk seseorang, tidak cuma satu, tapi banyak…

Sebuah tema bisa dikembangkan berkali-kali.

Terutama sajak untuk perempuan. Apakah perempuan memang ilham anda?

Bayangkan saja bagaimana sajaknya. Perasaan ke perempuan itu beraneka ragam: kasih sayang dan syahwat-erotik. Saya sekarang lebih berminat ke mistik. Menyatu dengan asal. Kematian. Mungkin karena sudah dekat, ha-ha-ha. Memandang gunung. Alam yang mengacu kepada jagatraya. Gunung itu perlambang budaya lokal kita. (Sitor kemudian membacakan sajak 1 Syuro dan Parangtritis 1 Syuro sembari menjelaskan maksudnya).

Kabarnya anda menulis sajak karena pesanan?

Pesanan hati saya. Bukan pesanan orang, meski boleh saja. Kalau berkenan saya tulis. Yang penting pesanan hati itu selalu yang utama. Ada juga yang pesan secara main-main. Kalau mampir ke rumah teman, kemudian ada yang ulang tahun lalu meminta dibuatkan puisi, kadang-kadang saya buat. Perkara mutu, silakan nilai sendiri.

Anda juga bisa mengubah sebuah sajak yang sudah jadi sewaktu akan diterbitkan kembali sehingga orisinalitasnya sudah tak ada…

Umumnya membuat sajak itu seperti menggubah lagu. Kalau saya, pergulatan dengan tema bisa satu-dua hari. Saya menangkap tema dari pengalaman, pengamatan atau pendengaran yang mengharukan perasaan. Lalu menyembul katakata. Setelah itu sambungannya biasanya mengalir. Dalam 12 jam jadi. Besoknya ketika dibaca lagi sudah mendapat bentuk yang final. Tapi sebuah sajak yang dianggap sudah selesai masih mungkin diubah lagi setelah sekian tahun dibaca dan kurang pas. Ada juga pembaca yang lebih senang versi pertama, itu terserah saja.

Pantas anda sangat produktif…

Lima-belas tahun terakhir sudah tinggal menetes saja, dulu itu mengalir deras.

Kenapa?

Susah menerangkannya. Ini tidak berlaku umum. Ini berhubungan dengan bahasa. Soal kepekaan. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, dengan manusia lain. Ada bunyi, irama. Kalau makin tambah umur, kepekaan menerima suara-suara, nada-nada, dan irama itu menurun.

Karena tinggal lama di luar negeri?

Tidak juga.

Apa sih kriteria sebuah puisi dikatakan berhasil?

Jika sudah menyentuh hati pembaca. Kepekaan membaca itu merupakan hasil pengalaman dan penghayatan setelah secara rutin main-main dengan bahasa.

Ada yang menilai kualitas sajak anda menurun setelah beranjak ke puisi bebas…

Sajak itu banyak bentuknya. Saya menerima segala bentuk. Waktu itu, saya berpikir kita punya warisan pantun kenapa itu tak dipakai. Bukan karena saya memilih sebuah gaya, tapi memang suasana puisinya menuntut seperti itu. Saya pelopor pemakaian pantun dengan isi baru. Sajak saya yang paling banyak dibincangkan adalah Lagu Gadis Itali. Itu memang saya menggunakan kekuatan pantun. (Lihat Asal Usul Gadis Itali).

Lebih menurun lagi setelah anda berpolitik…

Saya tidak bisa dipisahkan dari politik. Silakan nilai puisi saya dari puisi, bukan dari politiknya. Saya memang menulis puisi politik, ada juga yang tidak. Jika politik dinilai merusak bakat saya, itu kesimpulan mereka. Tapi banyak orang yang memaksakan penilaian dengan hanya membaca puisi politik saya. Padahal dia juga baca puisi saya yang baik, tapi tidak masuk penilaian. Ini tidak bagus. Jika sajak saya dianggap tidak berhasil, silakan. Tapi itu bukan karena aktivitas saya di politik.

Terutama sejak anda berkunjung ke Tiongkok (periode 1956-1967)?

Sekarang kita lihat, Tiongkok besar dan mengancam Amerika. Karena mereka berjuang dengan caranya sendiri. Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita. Jika ada ekonom yang menilai ekonomi Tiongkok bakal rusak karena menganut komunisme, omong kosong itu. Orang Tiongkok menganut komunis itu hak mereka. Lihat, sekarang mereka bangkit.

Apakah karena pandangan itu, anda ikut bergabung dengan kelompok yang berhadapan dengan seniman Manifes Kebudayaan?

Begini. Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Dia menunggalkan perlawanan bahwa yang bukan nasionalis itu imperialis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika.

Bukankah Bung Karno memang berkiblat ke Soviet?

Itu penilaian Amerika. Padahal itu tidak ada. Prasangka ini yang dibakar-bakar oleh Amerika di Indonesia. Boleh kami dituduh. Tapi kalau Bung Karno disamakan dengan komunis, itu tuduhan konyol.

Kenapa kisruh itu merembet ke dalam kesenian?

Karena sastrawan itu bukan malaikat. Manusia, yang kebetulan sastrawan, tak boleh berlagak tak ada urusan dengan politik nasional. Kalau ada yang bilang sastrawan tak boleh berpolitik, itu omong kosong. Pramoedya besar bukan karena dia Lekra, tapi karena karyanya. Kami menghadapi tantangan imperialis, kami melawan. Bagi kami imperialis itu Amerika. Sebab Cina dan Soviet itu negara besar, tapi untuk dirinya sendiri.

Manikebu menolak politik sebagai panglima, termasuk dalam kesenian…

Boleh saja. Tapi jangan berlagak politik itu tidak perlu. Itu naif namanya. Karena mereka juga sebenarnya sudah berpolitik. Tapi tidak terang-terangan seperti kami ini. Kalau mau melawan politik komunis, lawanlah dengan sikap politik juga. Bukan lantas mengaku-ngaku tidak berpolitik padahal sebenar iya.

Kenapa sampai ada bredel membredel karya seni?

Situasinya berkelahi. Mereka juga omong kosong. Ketika buku Pram dilarang, orang-orang Manikebu diam saja. Wiratmo Sukito, kapten Manikebu itu, katanya kirim surat ke Jaksa Agung supaya tak melarang buku Pram. Kenapa dia tak kumpulkan itu orang-orang Manikebu, bikin tanda tangan seperti dulu, lalu melawan pembredelan? Kenapa tak dilakukan? Itu sikap sangat memalukan dari seorang intelektual paling militan. Apakah ada yang bersuara ketika saya dan ratusan ribu orang dipenjara tanpa pengadilan? Tidak ada! Mana humanisme universal itu. Kalau mereka diam, berarti mereka setuju dengan cara-cara seperti itu. Apakah saya ini tidak dianggap human? Karena itu dalam satu tulisannya, Goenawan Mohamad merasa malu dengan uraian Wiratmo ketika merumuskan filsafat humanisme universal. Malu karena tak cukup kuat alasannya.

Kalau saya tanya, apakah Sitor Situmorang seorang komunis? Apa jawab anda?

Berarti saudara belum tahu saya. Tapi kalau pertanyaan itu untuk menguji, saya katakan saya ini tokoh PNI. Semua orang yang mendukung Soekarno bisa saja komunis. Tapi itu bahasa perang dingin.

Apakah Pramoedya juga seorang komunis?

Mana ada karya-karyanya yang menyuarakan komunisme. Tidak ada. Dia hanya ingin menyuarakan kaum tertindas. Bagaimana melawan penjajah, dan seterusnya. Dan itu sangat dipengaruhi oleh kehidupan pribadinya waktu di Blora. Dia itu baca buku-buku Marxisme saja tidak tamat, ha-ha-ha

O ya? Kalau anda sendiri?

Saya baca Marxisme lewat saringannya Bung Karno.

Kenapa anda tak menulis situasi ketika itu sekarang dari perspektif kelompok anda?

Saya tak punya kecakapan sebagai sejarawan. Menulis sejarah itu harus netral menyampaikan fakta dari dua sisi.

Sebagai korban Orde Baru, apa yang sebaiknya dilakukan kepada Soeharto?

Ada dua, yaitu pengadilan sejarah dan pengadilan hukum. Harus diungkap apa yang terjadi selama 33 tahun dia berkuasa. Harus terbuka dan didebat oleh para pendukungnya. Kesalahan Orde Baru itu membangun rezim dengan sistem kediktatoran, mengkhianati cita-cita Undang- Undang Dasar 1945. Peristiwa Tanjung Priok, siapa yang memerintakan penembakan? Lalu penembak misterius. Pasti ada yang punya pelor dan senjata. Siapa? Ini tak pernah jelas. Pengadilan harus membuka itu. Dari awal kami sudah omong, Soeharto ini bakal jadi diktator dengan fasisme-militerisme. Perlu dimaafkan? Memaafkan ya. Tapi memaafkan atas kesalahan apa? Harus dibuka dulu apa kesalahan Soeharto di depan hakim. Ada kelambanan dalam budaya kita, yaitu budaya bapakisme. Ini terjadi sekarang. Seorang bapak itu tak pernah salah. Kalaupun salah harus dimaafkan. Ini budaya bapakisme yang tidak pada tempatnya.

Kalau diminta hakim, apakah anda mau jika dipanggil sebagai saksi?

Kalau dipanggil saya siap.

Sampai kapan berada di Indonesia?

Mungkin sampai September. Setelah itu saya kembali ke Belanda.

Omong-omong, sekeluar dari Salemba anda punya impian mengguncang Paris. Apa sudah tercapai?

Sebelum masuk penjara saya sudah ke Paris. Mengguncang itu urusan tahun 1950-an. Setelah masuk penjara urusan sudah lain.

Mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir?

Sangat sedikit. Saya cuma baca buku seorang penyair dari Jogja. Tetapi kalau sastra ingin berkembang kita harus meniru apa yang sudah dilakukan Takdir yaitu menerjemahkan karya dunia. Kita harus sebanyak mungkin mencerap khasanah sastra dunia. Ini untuk mengimbangi globalisasi negatif dalam bidang lain. Sekarang, sastra sangat ditentukan oleh pasar. Orang bebas menulis apa saja.

Perlawanan Kaum Santri, 25 Februari 1944

Nina Herlina Lubis
http://pr.qiandra.net.id/

"I have nothing to offer but blood, toil, tears, and sweat." Itulah "kata-kata bersejarah" yang diucapkan Winston Churchill pada tanggal 13 Mei 1940, tiga hari setelah dia diangkat menjadi perdana menteri Inggris. Kata-kata itu ternyata memberi spirit yang luar biasa kepada para pejuang Inggris untuk memenangkan Perang Dunia ke-2.

Empat tahun kemudian, di tempat nun jauh di Timur, di mana jam menunjuk angka enam jam lebih cepat, "kata-kata bersejarah" itu menjadi fakta sejarah. Pada tanggal 25 Februari 1944, yang jatuh pada hari Jumat, di sebuah kampung di daerah Singaparna, Tasikmalaya, terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis.

Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang), termasuk K.H. Zaenal Mustofa, sebanyak 23 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang. Para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat, seperti kata Winston Churchill di atas.

Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanannya, pemerintah mengangkat K.H. Zaenal Mustofa sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden No. 064/TK/1972.

Makna

Peristiwa heroik dan tragis itu telah berlalu enam dasawarsa lebih. Apakah gunanya mengungkit-ungkit kembali peristiwa yang menyedihkan itu?

Manakala sebuah kisah sejarah ditampilkan kembali, tentu bukan sekadar untuk mengenang sesuatu yang sudah lewat, atau mengenang gugurnya para pahlawan. Sejarah berfungsi edukatif, agar manusia sekarang mau belajar dari masa lalu, meneladani apa yang baik, meninggalkan yang tidak baik, memetik hikmah suatu peristiwa, menghargai jasa mereka yang berjuang tanpa pamrih, belajar dari kegagalan, kekalahan, dan mencintai negeri.

Kalau saja kita tahu, bagaimana kemerdekaan negeri ini diperjuangkan, sudah bisa diprediksi bahwa paling tidak kita akan memiliki rasa cinta tanah air, memiliki jiwa patriotis sehingga kita tidak akan meruntuhkan negeri yang sudah dibangun selama 63 tahun ini, dengan cara menggerogotinya beramai-ramai.

Salah satu peristiwa heroik yang perlu kita ketahui adalah usaha para santri pimpinan K.H. Zaenal Mustofa melawan fasisme Jepang, yang terjadi pada tanggal 25 Februari 1944 itu. Mungkin sudah banyak yang mengetahui kisah ini, namun tidak ada salahnya untuk ditampilkan kembali.

Santri Sukamanah

K.H. Zaenal Mustofa yang dilahirkan pada tahun 1899 di Kampung Bageur, Desa Cimerah (sekarang bernama Desa Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, sejak tahun 1927 mendirikan Pesantren Sukamanah. Kiai yang menjadi wakil ketua NU Kabupaten Tasikmalaya ini, dalam setiap dakwahnya, selalu menyerang kebijakan-kebijakan politik kolonial Belanda dengan kata-kata yang pedas. Oleh karena mata-mata penjajah ada di mana-mana, akibatnya, kiai yang telah belajar di berbagai pesantren selama 17 tahun ini sering mendapat peringatan. Kadang-kadang pidatonya dilarang untuk dilanjutkan, apabila ia tengah mengupas kekejaman serta kepalsuan politik kolonial Belanda.

Tanggal 17 November 1941, K.H. Zaenal Mustofa, bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat, untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka dipenjarakan di Tasikmalaya selama satu hari, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin di Bandung.

Setelah dibebaskan, K.H. Zaenal Mustofa tidak berubah. Kembali ia berdakwah yang isinya jelas-jelas menentang penjajah. Pada akhir bulan Februari 1942, ia dan Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan ditahan di penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama.

Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, K.H. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud, karena KH Zaenal Mustofa dengan tegas menolak. Bahkan kepada para santrinya, ia memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.

Suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan menghormat (seikerei) ke arah Tokyo. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya K.H. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Bahkan, ia berkata kepada Kiai Rukhiyat yang hadir pada waktu itu bahwa perbuatan tersebut musyrik. Kepada para santri dan pengikutnya, ia juga mengatakan, lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang.

Tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang juga sangat memberatkan rakyat adalah, penerapan politik beras atau kewajiban menyerahkan beras kepada Jepang yang sangat merugikan rakyat. Rakyat kelaparan. Bahkan banyak yang menderita busung lapar. Selain itu, banyak kaum wanita ditipu. Mereka dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo sehingga banyak yang mendaftarkan diri, ternyata mereka dikirim ke daerah-daerah pertempuran seperti Birma dan Malaya dan dijadikan sebagai wanita penghibur tentara-tentara Jepang (jugun ianfu).

Akhirnya, K.H. Zaenal Mustofa memutuskan untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman fasisme Jepang. Bersama para santrinya ia merencanakan suatu gerakan yang akan dilakukan pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.

Untuk melaksanakan rencana ini, K.H. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah K.H. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan.

Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar K.H. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, keempat opsir itu tewas dan salah seorang santri yang bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang tersebut. Setelah kejadian tersebut, sore harinya sekitar pukul 16.00 datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut, setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Maka terjadilah apa yang dikisahkan pada awal tulisan ini.

Perlu dijelaskan pula bahwa sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Yang sangat penting adalah instruksi rahasia dari K.H. Zaenal Mustofa kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yaitu agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Sukamanah dipikul sepenuhnya oleh K.H. Zaenal Mustofa.

Akibatnya memang berat. Sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk K.H. Zaenal Mustofa, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya. Kemungkinan besar mereka dibunuh. Korban lainnya, seperti telah disebutkan di atas dan sekitar 600-an orang dilepas, karena dianggap tidak terlibat.

Penutup

Dengan membaca kisah ringkas perlawanan para santri dari Pesantren Sukamanah pimpinan K.H. Zaenal Mustofa di atas, setidaknya kita bisa melakukan refleksi sejenak. Sesungguhnya para pahlawan itu adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih, siap berkorban dengan nyawanya sekali pun. Tentu saja, mereka tidak pernah terpikir untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Masih banyak peristiwa heroik dari para pahlawan kita dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini.

Sementara itu, kita, anak cucunya tinggal enaknya menerima warisan. Sebuah negara yang sudah merdeka. Masalahnya adalah, apakah pengorbanan mereka, keikhlasan mereka, harus dikorbankan oleh kita, dengan cara menggerogoti negeri ini perlahan-lahan, dengan segala kerakusan dan keserakahan hingga hancur sehancur-hancurnya. Marilah kita sadar sebelum semuanya terlambat. ***

*) Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, dan Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad.

Adonis, Penyair di Negeri Tanpa Batas

Riadi Ngasiran
http://dutamasyarakat.com/

Setiap bangsa dan kelompok masyarakat, sebagai bagian dari perjalanan perabadannya, memiliki tradisi bersyair atau berpuisi. Karya sastra adalah prestise yang mengikatkan posisi seniman dengan kekuasaan atau suatu kedudukan tertentu dalam masyarakat. Ia hadir dirayakan dalam sebuah perhelatan agung, pembesar sebuah negara.

Dalam tradisi yang dibuai kreativitas tinggi bangsanya itulah, Adonis dilahirkan. Penyair terlahir dengan nama Ali Ahmad Asbar di Al-Qassabin, di utara Suriah pada 1930. Di sebuah lahan pertanian, ia menghabiskan masa-masa kecilnya. Ia baru belajar pada usia 12 tahun dari seorang guru desa. Ia pertama kali menginjak sekolah pada 1947 di Lattakia dan kemudian melanjutkan ke Universitas Suriah di Damaskus dan lulus dalam bidang filsafat pada 1954.

Nama Adonis mulai dipakainya setelah karya-karya sastranya ditolak sejumlah majalah. Baru setahun lulus ia dipenjara selama enam bulan karena menjadi anggota partai radikal pan-Suriah, Partai Nasionalis Sosialis Suriah. Sekeluarnya dari penjara ia tinggal di Beirut, Libanon dan mendirikan majalah Syiir (Syair) bersama sastrawan Suriah-Libanon Yusuf Al-Khal. Seperti juga Qabbani, ia kemudian beralih dari nasionalisme Suriah menjadi penganut Pan Arabisme yang diusung oleh Gamal Abden Nasser. Saat perang saudara Libanon pecah pada 1980-1981, ia pindah ke Prancis dan menjadi profesor di Sorbonne.

Eksistensi setiap penyair adalah keteguhan sikap dalam pernyataannya. Setiap dua minggu sekali pada pertengahan 1990-an di Afaq, suplemen sastra koran berbahasa Arab terbitan London, Al-Hayah, memuat renungan-renungan Adonis. Entah kenapa belakangan esai-esai itu tak muncul lagi. Mungkin ia bernasib sama dengan Nizar Qabbani, juga penyair dari Suriah, yang dimasukkan daftar hitam koran itu setelah sahamnya dibeli keluarga kerajaan Saudi yang berpikiran sempit. Keduanya memang sastrawan yang bersuara kencang terhadap pemerintah negara-negara Arab yang tunduk pada asing.

Meski dipuja di Timur Tengah, Adonis bahkan harus mengasingkan diri ke Prancis untuk menghindari cengeram para penguasa.

Atas sikap dan tindakannya, seorang penyair menyingkapkan diri dengan risiko-risiko yang harus ditanggungnya. Saya terpesona akan kabajikan kisah kehidupan seorang penyair, yang menunjukkan betapa ketololan seseorang tak mampu memposisikan diri sebagai penyair yang berwibawa. Kebodohan mustahil berkompromi dengan penyair sejati. Adonis.

Dalam kitab The Kingdom, karya Robert Lacey (1986: 401-402) dikisahkan ihwal sikap yang berbalik dengan keteguhan seorang Adonis. Adalah Raja Abdul-Aziz biasa menghabiskan waktu berjam-jam di majelis-nya untuk mendengarkan syair-syair yang dikarang khusus untuk mengagungkan namanya. Raja tua itu menganggap kebiasaan ini adalah suatu kewajiban seorang Raja. Dan walaupun sering kali kepala sang Raja terangguk-angguk dan bahkan tertidur, pembacaan terus dilakukan, si Penyair tak keberatan sama sekali. Lebih sering merreka memperoleh hadiah lebih besar jika sang Raja tertidur sewaktu mereka membaca.

Tetapi Raja Saud bin Abdul-Aziz menganggap pembacaan syair ini kebiasaan kuno. Ia mengembangkan kebiasaan itu dengan menambah kebiasaan untuk mengulurkan tangan dan minta naskah yang sedang dibaca oleh si Penyair.

Kemudian ia mengangguk-angguk berterima kasih serta menyilakan si Penyair langsung saja pergi ke bendahara untuk menerima hadiahnya.

Kebiasaan baru ini membuat gembira semua orang. Sang Raja dan hadirin lainnya tak usah tersiksa oleh pembacaan berkepanjangan, sedang makin banyak lagi penyair yang memberanikan diri maju ke majlis, toh mereka tak usah membaca keseluruhan karangan mereka. Bahkan, akhirnya timbullah kebiasaan bagi para penyair untuk langsung mempersembahkan gulungan karangan mereka pada sang Raja, tanpa dibaca terlebih dahulu, kemudian langsung pergi ke juru bayar istana, toh pembayaran hadiah itu bukan urusan Raja Saud.

Tetapi ketika Pangeran Faisal bin Abdul-Aziz mengambilalih pemerintahan dari tangan kakaknya, dan ketika majlisnya mulai mencerminkan kekuasaan an pengaruh baru yang diperolehnya, para penyair mulai berpikir bahwa mungkin mereka bisa juga ikut mengambil keuntungan dari sumber dana yang baru ini. Pangeran Faisal terkenal sebagai seorang yang sangat menyukai syair, bahkan ia sendiri telah menulis beberapa syair yang cukup bagus, maka suatu hari seorang penyair yang biasa mengarang syair-syair pujaan untuk Raja Saud muncul di hadapan pangeran mahkota yang sangat berkuasa itu.

Dengan penuh keyakinan si Penyair mengulurkan gulungan karangannya pada sang Pangeran. Dengan heran Faisal memperhatikannya. Apa isi kertas ini? Tanya Pangeran Mahkota.

Sebuah syair, o, yang berumur panjang, sahut si Penyair, sebuah syair yang aku ciptakan khusus untuk paduka.

Apakah biasanya kau tidak membacakan ciptaanmu? Tanya Faisal tajam.

Oh, tentu saja, o, yang dilindungi Allah, si Penyair gugup menjawab dan mulai membaca syairnya yang ternyata sangat pendek karena ia tidak menyangka akan disuruh membaca hasil karyanya itu keras-keras.

Ketika syairnya habis, dan keadaan tiba-tiba sunyi senyap, Pangeran Faisal tampak menunggu namun memang syair itu tak ada kelanjutannya. Kemudian sang Pangeran mengulurkan tangan. Kurasa ada sesuatu nilai tersembunyi dalam syairmu yang tidak segera tampak bila hanya dibacakan sekali, katanya. Aku ingin mempelajarinya dulu. Mana syair itu dan kembalilah besok.

Dengan gembira si Penyair mengundurkan diri. Ia yakin pastilah Faisal akan memberinya hadiah besar, sebab tampaknya Pangeran Mahkota itu sangat tertarik pada syairnya hingga ingin mempelajarinya lebih jauh. Keesokan harinya ia menghadap dengan penuh harap ke hadapan sang Pangeran.

Ah, ya, kata Faisal saat ia ingat pada si Penyair itu. Syairmu kemarin ternyata memang sangat menarik. Aku telah mempelajarinya secara mendalam. Jika kau memperolehnya, aku ingin memberimu suatu hadiah yang kurasa setinggi nilai syairmu.

Sang Pangeran memberikan sebuah amplop kepada si Penyair. Tampaknya pastilah hadiah yang ada di dalamnya berjumlah sangat besar. Tetapi ketika si Penyair membukanya, di dalamnya tidak ada uang. Yang ada hanyalah syair yang dikarang sendiri oleh Pangeran Faisal.

Tapi sikap dan bajik tindakannya itu jauh berbeda dengan ahli waris tahta kerajaan petrodolar itu sekarang. Buktinya, Adonis harus menanggung pelbagai risiko: diasingkan dari negerinya, meski terali besi tak jua membungkam kebebasannya berbicara. Sebuah pengorbanan seorang penyair harus ditunaikan demi menjaga hakekat kebebasannya. Adonis adalah penyair yang mencari jalan pembebasan, bukanlah penyair serakah yang berharap hadiah dari penguasa.

Kita tahu, dalam catatan sejarah, Faisal bin Abdul-Aziz tak pernah dikawal oleh para pengawal berseragam beludru yang bergantungan di mobilnya. Ia biasa menjelajahi Riyad tanpa iringan apa pun, sering-sering mengemudikan sendiri mobilnya. Rumahnya sederhana, anak-anaknya tak pernah dimanja. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di luar jam kerja di kantornya, meneliti setiap surat atau laporan yang masuk, menyambut hangat setiap saudaranya yang datang ke kantornya itu untuk membicarakan masalah politik negara.

Dengan demikian pemerintah Arab Saudi mulai menanjak lagi dengan segala etika dijaga ketat.

Pengarusutamaan Teks Mbeling

(2007 untuk Peta-2008 untuk Berkarya)

Endri Y
http://www.lampungpost.com/

MENCERMATI kegelisahan, proses mencari kekuatan karakter “kedirian” yang bebas, independen, dan terlepas dari kemelekatan-kemelekatan. Mengingatkan kita pada tuntutan dan “pengadilan puisi”-nya Slamet Kirnanto yang diselenggarakan di Bandung pada 8 September 1984. Hanya sebuah kenyelenehan dan kengawuran, tetapi sayangnya, tidak lucu!

Mengomentari teks tuntutan itu, Sapardi Djoko Damono menulis–harus ditafsirkan sebagai badutan yang segar saja karena kalau tidak begitu kita bisa menyebut penulisnya sinting–(Kesusastraan Indonesia Modern, hlm. 85)
***

Barangkali sulit, dan belum pernah ada kekuatan teks yang dimuat Lampung Post, yang tidak serius atau setidaknya, yang mbeling dan membawa pencerahan baru sebagaimana maksud Asarpin. Demikian tangkapan saya pada arah tulisan Bingkai, Lampost (6-1). Benarah demikian? Sehingga perlu digagas Segitiga Pengarang–Teks–Pembaca tetapi isinya, mengarah–”pada mulanya bukan mula, bukan pula mahia atau inti yang ingin dikatakan”–demikian sabda Asarpin, yang cukup produktif menulis dan mengaku pembaca sastra.

Menulis tanpa inti, tetapi menukik ke kedalaman substansi untuk minimal menyuntik kagetkan kita (baca; masyarakat pencinta sastra) sambil menggumam, “iya juga”. Di sini, ranah sensibilitas masyarakat sastra dikejutkan minimal kemampuan dan kemauan dalam berspekulatif. Senantiasa mencari formula, genre, kronologis, komparatif, dan juga memiliki kematangan intuisi dari berbagai teks dengan proses kesejarahan.

Kekuatan Teks

Ketika Ahmadun Yosi Herfanda menulis hasil kontemplasinya untuk mengembalikan sastra ke kekuatan teks, ditemukan problem solver minimal pembangkit nuansa estetis dan mimesis karya-karya sastra, yang sekarang kekuatan teks sastra itu didominasi sastra koran.

Tidak bisa dimungkiri, Lampung Post, sebagai media daerah, dalam ranah stimulus dan pendorong lahirnya sastrawan-sastrawan muda Lampung yang kemudian mampu menggebrak panggung sastra nasional. Perlu diapresiasi. Bahkan dipuji.

Ruang-ruang seni budaya pada setiap hari Minggu, yang memuat apresisasi, cerpen, puisi, dan esai adalah peneguhan identitas sebagai penyuara kekuatan teks sastra. Termasuk inklud juga kritik sastra, seni, dan budaya.

Ketika digagas peran penulis pengagung dan pemuja kedirian, dengan slogan-slogan klise, “aku ingin jadi diri sendiri!” diri yang “aku” imut-imut dan lucu sebenarnya bukan pencerahan yang akan muncul, tetapi narsis, ego sentris, emosi primordial, dan bahkan lebih berbahaya adalah manifesto politik sastra. Mengedepankan strategi pemasyarakatan diri atau kelompok tanpa mempertimbangkan kekuatan karya.

Sebagaimana ditulis Ahmadun, kalaupun ada pertimbangan, lebih pada pertimbangan ideologis, gang, kelompok atau kepentingan-kepentingan lain nonsastra. Akibatnya, orientasi teks tergusur orientasi nonteks alias nonsastra, seperti kepentingan oknum, komunitas, ideologi, aliran sumber dana, dan kekuasaan gang.

Ketika melakukan ziarah ke ruang-ruang lain, jika yang dimaksud Asarpin adalah kemampuan membuat rekayasa sosial untuk, “hidupnya pengarang, intervensi penulis, oktropi teks, dunia semoga tak lagi sunyi senyap di siang bolong”. Di sini, pada tulisan penutup penuh asanya ketimbang gagasan, ada harapan pada pengarusutamaan (mainstream) kemampuan bunyi teks dan aktivisme pengarang ke ranah sosio-kultural masyarakat. Dan sebenarnya, di sinilah letak paradoks itu.

Sejarah mencatat kelahiran puisi-puisi mbeling, nakal, tidak tahu aturan, dan keluar dari kelaziman, sekitar tahun 1975, yang dipelopori Remy Syilado, Sanento Juliman, Suriaatmadja, dan lain sebagainya. Sapardi mengatakan suatu usaha pembebasan. Sedemikian berhasilkah pembebasan itu?

Dengan cara anak-anak muda periode itu yang membuat puisi tak patuh aturan lagi (dengan klaim melawan penyair tua/ mapan), bahkan proses permenungan penciptaannya pun tak rumit lagi. Ini tergambar dalam sajak Dede S. Dukat; sehelai kertas bekas/ ballpoint pinjaman/ tambah bohong/ tambah khayal/ jadi sajak.

Atau juga Sebuah Perintah-nya Hardo Waluyo; serbuuu…/ serbuuu…/kota itu/ dengan batu/ sampai jadi abu/ binasakan/ semua/ kecuali/ mertuaku/ yang dungu/ dan lucu.

Jika memang pencerahan itu dilambangkan dengan karya yang bisa memancing tertawa “pukimak puknemak ha..ha..ha,” kata tabu yang dianggap lazim dan sah-sah saja oleh kaum mbeling, mungkin belum ada penanding kekuatan konyol esais Emha Ainun Nadjib, cerpenis Joni Ariadinata, puisi Remy Syilado (namanya juga sering ditulis 23761), kolomnis Suka Harjana, anekdot Gus Dur, humoris Jaya Suprana, kekuatan teks Samuel, dan mungkin nama-nama itu dapat diikuti sederet nama- nama lain. Taruhlah misalnya, Buras-nya BEW, Nuansa-nya Budi Hutasuhut dan Sudarmono, dan terbuka bagi pembaca menambahkan,terserah selera kita, yang subjektif dan personal.

Dan setiap pembaca memiliki insting subjektif, setiap manusia jelas berbeda perspektif dan interpretatifnya. Misal, yang lucu itu tidak bermutu seperti serius pasti bermutu atau serius, tapi tidak bermutu tetapi lucu sebenarnya bermutu. Semuanya relatif pun semaunya, terserah “aku”. Wong ternyata ketika Asarpin menulis, “ha..ha..ha.” sebagai pelambang tertawa tapi saya malah mengernyitkan dahi!

Sedangkan ketika Sudarmono bersedih dalam rubrik Nuansa, mencuci celana jins anaknya atau Emha dengan “Manusia Markesot” menulis huruf “t”-nya diganti “f” atau misalnya Sanento Juliman dengan kritik sastra, khususnya puisi, saya justru tertawa terbahak-bahak.

Persoalan serius dan main-main dapat menjadi simbiosis mutualisme. Akan tetapi, gagasan menyatukan perbedaan, hanya akan ditemukan jalan buntu, selain mimpi. Sesuatu di luar nalar dan pemaksaan yang dibuai kekosongan “siang bolong”.

Pengarang, teks, dan pembaca adalah tiga bangunan atau tiang yang berbeda. Pengarang mencipta teks, teks dibaca pembaca, pembaca membaca pengarang, pengarang membaca pembaca untuk teks, semuanya menjadi trikotomi. Gedung tiga. Bukan segitiga!

Dimensi rumusan segitiga, apa pun bentuknya (sama sisi, siku- siku, sama kaki, dll., terserah pembaca juga) merupakan proses produktif pada intisari tujuannya persamaan persepsi. Satu-satunya unsur persamaan paling logis adalah teks dijadikan objek oleh pembaca dan pengarang. Rumusannya, ketika membuat objek sesuatu yang sama oleh dua subjek berbeda, yang muncul juga bukan segitiga, tetapi paham lain dari interpretasi subjektif.

Pembaruan

Dalam sebuah karya–yang dipetakan F. Rahardi, tahun 2002–pembaruan dapat disebut juga sebagai avant garde (garda depan), yang indikator utamanya, mengejutkan sensibilitas publik. Dimulai dengan lahirnya kenakalan, memecah kebekuan pikir, membuat pencerahan. Dan selalu, pembaruan juga dimulakan pada adanya pembebasan.

Pertanyaannya, sejauh mana pembaruan teks sastra, kajian seni budaya, esei, termasuk apresiasi dan kritik sastra dapat dan mampu dilakukan pojok-pojok ruang kebudayaan koran sepekan sekali itu?

Lahirnya kembali karya-karya avant garde itulah yang dicari Asarpin, kita semua pembaca setia rubrik seni budaya, mungkin juga redakturnya. Hasil pengamatan Asarpin sepanjang tahun 2007, tidak ketemu, sehingga harapan yang muncul adalah, tahun 2008 permulaan peneguhan munculnya karya-karya avant garde. Jika di sini paham itu tertuju, penulis sepakat. Dan sebenarnya itu pun dapat tercapai, jika pertama, sandaran paham segitiga antara pengarang-teks-pembaca, tidak dinobatkan sebagai ikon karena bila perlu digagas segi tak terhingga lebih tepatnya gedung tak terhingga.

Seluruh pembaca-teks-pengarang-komunitas-redaktur-pemerintah dan sebagainya mulai menggelar komitmen untuk kemajuan sastra, seni, dan budaya. Misalnya dihimpun pemikiran, karya, dan selebaran teks di koran dalam bentuk buku, dipilih karya terbaik yang benar-benar terbaik, melibatkan juri dari pakar yang independen, untuk kemudian diberi penghargaan oleh pemerintah atau institusi seni budaya.

Kedua, pengarusutamaan sebuah karya, tidak melulu bersandar pada yang umum, lazim, apalagi hanya berlabel nama besar dengan tanpa menimbang kualitas karya. Maka perlu dirumuskan sebuah permulaan kelahiran spekulasi karya, minimal memfasilitasi penampilan bakat-bakat muda. Arus utamanya adalah keberhasilan teks.

Dan ketiga, mendorong terbuangnya ego. Kasus perdebatan, pengutukan pada sastra mazhab selangkangan (SMS) di bawah kepemimpinan Taufik Ismail dan penyuara SMS yang dikomandoi Hudan Hidayat, adalah arena ideal untuk menyulut motivasi, supaya tidak sekadar “mencoret- coret di tembok kakus” (ini bahasa Gunawan Mohamad), tetapi senantiasa menuangkan karya yang bagus. Artinya, debat, polemik, saling mencaci, mengutuk, seperti contoh-contoh di atas, sepanjang sebagai dialog kebudayaan untuk merumuskan esensi teks sastra yang mandiri, menjadi penting dan perlu terus digelontorkan.

Intinya, ya menulis saja. Jadikan tahun 2008 untuk makin teguhnya karya-karya teks anak-anak daerah kita.

*) Pencinta sastra, bermukim di Kalianda, Lampung Selatan.

Realisme Sastra dalam Konteks Kemerdekaan Berpikir

Mulyo Sunyoto
http://www.hupelita.com/

Novelis Pramoedya Ananta Toer beberapa waktu lalu kembali menyuarakan kredonya mengenai dunia penciptaan fiksi.

Penulis yang diasosiasikan dengan kekuatan politik “kiri” itu tetap kukuh dengan pendapatnya bahwa realisme dalam sastra adalah sebuah keniscayaan.

“Realisme sastra memberikan kemerdekaan kepada publik untuk mengambil kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ditulis oleh seorang sastrawan,” kata Pram.

Jika pernyataan itu dikemukakan pada saat Orde Baru masih berkuasa dan kebebasan berpikir dibelenggu, publik masih bisa menemukan relevansinya. Dalam suasana politik yang otoriter, fakta-fakta yang beredar di media massa seringkali distortif.

Pers lebih banyak mengutip pernyataan penguasa sehingga yang berkecamuk dalam koran adalah jurnalisme psikologis, bukan sosiologis.

Tokoh pers Mochtar Lubis merumuskan dengan kalimat, “Semua fakta yang muncul di media massa telah dirinso oleh redaktur.”

Dalam kondisi yang demikian, realitas sosial justru sering mengemuka lewat naskah drama, puisi, cerita pendek atau novel.

Publik akan lebih menemukan kebenaran sosiologis justru lewatmedium fiksi. Maka tidak aneh jika tak sedikit karya-karya fiksi di masa rezim otoriter itu diberangus. Berpuluh karya fiksi dilarang di masa Orde Baru, sebagian di antaranya adalah karya-karya Pram sendiri.

Pelarangan itu justru menjadi promosi tersendiri bagi reputasi sang pengarang. Publik memberikan apresiasi yang tinggi pada karya-karya realisme.

Dalam suasana otoriter, karya-karya yang menyuguhkan problem sosial dianggap bernilai lebih karena keberanian sang penulis dari pada faktor estetikanya.

Seorang kolumnis yang enggan disebut namanya mengatakan tak berselera lagi membaca novel-novel realisme sosial setelah era kemerdekaan berpikir tiba.

Pentas-pentas teater yang menyuarakan kritik sosial jadi sepi ketika era reformasi tiba. Mengapa? Karena pers sudah bisa menyuarakan kenyataan faktual, tayangan berita televisi lebih hidup daripada membaca deskripsi seorang novelis realis.

Tapi kenapa Pram masih begitu percaya bahwa konsep realisme sosial masih lebih utama dari pada konsep estetika, yang disebutnya sebagai konsep “adiluhung”? Jawaban atas pertanyaan ini agaknya lebih ke arah pilihan subyektif sang novelis.

Sebagai seorang sastrawan, Pram mengaku bahwa dia lebih memilih berpihak pada persoalan nyata di masyarakat dari pada konsep “adiluhung” yang justru menjauhkan manusia dari harkat yang sesungguhnya.

Jika disimak secara cermat, pernyataan Pram itu mengandaikan bahwa ada dua kategori dalam sastra: yang realisme, yang selalu memihak masyarakat, dan yang “adiluhung”-bisa disederhanakan sebagai aliran yang berada di luar realisme-yang seolah tidak memihak pada masyarakat.

Tentu pengandaian itu jauh dari fakta historis. Karya-karya adiluhung semacam puisi-puisi Chairil Anwar atau novel Milan Kundera memang tidak dicap secara harfiah sebagai karya yang memihak pada rakyat.

Karya-karya semacam itu memberikan pencerahan yang fenomenal sebab bukan masyarakat lagi yang diperjuangkan tapi nilai-nilai manusia yang esensial.

Karikatural
Bahaya pengarang yang cenderung untuk mengutamakan realisme, demikian menurut pengamat sastra Budiarto Danujaya, adalah terjerumus untuk menghasilkan karya karikatural. Ini sebagai konsekwensi atas tuntutan tema yang kelewat keras, yang tak diimbangi karakterisasi memadai atau narasi yang pas.

Merujuk pada sastra koran, Budiartio mengatakan, banyak cerpen koran yang bukan hanya didahului sebuah tema namun juga semata-mata dibangun untuk mengejahwantahkan tema tersebut sehingga lebih menjadi semacam sketsa sosial, atau bahkan jangan-jangan semacam protes sosial.

Tentu tak banyak pengarang realisme yang memiliki sofistikasi penciptaan sastra setingkat Pram. Victor Hugo, dalam “Les Miserables” atau Charles Dickens adalah novelis yang sanggup mengolah fakta sosial menjadi karya adiluhung.

Dengan demikian, sebetulnya kurang pas jika Pram memilah secara dikotomis antara karya realisme sosial dan karya adiluhung.

Pernyataan Pram bahwa realisme dalam sastra menjanjikan pembebasan agaknya harus dipahami dalam konteks masyarakat yang hidup dalam suasana politik otoriter.

Jika pernyataan itu dihadapkan pada era reformasi sekarang ini, ada kesan bahwa dunia penciptaan fiksi di Indonesia belum beranjak dari polemik tahun enam puluhan.

Tampaknya tidak berlebihan bila kecenderungan karya-karya yang muncul belakangan ini bukanlah jenis realisme sosial seperti yang digaungkan kembali oleh Pram.

“Cala Ibi” Nukila Amal, “Mereka Bilang Saya Monyet” Djenar Maesa Ayu, antara lain tidak mengekploitasi problem masyarakat yang menjadi andalan kaum realisme sosial.

Cerpen-cerpen mutakhir yang dinilai oleh pengamat sastra Satmoko telah mencapai tahap teknis penulisan fiksi yang canggih, bukanlah prosa yang berkisah tentang problem sosial. Namun karya-karya itu tetap memberikan pencerahan.

Di era demokratik seperti sekarang ini, pernyataan Pram bahwa realisme menjanjikan pembebasan tampaknya bisa dianggap sebagai nostalgia ketika ikhtiar mengungkapkan fakta sosial merupakan kemewahan yang hanya dikecap oleh penulis-penulis pemberani.

Spiritualitas dalam Sastra

Tentang “Surga Anak-Anak” karya Najib Mahfuz

St. Sunardi
http://oase.kompas.com/

1/
Beginilah kita menyaksikan dalam “Surga Anak-Anak” agama yang sedang gagap menghadirkan dirinya dalam masyarakat modern. Rasa gagap ini berakhir tragis: agama digugat oleh anak-anak. Agama–yang diwakili oleh sang ayah–belingsatan: seolah-olah mampu padahal tak berdaya mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Karena kehabisan kata-kata, sang ayah berusaha menunda persoalan: “Engkau masih kecil, sayang; nanti kalau kau sudah besar, engkau akan mengerti …” atau “Tidakkah kau sabar, sayangku, menunggu sampai engkau besar?”.

Seandainya sang anak mengikuti nasihat ayahnya, pengertian agama macam apa yang sedang menanti saat anak menjadi dewasa? Pengertian agama yang bikin sang ayah panik atau pengertian yang bisa membebaskan sang anak dari garis batas yang ditarik atas nama agama? Pengertian agama yang diajarkan di kelas dan mimbar-mimbar atau pengertian agama yang didapatkan lewat praktik kehidupan? Allahu `alam!

Sayang bagi sang ayah: jawaban-jawaban semi-standar yang diberikan sang ayah pada waktu itu tidak memuaskan si kecil. Apalah artinya bagi si kecil jawaban sang ayah atas pertanyaan-pertanyaan tentang Allah (“Lalu Allah itu siapa, ayah?”, “Allah itu hidup di mana, ayah?”), tentang nabi, tentang kematian (Mengapa kita tidak terus tinggal di dunia saja?), tentang moral, kalau semuanya itu tidak menjadi pendorong bagi sang anak untuk bersahabat dengan siapa saja?

Oleh karena itu sang anak bersikeras dengan jawabannya sendiri – bukan jawaban yang sudah terlembaga melainkan jenis jawaban praktis: “Pokoknya saya ingin terus-menerus bersama Nadiya! […] Juga pada pelajaran agama”. Inilah suara sang anak, suara sang ayah yang dititipkan pada sang anak, suara penulis cerpen, dan barang kali juga suara kita para pembaca cerpen itu. Barang kali ini juga suara agama!

2/
Itulah gambaran agama yang menyerah pada (terkadang malah memperebutkan) lembaga-lembaga modern (dalam kasus ini lembaga pendidikan modern). Birokrasi masyarakat modern yang semestinya dikritisi terus-menerus supaya mempunyai daya refleksivitas justru sering kali diperebutkan karena lembaga-lembaga itu memang cocok untuk mereproduksi kekuasaannya terus-menerus. Hasilnya? Saya sebut tragis karena agama mengira bahwa agama berhasil menghadirkan dirinya dalam sistem masyarakat modern, padahal cara kehadirannya seperti itu bukannya tanpa masalah. Spisialisasi masyarakat modern dengan halus menjadi legitimasi ampuh untuk memisahkan anak-anak.

Dari dialog dalam “Surga Anak-Anak” kita menangkap adanya sejenis rejim yang membuat orang sulit meninjau ulang kekuatan agama yang kita butuhkan pada jaman ini. Rejim itu tidak berada di sana, melainkan di sini, tidak berada dalam kitab namun diinskrikpsikan dalam pikiran kita. Regim inilah yang membuat sang ayah – seperti saya katakan di atas – tiba-tiba belingsatan menghadapi berbagai pertanyaan sang anak. Rejim ini terus menerus direproduksi sampai-sampai sang ayah mati kutu. Rejim ini pulalah yang di kemudiah hari bisa menentukan perilaku seseorang dalam bermasyarakat, berpolitik, dan bahkan dalam menilai dirinya sendiri.

Salah satu kekuatan rejim ini adalah kekuatan mengekslusikan, kekuatan membuat garis demarkasi pada berbagai level kehidupan. Islam dan Kristen hanyalah salah satu contoh hasil dari eksklusi produksi regim tersebut.

Rezim apakah gerangan ini? Rezim inilah yang justru sedang ditinjau ulang dalam cerpen tadi. Tidak mudah bagi kita untuk melokalisasi regim ini, mengukur kekuatannya, dan mengenali cara kerjanya karena kita semua ada di dalamnya. Kalau Marx mengatakan bahwa begitu lahir kita sudah berada dalam hubungan sosial yang tidak adil, di sini kita bisa mengatakan bahwa begitu lahir kita sudah berada dalam hubungan sosial yang terkotak-kotak oleh regim tersebut.

Inilah rezim yang justru sedang ditimbang-timbang ulang dalam cerpen “Surga Anak-Anak” agar regim itu menampakkan dirinya dan demikian juga agar wilayah kehidupan manusia yang direpresi oleh regim itu terdengar jeritannya. Dengan cara inilah menurut hemat saya sastra berfungsi untuk terus-menerus menemukan kembali kekuatan spiritualnya dan mencoba melakukan fiksionalisasi bentuk-bentuk yang dibutuhkan oleh kekuatan spiritual tersebut. Jadi, spiritualitas adalah nama bagi sejenis pembebasan manusia. Selama ini, spiritualitas ini dikaitkan dengan lingkungan keagamaan. Namun, seperti akan kita lihat, mengaitkan spiritualitas hanya dalam lingkungan keagamaan juga bisa menjadi sejenis monopoli.

Mengingat besarnya potensi regim ini dalm mengciptakan kekuasaan yang tiranis, tidak mengherankan Mahûz menempatkan persoalan akidah menjadi satu di antara tiga alasan mengapa dia menciptakan karya-karyanya. Dua persoalan lainnya adalah politik ((al-siyâsa) dan seks (al-jins). Tiga tema inilah menurut pengakuannya tidak pernah absen dalam karya-karyanya. Pendapatnya ini pasti bukanlah sebuah preskripsi untuk menulis karya sastra.

Pendapat ini lahir dari seorang Mahfûz yang hidup dalam suatu masyarakat di mana masalah seks, politik, dan akidah menjadi instrumen paling ampuh untuk mengatur gerak-gerik individu baik dalam rumah maupun di luar rumah. Dunia seks, politik, dan akidah dibahas sedemikian rupa supaya dunia ini bisa menampakkan sisi-sisi lainnya (seperti afrodisia, power, spirit) dan tidak semata-mata menampakkan regim yang mengatur belaka.

*) Program Magister Ilmu Relidi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Sastra dalam Bingkai Estetika Tak Bermalu

Damhuri Muhammad
http://www.suarakarya-online.com/

Semiotisasi tubuh dalam teks sastra erat kaitannya dengan semesta ketubuhan di dalam wacana postmodernisme, yang menggiring diksi tentang tubuh berkembang ke arah yang melampaui (hyper) batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu dan agama.

Selain itu, vulgaritas “bahasa” sebagaimana ditemukan di dalam Jangan Main-main dengan Kelaminmu (Djenar Maesa Ayu), Wajah Sebuah Vagina (Naning Pranoto) dan Kuda Ranjang (kumpulan puisi Binhad Nurrohmat) -untuk menyebut beberapa contoh-, seperti disinyalir oleh Yasraf Amir Piliang (2002), tidak terlepas dari pengaruh perkembangan kapitalisme (sebagai ideologi ekonomi) yang cenderung bergerak ke arah libidonomics, yaitu sistem ekonomi yang di dalamnya terjadi eksplorasi secara ekstrem segala potensi libido sebagai komoditi, dalam rangka meraih keuntungan maksimal (added value). Ideologi libidonomi kapitalisme memperlakukan tubuh dan segala potensi libidonya sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi.

Narasi “kelamin” dapat menjerumuskan karya sastra pada sifat “vulgaritas bahasa” yang berakibat pada pendangkalan nilai-nilai estetik. Dalam wacana postmodernisme, salah satu bentuk vulgaritas dan pendangkalan nilai-nilai estetik adalah Kitsch. Semacam peristilahan untuk karya kepenulisan kreatif yang dianggap sebagai bentuk bad taste (selera rendah) atau “sampah” artistik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya standar estetik yang digunakan, sehingga yang menonjol bukan nilai estetik, tetapi nilai provokasi (erotisme, sensualitas, seksualitas). Sikap ekstrem Taufik Ismail yang menganggap “sastra berahi” sangat menjijikkan dan tidak patut dinilai sebagai karya sastra (Ermina. K, Suara Karya,14/03/04), mungkin dilatarbelakangi oleh pemahamannya terhadap fenomena Kitsch di atas. Begitu pun kecemasan Medy Loekito (Republika, 14/11/04), bahwa meskipun tidak trend “sastra seksual” belum menampakkan suatu kepanikan, namun beberapa rekan pendidik sempat mempertanyakan ; “Konon kata sastrawan, bangsa ini rabun sastra, jadi guru harus aktif mengobati rabun itu supaya tidak menjadi kebutaan. Sekarang setelah kami mencanangkan giat membaca bagi semua murid, eh lha kok bacaan yang disediakan yang kurang mendidik.”.

Para pendiri Mazhab Frankfurt (Frankfurter Schule) seperti Max Horkheimer, T.W.Adorno dan W.F Haug menegaskan, sensualitas dan nafsu rendah telah menjadi bagian utama dari “industri budaya” (culture industry), yaitu kebudayaan yang berproduksi di dalam lingkaran sensualitas. (Haug : 1983). Penggunaan efek-efek sensualitas merupakan bagian dari penciptaan ilusi, manipulasi sebagai cara untuk mendominasi selera kultural masyarakat, sebagai sebuah kendaraan dalam menciptakan keterpesonaan dan histeria. Dalam konteks ini, Haug menggunakan istilah “teknokrasi sensualitas” (technocrazy of sensuality), untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai estetika ditopengi oleh nilai-nilai sensualitas, glamour dan erotisme.

Postmodernisme dekonstruktif sangat berperan di dalam menciptakan ruang pembebasan tubuh dan hasrat. Foucault, Lyotard, dan Derrida menawarkan logika emancipation of body (pembebasan tubuh) dan liberation of desire (pembebasan hasrat) dari berbagai kekangan dan pembatasannya. Mereka mengembangkan wacana tubuh dan hasrat yang baru untuk mendobrak berbagai benteng, tembok dan tapal batas yang selama ini membatasi artikulasi dan pelepasan hasrat. Menghancurkan berbagai bentuk kekuasaan, baik kekuasaan dalam keluarga, negara, maupun agama. Menentang otoritas atau hegemoni yang selama ini membatasi eksploitasi tubuh.

Foucault di dalam The History of Sexuality ; an Introduction (1978) menjelaskan dua bentuk kekuasaan yang berperan di dalam wacana ketubuhan. Pertama, kekuasaan atas tubuh, yaitu kekuasaan eksternal yang mengatur tindak tanduk, mengadakan pembatasan, pelarangan dan pengendalian terhadap tubuh (hukum, tabu dan undang-undang). Kedua, kekuasaan yang memancar dari dalam tubuh, yaitu berupa hasrat dan potensi libidonya. Kekuasaan dari dalam tubuh ini harus menantang kekuasaan atas tubuh, melalui sebuah “revolusi tubuh” sehingga tercipta ruang bagi perkembangbiakan (proliferation) dan pelipatgandaan (multiplicity) diskursus seksual yang terbebas dari dominasi kekuasaan.

Revolusi tubuh dalam rangka pembebasannya dari etos ketertindasan atas dominasi kekuasaan norma-norma, tabu, hukum dan undang-undang membutuhkan muara bagi pelepasannya. Kapitalisme (melalui budaya komoditinya) adalah muara utama bagi pelepasan hasrat yang tersumbat itu, sehingga memberi peluang kepada setiap orang untuk menggali setiap potensi hasrat dan energi libidonya sebagai komoditi. Sinyalemen ini dikuatkan oleh pemikiran J.F Lyotard di dalam Libidinal Economy (1993), bahwa kapitalisme telah mengalami transformasi ke arah kecenderungan baru yang disebut dengan “libido ekonomi” (libidinal economy), yang di dalamnya diciptakan ruang bagi pelepasan hasrat, sehingga setiap orang harus dapat mengeksplorasi dan memasarkan setiap rangsangan libido untuk memperoleh keuntungan yang maksimal.

Maka, betis yang tersingkap, pusar yang sengaja dipertontonkan atau paha yang dipamerkan tidak dianggap sebagai bentuk degradasi moral, melainkan sebuah bentuk nilai jual dan currency. Karena itu, Lyotard berpendapat, kebudayaan harus bersifat afirmatif (affirmatif) dan permisif (permissive), sehingga dengan cara demikianlah manusia dapat meraih kesenangan dan jouissance yang memadai. Ironisnya, dalam lingkaran ketelanjangan kata, frase dan kalimat yang “meresahkan” itu, masih ada penulis dan penggiat sastra yang “memekikkan” pembelaan, bahwa karya-karya yang mengumbar berahi jangan hanya dihujat, tapi juga perlu diaparesiasi, bahkan ada yang mengumandangkan sebuah “teriakan apologetik”, bahwa berahi juga menyuarakan sebuah ideologi. Ideologi apa?.

Ketika berahi sudah kehilangan nilai tukar, atau sudah tidak layak jual (marketable) lagi, tentu para penyair, cerpenis dan novelis akan berhenti mengekploitasi seks di dalam karya-karya mereka. Ya, tentu mereka akan beralih mencari “lahan baru” yang lebih punya “nilai jual”. Bantahan, dan pembelaan-pembelaan tak berdasar dari para perumus “sastra telanjang” itu, alih-alih dapat memperlihatkan idealisme dan konsistensi mereka untuk terus melahirkan karya-karya yang “berlumur” berahi, justru yang terbaca adalah corak kepengarangan yang “menghamba” pada model estetika “tak bermalu”.

* Depok, 110405

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita