28/03/09

Tuhan yang Dijual

Danarto
http://majalah.tempointeraktif.com/

PARA jemaah haji atau umrah biasanya "balik bertanya" bila diminta menguraikan perihal situs yang terletak di tengah Masjidil Haram, tapi memang Ka'bah itulah yang paling didambakan. Jauh-jauh datang dari Tanah Air, bisa menetap sampai empat puluh hari di Mekah, hanya Ka'bah yang ingin dinikmati di Tanah Suci. Menunaikan ibadah haji atau umrah, Ka'bah adalah tujuan peribadatan. Kalau sudah melihat Ka'bah, cukuplah hati ini terpuaskan. Sedangkan untuk berziarah di tempat lain, nanti-nanti sajalah. Lalu Ka'bah itu apa? Terserah pendapat Anda.

Boleh jadi, kedambaan akan Ka'bah sebenarnya suatu perasaan yang tak terkendali—seperti ketika kita melihat rujak, air liur kita terguncang—karena ibadah ke Tanah Suci sudah dengan sendirinya menatap Ka'bah. Nah, dengan sambil lalu pun, para jemaah bisa melihat dan menyentuh Ka'bah karena monumen itu termasuk dalam rukun haji dan umrah.

Yang paling eksotis dan mistis bila kita menyaksikan dari lantai atas Masjidil Haram, atau para penonton televisi di Tanah Air bisa pula menatapnya dari siaran tarawih, adalah kegiatan ritual yang dilakukan para jemaah dengan mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali. Dan ritual ini sudah berlangsung berabad-abad dalam dua puluh empat jam nonstop. Sebuah ritual abadi.

Menurut sementara kiai, jika tidak ada manusia yang bertawaf, para malaikat menggantikannya. Atau, para jemaah yang tampak berduyun-duyun memutari Ka'bah yang berlawanan dengan arah jarum jam itu sesungguhnya di antaranya banyak pula para malaikat yang memba-memba (menyamar) sebagai manusia.

Ibadah umrah hanya membutuhkan waktu ritual boleh dibilang sekitar tiga jam. Ibadah umrah tidak mengenal musim sehingga bisa dilakukan sepanjang tahun. Setiap saat kita bisa berangkat untuk melakukan ibadah umrah dari tempat mana pun. Muslimin yang sehabis menunaikan pekerjaan di Amerika dan Eropa biasanya lalu mampir ke Tanah Suci untuk beribadah umrah. Teman-temannya nonmuslim ikut mengantar sampai di Jedah dan menunggunya di kota internasional ini.

Selama Ramadan, kegiatan ibadah umrah lalu-lalang sepanjang bulan. Semua biro perjalanan haji dan umrah sibuk luar biasa. Semuanya kebagian jemaah. Sampai-sampai ada biro yang menamakan dirinya Menan, artinya Menanti Anda. Hal ini membuktikan, biro macam apa pun laris manis dirubung jemaah. Seperti hotel, biro bintang lima tentu menyediakan fasilitas puncak. Tokoh karismatis seperti Kiai Aa Gym serta Kiai Arifin Ilham menjadi daya pemikat yang ampuh bagi para jemaah. Boleh juga didampingi selebriti kenamaan seperti Ratih Sang, Dewi Hughes, maupun Fenny Rose, yang menyemarakkan peribadatan.

Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. sekian ribu tahun yang lalu adalah Ka'bah yang sekarang juga. Artinya, karakternya sama, meski sudah diperbaharui dan dimodernkan. Pada satu sudut bentuk kubusnya, terpasang batu hitam Hajar Aswad. Batu hitam yang jadi rebutan para jemaah yang sanggup antre berjam-jam untuk menciumnya ini—sebagaimana Rasulullah menciumnya—datang dari angkasa luar yang dibawa oleh Malaikat Jibril a.s. Begitulah cerita para kiai.

Adapun Multazam, di sebelah kanan pintu Ka'bah, diyakini tempat yang paling afdol bagi para jemaah untuk memanjatkan doa. Menurut para jemaah, doa mereka dikabulkan Allah sehingga banyak dari mereka yang selalu kembali beribadah dan berdoa di depan Multazam ini. Nah, di atas Multazam itu, menurut sementara para kiai, ada lorong waktu yang terpasang sampai ke langit lepas tempat para malaikat mondar-mandir membawa doa para jemaah ke Arasy. Di antaranya juga Malaikat Jibril, yang sekali sowan kepada Allah Azza wa Jalla membutuhkan waktu sehari perjalanan, yang dalam ukuran waktu manusia, 50 ribu tahun.

Ibadah umrah yang lebih mahal biayanya dari ibadah haji adalah umrah sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Itulah hari-hari Lailatul Qadr, malam yang lebih indah dari seribu bulan (maupun seribu rembulan). Malam berkah ketika Malaikat Jibril berkenan turun memberikan berkah kepada muslimin. Itulah malam pencerahan bagi kita untuk memulai hidup baru satu tahun ke depan. Malam suatu pengetahuan baru yang memberikan kesadaran baru bagi siapa saja yang siap menerimanya.

Kesadaran baru yang memberikan pengertian yang lebih utuh tentang diri kita. Tentang sepak-terjang kita sehari-hari. Tentang menyikapi berbagai hal yang hidup di lingkungan kita. Kesadaran baru tentang hubungan kita dengan Tuhan. Makna yang lebih jelas tentang hidup ini.

Namun, kita sebenarnya tidak punya hak sedikit pun untuk mengenakan biaya yang begitu mahal untuk ibadah umrah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan itu. Dari mana kita tahu bahwa sepuluh hari terakhir itu suatu jalan solusi bagi semua persoalan yang dihadapi jemaah. Atau memberikan kebahagiaan kepada para jemaah. Semua tindakan kita atas biaya tinggi umrah terhadap Lailatul Qadr sesungguhnya sikap kekerasan kita terhadap Allah. Kita mereka-reka kebohongan tentang Allah. Kita menodong Allah untuk mau memberikan ini dan itu yang kita maui. Kalau Allah tidak mau mengabulkan permohonan kita, awas (!), kita tidak mau lagi menyakralkan Lailatul Qadr. Mungkinkah sikap menjual Allah dengan harga yang murah inilah yang menyebabkan kita tidak pernah mampu keluar dari krisis yang semakin parah ini?

*) Sastrawan dan penulis buku Orang Jawa Naik Haji.

Indonesia Bergerak

Radhar Panca Dahana
http://wap.gatra.com/

Akhirnya soal itu kini menjadi jelas, jadi nyata dan terbukti faktual. Sebelumnya ia masih ditengara, sekadar rumor atau gosip, perkiraan, bahkan sebagian mengejeknya sebagai pikiran yang konspiratif. Tapi bahkan pertemuan eksekutif dan juragan top dunia di Washington beberapa hari lalu dan juga para pemimpin moneter G-8 yang akan kumpul di Korea Selatan mengakui hal itu: pelbagai krisis yang melanda dunia belakangan ini, yang membuat hipertensi politisi seluruh dunia, mengacaukan dunia bisnis global dan menyengsarakan rakyat kecil semesta, tidak lain karena ulah satu pihak ini: spekulan!

Kaum yang karena cara berpikir dan perbuatannya ini membuatnya tergolong sebagai dajal modern itu sungguh sudah dapat diidentifikasi keberadaan bahkan identitasnya. Dengan ulahnya yang semata dihela ketamakan diri, mengeksploitasi logika kapitalisme tentang kebebasan dan etos will to be rich, telah memerkosa celah perdagangan derivatif dunia untuk mempermainkan komoditas paling berharga, seperti minyak, bahan pangan, emas, juga kurs demi memperluas gudang uangnya sendiri.

Bahwa yang menjadi korban adalah pengusaha, ekonomi sebuah negara, kestabilan politik, hingga nyawa jutaan manusia, mereka tidak peduli. Dan puluhan, mungkin ratusan, pemerintahan yang ada di atas dataran bulat bumi ini kemudian terengah-engah, sebagian frustrasi, sebagian berguguran, hampir tak bisa berbuat apa-apa, kecuali memproduksi solusi-solusi yang sifatnya temporer, reaktif, bahkan konyol dan tolol.

Inilah sebenarnya (setidaknya satu di antara lima) musuh utama manusia, kita, sebagai bangsa, sebagai negara. Sebab, dengan kekuatan gigantik yang mereka (para spekulan dajal itu) miliki, mulai jaringan, modal, teknologi, hingga para pemikir/analis mephistofelesian yang berdiri di belakangnya sebagai think tank, sungguh membuat kekuatan ekonomi-politik apa pun yang (terhebat dalam sejarah peradaban dunia) jadi lumpuh, tak berdaya. Termasuk Inggris, Jerman, Jepang, bahkan Amerika Serikat.

Dapat dibayangkan, nilai kapitalisasi atau modal yang mereka miliki untuk bermain di pasar derivatif, yang memainkan semua komoditas vital di atas secara virtual melalui game di bursa efek, memiliki besaran yang buat kita unimaginable: US$ 550 milyar! Hanya untuk perbandingan, nilai itu hampir sama dengan 500 kali GDP kita, 500 tahun revenue 230 juta manusia di negeri ini! Ekuivalen dengan puluhan kali pendapatan 200 juta lebih orang Amerika Serikat (negeri terkaya sejagat) dan ratusan persen lebih besar dari penghasilan 6,5 milyar manusia di atas bumi yang rongsok ini!

Lalu, apa yang dapat diperbuat Saimin yang hanya berpenghasilan US$ 5 sehari? Bahkan, apa sebenarnya yang bisa dilakukan seorang Sri Mulyani, Boediono, bahkan seorang Jenderal (purnawirawan) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono? Bahkan tokoh sekaliber Alan Greenspan pun harus menipu rakyat Amerika, juga sejarah dunia, dengan menciptakan ilusi ''gelembung'' ekonomi sebagai cover atas realitas mengerikan itu. Bahkan seorang Warren Buffer, manusia terkaya di atlas dunia ini, memperlihatkan rasa giris dan berulang kali mengingatkan kegilaan kaum yang hanya segelintir itu (Buffer sendiri ada di dalamnya).

Maka, di tengah keceriwisan kita soal labirin dan kemunafikan demokrasi, selingkuh besar-besaran bangsa dalam korupsi, gontok-gontokan parpol, hingga pilkada dan pemilu yang memberi cost luar biasa pada rakyat atau kekerasan murahan kaum agamawan, masalah nyata yang tergambar di atas sungguh membuat kita semua seperti kulit kerbau lucu yang dimainkan dalang jalang sebagai wayang.

Masalah itu seperti langit gelap yang terus membuat hidup kita mendung. Padahal, ia begitu nyata, bahkan merasuk bukan saja melalui bursa berjangka atau kas negara, melainkan juga hingga ruang makan, bahkan pakaian dalam dan isi pertengkaran kita sebagai suami-istri. Namun kita alpa, kita tak menyadarinya.

Sungguh sudah tiba saatnya kita siuman. Menyadari bahwa setiap suap nasi dan watt listrik yang kita gunakan untuk menyalakan televisi ada kaitannya dengan tawa seorang pemodal yang rapat di pencakar langit New York, dengan segelas anggur di tangan dan mungkin seorang artis Hollywood di pelukan. Ada kaitan antara BLT yang macet dan kunjungan Bush ke Eropa: kita adalah juga dia yang ada di pojokan dunia sana. Adalah korban yang terlena. Adalah manusia yang sebenarnya berdaya jika ia mau terjaga, pikiran, emosi dan spiritnya.

Betapapun pahit dan getir cobaan hidup yang kita alami pada saat ini juga dialami milyaran yang lain. Sebagai bangsa yang beradab, sesungguhnya kita mudah memahami hal itu dan menghentikan kebodohan-kebodohan yang kita lakukan selama ini. Saatnya manusia Indonesia bangkit dan bergerak. Menyadari persoalan serta di mana substansi dan solusi sesungguhnya yang harus diambil.

Dan ia akan menjadi sesuatu yang berarti jika hal itu terjadi secara kolektif. Menyimpan, atau lebih baik membuang, kesempitan pikiran dan kepentingan. Bersama, dari seniman hingga politisi, dari rakyat jelata sampai petinggi, dari Paimin hingga Susilo, membawa negeri ini bergerak mengatasi dajal kapitalistik di atas. Bergerak. Sudah saatnya Indonesia bergerak.

*) Pekerja seni dan pemerhati budaya.

19/03/09

Syak Wasangka Kebenaran Holocaust

Judul Buku : Holocaust Fakta atau Fiksi?
Penulis : Stephane Downing
Penerjamah : Dwi Ekasari Ariyani
Penerbit : Med Press
Cetakan : I, 2007
Tebal : 172 hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*
http://indonimut.blogspot.com/

Peristiwa-peristiwa spektakuler yang layak dikenal dan dikenang tak lepas dari preseden sejarahnya. Ia tetap bergelantungan dideret-deret pojok bisu sejarah, meski kita mengobrak-abrik, memanipulasi, dan menutup-nutupi. Bagaimana pun, sejarah lahir dari rahim kesadaran yang dihentakkan oleh bunyi realitas faktual, tak akan hilang keotentikannya.

Kini tak sedikit batu-bata sejarah digugat, di break down, hingga ditelanjangi sampai-sampai segepok pertanyaan yang menghinggap dibenak berangsur hilang. Secara logika, kita tak lagi mampu berdialog dengan sejarah. Karena, sejarah berdialog dengan kausalitas korelasi antara massa waktu saat itu dan kejadian sejarah. Maka dari itu, kita terkesan patah ketika hendak mendefinisikan, menafsirkan, apalagi menyimpulkan eksemplar uraian sejarah.

Sejarah Holocaust misalnya, yang saat ini mengundang pertanyaan dan kian temukan titik runcing kontroversinya. Bahkan, Ahmadinejad presiden Iran berani bersuara miris tentang Holocaust tersebut: “Sekarang, mereka (bangsa Eropa) telah menciptakan sebuah dongeng dengan nama Holocaust dan menganggapnya melebihi Tuhan, agama, dan ramalan.”

Holocaust adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan genocide (pemusnahan secara terencana) kelompok-kelompok minoritas di Eropa dan Afrika Utara pada Perang Dunia II oleh Adolf Hitler dan Nazi. Paham diskriminasi ras telah membawa Hitler menempatkan ras-ras lain berada dibawah ras Arya. Kelompok-kelompok bangsa yang dianggap ras bawah seperti Yahudi, Polandia, Rusia, Belarusia-Serbia, Afrika, dan Asia dicap sebagai golongan Untermensch (manusia rendahan) dan menjadi target khusus aksi “pembersihan” Nazi.

Istilah Holocaust awalnya berasal dari bahasa Yunani halekaustann, yang berarti sebuah korban persembahan kepada dewa yang “sama sekali (holos) terbakar (kaustos)”. Akhir abad ke-19, istilah “Holocaust” digunakan untuk menjelaskan malapetaka-malapetaka atau bencana-bencana. (hlm. 10). Berdasar pada Kamus Bahasa Inggris Oxford, kata Holocaust kali pertama digunakan untuk mendeskripsikan perlakuan Hitler kepada orang-orang Yahudi dari tahun 1942, walau kata ini belum menjadi referensi standar hingga tahun 1950-an. Akan tetapi, pada pengujung tahun 1970-an makna lazim dari kata ini menjadi genocide Nazi. Holocaust pun memiliki beragam nama-nama yang telah dikenal guna mendeskripsikan genocide. Seperti, Ha-Shoah (bahasa Yahudi), Khurbn atau Halukaust (bahasa Yiddi), Porajmos (bahasa Romania), Calopalenia atau Zaglada (penyebutan kedua nama ini di miliki Bahasa Polandia).

Tanggal 8 dan 9 November 1938, merupakan langkah awal dari Holocaust melakukan pemusnahan massal terencana (pogrom) Kristallnacht dan Program Euthanasia T. 4. Kemudian, dilanjutkan dengan proyek pembentukan pasukan-pasukan pembunuh (killing squads) dan kamp-kamp pemusnahan (extermination camps) yang berniatan memiliki usaha terorganisir secara besar-besaran serta terpusat untuk membantai setiap orang yang menjadi target Adolf Hitler dan pasukan-pasukan Nazi. Ditengarai dari peristiwa dahsyat Holocaust, kebanyakan korbannya adalah orang-orang Yahudi di Eropa. Kira-kira 6 juta orang Yahudi terbunuh pada masa Holocaust. Mereka (orang-orang Yahudi), oleh Nazi disebut “Solusi Final atas Permasalahan Yahudi” (die Endlosung der Judenfrage) atau “pembersihan” (die Reinigung).

Untuk memperlancar misi Holocaust, beragam cara berbau kekejaman dilakukan. Seperti, membangun kamp-kamp kosentrasi dan kerja paksa (1933-1945), penyiksaan (1938-1941), euthanasia (1939-1941), ghetto-ghetto (1940-1945), pasukan-pasukan kematian (1941-1943), kamp-kamp pemusnahan (1942-1945), serta prosesi kematian dan pembebasan (1944-1945). Cara-cara demikian itulah, yang dilakukan oleh para pemimpin Nazi dalam “menghabisi” ras-ras lain selain ras Arya.

Holocaust dan fenomena sejarah mengenai Nazisme, telah menjadi simbol gelap pada kejahatan-kejahatan yang terjadi pada abad ke-20, juga sebagai subyek dari studi-studi sejarah, psikologi, sosiologi, sastra, dan filsafat. Satu pertanyaan filosofis dilontarkan oleh Wilhelm Reich pada awal tahun 1933 di Mass Psychology of Fascism adalah misteri dari ketaatan rakyat Jerman atas operasi yang sangat “gila” tersebut. Karena, pada saat itu kategori oposisi biner dengan dobrakan gila Nazi tak terlalu mencuat. Kemudian, muncullah buku Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), yang ditulis oleh Hannah Arendt. Dengan begitu, Arendtlah sebagai orang pertama yang berani memproklamirkan sikap dirinya terhadap Nazi, bahwa tindakan Nazi itu adalah “sadisme” dan kental “kekejaman.”

Holocaust Fiksi

Kebenaran berita Holocaust pada saat ini, kuat indikasi mulai dipertanyakan. Benarkah Holocaust ada? Benarkah 6 juta jiwa orang Yahudi terenggut oleh kekejaman Nazi? Ataukah itu hanya sebuah rancangan konspirasi zionis Yahudi untuk membenarkan langkah-langkah politik mereka di panggung dunia? Kumpulan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi centang perenang dan siap menggerus kebenaran Holocaust.

Holocaust denial atau penyangkal Holocaust (biasanya disebut revisionisme Holocaust oleh para pendukungnya) adalah kepercayaan bahwa genocide orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok minoritas lainnya selama Perang Dunia II –masa Holocaust– tak pernah terjadi, atau apabila benar terjadi, akibat yang disebabkan tidak sebesar apa yang diyakini pada masa sekarang. Bahkan, ada dari para penyangkal Holocaust, yang sama sekali tak percaya atas korban pada masa Holocaust, “Bagaimana mungkin 6 juta orang Yahudi dibunuh pada masa Holocaust jika hanya terdapat 3 juta jiwa orang Yahudi saat itu?”

Sebagian besar penyangkalan Holocaust menyatakan secara tidak langsung, bahwa Holocaust adalah sebuah cerita bohong yang dengan sengaja diciptakan oleh orang Yahudi untuk memajukan kepentingan mereka dengan mengorbankan orang lain. (hlm. 81). Karena alasan ini, penyangkalan Holocaust umumnya dianggap sebagai sebuah teori konspirasi anti-semitik (sikap antipati terhadap bangsa Semit, khususnya orang Yahudi).

Penyangkalan Holocaust dipandang secara luas sebagai kegagalan dalam mengikuti peraturan-peraturan perlakuan bukti, peraturan-peraturan yang dikenal sebagai dasar dalam penyelidikan yang rasional. Konsensus yang kuat adalah apabila bukti yang diberikan oleh mereka yang selamat, saksi-saksi mata, dan para sejarawan. Sehingga, kebenaran sejarah disini dipertaruhkaan lewat jangkauan-jangkauan rasio yang masuk akal. Adalah hal yang tidak masuk akal untuk meminta orang-orang memberikan klaim guna membuktikan bahwa bukti-bukti mereka “sungguh nyata” dari kenyataan yang sudah jelas, kecuali ada beberapa alasan khusus yang dapat dipercaya untuk memercayai bahwa bukti-bukti tersebut mencurigakan.

Kendati pun sejarah dimanipulasi, kebenaran Holocaust dipertanyakan, dan diputar balik faktanya tak akan hilang jejak-jejak sejarahnya. Bantuan buku ini menawarkan sisi keseimbangan fakta-fakta Holocaust yang bergelantungan dideret-dideret laci sejarah, sehingga kelesuan yang menggiring terhadap pergulatan politik tak dapat ditambat. Kesejatian sejarah, kalau sudah dibenturkan kepada kepentingan-kepentingan politik akan dapat ditebak telah mengalami kekaburan-kekaburan fakta. Minimal lewat buku ini menghantarkan pemahaman mereka yang ingin mengetahui titik-titik kontroversi akut sejarah Holocaust yang tak lepas dari ruang lingkup syak wasangka kebenarannya.

Konflik Ideologi Agama dan Politik dalam Novel Teguh Winarsho

Yosi M Giri*
http://www.kompas.com/

Jika Solzhenitsyn–melalui karya-karyanya–menyuguhkan gambaran perubahan sosial (baca: masyarakat) di bawah cita-cita komunisme di Rusia sebagai sebuah penolakan terhadap gagasan historical optimism, maka seorang Prameodya Ananta Toer (Pendekar Pulau Buru) justru menyajikan historical truth, melalui Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yang menggambarkan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu beserta perubahan-perubahan sosialnya.

Masing-masing pengarang tentu saja memiliki kebebasan dalam memformulasikan masa lampau melalui karyanya untuk menolak atau justru mendukung gambaran sejarah yang telah mapan. Lalu bagaimana dengan pernyataan Kuntowijoyo tentang tidak adanya karya sastra Indonesia yang merupakan kritik sosial yang mampu membentuk public opinion masyarakatnya?

Pernyataan Kuntowijoyo itu dapat dimaklumi, karena pengarang-pengarang yang hidup pascarevolusi, terutama sejak munculnya Orde Baru, mereka mengalami tekanan (untuk tidak menyebut phobia) oleh sebab praktik politik ‘bumi-hangus’ terhadap lawan-lawan atau orang-orang yang berseberangan dengannya, termasuk karya-karya yang berisi kritikan terhadap kepincangan pemerintah.

Berkaitan dengan novel sejarah di Indonesia pernah muncul kasus sastra realis, terutama realisme-sosial yang diusung Pramoedya Ananta Toer. Perdebatan antara para kritikus sastra Indonesia, seperti H.B. Jassin, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad menyuarakan genre realisme-sosial yang mewarnai karya-karya Pram sebagai karya yang tidak memenuhi ketentuan seni dan sastra.

Terlepas dari berbagai polemik yang pernah mengegerkan jagad sastra Indonesia di era 60-an tersebut, agaknya ‘angin segar’ bagi pengarang-pengarang kritis pun muncul pasca reformasi ’98. Barangkali Teguh Winarsho AS adalah salah satu pengarang yang berani menggambarkan sebuah masyarakat serta problematikanya dengan mengambil latar peristiwa seputar ‘Lubang Buaya’.

I
Novel Kantring Genjer-Genjer karya Teguh Winarsho AS setebal 120 halaman dengan label ‘dari kitab kuning sampai komunis’ dapat kita letakkan dalam deretan novel sejarah yang tipikalisasinya dapat dirunut dalam realitas sosial maupun sejarah Indonesia, konflik antar kelompok sosial. Dalam novel tersebut, konflik yang paling dominan adalah konflik agama dan konflik politik. Konflik-konflik tersebut berakar pada perbedaan ideologi kelompok sosial.

Jika Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha-nya menggambarkan kondisi masyarakat sebagai akibat dari transformasi sosial-budaya, barangkali Teguh Winarsho AS justru mengungkapkan reaksi masyarakat terhadap transformasi sosial-budaya yang mengakar.

Novel Kantring Genjer-Genjer yang terbagi atas tujuh bab yang dijalin berdasarkan pengalaman tokoh ‘Aku’ dan cerita yang didengarnya dari seorang laki-laki tua pengangkut batu sungai yang dijumpainya sewaktu kembali ke dusun Panjen. Keseluruhan cerita dalam novel tersebut merupakan laporan tokoh ‘Aku’ kepada tokoh Kantring, ibunya yang telah meninggal.

Pada bab I sampai IV ini bercerita tentang pertentangan antara kelompok Sadikin dan Ki Sangir yang secara tipikal merupakan kelompok Abangan sebagai gerakan yang berusaha menyuburkan budaya spiritual di Jawa dengan kelompok Kyai Barwani yang merupakan tipikal dari kelompok Santri.

II
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Konflik terjadi karena dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan. Setiap kepentingan tentu saja tidak lepas dari ideologi masing-masing kelompok sebagai pondasinya untuk mencapai sebuah kekuasaan. Dalam upaya merebut kekuasaan, seringkali agama, kepercayaan dan unsur kebudayaan dipergunakan untuk memperkuat ideologi.

Bagi Gramsci1, ideologi atau dunia gagasan berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak. Dalam pengertian ini, Ideologi sebagai keyakinan yang diperjuangkan, menjadikan penganutnya rela berkorban demi perjuangan ideologinya. Oleh sebab itu ideologi dan konflik tidak akan mati sepanjang sejarah perkembangan masyarakat. Karena hakikatnya sejarah adalah sejarah konflik kepentingan kehidupan riil (kehidupan ekonomi) antara golongan penguasa dengan golongan yang dikuasai, kemudian berkembang menjadi konflik ideologi.

Konflik Ideologi Agama di Jawa: Padepokan Sadikin dan Pesantren Kyai Barnawi

Pertentangan antara kelompok keagamaan yang satu dengan kelompok keagamaan yang lain sering kali terjadi, karena masing-masing berusaha mempertahankan kemurnian ajaran yang diyakininya dan menolak ajaran lain. Pertentangan dalam KGG ini muncul saat kelompok masyarakat yang mencoba mempertahankan unsur-unsur kebudayaan Jawa dalam praktik keagamaan (Kejawen) dengan kelompok masyarakat yang memperjuangkan kemurnian ajaran Islam.

Ciri masyarakat Jawa pra dan pasca ekspansif Hindu-Budha menganut sistem animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Pandangan masyarakat yang antroposentris juga berpengaruh pada pola hubungan masyarakat, sistem ekonomi, serta politik. Padepokan Ki Sangir, selain untuk mendapatkan kekayaan, juga dalam upaya mensinkretiskan agama lama (kebudayaan Jawa yang dipengaruhi Hindu-Budha) dan agama baru (Islam).

Pendekatan Ki Sangir sebagai pimpinan padepokan yang meyakinkan masyarakat dusun Panjen, bahwa ilmu-ilmu yang diajarkannya itu atas izin Gusti Allah dan semua amalan dimulai dengan kalimat suci Laaillahaillalah (Tiada tuhan selain Allah) ini merupakan praktik politis yang memanfaatkan aspek agama (Islam) sebagai penguat dalam merebut hegemoni. Akan tetapi keyakinan itu tidak selalu berjalan harmonis dan stabil. Pada saat bersamaan dengan dominasinya dapat terjadi perlawanan yang berupa tindakan kolektif dari kelompok subordinat2.

Upaya Ki Sangir ini mendapat perlawanan dari Kyai Barnawi, pemimpin pesantren tua di dusun Panjen. Tokoh Kyai Barnawi sebagai tipikal kepemimpinan moral di dusun Panjen bisa dipastikan mengalami krisis otoritas karena 15 santrinya mengikuti ajaran Ki Sangir. Dengan demikian, hegemoni pesantren Kyai Barnawi atas masyarakat dusun Panjen pecah atas dominasi kelompok Sadikin yang telah berhasil merebut pengaruh masyarakat. Dalam situasi paling politis, Kyai Barnawi mengambil langkah-langkah perlawanan untuk menolak unsur-unsur ideologis yang datang dari kelompok Sadikin melalui doktrin sebagaimana kutipan berikut:

“Ajaran Sadikin dan Ki Sangir sesat! Najis! Gusti Allah pasti mengutuk mereka. Kalian jangan percaya ilmu yang bersumber dari kekuatan iblis dan setan. Hanya Al-qur’an satu-satunya pegangan hidup yang akan menyelamatkan nasib kalian. Mengerti?” ucap Kyai Barnawi tengah malam pada beberapa santrinya yang masih bertahan di surau yang hampir roboh. (Kantring Genjer-Genjer: 14).

Kaum santri ini berusaha untuk mengatur hidup menurut aturan-aturan agama Islam. Gagasan-gagasan pesantren Kyai Barnawi adalah menolak adat-istiadat Jawa dan menggantinya dengan adat-istiadat yang sesuai dengan hukum syariat Islam yang berkiblat pada negara-negara Arab.

Sementara kelompok Ki Sangir sebagai tipikal kaum abangan berusaha untuk tetap mempertahankan tradisi leluhurnya. Keagamaan masyarakat Kejawen ditentukan oleh kepercayaan pada berbagai macam roh yang tidak dapat dilihat, yang dapat menimbulkan kecelakaan dan penyakit apabila mereka dibuat marah atau kurang hati-hati. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat Jawa pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari pihak roh-roh nenek moyang yang, seperti Allah atau Tuhan, menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman3.

Untuk menandingi perlawanan Kyai Barnawi, Sangir menjalankan strategi politik yang tipikal dengan praktik politik raja-raja Jawa dalam mempertahankan sekaligus memperluas kekuasaan. Pada tahapan inilah folklor diciptakan yang meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh, tahyul-tahyul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan dan segala sesuatu4.

Dengan diciptakannya tokoh mistik ‘Nyi Ratu Krasak’ oleh Ki Sangir secara mitologis, merupakan kekuatan antagonis yang sekaligus berfungsi sebagai kekuatan politis dalam merebut kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan Sangir. Masyarakat dusun Panjen percaya bahwa cerita tentang ‘Nyi Ratu Krasak’ penunggu sungai Krasak terus memakan korban masyarakat dusun Panjen yang sebagian besar merupakan pengangkut batu sungai.

Hal inilah yang oleh Kuntowijoyo, disebut sebagai fase mitos, yaitu pengalaman mistik yang digunakan untuk mengukuhkan kehebatan-kehebatan raja-raja yang sekaligus melegitimasi kekuatan politiknya. Pengaruh Ki Sangir secara politis makin menguat dalam masyarakat dusun Panjen. Dalam usaha memperjuangankan ideologi agama masing-masing, baik kelompok Ki Sangir maupun kelompok Kyai Barnawi melengkapi upayanya tersebut dengan kekuatan material. Padepokan Sadikin sebagai kekuatan lembaga dibangun lebih megah, ini merupakan dimensi ekstra hegemoni, di mana unsur kebudayaan menjadi medan strategis untuk membangun kesepakatan dan menerakan cara-cara yang dengannya bentuk-bentuk ideologis dan kultural secara historis dinegosiasikan.

Kemapanan padepokan Sadikin ini secara material mendapat reaksi balasan dari kelompok Kyai Barnawi dengan membangun pesantren yang lebih megah dari padepokan Sadikin dengan memerintahkan para santrinya untuk mencuri harta benda penduduk dusun Panjen. Perintah untuk mencuri tentu saja ironis dengan ajaran Islam. Agar para santri itu menuruti perintah, Kyai Barnawi menguraikan alasan-alasan yang menguatkan perintahnya itu dengan dasar-dasar kisah para sahabat nabi berkaitan dengan cara-cara yang ditempuh dalam menghadapi permasalahan yang serupa. Sehingga, secara psikologis para santri mengalami penguatan dan menyanggupi perintah kyai untuk menjarah harta benda penduduk Panjen. Di sinilah, betapa kepentingan-kepentingan kekuasaan seringkali memanfaatkan unsur agama untuk memuluskan tujuan politisnya.

Dalam pandangan dunia pesantren, kyai bertindak sebagai pemegang kekuasaan, yakni sebagai patron yang mana dapat memengaruhi pelampiasan emosi dari pengikutnya, dan para pengikut tersebut akan bersedia melakukan aksi apa saja demi menjaga karisma kyai tersebut dalam bentuk pengabdian kolektif yang bersifat mistik5.

Demikianlah, konflik ideologi agama antara kelompok dalam KGG ini tentu saja tidak lepas dari kepentingan politis kaum Kejawen dan kaum Santri. Jika, apa yang diceritakan Teguh Winarsho AS ini merupakan sebuah realitas yang ia potret, maka dapatlah dirujuk kebenaran dari setiap peristiwa yang barangkali kita temukan dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat tradisional. Sebagaiman sastra sebagai sistem simbol dan sistem sosial yang selalu berdialektik terhadap transformasi nilai-nilai yang hadir dalam suatu masyarakat.

Konflik Ideologi Politik: Kubu Kapitalis atas Kubu Komunis

Pada bab ke V novel KGG, Teguh Winarsho AS dengan berani memunculkan teks ‘Genjer-Genjer’ yang merupakan bagian dari judul novel. Mengapa saya katakan berani, karena kita semua tahu pada saat rezim Orde Baru berkuasa, hanya dengan menyebut kata ‘Genjer-Genjer’ saja orang (siapapun) bisa mati karena dianggap komunis. Pasca G30S/PKI, seiring lahirnya Orde Baru yang melancarkan politik ‘bumi-hangus’ terhadap lawan-lawan politiknya dengan menggunakan berbagai macam strategi (untuk menyebut menghalalkan segala cara), salah satunya dengan pemitosan lagu ‘Genjer-Genjer’. Tentu saja Muhammad Arief si pencipta lagu ‘Genjer-Genjer’ ini tidak memiliki tujuan politis apapun selain jiwa keseniannya dengan mengungkapkan realitas kondisi masyarakat Banyuwangi pada masa pendudukan Jepang. Untuk lebih jelasnya berikut kutipannya: Genjer-genjer mlebu kendil wedange ngemplak/ Setengah mateng dientas yong dienggo iwak/ Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben/ Genjer-genjer dipangan musuhe sego/…

Secara historis, sebenarnya lagu tersebut memiliki latar belakang yang berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Banyuwangi pada masa penjajahan. Sebelum pendudukan tentara Jepang pada tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi termasuk wilayah yang secara ekonomi berkecukupan. Apalagi ditunjang dengan kondisi alamnya yang subur. Namun saat pendudukan Jepang di Hindia-Belanda pada tahun 1942, kondisi Banyuwangi sebagai wilayah yang surplus makanan berubah sebaliknya. Karena begitu kurangnya bahan makanan, sampai-sampai masyarakat harus mengolah daun genjer (limnocharis flava) di sungai yang sebelumnya oleh masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu6.

Melihat latar belakang penciptaan lagu Genjer-Genjer sebagai produk budaya, tentu menjadi ironis ketika produk budaya yang tidak terkait dengan ideologi atau agama apapun ini justru menjadi korban dari pertentangan ideologi. Kesangsian inilah yang diungkapkan Teguh Winarsho AS melalui tokoh ‘Aku’ yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tokoh ‘Aku’ sebagai seorang prajurit yang setia terhadap atasannya tentu saja mau tidak mau harus melaksanakan tugas, meskipun tugas itu harus membunuh para jenderal, yang ia sendiri tidak tahu-menahu apa kesalahan korban-korbannya. Dalam pengertian, bahwa tokoh ‘aku’ hanya melaksanakan tugas belaka. Demikian yang hendak diceritakan Teguh, yang barangkali merupakan pertanyaan sebagian masyarakat Indonesia saat ini, tentang siapa yang sebenarnya salah pada peristiwa berdarah itu.

Di dunia hingga saat ini hanya ada dua ideologi yaitu kapitalisme dan sosialisme. Dua ideologi itu mengalami konflik antagonisme sepanjang sejarah. Dengan konflik itu melahirkan kemajuan ilmu sosial yang makin berkembang maju dan melahirkan berbagai paradigma baru7. Jika merujuk pemetaan tersebut, cerita KGG pada bab V-VII dapat diposisikan sebagai wacana kritis-analisis terhadap konflik yang muncul akibat perseteruan antara kedua ideologi di atas melalui dialog tokoh Lasmi dengan tokoh ‘Aku’. Berikut kutipannya:

“Ya. Awalnya Seoharto memang masuk dalam kubu Nasution. Tapi akhirnya mendirikan kubu sendiri setelah Amerika tak percaya lagi pada Nasution karena tak berhasil menjalankan misi mereka terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia. Kepentingan Amerika tak berfungsi di tangan Nasution. Di saat itulah Seoharto yang baru menjadi Pangkostrad mendirikan kubu. Ia mengajak Yoga Sugema yang masih menjadi Dubes RI untuk Yugoslavia. Soeharto menyuruh Yoga pulang dan menawari jabatan baru sebagai Kepala Intelijen Kostrad. Sesampai di Jakarta Yoga langsung menemui Soeharto di rumahnya. Mereka berembug. Itulah cikal bakal terbentuknya kubu Soeharto. Jika kutarik dari peristiwa semalam aku mulai mencium kelicikan Soeharto:

1. Yoga kembali ke Indonesia tidak sesuai prosedur karena seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI dilakukan oleh Menpangad, mengingat Yoga adalah perwira AD. Tetapi Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad. Dengan cara itu Soeharto telah melangkahi garis hierarki dan komando.
2. Tujuan Yoga pulang adalah untuk melakukan sabotase terhadap kebijakan-kebijakan politik Presiden.
3. Soeharto ingin menghancurkan PKI karena PKI terlalu dekat dengan Presiden. Tujuan ini sejalan dengan kepentingan Amerika yang tak ingin Indonesia dikuasai komunis. Amerika kemudian mendekati Soeharto untuk menjalankan kepentingannya. (Kantring Genjer-Genjer: 94-95).

Dari dialog tokoh Lasmi kepada tokoh ‘aku’ inilah sebuah konflik politik tidak hanya dianalisis secara ideologis belaka, tapi ada kepentingan individu atas kekosongan kepemimpinan maupun krisis otoritas.

Dalam sejarah Indonesia, Presiden Soekarno yang pada saat itu mengalami krisis otoritas, krisis kepercayaan, bahkan krisis moral ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing yang ingin salah satu ideologi terbesar di Indonesia itu dihancurkan. Amerika dengan ideologi Kapitalisme-nya jelas tidak akan membiarkan ideologi komunis sebagai musuhnya dibiarkan berkembang. Dalam tragedi ‘65 itu, sebuah rekayasa politis yang sistematis, di mana kelompok Soeharto yang dibayang-bayangi Amerika, dapat merebut hegemoni masyarakat Indonesia dengan menciptakan karakter komunis sebagai kelompok yang identik dengan antagonis dan atheis.

Meskipun si pencetusnya (Karl Mark) menganggap ‘tuhan itu candu’, tentu tidak bisa diartikan bahwa semua pengikutnya pun tidak percaya tuhan. Karena pendirian ideologis politik sangatlah picik jika disejajarkan dengan ideologi agama. Dalam kasus inilah, sekali lagi agama dijadikan alat untuk menghancurkan kelompok lawan dalam frame kepentingan politis. Padahal, secara sosiologis maupun teologis, agama itu muncul untuk merespon persoalan yang dihadapi umat manusia. Agama apapun pada hakikatnya mengajarkan kebaikan, kedamaian dan kerukunan bagi para pemeluknya.

Dari keseluruhan cerita dalam Kantring Genjer-Genjer dapat dibagi menjadi dua jenis konflik, yang pertama konflik Agama dan kultural, yang kedua konflik ideologi politik dalam suatu masyarakat yang mengalami transformasi budaya. Sebagaimana pengarang pasca reformasi, Teguh tampak memberikan sebuah wacana yang lain atas pandangan mayoritas masyarakat terhadap peristiwa G30S/PKI. Di sisi lain, KGG ini menawarkan suatu analisis sosial-politis melalui dimensi yang berbeda sekaligus imajiner.

ENDNOTE
1 Gramsci via Faruk, Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 62.
2 Ibid., hal. 74
3 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984), hal. 15.
4 Gramsci via Faruk, Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 70.
5 Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hal. 114.
6 Paring Waluyo Utomo, Genjer-Genjer dan Stigmatisasi Komunis, http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0423/bud2.html
7 http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/.

Rendra, 70 Tahun

Goenawan Mohamad
http://www.korantempo.com/

Rendra adalah sebuah pergulatan yang penting dalam sejarah pemikiran Indonesia.

Rendra adalah sebuah pergulatan yang penting dalam sejarah pemikiran Indonesia. Hidupnya yang kini mencapai 70 tahun terbentang dalam sebuah masa yang panjang di mana percakapan, gagasan, dan kekuasaan bentur-membentur. Dan ia ada di dalam perbenturan itu, ia adalah perbenturan itu, sebagai pelaku, saksi, dan juga penderita.

Tapi baiklah saya mulai dengan mengatakan apa yang sudah umum diketahui: Rendra, sejak ia berangkat sebagai penyair, adalah sebuah suara tersendiri.

Ketika saya masih seorang murid sekolah menengah pertama pada sekitar tahun 1955, saya baca sajak seperti Litani Domba yang Kudus dengan tercengang dan terpesona. Sajak ini melantunkan pengulangan yang berbunyi seperti dalam doa, tapi juga seperti permainan anak-anak yang tangkas, dengan imaji yang datang dari khazanah yang tua namun juga terasa akrab.

Ia sungguh berbeda dari corak puisi umumnya setelah Chairil Anwar. Kita bisa meletakkan sajak-sajak Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Mansur Samin–untuk menyebut beberapa saja penyair dari masa tahun 1950-an–dalam satu himpunan: umumnya karya mereka terdiri atas puisi liris yang bergumam dari dalam diri, remang dan terkadang gelap. Tapi sajak-sajak Rendra tak demikian. Puisi Rendra kuat dalam kecenderungan naratif, lincah seperti bermain-main, dan cerah meskipun bukan tanpa tata warna bunyi-bunyi yang dramatik.

Saya tak hendak mengulang apa yang sudah sering diuraikan tentang posisi Rendra dalam kesusastraan Indonesia. Saya hanya hendak bertolak dari apa yang saya lihat sebagai corak puisinya untuk melihat ketegangan dalam pandangan Rendra tentang dunianya.

Orang mengatakan bahwa corak puisi itu mengingatkan kita akan balada Federico Garcia Lorca, tapi juga bahwa di dalamnya bergema lagu dolanan anak-anak dalam bahasa Jawa. Bagi saya itu menunjukkan bahwa tidak seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru memilih laut dan meninggalkan daratan, Rendra–seperti Lorca, seperti dolanan anak-anak dusun–lebih akrab dengan lanskap yang terdiri atas bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam buku Empat Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sahabatnya, D.S. Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bahwa ia ingin “tetap bergantung pada daun-daun dan air sungai”.

Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sani–mungkin karena mereka datang dari lingkungan yang terbentuk oleh adat merantau–laut adalah kemerdekaan, meskipun itu berarti menghadapi bahaya dan kesendirian. “Apa di sini,” kata Rivai Apin memaki tanah asal dalam salah satu sajaknya, “batu semua!”

Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggambarkan diri sebagai kelasi yang hanya singgah di bandar asing dengan perempuan yang cukup dipeluk untuk beberapa saat. Dibesarkan di Surakarta, dalam keluarga guru yang beragama Katolik dan belajar di sekolah Katolik, pada mulanya ia bahkan memberi kesan menampik apa yang “jalang” yang melekat dalam citra kepenyairan Chairil Anwar.

Pada tahun 1952, ketika ia berumur 17 tahun, sebuah lakon kecil yang ditulisnya terbit dalam bentuk stensil, berjudul Goncangan Pertama. Lakon ini berisi anjuran moral menurut ukuran sekolahan, di samping sedikit tembak-menembak, dan dengan tokoh yang jahat berhadapan dengan tokoh yang baik. Disutradarai sendiri oleh Rendra yang masih duduk di SMA Katolik Bruderan, sandiwara itu “dipersembahkan kepada masyarakat dan pemuda”.

Pada tahun 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di hadapan “sastrawan-sastrawan muda Surakarta”, ia mengecam dengan tajam para seniman yang meniru-niru “jalang”-nya Chairil Anwar. Para pembuntut macam itu, kata Rendra, hanya “menjalang dengan otak babinya”.

Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar. Terhadap sikap Chairil sendiri ia menarik garis. “Konsekuensi dari ajakan melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada Kawan,” demikian kata Rendra, “adalah penghapusan undang-undang, yang berarti lebih dahsyat dari bom atom.”

Pendirian seperti itu kemudian memang berubah; kita kemudian mengingat Rendra sebagai perumus teori yang menarik tentang “orang urakan”: orang-orang yang, seperti Ken Arok dalam sejarah, berada di luar ketertiban hukum, bahkan merupakan antitesis dari ketertiban sebagai ideologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu, para “urakan” justru berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembebasan.

Jika kita ikuti pandangan Rendra selanjutnya, jelas kiranya bahwa pada akhirnya posisi “urakan” baginya lebih penting dan lebih menarik ketimbang posisi sebagai pembela ketertiban. Meskipun ia tak pernah memaki tanah asal sebagai “batu semua!” sebagaimana Rivai Apin, ia tidak pernah tergerak untuk menyakralkan tempat tinggal, rumah, dan negeri asal.

Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tidaklah mesra. Sangat terkenal kata-katanya bahwa kebudayaan Jawa adalah sebuah “kebudayaan kasur tua”: sebuah tempat yang mandek dan hanya enak buat tidur nyenyak. Bagi Rendra, seperti dikutip majalah Tempo pada tahun 1971, banyak orang Jawa sekarang hanya tertarik menghayati masa kini dan kelazimannya “seperti orang yang hanya menunduk ke bumi dan perkembangan pribadinya terganggu”.

TAK dapat dikatakan bahwa dengan demikian Rendra tak menunjukkan ambivalensinya terhadap masa lalu. Ia melihat kebudayaan Jawa yang sekarang dikenal adalah “kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira dimulai abad ke-18 atau akhir abad ke-17″. Dan itu, kata Rendra, “kurang-lebih sama tuanya dengan kebudayaan Amerika Serikat.” Lebih berarti ketimbang itu adalah masa lalu yang lain–yang menurut Rendra dilupakan orang Jawa. Orang Jawa tak tahu bahwa dalam “tembang-tembang kuno ada ajaran yang mengajak kita untuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk mengada”.

Rendra tak menyebut dengan jelas “tembang kuno” mana yang mengajarkan demikian. Ia hanya menyebut kisah Dewa Ruci, kisah tentang Bima yang mencari dan kemudian menemukan “dirinya sendiri”. Agaknya yang penting di sini bukanlah tradisi itu yang jadi soal, tapi kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebudayaan tradisional yang ada, kata Rendra, “individu belum diketemukan.”

Pada tahun 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota New York, dari mana beberapa puisinya yang memukau, yang terkumpul dalam Blues untuk Bonnie, ditulis. Dalam sepucuk surat yang ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia mengatakan, “Perubahan terjadi di dalam saya…. Adapun yang paling memberikan kesan pada kesadaran saya dewasa ini ialah ilmu pengetahuan. Saya merasakan ini sebagai imbangan yang sehat untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya.”

Dari sini pula ia berbicara untuk melaksanakan “firman modernisasi” dan bersuara tentang keharusan orang Indonesia kini untuk “melawan alam”. Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama para kawan dan muridnya di Bengkel Teater Yogya, memperingati Hari Sumpah Pemuda pada tahun 1969. Ia berpidato dengan teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaimana di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan manusia, dan bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang ditentukan perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Individu tak bisa merdeka, katanya, karena seluruh hidupnya hanya merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah melawannya, kata Rendra.

DARI sini tampaklah benang merah yang menghubungkan Rendra dengan pemikiran yang dibawakan oleh para sastrawan pada tahun 1930-an, terutama oleh S. Takdir Alisjahbana, dan kemudian dilanjutkan oleh Soedjatmoko, ketika ia menulis esainya yang terkenal tentang mengapa harus ada konfrontasi dengan faktor-faktor kebudayaan yang menghambat kebudayaan. Dengan Rendra, “firman modernisasi” berlanjut.

Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan oleh Sanusi Pane, seorang penganut theosofi yang memuja masa lalu India, punya sisi gelapnya sendiri. Tak ada yang baru di sini: Max Weber meramalkan bahwa “akal instrumental” yang memacu dunia modern pada akhirnya akan membawa manusia ke dalam “kerangkeng besi”. Mazhab Frankfurt melihat “Pencerahan” yang membawa “firman modernisasi” pada akhirnya membawa penindasan.

Tapi bila Sanusi Pane berangkat dari gambaran tentang Timur yang diidealisasi oleh kaum Orientalis Eropa, dan akhirnya, sebagai konsekuensi sikap “anti-Barat”, penyair Madah Kelana itu memuja semangat Jepang yang fasistis, kaum inteligensia Indonesia yang hidup dalam dasawarsa 1970-an dan 1980-an punya acuan lain–yakni kenyataan yang mencemaskan ketika “firman modernisasi” berlangsung dalam bentuk pembangunan ekonomi yang diterapkan Orde Baru.

Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh oleh Schoemacher, dan Schoemacher yang terpengaruh oleh Buddhisme, berbicara tentang perlunya teknologi madya. Ini juga masa ketika Arief Budiman mengecam dengan mengedepankan teori ketergantungan. Inilah juga masa ketika model pembangunan gaya RRC, yang sosialistis, dipuji-puji; saya ingat bagaimana M. Dawam Rahardjo menyebut Komune Dazhai di Cina sebagai model “baitul amal”. Dan inilah masa ketika Rendra mementaskan karya-karyanya yang kontroversial, Mastodon dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga.

Dalam kedua lakon itu, tampak ada perubahan yang tajam dari seruan “modernisasi” dan “melawan alam” yang ditulisnya pada akhir tahun 1960-an. Saya tidak tahu, adakah perubahan itu mendasar sifatnya dan akan menetap. Dunia sedang bergeser lagi. Semangat teknologi madya yang merupakan semacam Gandhisme baru tampaknya tak bergema lagi, mungkin karena dari ide itu tak ada jawaban bagaimana negeri-negeri miskin akan bertahan menghadapi negeri yang memakai teknologi tinggi. Teori ketergantungan jelas sudah ditinggalkan para teoretikusnya sendiri. Pembangunan sosialis model RRC ternyata gagal, dan Komune Dazhai ternyata proyek mercusuar yang palsu. Cina memasuki dunia pembangunan borjuis dengan gegap-gempita dan mencengangkan dunia.

Rendra belum menjawab pergeseran dunia ini. Tapi ia memberi kita sebuah kearifan yang boleh dibilang inti dari “firman modernisasi” yang sering dilupakan. Kearifan itu tersirat dari kata-katanya: “Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang bertanya pada kehidupan.”

Cerpen Versus Puisi

Alex R. Nainggolan*
http://www.hupelita.com/

SEJAK Seno Gumira Ajidarma membedah melalui gaya penulisan cerpennya, terutam dengan diterbitkannya kumpulan Cerpen “Manusia Kamar”, dunia kepenulisan Prosa Indonesia mengalami metamorfosa yang sangat liar. Remy Novaris DM, dalam salah satu esai menulis kalimat di atas. Saya justru melihatnya dalam dunia prosa ada sebuah perubahan yang berlanjut.

Semacam ada sebuah energi yang mendesaknya untuk melakukan sebuah pembaruan “radikal”. Begitu dashyatnya peta perjalanan prosa Indonesia. Apabila Sutardji berulang kali menafsirkan peta perpuisian Indonesia dianggap sudah mencapai pembaruannya, dengan menuliskan sebuah “Kredo Puisi”, yakni pembebasan sebuah kata dari makna maka tamatlah riwayat perjalanan perpuisian Indonesia.

Apa yang ditempuh para pendahulu di bidang puisi telah mencapai tahapan yang masimal. Permulaan tahun 1945, Chairil Anwar dianggap merombak diksi-diksi yang konon begitu sakral, dan dipercayai Pujangga Baru, sebagai aturan yang tak bisa diubah.

Diksi-diksi puisi yang berirama, semacam a-b-ab, harus diikuti kaidahnya. Dengan gayanya sendiri Chairil tak lagi bisa menerima itu semua. Pendedahan mulai dilakukan, dengan melakukan sebuah pelafalan baru. Mencoret kata-kata yang tak perlu. Meski, jasa penemuan akan kepenyairan Chairil tersebut tidak terlepas dari H.B. Jassin.

Jassinlah yang mempromosikan Chairil, dengan menjelaskan sajak-sajak Chairil, melalui teori sastranya. Peta pembaruan puisi dilanjutkan Sutardji. Penyair “meong” ini melafalkan sajak-sajak mantranya yang abai dari makna. Dalam salah satu esainya Subagio Sastrowardoyo dalam “Pengarang Sebagai Manusia Perbatasan”, menjelaskan puisi-puisi Sutardji masih bermakna, walau kadang terasa janggal.

Simak saja salah satu sajaknya dengan penulisan lirik semacam, “Walau Penyair Besar, alif ba ta ku tak sebatas Allah”. Yang menjadi pertanyaan disini: Adakah Allah mempunyai batas? Lalu, dimana batasannya. Atau dalam, sajak lain semacam “Mesin Kawin”, atau “Kalian”-yang hanya berisi satu lirik ‘pun’.

Untuk sementara, peta perpuisian Indonesia berhenti di tangan Sutardji. Penggebrakan generasi sebelumnya terasa belum banyak berarti. Afrizal Malna yang dianggap lokomotif Angkatan 2000 di bidang puisi, hanya mencari kedalaman kata. Gejala mempengaruhi antargenerasi memang kerap terjadi, dalam bidang apapun.

Bisa dilihat, bagaimana Afrizal yang mengakui dirinya terpengaruh sajak Goenawan Muhammad, di awal kepenyairannya. Hal ini, berbeda dengan dunia Cerpen atau agar lingkupnya lebih luas, saya lebih enak menyebutnya sebagai dunia prosa. Gaya kepenulisan yang disuguhkan senantiasa berbeda.

Berbagai macam gaya penulisan disini, sebut Danarto, dengan gayanya yang berkiblat ke mistis. Dengan penawaran cerpen-cerpen bertemakan Malaikat Jibril. Surealis dari kenyataan yang disuguhkan, membenturkan kaidah logika. Sebab, siapa yang bisa bercakap-cakap dengan Malaikat, ataumenjaringnya.

Realitas

Dunia prosa berlanjut dengan meluaskan diri pada kenyataan persoalan sekitar. Putu Wijaya saya anggap memiliki corak tersendiri. Prosa yang ditulis Putu, bertemakan dunia suram dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Putu bisa dengan jenaka meninabobokan pembacanya, sambil menyiapkan energi untuk menutup prosanya, dengan hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.

Dalam kata pengantar yang ditulis sendiri, Putu selalu bermaksud melakukan teror bagi pembacanya. Bukan hal yang mustahil, jika kenyataan-kenyataan yang ditulisnya begitu abai pada logika. Sebagai contoh, dalam cerpen “Mayat” yang dimuat di Horison, Putu memaparkan bagaimana seongok Mayat yang mati. Tiba-tiba terbangun dan merasa hak “matinya” sebagai mayat telah dicolong penerbitan.

Meskipun, Putu tidak serta-merta menyelesaikan prosanya dengan bahagia. Hal ini, diakui dalam “Blok” semua prosanya dilakukan disela sebagai wartawan saat itu. Regenerasi prosa terus berjalan. Seno dengan gayanya yang baru, menggabungkan gaya penulisan jurnalistik dan sastra. Belakangan, saya menduga, sebenarnya gaya tersebut lama dilakukan Majalah Tempo, sekarang dikembangkan secara lebih nyata lagi dalam Pantau, juga Kalam. Hal ini, barangkali tidak terlepas dari peranan Goenawan Muhammad, sebagai pemimpin redaksi. Corak-corak Seno, seusai menerbitkan “Penembak Misterius”, jelas terlihat. Seno selaku wartawan, menuliskan dengan sudut pandang sebagai penyaksi. Simak saja, novelnya “Jazz, Parfum, dan Insiden”-yang memakai banyak kaidah-kaidah penulisan suatu berita.

Prosa Indonesia senantiasa memdedah sendiri. Tak ada kritik yang sanggup menahan laju pergerakannya. Kritik yang tertulis media massa, semuanya dianggap “gertak-sambal”. Semua penulis tetap dengan gayanya masing-masing. Di era 80-an ke atas, seiring dengan bermunculan sejumlah sastrawan baru, prosa Indonesia, mengalami pergulatan baik mental dan fisiknya. Pengangkatan isu seputar gejala masyarakat urban, keluarga, cinta yang begitu buram maknanya, terlihat nyata.

Sebut saja sejumlah prosa yang ditulis Bre Redana, Agus Noor, Gus Tf Sakai, Joni Aridianta, Teguh Winarsho AS, Yanusa Nugroho, Anton Kurnia, Helvy Tiana Rosa, Kurnia Effendi, Satmoko Budi Santoso, Djenar Mahesa Ayu, Puthut EA, Eka Kurniawan, Jujur Prananto-sekadar menyebut beberapa nama. Prosa kian tumpang-tindih, makin beragam gaya yang bermunculan.

Hal ini, barangkali, disebabkan tidak adanya teori yang menetapkan gaya kepenulisan prosa. Ketika saya membaca karya Djenar Mahesa Ayu, “Wong Asu” (sebenarnya Cerpen ini merupakan tanggapan dari cerpen Seno sebelumnya “Legenda Wong Asu”). Saya melihat tanda-tanda baca dialog antar tokoh yang hanya dibuka dengan tanda “+” dan “-”, tidak sebagaimana lazimnya “”. Keadaan ini mengingatkan saya pada gaya kepenulisan lama, sekitar tahun 50-an, dimana prosa yang berkembang banyak menggunakan tanda baca semacam itu.

Hal ini pula yang selalu berulang, ketika Danarto selalu menuliskan prosanya dengan gaya sufisme. Kemudian, dilanjutkan dengan sebuah prosa dari Agus Noor “Pemburu”, yang menggambarkan, adanya keterpengaruhan bentuk, meskipun secara makna berbeda. Generasi-generasi terbaru di bidang prosa bermunculan.

Batasan yang disebut prosa makin berkesinambungan. Kita bisa menemukan prosa yang benar-benar pendek, hanya satu halaman bila diketik dua spasi. Sapardi Djoko Damono pelopornya, di pertengahan tahun 2001 Sapardi menerbitkan antologi prosa berjudul “Matinya Seorang Pengarang” (Indonesia Tera), dengan lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas.

Menceritakan peristiwa dengan bahasa yang singkat. Bisa juga menemukan prosa yang panjang, bahkan sampai 30 halaman, 100 halaman, bahkan 1.000 halaman. Remy Silado, menulis prosa panjang, mengenai sejarah etnis Cina dalam peta sejarah Indonesia “Cau Bau Kan” (Gramedia). Atau beberapa prosa lainnya yang menggebrak gaya penulisan baru dalam jagat sastra semacam “Saman”, “Larung”, dan “Supernova”.

Puisi jelas berbeda dengan prosa. Puisi dianggap memiliki daya magis. Walaupun puisi yang berkembang saat ini hanya sebatas seni merangkai kata. Selayak yang diucapkan Sutardji di Bentara April 2002, “Jika saat ini puisi bisa bersifat tak abadi. Semacam taik kuda,”. Namun, tingkat yang dicapai puisi, barangkali karena ketuaan usianya.

Puisi dianggap lebih energik dan liar dari prosa. Meskipun, terkadang saya masih gamang membedakan antara prosa yang benar- benar pendek dengan puisi yang juga 1 halaman itu. Puisi sebagai seni olah kata, barangkali, akan tetap mendapatkan tempatnya.

Mengingat usia puisi jauh lebih tua dibandingkan dengan prosa. Puisi begitu sakral dan diagungkan, sebagai mitos. Ucapan-ucapan yang dibentuk dalam sebuah puisi begitu memiliki corak, tentunya dalam kadar sebagai mantra. Penyair merupakan sosok individu sejati yang paling “arrogan” dalam melahirkan sebuah karya. Bila dibandingkan dengan prosa. Walau terkadang, tidak tertutup kemungkinan seorang penyair juga bertindak selaku penulis prosa.

Gus Tf Sakai salah satu contoh, bagaimana penyair dapat bertindak sebagai prosais. Atau sebut Sutardji yang telah meluncurkan antologi cerpennya “Hujan Menulis Ayam” (Indonesia Tera, 2001). Meminjam ucapan Sutardji, tentang kondisi dalam dirinya, apabila dia menulis puisi maka ia akan meliarkan imajinasinya. Sedangkan, bila menulis prosa ia akan mencoba menentramkan imajinasi tersebut.

Di tengah perkembangan dunia prosa kita. Di era berkembangnya kebudayaan secara universal, gaya penulisan prosa cenderung meliarkan imajinasi. Bahkan, meniadakan batasan moralitas yang berkembang di masyarakat. Gaya penulisan prosa mencapai momentum ledakannya yang dashyat, kita bisa menangkap kesemuanya apabila menangkap gaya dari penulis Agus Noor, Indra Tranggono, Triyanto Triwikromo, Oka Rusmini, Ayu Utami, atau sebutlah generasi terbaru yang tengah hadir semacam Djenar Mahesa Ayu, dan Puthut EA. Aroma mistis, persinggungan dari aspek psikologis, begitu kental dan terasa dalam karya kreatifnya.

Prosa Indonesia, boleh melakukan pembaruan maksimal, dengan cara menurutkan sejarah lama, kemudian menggabungkannya dengan suatu hal yang baru. Toh, tidak ada yang bisa mencegahnya. Prosa Indonesia, semacam suatu kebimbangan tersendiri dari penulisnya, yang siap menetas menjadi apa saja, setelah diperam cukup lama. Ia bisa serius, bercanda, atau main-main.

*) Alex R. Anggota Komunitas Sastra Pelangi.

Perpuisian Yogyakarta di Era Transisi

Abdul Wachid B.S.
http://www.mathorisliterature.blogspot.com/

1. Pengantar : Persada Studi Klub, Era Transisi, Perpuisian Yogya 1980-an

Pengertian “di era transisi” sangatlah sosiologis, yakni masa peralihan, pancaroba. Namun, peralihan dari apa ke apa, dan dalam konteks apa? Dalam konteks kebudayaan pengertian “transisi” sangatlah kompleks. Dalam konteks politik, boleh jadi, hal itu dikaitkan dengan pergantian rejim dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan berakhir dengan Pemilu yang di sepanjang sejarah Indonesia paling demokratis yaitu dengan terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke-4.

“Transisi” dalam konteks kesusastraan dapat dibaca sebagai berikut:

(1) Suatu masa di mana sastra “terus mencoba budaya tanding”, [1] baik melalui pengungkapan yang paling keras yaitu berposisi berhadapan langsung dengan negara, maupun menjelmakan “budaya tanding” itu melalui estetisme, dan semua ini berlangsung sebelum Reformasi Mei 1998. Yang pertama, berakhir dengan pembredelan dan pencekalan; yang kedua, ada campur-tangan kekuasaan terhadap arah kesusastraan, dengan alasan agar tidak mengganggu “stabilitas nasional”, di antaranya mengontrol media-massa sebagai publikasi kesusastraan di bawah Departemen Penerangan;

(2) Sejak tanggal 21 Mei 1998 merupakan momen jatuhnya rejim Soeharto; dan setelahnya yaitu euforia sebab secara lahir-batin terbebas dari cengkeraman rejim Soeharto, dan karenanya posisi sastra yang semula dimarginalkan menjadi mengalami kenduri keterbukaan. Kemudian, euphoria yang berlebihan itu memunculkan realitas sosial yang kacau akibat “perang saudara” di Aceh, Maluku, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan ternyata kekerasan tak kunjung usai.

Saya bukan sosiolog, juga bukan pengamat politik, dan karenanya mendiskripsikan tahun masa transisi itu akan menjadi terlampau spekulatif.

Problem lain, jika disebut sebagai “sastra Yogya”, maka akan memunculkan makna yang polyinterpretable. Hal itu antara lain dapat dimaknakan sebagai “sastra yang bernuansa ke-Yogya-an”. Sastra yang demikian telah surut ditulis oleh sastrawan dari komunitas Persada Studi Klub (PSK) sekalipun kita masih menjumpainya yang berhasil pada perpuisian Fauzi Absal dan Iman Budi Santosa.

Baiklah, “sastra Yogya” itu kita maknakan sebagai “yang ditulis oleh sastrawan yang bertempat-tinggal di Yogya, yang sebab suatu hal masih punya hubungan dengan Yogya, dan dalam artikel ini pun masih ditawar pemaknaannya yakni yang berhubungan dengan “era transisi” tadi.

Kepenyairan Yogya yang muncul pada dekade 1980-an diuntungkan oleh keberadaan “rejim sastra” PSK itu, yang melahirkan dominasi kesastraan Iman Budi Santosa, kesastraan Linus Suryadi A.G., dan kesastraan Emha Ainun Nadjib.

Jalur kesastraan Iman Budi Santosa menguat dalam perpuisian Fauzi Absal dan Bambang Widiatmoko yakni dengan mentradisikan lirisisme murni yang ketat, serupa disiplinnya diksi-diksi Chairil Anwar yang dikembangkan oleh perpuisian Toto Sudarto Bachtiar, lalu perpuisian Subagio Sastrowardoyo. Jalur tersebut dikembangkan oleh Iman Budi Santosa dengan berhasil. Pada pengembangannya, Iman Budi Santosa memasukkan pikiran hidup Jawa-Mataram di dalam perpuisiannya. Pada aspek kebahasaannya diwarnai oleh perhitungan kata-kata yang njlimet, namun setiap ungkapan lebih diposisikan sebagai wakil dari pikiran sekalipun menyebut latar (set) namun set hanyalah wakil dari pikiran. Fenomena perpuisian yang demikian, saya menyebutnya sebagai “sajak yang menyatakan”. Di samping itu, perpuisiannya diwarnai oleh permainan enjabemen kalimat untuk menggandakan makna. Saya seringkali baru mendapatkan makna puisi Iman Budi Santosa secara utuh setelah saya mendengarkan dia membacakan sajaknya sebab dengan begitu dia melakukan satu pemaknaan saja terhadap sekian kemungkinan pemaknaan akibat dari enjabemen tersebut. Fenomena perpuisian Iman Budi Santosa yang demikian dapat kita jumpai pada buku puisinya Dunia Semata Wayang (1996),[2] dan belakangan juga pada buku puisinya Matahari-matahari Kecil (2004).[3]

Pada perpuisian Linus Suryadi A.G., yang menonjol ialah keketatan diksi itu dia baurkan dengan merevitalisasi parikan dan pantun ke dalam lirisisme puisinya, dengan latar (set) dan simbol dan pikiran yang diambil dari dunia pewayangan dan Nasrani. Membaca irama sajak Linus, seringkali saya teringat kepada irama sajak Sitor Situmorang, sajak “Lagu Gadis Itali”,[4] di samping sajak lain dalam buku Dalam Sajak. Tetapi, pikiran Jawa-Mataram-lah yang menjadi uniknya perpuisian Linus Suryadi A.G., terutama pada prosa-liris Pengakuan Pariyem,[5] dan Tirta Kamandanu [6] sehingga perpuisiannya menjadi khas.

Sebenarnya antara perpuisian Umbu Landu Paranggi, Linus Suryadi A.G., dan iman Budi Santosa, ada kekerabatan estetik sebagai penyair yang hidup dalam tradisi kesastraan PSK, terutama dalam menyikapi kata-kata secara ketat. Permainan irama sajak akibat keketatan itu sebagaimana yang kemudian dominan dalam perpuisian Linus Suryadi A.G. yakni nafas pantun atau parikan, namun hal demikian tidak terjadi pada perpuisian Iman Budi Santosa dan Umbu Landu Paranggi.

Sebuah pengecualian pada perpuisian Emha Ainun Nadjib yang kemudian menggali tema-tema religius Islam, disertai oleh narasi-narasi religiusnya. Hal ini dilakukan setelah Emha melakukan eksperimentasi dari hasil kemuakannya terhadap tradisi lirisisme Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. (sajak Emha di awal 1970-an dalam antologi Gendrang Kurusetra masih mirip perpuisian Goenawan Mohamad). Eksperimentasi Emha tersebut mengarah kepada protes sosial, sebagaimana dalam buku puisi M Frustasi, dan sajaknya yang lain pada periode sebelum buku puisi 99 Untuk Tuhanku. [7]

Kepenyairan Yogya yang lahir pada dekade 1980-an diuntungkan oleh eksistensi mereka tersebut yang menjadi patron kepenyairan Yogya pada masa itu. Pada masa itu media-massa (Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Berita Nasional) di setiap rubrik sastranya selalu memunculkan karya sang Patron tadi. Oleh karenanya, sosialisasi puisi penyair seperti Mustofa W. Hayim, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah el-Khalieqy, Mathori A.Elwa, Hamdy Salad, Otto Sukatno Cr, Ulfatin Ch., Santosa Warna Atmaja, Adi Wicaksono, dan beberapa penyair dekade itu, menjadi ter-cancel dan sulit. Sekalipun hal demikian dapat dipandang wajar dalam arus informasi, bahwa yang terlanjur mempunyai nilai berita akan terus menjadi head-line. Sementara itu, di Jakarta, terutama di Koran Berita Buana yang diredakturi oleh Abdul Hadi W.M., pada saat itu lebih memberi peluang bagi pemuatan karya penyair muda tadi, di samping sebab Abdul Hadi W.M. sedang mengobarkan trend sufisme (lihat jejaknya dalam buku puisi Forum Puisi Indonesia’87, jilid 1-3). [8] Namun, saat itu sebab standar kepenyairan diukur oleh “panggilan pusat” Jakarta, karenanya kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru dimulai dari pusat Indonesia itu.

Sebab mereka memulai dari Jakarta, maka langsung maupun tidak, isu pemikiran dan gaya ungkap sajak kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru dimulai dari mainstream pusat, seperti halnya penawaran wacana sufisme, wacana histeria akibat tekanan sosial disebabkan pemiskinan ekonomi, juga surealisme kebahasaan sajak yang menjadi strategi akibat represivitas negara. Jadi, kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru menjadi lepas dari tradisi kesastraan PSK. Konklusi demikian sebab eksistensi PSK dapat diposisikan dan dipersepsikan sebagai tradisi estetika dan pemikiran yang khas.

Sekalipun banyak faktor yang mengakibatkan dominannya pemikiran dan gaya perpuisian seseorang atau kelompok diikuti oleh jamannya atau setelahnya, namun dalam sosialisasi sastra Indonesia bahwa peran koran dan majalah amatlah vital. Oleh karenanya, pemuatan karya sastra penyair Yogya yang menguat pada dekade 1980-an di media-massa Jakarta pada saat itu, jelas mewarnai perkembangan perpuisian mereka selanjutnya.

2. “Yang Maha Syahwat”, dan Dekonstrusi Formalisme Agama : (Refleksi atas Perpuisian Mathori A. Elwa)

Di sepanjang 1980-an, militerisme rejim Soeharto melalui tentakelnya mengatasnamakan “stabilitas nasional” atau ancaman hantu komunisme, sampai juga di Yogya, seperti melakukan pencekalan pementasan drama (Rendra di tahun 1975), penahanan terhadap seorang siswa Madarasah Aliyah Negeri sebab membacakan sajak (M. Nasruddin Anshory Ch, di awal 1980-an), dan banyak lagi kasus serupa. Lucien Goldmann benar bahwa karya sastra bukanlah struktur statis, melainkan produk sejarah, strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakatnya. [9] Apalagi dalam masyarakat yang bawah-sadar budayanya belum kering dari budaya lisan seperti Indonesia, di mana romantisme memposisikan seni (sastra) memiliki peran penting lantaran diyakini memiliki daya tafsir terhadap perilaku social, yakni dengan menawarkan keindahan spiritualitas. Keyakinan demikian tidak saja tersimpan dalam memori bawah-sadar budaya masyarakat, melainkan pada diri sastrawan sebagai bagian dari masyarakat lisan.

Karena itu, tatkala hidup dalam masyarakat mengalami pergeseran nilai, dari keyakinan hidup yang bereferensi kepada pertimbangan religiositas, menuju kepada keyakinan baru yang ditumbuhkan oleh negara, misalnya peribadatan adalah perkara individual, atau bahwa kita dapat beribadah setelah problem ekonomi selesai; semua itu dapat dipulangkan kepada keyakinan yang ditumbuhkan oleh negara bahwa “pembangunan ekonomi adalah urgen”. Tentu saja, perlawanan terhadap ideologi demikian, tumbuh di kalangan terdidik-sadar seperti sastrawan. Karenanya, sastrawan merepresentasikan histeria kehidupan yang dinilainya telah kehilangan dimensi kemanusiaannya: “semrawutnya” jalan raya memunculkan histeria. Salah satu penyair yang banyak menuliskan histeria jalan raya itu ialah Mathori A. Elwa dalam buku puisinya, Yang Maha Syahwat, berikut ini. [10]

Jalan Raya Pecah

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada lagi manusia di mataku
tak ada
hanya mayat yang kujumpai
kemanusiaan yang dibungkus tubuhmu
kemanusiaan yang terpendam
kemanusiaan yang terkubur di jalan-jalan

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada suara di hatiku tak ada
hanya desing mobil yang kaulambaikan
tafakur kegaduhan
dzikir keterasingan

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada lagi manusia
tak ada
hanya binatang saling menelan
kemanusiaan melata
menjilat-jilat
menganga

Sajak Mathori A. Elwa tersebut bukanlah sajaknya yang terbaik, setidaknya kita bisa merasakan denyutnya melakukan presentasi melawan arus hedonisme di tengah budaya masyarakat transisi, antara mempertahankan tradisi, dan menerima modernisme mentah-mentah.

Perlawanannya bukanlah vis-à-vis bahwa ada yang salah dalam strategi berkebudayaan yang dimainkan oleh negara sebagai lembaga yang memberi rasa aman lahir-batin terhadap rakyatnya. Namun, sebab demi menggembosi peran agama dalam tata hidup bernegara, agama telah direduksi paradigma sosialnya, seperti adanya jargon “Islam Yes, Partai Islam No!”.

Sekulerisasi antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial itu berefek kepada penanggalan “baju agama”, ditinggalkannya ruh agama, seperti merebaknya “Bupati” (buka paha tinggi-tinggi) dan “Sekwilda” (sekitar wilayah dada), yang berkibar di mana-mana tanpa “BH” (ungkapan Faruk HT). Sebagai “Orang Laut” (judul sajak Elwa), yang menatap senjakala kebudayaan serupa itu, ia histeria, sampai pada klaim, ‘/ tak ada lagi manusia di mataku/tak ada/ hanya mayat yang kujumpai/ kemanusiaan yang dibungkus tubuhmu/’.’

Pada sajak awal Elwa, aku-lirik memang mengalami histeria, dengan bereferensi kepada “ingatan teologis” (terimakasih Adi Wicaksono atas istilah ini) [11] melakukan jarak hitam-putih, seolah “agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku.” Dalam begitu, Elwa melakukan politik-identitas yakni merekonstruksi wajah ke-Diri-an dengan berulangkali mencitrakan siapakah “Mathori A. Elwa” yang sebenarnya, ‘//bercermin lautan bening/ wajah buram dan pangling/ kucukil mata saja/ : membuat dunia baru’ (sajak “Mathori A. Elwa, 1) [12] sebab mengakrabi “dunia-jalan-raya”, ia akan bias, dan karenanya, jalan yang aman ialah pulang kepada “Horizon” agar dapat ‘/kumaknai peta-peta/ : aku memanggil-manggil duniamu//’ (sajak “Horizon”).[13]

Perkembangan pemikiran terhadap perubahan sosial dalam sajak Elwa bukanlah sebagaimana yang dicontohkan itu yang dominan. Elwa sekalipun banyak bertumpu kepada “ingatan teologis”, justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan kaum formalis agama di satu sisi, dan di sisi lain ia mengkritik kaum yang sok medernis yang mengikut saja kepada arus modernisme. Basis teologis Elwa justru diperlukan, dan ia menguasai ihwal itu mulai dari tataran simbolik sampai praksis. Sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan yang dilakukan oleh pemeluk formalis terhadap agama, melalui strategi kebahasaan sajaknya yang parodis, ironis, humor, menjadi dapat dicairkan. Semuanya itu dapat dilakukannya di dalam sajak, secara aman, tanpa menyinggung kaum formalis agama maupun hedonis sebab cara pandang Elwa dilakukannya dengan cara melebur tirai itu. Ia memusatkan kritik terhadap perubahan sosial yang hedonisme, baik perilaku maupun sekadar wacana, sekali lagi di dalam sajaknya berpusat kepada aku-lirik (bisa dibaca : diri penyair). Fenomena inilah yang akhirnya dominan di dalam pemikiran perpuisian Elwa.

Tipikal hal tersebut ia tampilkan di dalam sajak “Yang Maha Syahwat”, yang menjadi judul buku puisinya. Sepanjang kepenyairannya, puisi dipilih dan dikumpulkan di dalam buku ini. Elwa tidak lagi mengambil jarak ontologis, ia justru “masuk” ke dalam dunia yang-maha-syahwat itu, dengan mengidentifikasi sebagai “pengembara abadi”, (setan), yang maha mengagumi dirinya sendiri:[14]

1
aku seorang pengembara atau pertapa
kubiarkan dirimu menentukan jalan sendiri
dan tunggulah suatu saat
bahwa bulan bersinar karena aku
matahari terbenam karena aku


14
tangis dan doamu hanyalah musik dangdut
segala langkah dan rencana-rencana
adalah tarian hula-hoop para pelacur


19
wahai diriku yang berotak cemerlang
jangan hanya kekerasan
ciptakanlah pengangguran besar-besaran
di dalam filsafatku tak ada musuh atau sekutu
semua adalah musuh atau sekutu

20
karena kebaikan yang busuk inilah
dunia menjadi lain dan melesat jauh
semua naik pesawat-yang-akan-datang
atau sekarat sekalian
selebihnya tertinggal sebagai debu
dan gurem-gurem
sementara aku yang mengajari tepuk tangan
akan tetap sebagai psikopat yang maha
syahwat
di menara-menara
lembah-lembah
dan rawa-rawa
manusia

Dengan mengidentifikasi sebagai “yang maha syahwat”, ia berleluasa melakukan otokritik terhadap formalis agama sekaligus menampilkan efek dari berhala modernisme kepada Sysiphus sejati. Personifikasi akan nilai manusia agung sebagai skenario ideal dari Yang Maha Berkehendak, dihancurkannya sebab kehendak itu sendiri ditarik ke dalam “aku”. Di saat itulah arogansi apa saja menjadi sah, termasuk untuk menciptakan, ‘jangan hanya kekerasan/ ciptakanlah pengangguran besar-besaran/ di dalam filsafatku tak ada musuh atau sekutu/ semua adalah musuh atau sekutu.’

Hampir di setiap sajak Elwa menciptakan ironi dengan bahasa komunikatif serupa sajak “Yang Maha Syahwat” itu. Ironi sebab ia mencitra-dirikan kepada persona dunia yang secara ideal tidak diterima oleh masyarakatnya, namun dunia serupa itu hidup di sekeliling kita, bahkan melekat kepada kita : ego tahta, harta, juga wanita. Dari situlah justru ada tumbukan makna, karenanya bahasa puisi Elwa sekalipun cukup “terang” jika pembaca terbiasa dengan simbol dari referensi teologis, maka Elwa cuma sebatas mengusik acuan makna baku dari pandangan dunia itu. Bagaimanapun, pembaca yang mengenal referensi baik-buruk akan tidak terima, karenanya memunculkan penawaran wacana, justru di situlah bahasa sajak Elwa menjadi “puisi”.

Adakah yang salah pada “puisi dengan ingatan teologis sebagai wacana, yang ditampilkan melalui citra sosial dan individual manusia yang hidup berdampingan di antara dunia simbol dan keseharian” serupa sajak Elwa?

Perpuisian Elwa menjadi fenomena langka dalam perpuisian Yogya, mungkin juga Indonesia sebab Elwa mengukuhkan barisan pengucapan puisi yang tidak punya pengikut. Saya piker sulit menjadi pengikut Elwa dalam bersajak, sama sulitnya menjadi pengikut perpuisian Kuntowijoyo, atau Sutardji Calzoum Bachri (terutama pada O Amuk Kapak).[15] Hal itu sebab pohon yang ditancapkan dalam perpuisiannya terlampau sulit dipanjat oleh orang lain, tentu jika tidak ingin terpeleset dan jatuh dicap sebagai epigon total. Lain halnya dengan “jalur besar” yang banyak diikuti perpuisian Indonesia, Chairil Anwar dalam lirisisme-ekspresionisme, atau Goenawan Mohamad dalam lirisisme-imajisme, dan balada atau sajak pamplet Rendra (juga Taufiq Ismail), atau fenomena mutakhir ialah surealisme-estetis (Afrizal Malna). Ibarat rumah, masih banyak pintu untuk memasuki perpuisian model jalur itu, lalu keluar dengan “mencuri” sesuatu, dan sebagai ahli kimia kata-kata mencampur ini dan itu menjadi zat lain, lalu berkata, “Ini puisi inavatif lho! Puisi saya!

Tentu saja, tak ada yang kurang dengan penampilan bahasa Elwa yang demikian, “ingatan teologis” itu tergantung kepada bagaimana membahasakan di dalam puisi. Bukankah justru pengalaman religius yang sebenarnya tanbahasa itu menjadi terbahasakan lantaran refleksi analogis? (Ingat, tradisi ritus para sufi dengan bahasa sajak). Hal itu sebab formula bahasa yang membersihkan kompleksnya ide, emosi, bawah-sadar, bukanlah menutup kemungkinan suatu pengalaman menjadi verbal. Banyak pengalaman yang terang, ternyata tetap menjadi suatu yang menggetarkan sukma, dan terus-menerus kita menikmatinya dengan kesan dan makna yang selalu baru, seperti menyatunya suami dengan istri.

Dengan begitu, puisi Elwa berdiri di antara bahasa-yang-menampilkan dan bahasa-yang-menyatakan problem eksistensial dan sosialnya dengan caranya sendiri : bahasa puisi merespon gempita bahasa massa, metafora implisit yang dihiperbolikkan dengan mampertautkan antara dunia makna (yang bereferensi pada “ingatan teologis”) dan dunia keseharian. Memang, ada nafas surealistiknya, tetapi bukan pencitraan dunia bawah-sadar itu sendiri yang dipentingkan Elwa, melainkan hanya sebatas formula. Pikiran aku-lirik masuk kepada realitas maupun pikiran masyarakatnya yang dipersoalkan itu dengan strategi politik-peleburan. Dengan begitu, pikiran yang ditampilkan ke dalam bahasa sajak membuka ruang perdebatan makna. Manusia menemui surga dan nerakanya sendiri tanpa seretan tangan lain, tinggal posisi dan presisinya tatkala nyemplung di dalam arus massa.

3. “Reportase yang Menakutkan” Mustofa W. Hasyim

Puisi Mustofa W. Hasyim (Reportase yang Menakutkan)[16] terasa lain tatkala memposisikan identifikasi aku-lirik maupun aku-publik di dalam sajaknya sekalipun ada psikologis yang sama bila dibandingkan, misalnya, dengan puisi Mathori A. Elwa (Yang Maha Syahwat, 1997), yaitu psikologisnya orang kalah, psikologisnya rakyat banyak di sepanjang rejim Soeharto, terutama tatkala gerakan mahasiswa selalu berakhir dengan penjara. Kejiwaan tertindas itu mendorong pencarian pegangan kepada spiritualisme-religi maupun non-religi. Mustofa W. Hayim membangkitkan kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”, dengan menyublimasi kekerasan sosial itu ke dalam sajak-berkisah (memakai pencerita orang-pertama), ataupun balada (memakai pencerita orang-ketiga).

Karena Mustofa W. Hasyim memilih berkisah, konsekuensinya bahasa yang dipilih komunikatif dengan fakta sosial yang terfiksikan, sebagaimana sajak yang amat mewakili perpuisian Mustofa W. Hasyim pada dekade menjelang jatuhnya rejim Soeharto, yang diambil dari buku Reportase yang Menakutkan, berikut ini.[17]
Buruh yang Amat Sabar

Seorang buruh yang sabar selalu tersenyum
meski upahnya selalu dikurangi
tiap bulan. Ia bersyukur
bisa mengisi hari-harinya
dengan kerja.

Suatu hari upahnya menyusut
sampai ke angka nol
ia pun mengangguk pasrah
tanpa niat protes sedikitpun.

“Bulan depan ganti kau
yang membayar aku,”
kata majikannya garang.
“Baik. Insya Allah kubayar,” jawabnya.

Ia pulang dengan langkah segar
tapi istri dan mertuanya marah
“Masak kerja sebulan
tidak mendapat upah,” hardik mereka.

Hari berikutnya ia tetap bekerja
lebih rajin dibanding temannya
ia pun menyukai lembur
menggantikan temannya yang sakit.

Di awal bulan ia tidak mendapat upah
justru ia yang membayar majikannya.
“Bagus. Darimana kaudapat uang ini?”
“Dari berhutang tetangga.”

Sampai rumah kembali
istri, mertua dan anak-anaknya
marah sambil menangis
“Tuhan, kenapa kauturunkan juga
lelaki tolol seperti ini,” keluh istrinya.

Ia tersenyum, tapi kaget
waktu terdengar letusan
dan asap menggumpal
diikuti api yang berkobar.

“Pabrik tempatmu bekerja terbakar,” kata orang-orang.
Ia termenung. Heran campur pedih
“Aku selalu mengampuni majikanku
dan mendoakan agar selamat. Tapi Tuhan
ternyata berkehendak lain,” bisiknya.

Kapitalisme semu memposisikan pemilik modal yang menguasai alat produksi bebas menentukan aturan main proses produksi sebab hak-hak buruh tidak terlindungi oleh Undang-undang secara manusiawi, hal ini terjadi di Indonesia. Bahkan, tidak hanya hubungan buruh dan pengusaha, juga hubungan guru dan lembaga pendidikannya, dosen dan universitasnya. Sebagai contoh, di Purwokerto di sebuah perguruan tinggi swasta, bahkan ada perjanjian kerja demikian :

“Masa kerja minimal 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Apabila mengundurkan diri sebelum masa kerja berakhir, maka bersedia mengembalikan seluruh jumlah gaji dan honor dosen yang telah diterimakan sejak diangkat sebagai dosen.” [18]

Hal tersebut jelas merampas Hak Asasi Manusia (dalam Deklarasi HAM, pasal 23); dan tidak sesuai dengan rincian jenis pekerjaan yang boleh dikontrakkan (guru/dosen, tidak dalam kategori itu); di samping itu, masa kontrak kerja semestinya maksimal 2 tahun (sesuai dengan Undang-undang Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, 1986); apalagi ditinjau dari perspektif hadis, “Beri upah buruhmu sebelum kering keringatnya.”

Dalam sajak tersebut, Mustofa W. Hasyim mengadakan protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan majikan kepada buruh. Tetapi, protes Mustofa juga secara tidak langsung, ia tidak misalkan memprotes bahwa upah minimum regional di Yogya teramat rendah dibanding propinsi lain, atau tiadanya Undang-undang yang memberi perlindungan terhadap hak sosial-politik buruh, atau mandulnya Serikat Pekerja yang selama rejim Orde Baru hanya dijadikan kendaraan politik oleh para elitnya di bawah Golongan Karya (Golkar).

Dengan gaya sajak berkisah sekalipun banyak juga sajak Mustofa yang kemudian lebih pendek-pendek, namun gaya pengisahan itu dominan, dan karena ia berkisah, maka sajaknya tidak hanya menampilkan problem sosial itu dalam solilokui aku-lirik atau persona lain. Persona lain dalam sajaknya dengan menampilkan peristiwa itu, di sana-sini juga menyatakan sikapnya. Sikap yang bagaimana? Persona yang dibangun ialah perlawanan orang kalah, yang sembunyi di balik jubah spiritualisme sebab bagaimanapun masih ada Tuhan yang Maha Adil yang akan mengadili ketidakadilan itu (bait terakhir sajak tersebut mempresentasikan hal itu). Kekuatan semacam itu memang eksis, apalagi tatkala tangan dan mulut dibungkam, sebagaimana kisah yang menjadi pemeo perlawanan di Ethiopia di bawah cengkeraman tuan-tuan tanah Prancis : saat terjadi inspeksi terhadap perkebunan, orang berjajar di pinggir jalan. Si Tuan bule dengan cerutunya lewat. Orang-orang menunduk sembari memegang lututnya. Mereka marah atas kesewenangan itu. Namun, mereka tidak berdaya. Apa yang mereka lakukan? Di antara mereka ada yang sengaja mengentut keras-keras…… Gaya seperti itulah perlawanan Mustofa, dan hal itu sah-sah saja.

Sebagai penyair yang dibesarkan dalam kultur Jawa-Mataram, Mustofa tidak memilih perspektif untuk menjadi ruang dan waktu bagi setting puisinya, ia hanya menempatkan hal itu sebagai latar (set), selebihnya ideologi puisi merefensikan diri kepada religiositas (Islam), semacam : ingatkan dengan tanganmu, mulutmu, jika tak mampu, maka berdoalah. Namun, sebab atmosfer kultur yang ia hadirkan dunia wong cilik Jawa, karenanya, dalam menghadapi ketakberdayaan nasib, ia mendekati masalah itu dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu tertawa getir dalam kepahitan : ‘Aku melihat mayat tersayat-sayat/ di sekujur tubuhnya/ menggigil. “Aku telah diperkosa/ dan telah membalas dendam,” katanya/ lalu diam.’ (”Reportase yang Menakutkan”)[19]; ‘Benar. Kambing itu melahirkan bayi/ dan sejak itu kisah cinta Anisah/ tidak pernah dipercakapkan lagi.’ (”Matarantai Cinta yang Ruwet”) [20], dan banyak lagi contoh sikap serupa itu dalam sajak Mustofa, yang membuat kita membacanya “geli” sekaligus getir.

Namun, pasca reformasi sajak Mustofa W. Hasyim menjadi singkat-singkat, pencitraan realitas dan problem sosial yang kerap juga “dinyatakan” menjadi sangat dihematkan sehingga “hanya” memberi sugesti-sugesti. Mustofa W. Hasyim sekalipun menulis sejak dekade 1970-an, namun menurut saya kurang berhasil sebab masih dibayang-bayangi oleh tradisi Persada Studi Klub yakni dengan berorientasi kepada hidup kejawaan, yang tidak sematang pemikiran Linus Suryadi A.G. Kemudian, ia keluar dari mainstream itu, dan berhasil pada buku puisi Reportase yang Menakutkan, juga buku puisi Zaman yang Beracun. [21]

4. “Celana” dalam Surealistisnya Joko Pinurbo

Di dalam buku puisi Celana [22] karya Joko Pinurbo, problem sosial masyarakat transisi disublimasi ke tingkat supralogis pemikiran sajak, maupun imaji, yang ia bangun dari peristiwa keseharian ke dunia simbolik, sebagaimana sajak berikut ini. [23]

Kisah Seorang Nyumin

Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap dan gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.
Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
- Sebutkan nama partaimu.
- Saya tak punya partai dan tak butuh partai.
- Lalu apa yang masih ingin kau lakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?
- Diam itu yang saya inginkan.
- Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.
Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
Menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak, “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap sesungguhnya.

‘Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar,’ demikian tulis Pinurbo, tetapi ‘Nyumin terus bicara’ sekalipun ‘Suasana serasa senyap sesungguhnya’. Sepertinya paradoks, bagaimana mungkin demonstrasi kata-kata telah bubar, namun demonstran masih dapat bersorak? Tetapi tidak, sebab Pinurbo memanggil suprarealitas itu sebagai jalan mengatasi realitas (sosial)-nya yang gagal dalam menyuarakan kata. Apakah dengan begitu dunia yang dibangun sajak Pinurbo merupakan dunia surealis? Saya sepakat dengan Sapardi Djoko Damono, dunia Pinurbo memang surealis. Ia merekonstruksi realitas sosialnya yang kalah kepada dataran kemenangan secara makna, sebagaimana demonstran di luar sajak yang sesungguhnya telah disenyapkan oleh senjata, namun dalam sajak demo itu terus berlangsung menjadi makna. Pertikaian untuk “memerdekakan kata” sekalipun demokrasi baru dalam wacana saat itu terus berlangsung.

Kata, memang vital bagi upaya “mengatasi” : kebudayaan, dan surga. Tetapi, kata itulah yang menjadikan sebuah rejim jengah, dan perlu selalu waspada, karenanya setiap mereka yang punya kata musti dicurigai, ‘//Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua yang akan/ Saudara rampas dan musnahkan : kata-kata suara-suara/ atau apa saja yang Saudara takuti tapi sebenarnya/ tidak saya miliki.’ (Sajak “Malam Pembredelan”).[24] Peristiwa semacam ini menyeruak tatkala di tengah 1980-an gerakan mahasiswa menguatkan formulasinya kepada pemihakan nasib wong cilik, seperti kasus Kedung Ombo atau Nipah, dan rejim Soeharto buru-buru keras mengikisnya. Pinurbo dalam Celana sangat menyadari posisi dan fungsi kata-kata itu di tengah represivitas, kerap ia di tengah tampilan peristiwa yang ia bangun, menyatakan semacam ini : ‘Kata-kata adalah kupu-kupu yang/ berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna,/ adalah warna-warna yang berebut cahaya, adalah cahaya yang/ berebut cakrawala, adalah cakrawala yang berebut saya.’

Yang menjadikan puisi Pinurbo punya nuansa bahasa dan pemikiran yang khas di tengah ‘Pasukan disiagakan dan/ diperintahkan untuk memblokadir setiap jalan. Semua mendadak/ panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika/’ (sajak “Patroli”) [25] sehingga memunculkan bangunan sajak pasemon atau lebih menyeruak lagi memunculkan bahasa surealis, menurut pengamatan saya, hal itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.

(1) Puisi Pinurbo mempresentasikan komunikasi terhadap realitas sosialnya dengan memasuki secara langsung peristiwa sosial itu. Ia mengisahkannya tidak secara telanjang terhadap latar (set) dan peristiwa. Narator membangun suasana, setting, peristiwa itu kepada visi person-nya. Setidaknya ini dapat dicermati dalam sajak : “Poster Setengah Telanjang”, “Kisah Seorang Nyumin”, “Kisah Senja”, “Bayi dalam Kulkas”, “Malam pembredelan”, “Kisah Semalam”, “Gambar Porno di Tembok kota”, “Boneka dalam Celana”, dan semacamnya.

(2) Dan, karena gaya pengisahan mendominankan visi narator, maka ungkapan-ungkapan liris itu tak terhindarkan dan cenderung disengaja, yang menjadikannya berbeda dengan sajak balada yang cenderung membiarkan peristiwa telanjang sebagaimana puisi Rendra. Kita menjumpai begitu banyak harmoninya persajakan dalam puisi Pinurbo, ungkapan serupa ini misalnya sajak “Kisah Semalam”: [26]

Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kau berikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu,
“Minggat saja kau banjingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.”
…….

(3) Setiap bangunan kata yang membawa makna bersebarangan dengan ideologi negara terhadap realitas, sejak peristiwa Malari, dimaknakan ancaman oleh dan terhadap negara. Karenanya, kata menjadi medan perebutan makna. Kesadaran semacam ini cukup kuat pada pemikiran puisi Pinurbo, dan ia tak ingin mengikut arus umumnya puisi dekade 1980-an yang membangun pecahan-pecahan imaji seperti ‘orang-orang terbaring dalam tubuhnya sendiri, dada. tak ada yang berjalan. anjing terbaring dalam lolongannya sendiri. kota juga terbaring dalam dinding-dinding beton yang dingin, dada’ (Sajak”Dada”, Abad yang Berlari, 1984, Afrizal Malna).[27]

Pinurbo justru membangun pecahan-pecahan “ideologi rakyat banyak” itu, dengan memfiksikan fakta sehingga sifat kefaktualannya sublim. Realitas (sosial)-nya itu ia tundukkan di dalam puisi menjadi kemenangan makna, keyakinan, dan spiritualisme. Tidak lagi dengan jalan mencitrakan pecahan-pecahan ideologis yang kalah itu sendiri sebagaimana yang dilakukan Afrizal Malna, juga Hamdy Salad, melainkan membiarkan kisah itu kembali hidup di dalam sajak. Tidak juga dengan mengambil jalan ironi sehingga getir sebagaimana puisi Mustofa W. Hasyim, melainkan menyiasati keterpurukan, ketertindasan itu dengan mencari basis lain yakni dunia makna dengan perlambang, yang sebagiannya dapat dicari referensinya kepada ingatan-teologis, sebagiannya kepada humanisme universal. Contoh yang paling asyik, tentang “kata” yang diperebutkan versi maknanya antara negara yang disimbolkan dengan ‘Patroli’ berhadapan dengan ‘demonstran’ yang dalam sajak berikut ini diposisikan sama dengan ‘penyair’. [28]
Patroli

Iringan-iringan panser mondar-mandir di jalur rawan
di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap
komandan melihat kelebat seorang demonstran yang gerak-
geriknya dianggap mencurigakan. Pasukan disiagakan dan
diperintahkan untuk memblokir setiap jalan. Semua mendadak
panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika.
Komandan berteriak, “Kalian sembunyikan di mana penyair
kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru
diasahnya sangat tajam dan berbahaya.” Seorang peronda
memberanikan diri angkat bicara, “Dia sakit perut komandan,
lantas terbirit-birit ke dalam kakus. Mungkin dia lagi
bikin aksi di sana. “ “Sialan!” umpat komandan geram sekali,
lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli.
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul
dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,”
katanya. Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak
bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula. Di kejauhan
terdengar letusan, api sedang melalap dan menghanguskan
mayat-mayat korban.

(4) Dengan basis semacam itu, Pinurbo pun berleluasa melakukan eksperimentasi ungkapan, imaji yang liar, bahasa keseharian namun tak kehilangan kelirisannya. Dengan basis dunia makna melalui perlambang itu, ia juga melakukan penjungkirbalikan perlambang setelah diskripsi kisah yang dibangunnya, dan di sinilah letak kesurealistisan puisi Pinurbo sehingga menimbulkan parodi-parodi, dan kita ngakak dibuatnya, contohnya dalam sajak “Celana (3)”, tatkala seorang lelaki yang telah mendapatkan celana idaman yang lama didambakannya, asli buatan Amerika, dan memamerkan kepada perempuannya, tak disangka: [29]

…….
Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang
bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.
“Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang
gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah kemana.

5. Memasuki “Nikah Ilalang” Dorothea Rosa Herliany

“Memasuki” Dorothea Rosa Herliany dalam buku Nikah Ilalang (1995),[30] saya menemukan ceruk terdalam dari kata “nikah” itu sendiri, yakni nilai yang diidealkan, yang abadi. Hal itu tidak semata kata-kata untuk suatu tarikan agar diakui persona dirinya sebagai perempuan di bawah bayang tradisi yang memaknainya secara inferior. Puisi Rosa oleh sementara kritikus sastra dikatakannya sebagai upaya mengatasi dominasi maskulinitas terhadap femininitas.

Saya meminjam kata “nikah” itu bukan bermaksud melakukan pembacaan terhadap dunia gender sebab hal itu telah dilakukan dengan baik oleh Afrizal Malna sebagai kata penutup buku Rosa. Saya meminjamnya sebagai kata kunci memasuki upaya Rosa “menikahi” realitas (sosial)-nya.

Nikah Perkampungan [31]

dengan sadar, aku kawini rumahrumah kardus,
tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan
Ilmudaurulang. tanpa perjamuan, selain wabah
dan ilmutatakota. tanpa nyanyian pengiring,
selain ketergusuran hewanhewan jelata.
dengan sadar, aku nikahi dunia yang gelisah.
sambil kuganti doa jadi harapan. kuganti
janji jadi ratapan.
kunikmati jaman yang sekarat minta susu.
pengantin yang takpernah kunikahi, tapi
minta menetekku dengan bahasa ketakutan.

Ini kali kita dengan berat hati melalui begitu saja upaya Rosa mengadakan tawaran struktur dan cara penulisan serta penyusunan kata, misalnya : tiadanya pemakaian hurup besar; penggunaan penulisan bersambung untuk kata ulang (ulatulat); penggabungan dua kata atau lebih (anakkumuntah); belum lagi, pemotongan atau pemenggalan kalimat. Tentu saja, hal itu dapat dibaca sebagai tanda memasuki dunia yang dibangun puisinya.

‘dengan sadar, aku kawini rumahrumah kardus,/ tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan/ Ilmudaurulang’, Rosa mengambil jarak ontologis terhadap sudut-pandang perempuan yang secara konvensional memposisikan kelembutan, kemapanan. Dalam sajak tersebut, justru dengan sadar ia mengawini kemiskinan sosial, kemiskinan struktural, dan ia tahu risiko ‘(me)nikahi dunia yang gelisah.’

Dalam dunia serupa itu, nilai-nilai menjadi abai. Rosa menyadari sungguh makna diksi ‘kawin’ dan ‘nikah’, yang dalam banyak sajaknya dibedakan aksentuasi dan maknanya. ‘aku kawini rumahrumah kardus’, kenapa tidak ‘aku nikahi rumahrumah kardus’? Rosa ingin mencitrakan pecahnya nilai di dataran kemiskinan, wabah, dan hewan-hewan jelata. Hal ini mengingatkan saya kepada teks agama bahwa “Kemiskinan itu dekat pada kekufuran” sekalipun saya tak ingin memasukinya dengan ideologi serupa itu sebab akan sangat tidak adil dan dogmatis. Tetapi, Rosa punya ingatan-teologis secara substansi semacam itu, karenanya ia dalam bait II menggunakan kata ‘aku nikahi’ untuk menyebut ungkapan selanjutnya yang bernafaskan rasa keagaman ini ‘sambil kuganti doa jadi harapan’.

Afrizal Malna pernah mengungkap bahwa diksi-diksi keras, maskulin, yang digunakan Rosa sebagai risiko tak tertahankan lantaran dunia-di-luar-rumah telah menjadi klaim laki-laki. [32] Memang, diksi, idiom, simbol, rangkaian ungkapan, dapat dijadikan penanda untuk merekonstruksi suatu persona yang dibangun dunia sastra. Namun, diksi-diksi gagah dan keras dalam puisi Rosa dapat juga dimaknakan sebagai cara memasuki bahasa massa yang memang mengarah ke arah sama, keras.

Tetapi, Rosa bukan mengambil posisi mengisahkan peristiwa sosial itu agar pembaca “menikahi” kembali lewat tokoh-tokoh yang dibangunkan. Ia menyublimasi pengalaman sosial itu sebagai bagian yang samar, impresi, dari posisi “aku” yang dominan. Dengan begitu, peristiwa sosial yang memang tidak dominan di-wadag-kan di dalam sajaknya itu, dipilihnya, yang semata memberi sugesti-sugesti dari hembusan “pernyataan” aku-lirik. Dengan sadar ia menikahi dunia yang gelisah, berarti ia memilih dari yang banyak itu sebagai objek dan (atau) subjek sudut-pandang, serta pengucapan dunianya, sajaknya.

Kerenanya, sekalipun Rosa juga berbicara soal “Lagu Asing dari Desa” (judul sajaknya), maka ia hanya melukiskan impresi seperti ini: [33]

di atas gerobak kuhitung mesin dan listrik
yang membagibagikan kekosongan kepada semuaorang.
malaikatmalaikat menyebarkan kebencian. sawahsawah
dan gubukgubuk tibatiba berubah gumpalankertas.
kubakar : jadi tanahair bagi bayangbayang.
sepanjang gang orangorang berjaga. tangantangan
kurus mencabikcabik tanah dan jantungnya sendiri.
sebuah semesta : jutaan rumah tanpapenghuni.
…….

Di dalam bangunan dunia impresi, yang terlukiskan yang pokok saja, karenanya muncul patahan-patahan peristiwa sosial yang telah disublimasi itu, disejajarkan antara yang satu dengan lainnya. Sebagaimana dalam bait terakhir sajak itu juga, dinyatakan, ‘di gerbanggerbang desa kuhitung bayangbayang/ yang terpatahpatah. kusihir : menjadi jarijari/ yang selalu ingin menuliskan ribuan kalimat/ tak terbaca.’

Dengan begitu, menjadi tidak ada teriakan kata-kata di dalam puisi Rosa (satu hal yang secara estetis kerap menjadi ukuran keberhasilan kesastraan). Hal tersebut tidak banyak dimiliki oleh penyair semasanya yang cenderung berteriak-teriak atau meneriakkan problem sosial (yang masih telanjang konteks ruang dan waktunya) disebabkan oleh gempuran modernisme, atau represivitas oleh negara. Hal itu sebab Rosa melakukan metamorfosa makna (metamorfosa, kata yang kerap dipakainya dalam sajak), dan bukan metamorfosa kata-kata. Metamorfosa makna (termasuk konteks ruang dan waktunya) sebab ia menyublimasi peristiwa, ide-ide. Sementara itu, kata-kata via diksi-diksi tetap mengambil dari fenomena massa. Karenanya, problem-problem sosial yang secara biografis pernah hadir dalam hidup individual dan sosial Rosa itu mengalami metamorfosa ruang dan waktunya tatkala dihadirkan di dalam sajaknya.

Misalkan saja, sajak “Aku Diam di Halte”, halte ini telah dihilangkan ruang-waktunya sebagai halte-biografis sehingga halte menjelma suatu ruang-waktu tempat di mana dan kapan ‘kuhayati kebenaran yang lebih panjang/ dari rentangan waktu.’[34] Inilah bahasa sajak yang dipilih Rosa di tengah arus massa yang menuntut ruang pembebasan dari ketertindasan eksistensial, institusional, struktural; yang bahasa tersebut erat kaitannya dengan ekspresi bahasa sipil yang mengkerut di tengah slogan pembangunan. Dan Rosa, sekali lagi, memilih bahasa impresi dalam puisi, yang dapat dimaknakan sebagai anti-tesis dari bahasa kekuasaan yang slogan, yakni dengan menghayati ‘kebenaran yang lebih panjang/ dari rentangan waktu.’ [35]

6. Puisi vis-a-vis Negara

Secara sederhana boleh disebut bahwa bahasa pada umumnya adalah alat komunikasi bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang berlangsung di dalam jiwa manusia. Sementara itu, dalam proses perkembangan bahasa dapat disebabkan banyak hal seirama dengan perkembangan masyarakat pemakainya, juga secara rekayasa seperti yang dilakukan oleh negara.

Pada konteks sosialnya itulah bahasa dapat mengalami tekanan-tekanan oleh persoalan yang melingkupinya senyampang dengan tekanan yang dialami oleh masyarakat pemakai bahasa itu.

Pada akhir 1950-an hingga 1960-an, situasi sosial digiring kepada pemaknaan baru revolusi versi Soekarno, jargon-jargon politiknya demikian merebak dalam pengucapan sehari-hari : neokolonialisme (Neokolim), Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah), ganyang, berangus, gerus, nasionalisme-agama-komunis (Nasakom), dan semacamnya. Yang tentu saja “kata-kata besar” itu bukannya tanpa risiko dampak kengeriannya.

Dengan lingkungan bahasa demikian, bahasa mengalami pembesaran yang tampak menakutkan akibat suntikan ideologi oleh elit politik, dan di sisi lain oleh masyarakat umum juga direspon secara instan sebagai kemegahan; namun di sisi lain lagi oleh masyarakat kritis disadari sebagai hal yang harus ditawar sebab risiko-risikonya.

Suasana hingar-bingar politik 1960-an yang akhirnya memunculkan kekerasan politik itu, pada konteks kebahasaan dalam sastra memberi gambaran bahwa tanggapan oleh pemakai bahasa secara umum itu juga tercermin di dalam sastra. Di satu sisi, kerasnya bahasa yang dipompa oleh suasana sosial politik memunculkan realisme sosial sebagai paradigma, dengan citra estetik kebahasaan sastra maupun citra ideologisnya.

Di segi lain, kekerasan yang tercitra melalui bahasa, juga memunculkan upaya untuk menyublimasi dan mengembalikan bahasa kepada keadaan normalnya, yang memberi ruang pemaknaan masyarakat pemakainya secara sejuk. Hal ini tercermin sebagaimana dilakukan sastrawan yang kemudian kita kenal sebagai kaum manifestan.

Sekalipun di segi lain, hal tersebut juga memunculkan upaya mensintesakan antara bahasa yang terlanjur mengalami pengerasan akibat politik-identitas oleh front ideologi itu, yakni dengan memberi ruh penolakan kepada penjajahan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Upaya ini dilakukan oleh Taufiq Ismail, justru dengan meminjam “tangan bahasa sastra” dari kaum realisme sosial, untuk mengkritisi kekerasan yang dilakukan oleh kaum realisme sosial itu sendiri terhadap bahasa sekaligus pemakainya.

Tarik-menariknya ideologi pada masa itu senyampang dengan upaya negara untuk merangkul tiga komponen ideologi besar, yakni nasionalisme, agama, dan komunisme. Memang hal tersebut dapat dibaca sebagai munculnya demokrasi di dalam berkebudayaan, yang memberikan ruang bagi hak berpolitik, hak sipil, dan hak aktualisasi diri, sebagaimana substansi berdemokrasi. Pada kesusastraan pun antara ideologi dan ideologi lain melakukan kompetisi untuk mengukuhkan “bahasa” masing-masing dengan segala pemaknaan sosiologisnya. Keadaan demikian itu, tidak semata disebabkan negara melakukan tekanan terhadap bahasa, yang merupakan dampak langsung dari tekanan negara terhadap masyarakat pemakai bahasa, sekali lagi, tidak.

Politik-identitas ideologi masa 1950-1960-an itu berakhir dengan jatuhnya rejim Orde Lama Soekarno oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh Angkatan Darat sehingga memunculkan Soeharto. Hingar-bingar ideologi politik perlahan-lahan digembosi, yakni dengan adanya fusi para partai politik ke dalam tiga nuansa, nasionalisme, agama, dan Golongan Karya (menggantikan Nasakom, hal yang dulu ditentangnya).

Namun, dengan puncaknya yaitu dengan pengasasan-tunggal Pancasila terhadap semua kekuatan politik di Indonesia, karenanya mengakibatkan tekanan yang lebih besar terhadap hak-hak sipil oleh militer. Pada masa inilah, menjelang Pemilu 1978 dan setelahnya, bermunculan “kata-kata besar” yang mirip dengan masa rejim sebelumnya: “pembangunan manusia seutuhnya”, dan semacamnya; sebagai upaya berkompetisi mencari posisi di dalam kekuasaan. Bahasa bernasib sama dengan di masa Orde lama, hanya saja pada masa Orde Lama “membesarnya bahasa” tidak saja terjangkit kepada masyarakat pelaku politik, melainkan bahkan ke sebagian besar masyarakat. Pada masa Orde Baru sebab semua elemen ideologi telah dimandulkan sehingga mengenali bahasa yang membesar itu lebih mudah datangnya yakni dihembuskan oleh lingkaran kekuasaan dan militer. Sementara itu, bahasa di luarnya cenderung mengalami pemungkretan, eufemisasi yang keterlaluan sehingga mengaburkan arti dan tujuan komunikasinya.

Pada kesusastraan, tekanan sosial politik terhadap masyarakat itu berimbas ke dalam ekspresi sastra, yang dalam pemakaian bahasa sebagaian mengalami pentabiran estetisme, bahkan dijadikan ideologi oleh sebagian sastrawan, sekalipun di sisi lain juga penuh dengan tawaran di dalam tiarap. Rute dominannya estetisme sebagai ideologi ini dapat dibaca sebab kesusastraan Indonesia bergantung kepada media massa di dalam sosialisasinya; padahal, media-massa di bawah kendali negara melalui Departemen Penerangan dengan berbagai kecemasan akan pencabutan SIT/SIUPP jika fakta tak diekspose sejalan dengan versi negara. Pada konteks inilah, sastra mengalami penyaringan oleh media-massa yang telah dihegemoni oleh negara. Karenanya, rute sosialisasi yang demikian tidak menampakkan sastra vis-a-vis terhadap negara. Upaya menyiasati seperti pernah dilakukan oleh Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) hanya sebatas gertakan merebut ruang publik, dan karenanya tidak substansial, selebihnya justru mengukuhkan hegemoni yang tanpa disadari kian memerosokkan estetisme.

Penawaran-penawaran akibat tekanan terhadap bahasa, dan imbas tekanan terhadap unsur kebudayaan lainnya itu di dalam kesusastraan (baca: puisi) dilakukan dengan munculnya beberapa gejala, yang dapat kita kenali sebagai berikut.

(1) “Sajak-sajak yang menyatakan” pikirannya sebagai respon langsung terhadap represi yang dialami oleh realitas sosial, dengan gaya dan sudut-pandang secara langsung, mempersoalkan, bahkan merumuskan problem sosial itu, yang berpusat kepada aku-lirik (juga, aku-publik, kerap mengidentifikasi dalam penokohan jika bentuk sajak berkisah atau balada) berhadapan langsung terhadap negara yang diposisikan sebagai penyebab dari tekanan mental dan jasmani yang dialami masyarakat.

Gaya dan sudut-pandang semacam ini merupakan penerusan dari perpuisian Taufiq Ismail dan Rendra di tahun 1960-an, bahkan sampai sekarang keduanya memposisikan demikian dalam bersastra, vis-a-vis terhadap negara. Dengan sudut-pandang demikian, setiap berkebudayaan masyarakat yang dipandang mengalami problem akibat spiral kekerasan yang muncul sebab salah-urus negara, maka akan dikritisinya, dari perihal pelacuran sampai perihal penggusuran tanah, dan bermacam lainnya. Taufiq Ismail mereferensikan pemikiran kritisnya itu kepada religiositas (Islam), Rendra kepada daya-hidup dan daulat-rakyat, dan Wiji Thukul kepada kaum proletar.

Tetapi, puisi jenis ini tidak banyak ditulis oleh sastrawan di saat menguatnya negara, jikapun ada maka kalah pamor dibanding Rendra dan Taufiq Ismail. Terkecuali Wiji Thukul yang membangun tradisi puitiknya sendiri, dengan memusatkan pengisahan problem sosialnya kepada aku-lirik, yang penokohannya sebagai prototipe buruh. Tetapi lebih dari itu, Thukul menyeruak dan dinilai ancaman sebab keterlibatannya pada organisasi sosial yang berlawanan dengan negara, yakni Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) di bawah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di samping itu, setidaknya juga dalam puisi Sosiawan Leak, keduanya dari Solo. Barangkali secara sosiologis perlu dilakukan penelitian, mengapa beberapa penyair dari Solo dalam ekspresi seninya banyak yang mengambil gaya dan sudut-pandang demikian, setidaknya Rendra dan Slamet Sukirnanto yang berasal dari Solo, juga demikian. Hal ini mengingatkan kita, di Yogya di saat bergulirnya reformasi gelombang demonstrasi tidak berefek kepada kekacauan yang parah, tetapi Solo justru menjadi “lautan api”.

Jenis puisi serupa sekalipun dengan varian “puisi balsem” juga ditulis oleh KH.A. Mustofa Bisri, dengan sudut-pandang budaya santri, yang mengkritisi kekuasaan.

Tentu saja, sebab berhadapan langsung dengan negara, maka karya sastra jenis ini selalu mengalami penolakan mediamassa yang keberadaannya di bawah kontrol negara. Contohnya, sajak Rendra [36] yang mempersoalkan eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat ini, mempresentasikan jenis “sajak yang menyatakan”:

Rakyat adalah sumber kedaulatan
kekuasaan tanpa rakyat
adalah benalu tanpa karisma
Rakyat adalah bumi
politik dan kebudayaan adalah udara
bumi tanpa udara
adalah bumi tanpa kehidupan
udara tanpa bumi
adalah angkasa hampa belaka
Wakil rakyat bukanlah abdi kekuasaan
Wakil rakyat adalah abdi para petani
para kuli, para nelayan
dan para pekerja
dari seluruh lapisan kehidupan
Wakil rakyat
adalah wakil dari sumber kehidupan

(2) “Sajak-sajak yang menampilkan” problem sosial, sembari melalui bahasa puisi “menyatakan” ide atau sikapnya atas problem itu, tanpa merumuskan persoalan sosialnya sebab alasan estetika, di segi lain sebab sengaja tiarap dari berhadapan langsung terhadap negara. Hampir semua penyair yang menonjol di Yogya, memilih jalur ini, tentu dengan varian dan kekhasan masing-masing.

Mathori A. Elwa (dalam buku puisi Yang Maha Syahwat) bertumpu pada “ingatan teologis”, dan justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan formalis religi, dan di sisi lain menyemprot kaum yang sok medernis yang mengikut saja arus modernisme. Basis teologis serupa itu justru perlu sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan religi oleh formalis, dalam sajak Mathori A. Elwa melalui strategi kebahasaan yang parodis, ironis, seringkali juga humor, menjadi dapat dicairkan.

Reportase yang Menakutkan, buku puisi Mustofa W. Hasyim ini memposisikan “aku” kepada psikologis yang sama dengan puisi Mathori A. Elwa, yakni psikologisnya orang kalah. Kejiwaan tertindas itu mendorong pencarian pegangan kepada spiritualisme-religi. Ia membangkitkan kisah-kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”, dengan cara menyublimasi kekerasan sosial itu ke dalam sajak-berkisah. Namun, sebab atmosfer kultur yang ia hadirkan dunia wong cilik Jawa, karenanya dalam menghadapi ketakberdayaan nasib ia mendekati masalah dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu menertawai diri sendiri dalam kepahitan.

Buku puisi Celana karya Joko Pinurbo mempresentasikan komunikasi terhadap realitas sosialnya dengan memasuki secara langsung peristiwa sosial itu. Ia mengisahkannya tidak secara telanjang terhadap latar (set) dan peristiwa sebagaimana yang dilakukan Mustofa W. Hasyim. Narator membangun suasana, setting, peristiwa itu kepada visi person-nya. Dengan basis itu, Pinurbo berleluasa melakukan eksperimentasi ungkapan, imaji yang liar, bahasa keseharian, namun tidak kehilangan kelirisannya. Ia juga melakukan penjungkirbalikan perlambang setelah diskripsi kisah yang dibangunnya, di sinilah letak kesurealistisan puisi Pinurbo sehingga menimbulkan parodi-parodi, dan kita ngakak dibuatnya.

Tetapi, Nikah Ilalang buku puisi Dorothea Rosa Herliany tidak mengambil posisi mengisahkan peristiwa sosial itu agar pembaca “menikahi” kembali lewat tokoh-tokoh yang dibangunnya. Ia menyublimasi pengalaman sosial itu sebagai bagian yang samar, impresi, dari posisi “aku” yang dominan. Dengan begitu, peristiwa sosial yang memang tidak dominan di-wadag-kan di dalam sajaknya itu dipilihnya, yang semata memberi sugesti-sugesti dari hembusan “pernyataan” aku-lirik.

Perpuisian yang mengambil posisi estetik dan “ideologi” serupa itu di Yogya, selain penyair tersebut tentu yang perlu diperhatikan adalah Ibuku Laut Berkobar (1998) buku puisi Abidah el-Khalieqy [37], perempuan penyair yang telah menonjol sejak pertengahan 1980-an, di mana masa tekanan politik terhadap sastra masih berlangsung; juga, di dalam puisi Santosa Warna Atmadja. Sementara itu, hal sama juga dapat dicermati pada perpuisian penyair yang menyeruak pada dekade 1990-an tatkala kian kerasnya kooptasi negara seperti pada puisi Raudal Tanjung Banua. Tidak kalah asyik dari puisi Raudal, adalah puisi Asa Jatmiko dalam Pertarungan Hidup Mati (2000) sekalipun tak semua sajak di dalamnya dapat dikatakan berhasil. [38]

(3) “Sajak-sajak yang menampilkan” problem realitas sosialnya, hanya menampilkan, jikapun mencoba menyatakan ide-ide tentangnya, maka realitas sosialnya itu ditariknya ke tingkat pengalaman (yang amat) individual. Bahasa sajak dalam konteks ini tinggal memvisualisasikan realitas sosialnya.

Fenomena itu tampak sekalipun tidak menonjol pada puisi Ulfatin Ch., dengan ekspresi bahasa yang amat liris. Fenomena sosial itu ditariknya sebagai setting bagi representasi biografisnya (lihat, buku puisi Konser Sunyi; dan Selembar Daun Jati, 1999). [39] Hiruk-pikuk perubahan sosial dalam sajak Ulfatin Ch. tidak mempengaruhi aku-lirik sebagai bagian dari komunitas sosialnya, ia membiarkan dunia luar itu hanya sebatas sebagai panorama:

…….
Dan ketika aku kembali di musim lain
kudapatkan hutan itu telah ramai
menjadi kota
dan di antara daratan yang dibelah sungai
telah terbangun jembatan
aku tak tak lupa rumahku, tapi di mana

(”Di Musim Lain, Aku kembali”, Konser Sunyi, 1993) [40]

Yang menarik dari fenomena bahasa dalam sajak akibat metamorfosa bahasa dari bahasa massa yang mengalami eufemisasi akibat mengkeret-nya realitas yang dicerminkannya, ialah munculnya pencitraan yang bersifat surealisme, untuk mencitrakan realitas ke tingkat yang paling abstrak, semacam “melawan dengan cara lari”. Jika pada puisi Joko Pinurbo, realitas sosial itu masih dapat kita kenali peristiwanya, ia hanya melakukan penawaran di tingkat perlambang tatkala gagal di tingkat realitas keseharian, secara maknawi kegagalan itu dimenangkan pada tingkat makna sehingga itulah cara menghibur diri. Tetapi, pada perpuisian Hamdy Salad, gagalnya akibat benturan di tingkat realitas empiris itu, hanya divisualisasikan lagi ke dalam dunia puisi, tak pelak lagi maka puisi Hamdy sehiruk-pikuk, secemas, seberdarah gambaran realitas sosialnya, yang tercekik tetapi diam, yang beku tetapi histeris. Gila!

Perpuisian Hamdy Salad memilih jalur yang lebih jauh mengekspresikan keterjajahan bahasa dan masyarakat pemakainya, dengan mengeksplorasi pengucapan lirisismenya kepada bawah-sadar kemanusiaan, di mana atas-sadarnya tercerabut oleh kekuatan besar yang menghegemoni terhadapnya. Perpuisian Hamdy Salad mencitrakan pecahnya masyarakat dari paguyuban religiositasnya, sebagai gambarannya, ia gencar sekali merekonstruksi keterpecahan itu, antara dunia keseharian yang chaos, dipertautkan dengan dunia yang diidealkan dalam gambaran imaji, karenanya pecahan gambaran kemanusiaan itu hadir terus-menerus dalam sajaknya. Di antaranya, beberapa sajaknya yang dimuat Kompas, edisi suplemen “Bentara”, Jum’at, 7 April 2000. Sajak berikut sangat mewakili bagaimana Hamdy Salad mengalihkan realitas sosialnya ke dalam sajak, ia seperti ‘mengarak silsilah’ pencitraan, tanpa ingin menyatakan tanggapan, apalagi merumuskan persoalan.

Perkabungan di Laut Timor [41]

Burung-burung berkalung hampa
melipat bendera di laut Timor
anyir ombak berkejaran sepanjang musim
merangkai buih dalam perkabungan
ikan-ikan menggelembungkan rasa perih
mendorong bangkai ke tepi pantai
lambang sengketa dan pertikaian

Kapal-kapal berlayar dalam gelap
menebar dusta para perampok
badai dan topan saling bertandang
ke empat penjuru, darah langit membeku
mengurung duka di relung cakrawala
orang-orang putih bertubuh kaku
menabuh genderang di pelabuhan waktu
membangun barak dan kemah persekutuan
memperanakkan tahta dunia sebagai hantu

Segunduk pulau telah tenggelam
diremuk gelombang angin samudra
kain kafan berterbangan di udara fana
meninggalkan masa lampau dan kematian
dalam perang. Matahari mengambang!
rajah negeri terbakar amunisi
mengarak silsilah ke tebing perbatasan

7. Penutup

Pertanyaan yang kemudian kerap muncul dalam batin saya, bukan lantaran alasan pilihan estetika, melainkan ingin melihatnya secara sosiologis, mengapa perpuisian di Yogyakarta tidak pernah memposisikan vis-a-vis terhadap negara?

Pertanyaan tersebut bukan berarti bahwa bentuk seni dan sudut-pandang yang demikian sebagai hal yang lebih baik, tidak. Sebaliknya, juga bukan berarti jelek sebab pada kenyataannya banyak karya sastra besar yang dengan kemampuan kesastraannya memposisikan vis-a-vis terhadap kekuasaan. Pada hakikatnya, dengan mengutip Faruk [42] yang mirip dengan pendapat Kuntowijoyo [43] tentang demokrasi kebudayaan bahwa ekspresi dan sudut-pandang kebudayaan (juga kesusastraan) senantiasa partikuler, dan karenanya khas, dan karenanya pula, misalnya selalu memandang pembunuhan adalah pembunuhan, tanpa memandang alasan yang melatarinya, apakah itu demi kesucian negara atau tetek-bengek lain. Tetap saja, pembunuhan adalah membunuh sebab hal itu merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan universal, hal yang menjadi substansi keagungan karya sastra.

Jika demikian, berhadapan langsung atau tidaknya terhadap tekanan kekuasaan atas kemanusiaan, bukan itu yang paling penting dalam mengambil sudut-pandang dan bentuk seni, melainkan sejauh mana substansi sastra mampu mengembalikan kehidupan manusia kepada kemerdekaan dari jajahan kultural dan kekuasaan, yakni dengan jalan mengembalikannya kepada Diri-nya sendiri. Dengan begitu, kesusastraan akan selalu dekat dan menjadi bagian terpenting tatkala manusia membangun citra kemanusiaannya.

2000, revisi

[1] “Budaya tanding” merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib untuk mengimbangi kooptasi dan dominasi yang dilakukan oleh negara. Lihat dalam, Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[2] Iman Budi Santosa, Dunia Semata Wayang (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1996).
[3] Ibid., Matahari-matahari Kecil (Jakarta:Grasindo, 2004).
[4] Sitor Situmorang, “Lagu Gadis Itali”, Dalam Sajak, dalam Bunga di Atas Batu (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 62.
[5] Linus Suryadi A.G., Pengakuan Pariyem (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
[6] Ibid., Tirta Kamandanu (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1997).
[7] Emha Ainun Nadjib, 99 untuk Tuhanku (Bandung: Penerbit Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, 1983).
[8] Dewan Kesenian Jakarta, Forum Puisi Indonesia 1987 ( Jakarta: DKJ, 1987).
[9] Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme (Yogkarta: Pustaka Pelajar, Cet.II, 1999), hal. 12.
[10] Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 1997), hal. 107.
[11] Adi Wicaksono, “Puisi, Surga, dan Kota, dalam Histeria Kritik Sastra (Yogyakarta: Bentang, 1996), hal. 76.
[12] Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat, hal. 11.
[13] Ibid., hal. 63.
[14] Ibid., hal. 135-141.
[15] Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
[16] Mustofa W. Hasyim, Reportase yang Menakutkan (Yogyakarta: Bentang, 1992).
[17] Ibid., sajak “Buruh yang Amat Sabar”, hal. 13.
[18] Teks tersebut merupakan Surat Perjanjian Kontrak Kerja sebagai Dosen Tetap di sebuah Perguruan Tinggi di Purwokerto. Sengaja nama Perguruan Tinggi tersebut tidak disebutkan dengan eksplisit demi etika jurnalistik.
[19] Mustofa W. Hasyim, sajak “Reportase yang Menakutkan”, dan Reportase…, hal. 7.
[20] Ibid., hal.9.
[21] Mustofa W. Hasyim, Zaman yang Beracun (Yogyakarta: Manuskrip, TT.).
[22] Joko Pinurbo, Celana (Magelang: Indonesia Terra, 1999).
[23] Ibid., sajak “Kisah Seorang Nyumin”, hal.4.
[24] Ibid., sajak “Malam Pembredelan”, hal. 8.
[25] Ibid., sajak “Patroli”, hal. 64.
[26] Ibid., sajak “Kisah Semalam”, hal. 10.
[27] Afrizal Malna, Sajak”Dada”, dalam Abad yang Berlari (Jakarta:TP, 1984).
[28] Joko Pinurbo, sajak “Patroli”, hal. 64.
[29] Ibid., hal. 30.
[30] Dorothea Rosa Herliany, Nikah Ilalang (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 1995).
[31] Ibid., sajak “Nikah Perkampungan”.
[32] Afrizal Malna, “Kata Penutup” dalam Nikah Ilalang, Ibid.
[33] Dorothea Rosa Herliany, sajak “Lagu Asing dari Desa”, Ibid.
[34] Ibid., sajak “Aku Diam di Halte”.
[35] Ibid.
[36] Rendra, sajak “Rakyat adalah Sumber Kedaulatan”, dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku, Ed. Abdul Wachid B.S. et.al. (Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. 4.
[37] Abidah el-Khalieqy, Ibuku Laut Berkobar (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).
[38] Asa Jatmiko, Pertarungan Hidup Mati (Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana, 2000).
[39] Ulfatin Ch., Selembar Daun Jati (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).
[40] Ulfatin Ch., sajak ”Di Musim Lain, Aku kembali”, dalam Konser Sunyi (Surakarta: Taman Budaya Surakarta, 1993).
[41] Hamdy Salad, sajak “Perkabungan di Laut Timor”, Kompas, edisi suplemen “Bentara”, Jum’at, 7 April 2000.
[42] Faruk, “Kejahatan Terbesar adalah Kebaikan”, dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku (Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. ii-ix.
[43] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung : Mizan, 1997), hal. 149.

*) Alumnus S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dosen STAIN Purwokerto.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita