28/02/09

Ladang Terbakar

Raudal Tanjung Banua
http://www.kr.co.id/

APA pun kata orang, keputusan Sombiang sudah bulat, tak bisa diganggu-gugat: mengajak istrinya, Lanik, tinggal di ladang. Sebuah pondok kayu bertiang tinggi beratap rumbia-ditisik batang rengsam-kukuh dengan batang kayu pelawan, selesai sudah dibuat. Ada hamparan sahang seluas mata memandang. Sementara pohon-pohon karet tua di lahan arah ke lembah-warisan orangtuanya-sengaja ditebang, sebagai gantinya, kini ratusan batang anak karet kembali ditanam: di tengahnya pondok itu tegak berjaga.

Apalagi? Sekarang, tak ada yang perlu dirisaukan, kata sebuah lagu yang Sombiang simak diam-diam dari radio transistor yang tergantung di paku dinding, nyaris nyerocos seharian. Pada malam tertentu biasanya ada acara pantun kasmaran asuhan Saad Toyib dan Kario-dua pasangan pengasuh yang pas; satu gaek, satu muda; satu takzim yang lain kocak. Itulah yang menemani Sombiang selama ini di ladang dalam hari-hari yang panjang (ah, siapa bilang tak ada risau?). Kadang Sombiang terbahak sendirian, kadang tertegun sedih bila pantun yang dilantunkan menyentil perasaan.
Apelah daye bulan di dahan/Mau terbenam, eh, disamber buaye/Apelah daye badan sendirian/Di dingin malam berteman si air mate
Sombiang menggeliatkan badan di atas dingin tikar pandan.

Siang hari ia bekerja selayaknya petani sejati, mengolah tanah, merawat benih dan memetik apa yang layak dipetik, semuanya dengan kasih. Malam hari, kadang ia pulang ke rumah-jauh di kampung-tapi lebih sering bermalam di pondok-biasanya di pondok lama, dekat ladang durian dan sahang. Bila sesekali rasa sepinya tak tertahankan, tak jarang Sombiang berkunjung ke pondok peladang lain, atau berlama-lama di tepian sehabis bekerja agar bertemu sesama peladang sekadar bercakap-cakap. Tentang harga timah. Tentang tambang timah lepas pantai di Bubus yang sering diwarnai konflik. Sembahyang rebut di klenteng tua Batu Rusa. Sampai juga pada naiknya harga-harga dan bejibunnya partai baru tapi diisi orang-orang lama.

Meski mereka peladang, kebutuhan tak sebatas ladang yang subur atau harga membubung. Salah seorang di antara peladang yang fasih berdiskusi tentang hal itu adalah Datuk Bulian, seorangtua yang tetap perkasa, dengan anak dan istri yang rutin mengunjunginya sekali sepekan (terkadang dengan membawa koran). Ah, membuat Sombiang cemburu sebetulnya. Sedang Sombiang, siapa yang akan mengunjunginya? Lanik istrinya-yang sampai saat ini belum juga hamil-jangankan sekali sepekan, sekali sebulan saja tak pernah menginjakkan kakinya di ladang mereka. Kadang ia maklum, istrinya terlalu sibuk membantu ibunya mengurus warung yang buka hingga malam. Tapi, terkadang Sombiang juga berpikir, itu semua lebih disebabkan karena selaku anak tunggal di keluarga, istrinya terlalu disayang; jangankan ke ladang, ke kebun belakang rumah pun seolah ia berpantang. Pantang itu terutama justru digariskan ibunya sendiri yang memang kelewat memanjakannya.

Terkadang, di tengah keasyikkan bicara "bangsa" dan "dunia", terbicarakan juga urusan keluarga masing-masing. Tentang anak-anak yang naik kelas. Istri yang gemar menabung. Dan di antara itu, kerap terlontar suara,"Sombiang, warung istrimu tambah maju tampaknya?" Sombiang mengangguk sedikit. Lalu,"Tak sempat lagi ia ke ladang ini, ya?" itu dari Sadeli.

Atau ini,"Istrimu belum hamil juga ya?" kata Rabius pula. "Kenapa tak pernah melirik Datuk kita? Datuk Bulian 'kan bisa bikin ramuan kesuburan."

Inilah yang paling tak disukai Sombiang dari acara kumpul-kumpul di tepian.

Tapi kini, mulai saat ini, tidak lagi! Ia telah bulat memutuskan: istrinya, Lanik, akan diajak tinggal di ladang, sementara warung di rumah biarlah ibu mertuanya yang mengurus. Sombiang sudah tak peduli. Sombiang merasa cukup jadi penurut: sejak menikah dengan Lanik, ia mau tinggal di rumah mertua hanya karena si mertua merengek-rengek minta pengertian,"Kalian tinggal di sini saja. Rumah di sini besar, warung sudah berjalan, semua untuk Lanik." Tapi tidak kali ini!
***

KEPUTUSAN Sombiang mengajak istrinya menetap di ladang, serta-merta menerbitkan gunjing orang sekampung; usia perkawinan belum seumur jagung, kata mereka, tapi si istri sudah diserahkan kepada kerasnya untung-jauh dari keramaian. Lain kalau sudah tua, dan anak-anak sudah besar, barulah wajar tinggal di ladang, begitulah selama ini cara orang kampung berkebiasaan. Menjadi adat yang tak bisa ditawar.

"Sedang Datuk Bulian pun tak tega mengajak istrinya tinggal di ladang, padahal anaknya sudah besar-besar," kata seseorang, dan tertawa-didengar ibunya Lanik dengan pedih dan geram.

"Sombiang punya anak saja belum, sudah ngajak istri bertanam di ladang. "

"Garap dulu rahim istrimu!" seseorang memotong, membuat ibu Lanik tersirap. Tapi perempuan itu tak ingin melabrak mereka. Aneh, ia malah ingin melabrak menantunya saja. Sombiang! Gara-gara Sombiang terkutuklah, gunjing itu mengalir.

"Kasihan, warung Lanik sedang maju-majunya, malah ditinggal."

Kembali ibu Lanik membayangkan wajah menantunya saat mengutarakan niatnya mengajak Lanik tinggal di ladang. Wajah yang kukuh dan tenang, tapi terasa dingin sebetulnya. "Begitulah, Mak, kuputuskan mengajak Lanik istriku tinggal di ladang. Kami ingin belajar hidup sendiri dengan lebih tenang."
"Lanik anakku, anak tunggal!" si ibu berang.

"Ia istriku, tak ada lagi istriku selain dia. Ia anak Mak, semua orang tahu. Tapi bahwa ia tak lebih sebagai pembantu Mak di warung, mungkin hanya aku yang tahu. Kemudian gunjing dan tanya yang tiap hari hinggap di telinganya tentang kapan punya anak, yang membuat gendang telinganya serasa pecah dan hatinya tersayat, mungkin juga hanya aku yang tahu. Karena itu, kami ingin ke ladang setidaknya di sana ia bisa istirahat dengan lebih tenang."

"O, anakku akan bungkuk dan hitam di ladang! Hentikanlah kekejamanmu!"

"Tidak, Mak. Ia akan bekerja sesuai tenaganya, tidak sampai larut malam seperti di warung, dan setiap kerja adalah atas maunya, aku tidak pernah main perintah. Dan tidak ada pula gunjing yang menyakiti hatinya."

Perundingan itu (jika memang pantas disebut perundingan) tentu saja buntu. Tapi tidak keputusan Sombiang yang sudah bulat. Ketika hari baru terang tanah, Sombiang segera menarik tangan Lanik ke atas motor traill-nya, dan seketika melaju ke ladang itu. Lanik menangis, tapi jauh di lubuk hatinya, perempuan itu paham sepenuhnya.
***

BEGITULAH, sepasang peladang itu kini terus bertanam tidak hanya di lahan yang subur, tapi juga rajin bertanam di lahan yang lain: ladang rahim. Pondok ladang yang kukuh tinggi menjadi ruang paling hangat bagi mereka berbagi di malam-malam dingin, tak lagi bulan di dahan dimakan buaye seperti kata pantun. Tapi buayelah yang disihir bulan dengan terangnya umpama lampu; kini bahagie hidup berdue, sepanjang hari serasa berbulan madu, ai, ai, pantun di radio tua itu kini diubah sendiri oleh Sombiang, walau di dalam hati. Kalau saja Saad Toyib dan Kario, si pengasuh pantun di radio tahu, pastilah mereka akan bilang,"Madu Bangka pahit rasanya, Bung!"
Ya, ya, karena bersarang di pohon pelawan, madu di sini jadi lain rasanya. Pahit. Tapi ampuh untuk menggempur penyakit. Ibarat itulah hidup Sombiang dan Lanik, di atas pondok bertiang kayu pelawan, hari-hari yang mereka jalani sekilas mungkin terasa pahit-maklum, jauh dari keramaian, menempuh hidup tidak selazim orang berkebiasaan, dan mereka belum lagi punya anak-tapi sebenarnya hidup mereka begitu damai.

Mula-mula Lanik memang merasa canggung, namun hari-hari selanjutnya ia sudah biasa: bangun pagi-pagi, membawa cucian ke tepian, dan pulang dengan air bersih di dalam ember. Memasak, membuatkan kopi buat suami tercinta, yang sepagi hari juga telah melakukan prosesi kerja di lahan masa depan. Pagi yang damai, hari yang damai. Suara burung, kesiur angin, derak dahan pepohonan dan gemerisik daun gugur, irama suara tajak yang terdengar seperti tak-tik-tok jam, denting kayu kering di dapur, desis api yang menyala, semuanya, sungguh alangkah menyenangkan. Jauh dari bisik dan gunjing, jauh dari perburuan uang dan harta. Waktu jadi sepenuhnya milik mereka.

Lanik merasakan suasana di ladang bertolak belakang dengan suasana di rumahnya, di kampung yang mulai sibuk oleh tawar-menawar, tatapan penuh selidik, dan mimpi-mimpi. Di sini, kecuali radio transistor tua yang bernyanyi sepanjang hari, tak ada lagi suara luar yang menggoda dan membuatnya harus bekerja hingga larut malam-demi mimpi warung yang diperbesar menjadi toko swalayan; sebagaimana yang diangankan ibunya. Kelelahan bekerja agaknya, berdampak pada rahimnya. Padahal, selama hampir tiga tahun usia perkawinannya dengan Sombiang, pernah dua kali Lanik merasakan sesuatu tumbuh di rahimnya, tapi gugur lantaran perdarahan. Sombiang tak bisa berbuat apa-apa, kecuali semakin terperangkap dalam gunjing tak bersudah yang menyebut dirinya mandul, atau menuding rahim istrinya tak sesubur ladang sahangnya. Lanik pun tak berdaya dibuatnya, dan sebagai kompensasi atas semua itu, semakin ia membenamkan diri pada kesibukan kerja di warung, dari subuh hingga tengah malam!
Tapi tidak lagi sekarang. Hidupnya kini damai di ladang.
***

DAMAI? Ya. Pohon kopi berbunga, sahang menjuntaikan buah-buahnya dari pohon inang, anak-anak karet berlomba berangkat remaja, durian dan rambutan merayakan musim buah. Sombiang tersenyum ketika pada pagi-pagi sekali istrinya minta dipetikkan mangga muda di samping pondok. Sombiang tahu, sesuatu sedang terjadi pada istrinya. Maka sigap ia menjuluk buah mangga muda, dibersihkan getahnya, dan tak lama ia sudah melihat Lanik mencacah buah yang kecut itu-sepagi ini!-dan memakannya dengan tenang memakai garam dapur. Ya, sesuatu pasti sedang terjadi, Sombiang bergumam sendiri. Dan ia semakin yakin ketika beberapa hari kemudian istrinya muntah-muntah di tepian, disaksikan Rabius yang lewat dan singgah mengasah parang.

"Apakah kalian akan segera punya anak?" tanya laki-laki yang sampai sekarang belum juga menikah itu. Wajahnya tampak aneh.

"Sepertinya begitu, Kawan!" jawab Sombiang sambil menuntun lengan istrinya.
"Kok bisa ya?" Rabius bergumam, kian terasa aneh.

Sombiang menjawab sekenanya:"Ya, bisa. Tiap pagi kami minum madu pahit!"
Lengkap sudah. Di ladang harapan, mereka bertanam, dan semua tumbuh subur dalam kasih malaikat Tuhan. Sombiang merangkul istrinya, dan Lanik pun menyadari ada yang diam-diam bergerak di rahimnya.

Namun, seiring dengan itu, ada pula yang diam-diam bergerak di luar cinta kasih mereka: gunjing itu, bisik itu, dan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan itu! Tersiar kabar, entah dari mana berpangkal, bahwa Lanik hamil karena campur-tangan Datuk Bulian!

"Ia menyerahkan istrinya pada dukun tua itu!"

"Itulah alasan tepat baginya mengajak perempuan malang itu tinggal di ladang!"

"Sombiang? Hanya ladang sahangnya yang subur, tidak benih lelakinya. Hanya tangkai cangkulnya yang kuat, tidak tongkat moyangnya!"

"Ya, ia mandul, mengapa istrinya kini mengandung?"

"Konon ia impoten, setelah jatuh dari motor traill-nya. Adakah di dunia ini seorang impoten punya putra?"

"Ya, Tuhan, terkutuklah kami kalau membiarkan ini semua!" seorangtua bersorban melenguh, menatap langit.

"Jangan sampai kita dikutuk, Ustadz. Perintahkanlah kami sekarang juga ke ladang sana, akan kami selamatkan perempuan malang itu, dan kami bakar ladang si suami terkutuk itu!" orang-orang merangsek.

"Jangan," sang Ustadz mengibaskan tangannya, sambil matanya tetap menatap langit seperti mencari-cari petunjuk.

"Ya, jangan biarkan kutuk itu turun, Ustadz!"
"Apakah Ustadz bisa mempertanggungjawabkan maksiat ini kelak di akhirat?" seseorang menantang.

Ustadz terkesiap, dan segera mengusaikan diri menatap langit, lalu dengan satu kibasan, bergemalah suaranya,"Berangkatlah!"

Maka obor-obor pun disulut. Cahaya senter melesat-lesat. Mengiringi kegeraman orang-orang batas kampung. Sementara di barisan paling belakang, dalam kerumunan kain sarung, Rabius, laki-laki yang lama mendambakan Lanik yang cantik-yang membuatnya tak kunjung menikah hingga sekarang-setengah gigil membayangkan apa yang akan terjadi. Lantaran rindu-dendam, ia berhasil menyebarkan bisik dan tuduhan itu dari tepian hingga ke dalam kampung, dan disambar orang kampung sebagai kebenaran. Bahkan ibu Lanik pun diam-diam jadi sekutu Rabius: dendam sang ibu pada menantu, sudah cukup jadi alasan untuk menyulut restu menggerakkan orang-orang itu.
Orang-orang dengan api di tangan, kini memasuki batas ladang.

/ Bangka-Yogya, 2006-2008

Catatan:
- Sahang (Bhs Bangka): tanaman lada
- Pelawan: sejenis pohon berbunga pahit di Pulau Bangka tempat biasanya lebah bersarang, karena itu madu yang dihasilkan agak pahit.

Kyoto monogatari

Seno Gumira Ajidarma
http://www2.kompas.com/

TERBUAT dari apakah kenangan? Aku tidak pernah bisa mengerti, mengapa pemandangan itu selalu kembali dan kembali lagi: suatu pemandangan yang kudapatkan ketika kereta api shinkansen itu tiba-tiba menembus daerah salju dan kulihat seorang perempuan berjalan di luar rumah sendirian dalam badai. Apakah yang dikerjakan seorang perempuan dalam badai yang menggebu seperti itu? Tidak banyak rumah di dataran salju yang kulihat itu, dan hanya perempuan itu yang tampak dalam keluasan serba putih dan memutih sampai di batas cakrawala. Udara penuh dengan salju yang beterbangan karena tiupan badai sehingga perempuan yang berjalan dengan lambat itu tampak menapak dengan begitu berat. Apakah yang dilakukannya dalam badai bersalju seperti itu? Aku tidak bisa memperkirakan apapun dan aku harus menerima kenyataan betapa aku tidak akan pernah tahu.

Pemandangan itu bagiku memilukan, bukan hanya karena merasakan kembali dingin yang merasuk dan membekukan, tapi karena gagasan akan kesendirian dalam keluasan padang memutih itu. Berja-lan sendirian di tengah padang salju dalam badai yang dingin dengan suaranya yang menggiriskan tidaklah terlalu menyenangkan. Dari balik jendela kereta api suara itu sudah teredam, tapi aku pernah mengalami badai bersalju dengan suaranya yang menggiriskan di Mongolia, sehingga aku tahu pasti ada sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi sampai perempuan itu harus berjalan susah payah dengan sepatu yang setiap kali harus diangkat tinggi karena melesak ke dalam tumpukan salju dalam badai yang kencang dan begitu dingin seperti itu.

Semuanya sudah kulupakan, termasuk jurusan kereta api itu: menuju Kyoto dari Tokyo, ataukah menuju Osaka dari Kyoto, aku tidak bisa ingat lagi-tinggal kenangan akan seorang perempuan yang melangkah dengan berat dalam badai dan hujan salju.

Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan.

Tapi aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu.

TERBUAT dari apakah kenangan? Dari saat ke saat aku masih bertanya-tanya, apakah kiranya yang dilakukan perempuan yang kulihat berjalan sendirian di padang salju itu? Waktu kereta api lewat dan aku menengok dari balik jendela, tampak ia baru saja keluar rumah. Jejak-jejaknya terlihat menapak dari sebuah pintu. Masih selalu mengganggu ingatanku dari waktu ke waktu, apakah ada seseorang yang ditinggalkan di dalam rumah itu, atau memang kosong saja di dalamnya sehingga barangkali ia pergi begitu saja tanpa mengunci pintu? Tentu saja aku tidak melihat perempuan itu keluar dari rumahnya, sehingga aku juga tidak tahu apakah ia mengunci atau tidak mengunci pintu itu sama sekali. Kereta api itu lewat begitu cepat, seperti angan-angan melintas, tapi pemandangan yang kulihat kemudian seperti tidak akan pernah pergi lagi untuk selama-lamanya.

Mengherankan bahwa kenangan seringkali terpendam begitu lama dan muncul begitu saja tanpa ada sebab yang harus menghubungkannya. Aku masih selalu penasaran dan bertanya-tanya, mengapa suatu kenangan bisa terpendam begitu lama sampai muncul tiba-tiba pada waktu dan tempat yang tiada pernah akan terduga. Kenangan itu kadang-kadang bisa muncul kembali sekali saja dalam seumur hidup, terkenang sekali lantas tiada pernah datang kembali. Bagaimanakah caranya suatu peristiwa berubah menjadi kenangan, tapi yang terpendam begitu lama sampai suatu ketika mengingatkan dirinya pernah terjadi, sekali, lantas tak pernah muncul lagi? Bukankah ajaib untuk membayangkan bagaimana caranya kenangan tersimpan dan muncul kembali atau sama sekali tidak pernah muncul kembali meskipun tetap ada entah di mana di sebuah dunia yang tiada akan pernah kita ketahui seperti apa?

Ada kalanya suatu peristiwa juga ingin kita lupakan karena kepahitan yang menyertainya. Selalu ada peristiwa dalam hidup ini yang ingin kita hapus saja dari kenangan, seperti tidak pernah terjadi, meski tetap saja teringat sampai mati - rupanya selalu ada alasan untuk mengenangkan kembali semua peristiwa yang sungguh mati ingin kita lupakan saja sampai habis tanpa sisa.

Hmm.

Terbuat dari apakah kenangan? Bagaimanakah caranya melepaskan diri dari kenangan, dari masa lalu yang tiada pernah sudi melepaskan cengkeraman kepahitannya pada masa kini?

Kenangan barangkali saja tidak selalu utuh: sepotong jalan, daun berguguran, ombak menghempas, senyuman yang manis, langit yang merah dengan mega-mega berarak dalam cahaya keemasan; tapi bisa juga begitu utuh ketika menikam langsung ke dalam hati seperti sembilu. Tidak mungkinkah kenangan yang pahit kembali sebagai sesuatu yang manis? Kenangan seperti diciptakan kembali oleh waktu, membuat masa lalu tak pernah berlalu, bahkan mempunyai masa depan untuk menjadi bermakna baru.

Mungkinkah kenangan itu seperti suatu dunia, tempat kita bisa selalu mengembara di dalamnya?

Aku mempunyai kenangan yang lain di Kyoto, yang selalu menjadi nyata karena sebuah genta. Kenanganku adalah bunyi genta itu, genta kecil yang manis dan selalu berdenting oleh angin yang berhembus pelahan, yang bisa kubawa pulang dan mengingatkan kembali segalanya. Angin itu harus berhembus dengan kepelahanan yang sama dengan ketika aku pertama kali mendengarnya, dan dengan demikian bunyi genta itu mengembalikan suatu masa yang telah berlalu. Bagaimanakah suatu masa yang telah berlalu bisa kembali lagi dan mengembalikan perasaan dan suasana yang sama seperti ketika aku mengalaminya, aku sama sekali tidak pernah bisa mengerti.

Kenanganku tentang pemandangan di luar jendela kereta api shinkansen itu selalu kembali bukan karena bunyi denting genta kecil itu. Kenangan itu selalu kembali seolah-olah tanpa penyebab apapun, atau setidaknya aku tidak pernah tahu pasti apa yang selalu mengembalikan kenangan itu kepadaku. Apakah karena aku berta-nya-tanya apa yang terjadi di dalam rumahnya? Apakah ada seorang anak yang tergeletak dan sakit parah di sana, sehingga perempuan itu harus keluar rumah mencari obat dalam badai seperti itu? Perempuan itu menapaki salju dengan langkah yang berat, dan tetap akan berat meski sepanjang hidupnya ia tinggal di sana sehingga tentunya juga terbiasa dengan alam dan iklim seperti itu. Langkahnya berat dan udara begitu dingin, apakah kiranya yang begitu mendesak?

Kereta api itu memasuki daerah salju dengan begitu tiba-tiba seperti pesawat antariksa menembus batas luar angkasa. Dalam kenanganku seperti terjadi sebuah ledakan, dan hanya daerah salju itu saja yang menjadi kenanganku seterusnya. Bukan di luar daerah itu, bukan pula ketika di dalam kereta api itu. Dalam kenangan itu aku tidak pernah melihat diriku sendiri sedang memandang dari balik jendela.

Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan.

Tapi aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu.

TERBUAT dari apakah kenangan? Aku tidak ingin mengingat sesuatu, tapi ada suatu kenangan yang selalu kembali. Aku ingin sekali mengingat-ingat sesuatu, tapi barangkali aku akan lupa untuk selama-lamanya. Aku juga selalu teringat sesuatu yang tidak pernah kuceritakan kembali, tidak pernah kukatakan, tidak pernah kuapa-apakan, karena kenangan itu memang hanya bertengger saja dalam kepala.

Tapi mungkin saja peristiwa ini terjadi.

Perempuan itu berjalan di dataran salju meninggalkan jejak yang panjang. Tidak ada seorangpun yang tahu ke mana perempuan itu pergi. Di dalam rumah seorang lelaki menunggu perempuan itu kembali. Dunia memutih dan kelabu, lampu-lampu menyala menjelang gelap.

Lelaki di dalam rumah itu menunggu dalam gelap, bertanya-tanya tentang kenapa perempuan itu pergi begitu lama dan tidak juga kembali.

Kemudian ia juga ke luar, mencari ke mana kiranya perempuan itu pergi.

Ia mengikuti jejaknya. Ia mengikuti jejaknya sepanjang jalan, sepanjang padang, sepanjang kepahitan yang meruyak di dalam hatinya.

"Kamu mau ke mana?"

"Tidak ke mana-mana."

"Cuaca seperti ini dan kamu keluar dan kamu bilang tidak ke mana-mana."

"Aku memang tidak ke mana-mana."

Ia mengikutinya, dan ia tidak tahu perempuan itu pergi ke mana. Mungkinkah jejak ini mencapai suatu tempat, mungkinkah jejak ini mencapai suatu tempat yang tidak pernah ingin diketahuinya?

Kalau kereta api itu lewat sedetik lebih cepat atau sedetik lebih lambat, tentunya aku akan melihat pemandangan yang berbeda, dan kenanganku akan menjadi lain. Aku akan selalu teringat sesuatu yang lain, tapi yang tidak mungkin kuketahui dengan pasti kiranya seperti apa.

Mungkin sebelumnya ada lelaki lain di luar rumah, dan perempuan itu melihat lewat jendela.

Mungkin itu beberapa menit sebelumnya, bukan hanya sedetik sebelumnya.

Bagaimana kalau kereta api itu lewat beberapa menit lebih lambat?

Barangkali akan kulihat seorang lelaki berjalan di tengah padang salju, mengikuti bekas jejaknya kembali, berjalan lambat menuju rumah itu.

Dari kejauhan, dari dalam kereta api yang meluncur begitu cepat, pasti tidak akan kulihat pisau berdarah yang masih digenggamnya.

Masih ada kepahitan di wajah lelaki yang muram itu.

Peristiwa ini tentu tidak pernah terjadi. Kereta api melewati tempat itu beberapa menit sebelum atau sesudahnya tidak akan mengubah apa-apa. Tidak ada satu kemungkinan yang memberi peluang kepada pengetahuan yang utuh.

Sebetulnya aku selalu membayangkan seandainya kereta api itu lewat ketika perempuan itu sudah menjadi mayat dan terkapar di depan rumahnya. Aku selalu membayangkan ada bekas-bekas darah di atas salju. Barangkali lebih baik mayat itu tidak ada, dan hanya ada bekas da-rahnya. Ada bekas seretan yang panjang dan berdarah.

Tapi sebetulnya aku hanya melihat seorang perempuan melangkah keluar dari rumahnya dalam hujan dan badai salju-aku bahkan tak tahu itu memang rumahnya atau bukan, dan aku tidak melihatnya membuka pintu, menutupnya kembali, dan melang-kah ke padang salju. Aku hanya melihatnya sedang berjalan dengan susah payah sehingga terbentuk jejak dari sebuah rumah ke tempatnya sedang melangkah.

Tapi mungkinkah bisa dipastikan peristiwa itu tidak pernah terjadi? Apakah ada sesuatu di dunia ini yang bisa kita ketahui dari segala kemungkinan, serentak, dan seutuh-utuhnya?

Di kereta api shinkansen yang meluncur dengan kecepatan peluru, aku hanya tahu perasaanku menjadi rawan. Memasuki daerah itu bola-bola salju berhamburan dan pecah di jendela. Semua itu mestinya tidak mungkin terjadi, tapi aku tidak pernah tahu apa yang telah dan akan terjadi. Betapa sedikit yang bisa kita ketahui dalam hidup yang begitu singkat.

Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan.

Sayang sekali, aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu.

Durban - Cape Town, Maret 2002.

Anak Betawi Sebagai Sastrawan

JJ Rizal*
http://www.ruangbaca.com/

Betul juga Zefry Alkatiri, yang bilang dalam sajaknya, "Anda Memasuki Wilayah...", bahwa masuk wilayah Jakarta itu ada saja syaratnya. Disebutnya rupa-rupa tempat di Jakarta yang mesti dimasuki dengan rupa-rupa syarat. Kalau tidak, bakal ketiban pulung. Tetapi, dalam sajak itu Zefry tak menyebutkan kalau Jakarta pun menuntut syarat kepada teman-teman atau pendahulunya sesama sastrawan ketika mau masuk.

Jakarta, yang dianggap sastrawan seantero Tanah Air sebagai ikon modernitas, mensyaratkan mereka sebelum masuk untuk mencopot tradisi dan masa lalu yang dibawa dari kampung halaman. Tengoklah pengakuan Goenawan Mohamad. Ketika masuk Jakarta di tahun 1960, sebagai seorang penyair "kemarin sore" dengan segerobak ambisi sastra, ia mengaku mesti menggosok-gosokkan punggungnya hingga beberapa sisa masa lalu yang melekat seperti daki itu kikis, makin pudar.

Asrul Sani menghardik orang kampungnya supaya meninggalkan ia sendiri di Jakarta dan jangan menganggunya lagi. Sedasawarsa sebelum Asrul menulis Surat Kepercayaan Gelanggang (1946) yang kritis (kalau tidak bisa disebut apriori) dengan masa lalu, kampung halaman dan tradisi, eksponen Polemik Kebudayaan, Takdir Alisjahbana dan Achdiat Karta Mihardja, mengajukan tesis yang serupa. Demi terbentuknya "manusia baru" dan seni yang betul-betul baru serta terinspirasi dari Barat, bersikap kritislah terhadap tradisi. Tesis yang laris manis.

Apakah bagi Zefry dagangan laris manis dari zaman ke zaman itu tak ada artinya? Atau dirasa tak perlu menyebutkannya, lantaran sebagai anak Betawi ia tak pernah merasakan ketegangan dengan masa lalu, tradisi, dan juga kampungnya? Lebih jauh lagi, apakah sikap mental Zefry itu merupakan sikap mental kolektif mayoritas anak Betawi yang mengambil jalan sastra: kukuh pada tradisi dan setia pada akar kebetawiannya?
***

Tanpa mempedulikan kecenderungan perkembangan puisi Indonesia mutakhir, Zefry merintis jalan sastranya sendiri dalam peta sastra Indonesia dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah lisan maupun tulisan. Namun, jika diperhatikan sajak-sajak dalam kumpulan Dari Batavia Sampai Jakarta (2001), ia sesungguhnya telah mengambil peran persis tukang cerite yang hidup dalam tradisi Betawi.

Sajak-sajaknya naratif. Bahkan menjurus epik. Dalam epik tukang cerite berisi petualangan jin dalam pelbagai kaliber. Sedangkan dalam sajak Zefry dapat dinikmati petualangan sejumlah petinggi Kompeni, seperti J.P. Coen, Valckenier, dan Reineir, saksi tikus yang berpesta saban hari di graanpakhuizen Kompeni. Termasuk petualangan dari zaman pasca-Belanda minggat, seperti Mat Item benggolan tukang santron, cokek Teluk Naga, Habib kampung Arab, dukun Betawi dan Bang Ali pembangun Jakarta.

Pada keseluruhan karya Zefry terpantul hubungan antara penyair dengan lingkungan sosial-budayanya. Karyanya adalah perhatian dan penghayatan si penyair akan kehidupan budaya Batavia-Betawi-Jakarta yang plural. Masa lalu bagi Zefry bukan beban, tetapi alat untuk memahami identitas dan artinya menjadi selaras zaman. Tengok sajaknya "Lorong Waktu". Meski bergaya polos, tapi judulnya tidak kekanak-kanakan. Pilihan judul "Lorong Waktu" mengisyaratkan sebuah rumus filsafat tentang waktu. Lorong waktu adalah refleksi di mana siapa pun bisa ke masa lalu dan ke masa depan dengan sejarah. Membaca sajak ini--seperti juga sajak-sajaknya yang lain--bisa dirasakan refleksi tentang waktu, tentang kefanaan dalam konteks Jakarta sebagai kemasyarakatan dalam berabad-abad.

Dengan masa lalu itu pula mata batinnya Zefry terus dalam kepekaan dan nalurinya terasah mencerap kemanusiaan yang membawanya kepada keharuan. Sehingga sejarah yang ada dalam sajak-sajaknya bukanlah sejarah dengan S besar. Sejarah yang ditunjukkannya itu adalah sejarah perikemanusiaan di atas tragedi pertentangan penjajahan dan orang-orang yang dijajah, di atas pembunuhan yang dilakukan Valcnier terhadap orang-orang Cina, bukan sekadar derita eks-PKI yang dianggap lepra keparat, atau serangan membabi buta tentara terhadap mahasiswa di Semanggi tahun 1998. Segala muatan tragedi itu diperlihatkan Zefry, bahkan yang kecil sekalipun, seperti dalam sajaknya, "Buah Jambu dari Pasar Minggu".

Zefry pun melahirkan sejenis sajak yang dalam bangsa mana pun di dunia sampai abad ke-21 masih hidup dan dikenal sebagai sajak yang berorientasi terhadap folklor. Beberapa contohnya sajak "Legenda Mat Item", "Keroncong Tugu", "Habib", "Jampi Dukun Bayi Betawi", "Pantun Mainan Anak Blande, Indo, dan Pribumi Betawi".
***

Pada generasi sastrawan Betawi yang lebih muda dari Zefry keterikatan dengan akar tradisi, masa lalu dan lingkungan budayanya pun terlihat kuat. Cerpenis Zen Hae dalam Rumah Kawin(2004) memperlihatkan betapa asyik ia mengawinkan pengalaman masa lalu, lengkap dengan tradisi-budayanya sebagai orang Betawi pinggir. Dari sana ia--saya pinjam ungkapan Nirwan Dewanto--menjelma menjadi narator.

Ya, lewat caranya sendiri Zen Hae pun--seperti disebut dalam cerpennya, "Kelewang Batu"--telah mengaitkan diri pada tradisi sahibul hikayat alias si ampunya cerita atau tukang cerite. Dan, sebagai yang ampunya cerita Zen Hae berjasa besar memperlihatkan dunia batiniah Betawi pinggir, yang dalam sejarah, juga sastra, masih sedikit sekali mendapat perhatian (kalau tidak bisa disebut belum pernah).

Dalam cerpen "Rumah Kawin" tergambar kehidupan cokek (penyanyi gambang) dan perkaitannya dengan dunia jago yang menjadi bagian dari tradisi khas masyarakat Cina Benteng Tanggerang. Bisa tahu pula tradisi nyambut (berlaga) lengkap dengan gaya dan corak maen pukulan (silat) Betawi yang hidup di antara para jago dari kulon (barat) Jakarta yang dilukiskan dalam "Hikayat Petarung Kampung". Termasuk ihwal kesurupan dalam "Rumah Jagal" dan "Kelewang Batu" soal peninggalan prasejarah Jakarta yang hidup dan dikenali penduduk Betawi secara khas serta dihidupkan dalam mitos-mitos.

Segenerasi dengan Zen Hae adalah Chairil Gibran Ramadhan. Anak Betawi Pondok Pinang, Jakarta Selatan, ini pun membawa set Betawi dalam cerpen-cerpennya yang sejak 1997 tersebar di surat kabar nasional.

Seperti halnya Zefry dan Zen Hae, ia pun mengolah mitos dan folklor serta menangkap "pengalaman otentik" masyarakat Betawi-Jakarta menjadi kisah kesaksian, namun dengan nada kegelisahan yang kuat akan keburukan-keburukan nasibnya di tengah metropolis Jakarta. Wabil khusus cerpennya ihwal perkaitan tradisi Betawi dengan Islam, yang sering disebut sebagai napas hidup orang Betawi, tentu akan menjadi dokumen sosial menarik, seperti "Tarawih", "Malam Lebaran", "Dzikir".
***

Zefry, Zen Hae dan Gibran adalah kabar menggembirakan jika membicarakan masa depan dan percaturan anak Betawi sebagai sastrawan. Generasi baru yang telah mengambil estafet dengan caranya sendiri-sendiri dari sastrawan Betawi terdahulu, seperti S.M. Ardan dan Firman Muntaco, namun dengan sikap dasar dan tempat berangkat yang sama, yaitu masa lalu, tradisi, dan kampung halaman sendiri.

Dan, seumpama ujian kepengarangan adalah kritik dan waktu, maka ketiganya telah mendapat tempat dan pandangan positif dari masyarakat luas, juga kritikus sastra. Hal yang menarik adalah, dengan orientasi penciptaan yang mengakar pada akar kebetawiannya, mereka tidak mengalami nasib seperti sastrawan Yogyakarta yang setia pada akar kejawaannya. Mereka tak dikucilkan, dipandang sinis dan tak bernilai oleh barisan kritikus sastra nasional, sebagaimana yang dilukiskan menjadi pengalaman pahit, mengecewakan, bahkan bikin dendam sastrawan Yogyakarta oleh Farida Soemargono dalam Groupe de Yogya les voies javanaises d'une literature Indonesienne (1979).

Pada akhir 1954 dan awal 1955, cerpen-cerpen bertema dan berdialek Betawi-Jakarta S.M. Ardan ketika dimuat di majalah Kisah, yang sudah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari usaha penyebarluasan sastra Indonesia modern, memang menuai kritik keras yang terus berlanjut menjadi polemik. Namun, H.B. Jassin selaku redaksi Kisah membelanya, sebab karya Ardan akan memperkaya kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia mencakup juga karya yang tertulis dalam dialek Jakarta, karena itu Kisah tetap memuat cerita-cerita Ardan. Sebab itu pula mungkin Jassin enteng saja menyebut nama Ardan, juga Firman Muntaco dengan Gambang Jakarte-nya yang pol Betawinya itu, dalam pembahasannya mengenai sastra Indonesia.

Ada banyak kemungkinan sebab penerimaan ramah dan apresiasi di aras nasional terhadap sastrawan Betawi. Mungkin karena mereka ada di "pusat"; mungkin juga lantaran kritikus lebih dekat dan mengenal tradisi budaya Betawi-Jakarta, sebab di kota itulah mereka mukim; mungkin juga sebab bahasa Melayu dialek Jakarta itu sudah menjadi bahasa ngoko-nya orang Indonesia dalam perkembangan bahasa Indonesia yang mengalami kromoisasi.

Yang jelas, dalam karya-karya anak Betawi sebagai sastrawan sejak S.M. Ardan, Firman Muntaco, hingga ke Zefry, Zen Hae serta Gibran, pembaca dan kritikus bukan saja disajikan sastra sebagai belles letters. Lebih jauh lagi sesuatu yang disebut Denys Lombard dalam Histoires courtes d'Indonesie sebagai karya-karya yang dianggap sumber yang bisa mengantarkan kepada sejarah sosial masyarakat Indonesia di suatu periode dalam keanekaan budaya dan masyarakatnya, khususnya Betawi-Jakarta. Sebab mereka memiliki "cara merasakan semesta Betawi-Jakarta". Tradisi Betawi-Jakarta, dalam hal ini, rupanya "telah jadi" dalam nilai yang seterusnya terpadu dalam batin mereka.

Akhirnya, dalam karya-karya mereka, siapa pun dapat menemukan sebuah jaringan dari referensi-referensi secara puitis, budaya dan antropologi yang nyata dan mempunyai pengaruh yang menentukan sebagai simbol semua cinta mereka dan perih mereka atas kejahatan dan keburukan kota Jakarta yang sedang dimodernisasi (kalau tidak bisa disebut diwesternisasi). Dan, ini bukan saja memungkin mereka dapat menangkap dengan tepat gambaran khas masyarakat asli dan kaum urban Jakarta, tetapi juga mampu membuat karya mereka disemangati pengamatan rasa kemanusiaan yang inklusif, merangkul dan memiliki kesadaran kemanusiaan yang satu.

*) peneliti sejarah dan sastra Komunitas Bambu.

Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja

Zen Hae
http://korantempo.com/

M. AAN MANSYUR (semoga Allah memuliakan namanya) adalah satu dari sedikit penyair muda usia yang layak dibicarakan. Ia telah menerbitkan tiga buku, yaitu kumpulan sajak Hujan Rintih-Rintih (2005) dan novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007), dan kumpulan sajak Aku Hendak Pindah Rumah (Nala Cipta Litera, Makassar, 2008), yang dibicarakan dalam tulisan ini. Sajak-sajaknya, terutama dalam buku terbarunya, adalah seperangkat upaya yang cukup menjanjikan: sepenggal jawaban atas problematika persajakan Indonesia mutakhir.

Jika mayoritas puisi kita hari ini, sebagaimana dikatakan Nirwan Dewanto lebih dari 2,5 tahun lalu, berupa tumpukan dan kocokan kata untuk mencapai keajaiban dan keganjilan, maka sajak-sajak Aan adalah komposisi untuk mencapai kesederhanaan dan kewajaran. Jika kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas), kritik Nirwan pada kesempatan yang lain lagi, maka penyair kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982 ini menyuguhkan kemudahan pemaknaan.

Begitulah, mengambil bentuk sajak bebas Aan sesekali menampilkan permainan rima, yang ternyata bukan bayangan pantun atau syair. Gemar pada bait-bait yang membengkak, ia juga bisa berhemat dengan semacam epigram dan haiku. Dengan keharuan kaum Romantik, Aan menggunakan semua bentuk itu untuk membicarakan hampir seluruh isi dunia, dari kasih tak sampai hingga kasih pada ibu, dari hujan pagi hingga kafe pada sebuah benteng, dari kritik sosial sampai hakikat sajak itu sendiri.

Sajak "Engkau dan Sajakku" bisa dibaca sebagai ancangan si penyair, sebuah "pernyataan politis" tentang puisi dan tradisi yang melingkupinya. Posisinya sebagai urutan pertama di buku Aku Hendak Pindah Rumah (182 halaman) menjadi penting. Ia bisa dibaca sebagai sajak yang berdiri sendiri yang tidak berkaitan dengan 100 sajak lainnya, tetapi juga dapat dilihat sebagai sajak-model yang akan membayang-bayangi sajak-sajak berikutnya dalam buku itu. "Engkau selalu sengaja memilih busana yang sederhana /agar kecantikanmu tidak karam dalam kemewahan. / Aku selalu sengaja memilih bahasa yang bersahaja saja / agar makna sajakku tidak lenyap di perangkap ungkapan."

Lihatlah, betapa paradoksalnya si "penyair". Ia menggunakan bahasa kiasan tetapi juga cemas, merasa makna sajaknya terancam dan akan lumpuh dalam bangunan sajak yang penuh dengan ungkapan, metafora dan sejenisnya. Sebab bahasa kiasan, kita tahu, cenderung mengalihkan makna kepada sesuatu yang lain sehingga menimbulkan makna baru--dan bisa jadi bukan itu yang diinginkan penyairnya. Karena itu ia lebih memilih "bahasa yang bersahaja" saja agar makna sajaknya bisa sampai dengan selamat kepada pembaca. Agar selamat dari nonsense.

Jika bahasa yang bersahaja dipercaya bisa menyelamatkan makna sebuah sajak, maka itu baru separuh kebenaran. Separuhnya lagi adalah terpenuhinya kewajiban moral sajak: ia harus jujur--dengan bahasa yang bersahaja atau dengan bahasa yang penuh kiasan. Bait ke-3 dan ke-4 sajak "Kepada Seorang Perempuan di Kuala" menegaskan: "Ketahuilah puisi harus jujur, katanya, / meskipun harus bicara dengan bahasa asing, bahasa yang hening atau yang paling bising. // Puisi enggan menanggung rahasia." Tidak penting benar, sebagaimana Hermes, apakah ia akan menyampaikan seluruh rahasia atau hanya yang dituntut darinya.

Sementara "Dunia yang Lengang" mesti dicatat sebagai sajak yang paling berhasil menjalankan siasat si penyair: sajak yang bersahaja sekaligus jujur. Berikut ini kutipan utuhnya:

Sebuah usaha, agar orang-orang
lebih banyak bicara dengan mata,
pemerintah membuat aturan ketat:
setiap orang hanya berhak memakai
seratus tiga puluh kata per hari, pas.

Jika telepon berdering, aku meletakkan
gagangnya di telingaku tanpa menyebut Halo.
Di restoran aku menggunakan jari telunjuk
memesan mi atau Coto Makassar. Aku secermat
mungkin melatih diri patuh aturan dan berhemat.

Tengah malam, aku telepon nomor kekasihku
di Jakarta, dengan bangga aku bilang padanya:
Aku menggunakan delapan puluh sembilan
kata hari ini. Sisanya kusimpan untukmu.

Jika ia tak menjawab, aku tahu, pasti
ia telah menghabiskan semua jatahnya,
maka aku pelan-pelan berbisik: Aku
mencintaimu, sebanyak lima belas kali.

Setelah itu, kami hanya duduk membiarkan
gagang telepon di telinga kami dan saling
mendengar dengus napas masing-masing

Demikianlah, sajak ini menampilkan dirinya dengan penuh kewajaran. Makna kata-katanya gampang dipahami, sintaksisnya lumayan kokoh, jaringan semantiknya mudah dilacak. Tidak ada bahasa kiasan. Samar-samar kita bisa mendengar permainan rima, juga enjambement yang dirancang sedemikian rupa, tetapi bukan itu yang penting. Yang kita dapatkan bukanlah godaan musikal atau tamasya metaforis sebagaimana banyak kita temukan dalam sajak Indonesia hari ini, tetapi sebuah cerita yang mengandung makna tertentu. Keharuan yang menyisakan humor. Adukan likat antara ortodoksi, amuk cinta, dan hening: ia yang ternyata mengatakan lebih banyak hal ketimbang 130 kata yang telah terpakai. Sebuah ironi yang muncul dari ambisi untuk lebih mendayagunakan bahasa visual dan pembatasan bahasa verbal.

Namun, waspadalah. Sajak-sajak model begini adalah kaum minoritas di dalam "empat rumah dan dua taman" yang dibangun Aan. Jumlah mereka di bawah sepuluh jari. Selebihnya, sajak-sajak yang lahir dari keterombang-ambingan penyairnya: antara hasrat akan kebersahajaan dan godaan keajaiban dan keganjilan, antara tekad merintis jalan sendiri dan bernaung di bawah bayangan penyair-model, baik dari khazanah nusantara maupun khazanah dunia. Antara menemukan dan kehilangan.

Bisa jadi, kebersahajaan tidak menarik lagi. Ia hanyalah jalan sunyi di tengah kekayaan dan keriuhan pengucapan sajak mutakhir kita--sesuatu yang justru cukup berhasil dicoba Joko Pinurbo di masa sebelumnya. Ia ibarat orang yang berpakaian sederhana di tengah mal yang mirip panggung peragaan busana. Ia bisa tenggelam dan dilupakan orang jika saja penyairnya tidak punya siasat yang lebih jitu lagi. Harus segera dibuktikan kebersahajaan bukanlah kata ganti untuk kemiskinan tapi cerminan dari "kekayaan jurus dan bentuk" penyairnya.

Sebagaimana terbukti secara permanen pada Wislawa Szymborska. Peraih Hadiah Nobel Sastra 1996 ini membangun kecemerlangan sajak-sajaknya justru dengan menyuling setiap kata, memangkas metafora, dan meninggalkan tradisi sajak lirik-murni. Tetapi ia kemudian membunyikan renungan intelektual (sebagaimana yang terjadi pada sajak Polandia modern umumnya), di samping menyusupkan ironi dan humor. "Ia dengan sadar menempuh risiko, menampilkan muslihat magisnya lewat larik-larik tajam antara sajak dan esai," begitu pujian Czeslaw Milosz.

Aan tidak mengejar sajak esaistis, hanya prosais. Ia suka pada ironi tapi kurang tertarik pada humor. Ia gampang sekali terharu tapi masih bisa memoles keharuan itu dengan semacam "intelektualitas". Ia merumuskan pengertian, menguraikan makna terdalam sebuah kata, untuk memperluas jangkauan sajak itu sendiri. Sajak "Riwayat Dinding dan Dingin" akan terperosok ke dalam kecengengan kalau saja aku liriknya tidak "berfilsafat" tentang hal-hal sederhana semisal "dinding" dan "dingin". Misalnya, dinding dibuat "untuk memisah-misahkan" aku dan kau, sementara dingin diciptakan agar "yang terpisah direkatkan, agar yang aku dan yang kau disatukan kembali". Begitulah kemesraan intelektualistis itu tercipta dalam suasana yang sebenarnya biasa-biasa saja, nyaris klise.

Jika membunyikan renungan intelektual, "berfilsafat", masih menjadi kebutuhan mewah sajak-sajak Aan, juga sajak-sajak kita pada umumnya, maka mencoba berbagai bentuk perumpamaan sudah menjadi kebutuhan dasar. Yang paling sederhana adalah menampilkan peralihan makna, dari yang harfiah menjadi yang metaforis (sajak "Walau Waktu Telah Jauh, Juga Kau). Atau, menampilkan sejumlah perumpamaan dan itu diupayakan sewajar dan semudah mungkin. Jika perlu dituntun oleh bait sebelumnya supaya pembaca tidak kesulitan mencari maknanya. Seperti bait ke-3 dan ke-4 sajak "Sajak buat Istri yang Buta dari Suaminya yang Tuli" berikut ini:

Di kepalamu ada bando berhias bunga,
kau merasakannya tetapi mungkin tidak
tahu bunga-bunga itu adalah melati putih.
Sementara di kepalaku bertengger sepasang
burung merpati, bulunya juga berwarna putih.

Aku selalu mengenangkan, hari itu, kita
adalah sepasang pohon di musim semi.
Kau pohon penuh kembang. Aku pohon
yang ditempati burung merpati bersarang.

Maksud sajak ini sungguh sederhana. Ia ingin mempertentangkan secara ironis pengalaman indrawi, penglihatan yang lebih dominan ketimbang pendengaran dan penginderaan lainnya, sebagaimana kerap terjadi dalam bentuk-bentuk citraan sajak dan prosa kita. Seorang pengantin laki-laki yang tuli mencoba menceritakan serinci mungkin suasana pesta pernikahannya kepada pengantin perempuan yang buta. Tetapi karena ketuliannya ia tidak mendengar apa sih yang diperbincangkan para tamu dan ia sangat ingin tahu itu semua dari istrinya. Dengan kata lain, sebuah lukisan suasana baru berhasil ketika ia menggabungkan berbagai hasil pengindraan. Sajak ini ditutup dengan sebuah apostrof yang memancing humor sekaligus haru:

Aku lihat, orang-orang datang dan tersenyum.
Mereka berbincang sambil menyantap makanan.
Tapi aku tak dengar apa yang mereka bincangkan.
Maukah kau mengatakannya padaku, Sayang?

*) Buku-bukunya; Rumah Kawin (kumpulan cerita, 2004) dan Paus Merah Jambu (kumpulan puisi, 2007). Tulisan di atas, yang bersambung ke minggu depan, pernah disampaikan versi awalnya pada Temu Penyair Lima Kota di Payakumbuh, Sumatera Barat, 27-29 April 2008.

27/02/09

Sajak-Sajak Acep Zamzam Noor

http://cetak.kompas.com/
Lagu Kasmaran

1
Bertahun-tahun aku menyusuri jejakmu. Pergi ke segala penjuru
Mengikuti setiap arah mata angin, menembus ruang, memotong waktu:
Aku mencatat banyak tempat tapi bukan alamatmu, menghapal banyak
Hurup tapi bukan namamu, mengingat banyak wajah tapi bukan parasmu
Menyentuh banyak rambut tapi bukan rambut ikalmu, mendengar banyak
Suara tapi bukan nyanyianmu dan mencium banyak wewangian, sayangku
Tapi bukan napasmu. Aku mendatangi dermaga-dermaga, mengunjungi
Agen-agen tenaga kerja, ladang-ladang kelapa sawit serta kilang-kilang
Minyak. Aku mencarimu ke hotel-hotel, ke panti-panti pijat, ke sal-sal
Rumah sakit. Aku kembali ke selatan, ke riuh pasar dan bising terminal
Menonton organ tunggal di balai desa, berkaraoke di lapangan sepak bola
Numpang joget sampai pagi. “Mabuk lagi ah ah ah...” suara penyanyi itu
Mirip suaramu, goyang pinggul penyanyi itu mirip goyanganmu


2
Aku kasmaran membayangkan jarak dan rindu. Lalu diam-diam
Melangkah ke barat, mendaki bukit, menuruni lembah, melintasi
Jalan setapak. Berteriak pada laut yang lengang, menggugat ombak
Yang mendadak lunak. Telah kulepaskan semua mahkota, cintaku
Kutinggalkan kedudukan dan kubuang keyakinan yang masih tersimpan
Di balik baju. Kulupakan langgar dan katedral, sembahyang di altar diskotik
Makan di partai politik, mabuk di organisasi terlarang serta muntah darah
Di instansi pemerintah. Suaramu di mana-mana, foto bugilmu tersebar
Ke mana-mana dan senyum nakalmu menghiasi bibir para pengacara
Kudengar desahanmu di rapat wakil rakyat yang lucu, di sidang kabinet
Yang selalu ragu. Eranganmu menjelma gempa bumi, menjelma
Semburan lumpur panas, menjelma angin puting beliung yang ganas
Lalu pesawat-pesawat berjatuhan, kereta api-kereta api bertabrakan


3
Aku berjalan tanpa bicara. Berlari dari tenggara ke utara
Ke ujung jazirah paling renta. Aku berziarah ke makam raja-raja
Siapa tahu nama Arabmu terpahat indah di salah satu batu nisannya
Aku memasuki stadion, siapa tahu wajah Acehmu terpampang megah
Di dinding-dindingnya. Aku ambil radio, siapa tahu cengkok Sundamu
Masih mengalun merdu. Aku pergi ke sungai, siapa tahu tubuh cokelatmu
Tengah dicuci. Aku sembunyi di hutan ganja, semadi di gudang ekstasi
Sambil berharap sekali waktu dapat melihat alis mata Frida Kahlomu
Lebih dekat. ”Mabuk lagi ah ah ah...” sayup-sayup lagu kebangsaanmu
Dinyanyikan para gerilyawan. Kemudian terdengar serentetan tembakan
Sejumlah dentuman. Ah, kenapa masih menuntut setoran, pujaanku
Bukankah tahu sebagai penyair penghasilanku tak menentu? Kenapa
Terus minta dikirimi pulsa padahal kau sudah aman dipelihara tentara?

4
Aku kasmaran mengingat goyanganmu. Aku tak bisa menyanyi
Tapi sanggup joget tanpa henti. Telah kujelajahi warung-warung kopi
Kusatroni tenda-tenda pengungsi, main remi atau membacakan puisi
Bersama relawan kureguk segala bantuan, bersama pejuang kutenggak
Semua sumbangan. Kau sedang apa, biduanku? Suaramu terbawa angin
Nyanyianmu hanyut bersama tembok dan genting, mengalir diseret banjir
Mengendap di bumi dan menguap kembali. Kini syair-syair dangdutmu
Semakin merajalela. Aku terkesima, namamu diabadikan jalan-jalan raya
Dibahas lembaga-lembaga penjual bencana, dikaji komite-komite penjaja
Kemiskinan negara. Lalu dengan bahasa tubuh kauajari mereka demokrasi
Kauceramahi mereka kebebasan berekspresi serta kaukuliahi mereka
Apa itu hak asasi. Kulihat matamu nanar, dadamu bergetar, pinggulmu
Berkobar dan kekhusyukanmu total, wahai panutanku yang sintal


5
Bertahun-tahun aku merasa kehilangan. Sejak kau pergi subuh itu
Sejak kereta membawamu ke Jakarta, sejak Lion Air menerbangkanmu
Dari Cengkareng ke ujung Sumatera, sejak gempa dan gelombang pasang
Menghancurkan semuanya. Aku pun merasa telah kehilangan semuanya
Kehilangan segalanya. Dan mulailah aku mencatat nama-nama ganjil
Yang bukan lagi namamu, melukis wajah-wajah kasar yang bukan lagi
Wajahmu, menyentuh rambut-rambut kusut yang bukan lagi rambutmu
Mendengar suara-suara gombal yang bukan lagi suaramu dan mencium
Napas-napas busuk yang bukan lagi napasmu. Mulailah aku menapaki
Jejak-jejak samar yang bukan lagi jejakmu, membaca tulisan-tulisan kabur
Yang bukan lagi tulisanmu. Mulailah aku meniduri ranjang-ranjang dingin
Yang bukan lagi ranjangmu, malam-malam sepi yang bukan lagi malammu
Tahun-tahun panjang yang bukan lagi tahunmu. ”Mabuk lagi ah ah ah...”


6
Aku teringat sebuah gubuk bambu, di mana kita makan sepiring berdua
Di mana kita tidur setikar bersama, dengan baju satu kering di badan
Terkenang ketika kita jatuh bangun, ketika harus memilih sakit gigi
Ketimbang sakit hati. Terbayang juga sewaktu berkelana, sewaktu
Begadang di pos ronda, sewaktu penasaran ingin menaklukkan ibukota
Dengan gitar tua. Sebuah majalah hiburan kemudian menobatkan kita
Sebagai pasangan termiskin di dunia. Kau berada di mana, pemimpinku?
Gardu-gardu dibangun di setiap perempatan jalan, milisi-milisi muncul
Dari setiap perkampungan. Kini semua orang berebut menjadi lurah
Bupati, gubernur atau presiden. Semua orang berlomba menjadi nomer satu
Tolong tunjukkanlah pada mereka bagaimana menjadi seorang guru bangsa:
Angkat tanganmu, kibarkan bulu ketiakmu, ngangakan sedikit mulutmu
Guncangkan pelan bahumu dan putarkan patah-patah selangkanganmu



Lima Puisi tentang Sepi

1
Ketika bertemu aku tidak langsung memeluknya tapi membiarkan
Rindu berjalan-jalan dulu di antara dengung kulkas dan detak jam
Aku tidak segera menciumnya tapi mempersilakan sisa ingatan
Mengembara dalam keheningan ruang yang lama tidak kami huni
Aku memandangnya lekat-lekat sebagaimana dia memandangku
Tanpa mengedipkan mata. Aku berdiri saja seperti halnya dia
Mematung tanpa suara. Tiga tahun memang bukan waktu yang lama
Rambutnya masih ikal dan alisnya tebal. Dulu aku menyayanginya
Tapi banyak hal terjadi di muka bumi. Aku memalingkan wajah
Karena tak tahan melihat butiran air yang bergulir di pipinya


2
Jam di dinding berdetak nyaring ketika aku duduk dekat jendela
Menulis puisi bukanlah pekerjaan gampang jika perasaan dan pikiran
Disayat-sayat sepi. Sambil terpejam aku menelungkup di atas meja
Betapa mengerikan mendengar dengung yang terus berulang-ulang
Dari arah kulkas. Betapa menakutkan bertarung melawan kesendirian
Yang banyak sekali pasukannya. Nampak masih ada ranjang, kelambu
Yang sudah menguning, kasur yang dingin, bantal serta guling
Juga sulaman yang tergantung miring. Ah, menulis puisi bukanlah
Pekerjaan mudah jika celanaku dan kutangnya masih berserak di lantai
Jika detak jam dan dengung kulkas seperti maut yang mengintai


3
Setelah dia pergi lama aku tidak bisa menulis puisi, lama juga
Tidak menerima kabar apa-apa. Ketika ada teman menghadiahkan
Cemara udang mungil pada ulangtahunku, aku langsung jatuh cinta
“Akan kurawat bonsai ini seperti merawat kenangan,” seruku girang
Hanya dalam tiga bulan aku sudah mengoleksi ratusan jenis pohon
Dari berbagai spesies. Kegemaranku yang aneh ini ternyata upaya lain
Melawan sepi. Pagi dan sore aku menyiram tanah, memangkas daun
Memotong ranting yang liar atau membalut batang dengan kawat
Seminggu tiga kali aku berburu pohon baru layaknya penyair
Mengejar kata-kata. Menyusuri pinggiran sungai dan tebing pantai


4
Ketika kami bertemu kembali aku tidak langsung menyapanya
Tapi menarik napas agar dadaku ringan. Aku menarik napas panjang
Sambil membuang kalimat-kalimat yang sudah lama kupersiapkan
Dan ingin menggantinya dengan haiku. Kucari tujuh belas suku kata
Tapi yang muncul empat puluh lima sehingga kalimatku yang nyinyir itu
Kembali memenuhi kepala. Akhirnya aku hanya diam dan tersenyum
Begitu juga dia, hanya diam dan tersenyum tanpa sedikit pun bicara
Tiga tahun bukanlah waktu yang lama meski telah membuat kami
Asing satu sama lain. Dulu aku selalu merindukan kehadirannya
Tapi banyak hal terjadi di muka bumi. Aku ingin menulis puisi lagi


5
Tak ada lagu yang terdengar selain detak jam dan dengung kulkas
Yang ditingkah bunyi cengkerik dan kodok di sawah. Aku masih duduk
Kutegakkan wajahku ke langit-langit dan kuketuk-ketukkan jemariku
Pada permukaan meja. Ada cecak merayap dan banyak laron terbang
Di sekitar lampu. Bunyi kayu dari ketukan jemariku terdengar satu-satu
Seperti napas serdadu di bawah tiang gantungan, seperti tetes-tetes sunyi
Dari mulut keran yang bocor di bak mandi. Tak ada kretek atau cerutu
Tak ada kopi apalagi alkohol. Kembali aku menelungkup di atas meja
Menulis puisi bukanlah pekerjaan sederhana jika kesewenang-wenangan
Terus merajalela. Jika kekuasaan tidak bisa dilawan dengan kata-kata



Sajak Seorang Pengungsi
Buat Frans Nadjira

Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun
Di jantungku gedung-gedung yang tinggi telah kukaramkan
Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku
Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat
Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Dalam mabuk
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini
Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan pedang terhunus
Kemudian melempari para pejabatnya yang suka nampang
Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah bendera
Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun
Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan
Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan kini memaksaku
Menjadi serdadu. Kembali aku mengembara dalam kesamaran
Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak
Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:
Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh
Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi

23/02/09

Mengintip Dunia di dalam Dunia

Judul buku: Dunia Kecil; Panggung &Omong Kosong
Pengarang : A. Syauqi Sumbawi
Jenis buku: Novel
Epilog : Nurel Javissyarqi
Penerbit : PUstaka puJAngga, Sastra Nesia, Lamongan 2007
Tebal Buku: iv+220hal,12×19cm.
Peresensi : Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong merupakan karya yang imajinatif. Karya yang penuh dengan perjalanan yang diliputi dengan perjuangan untuk mengungkap misteri. Misteri dalam realitas cerita itu sendiri.

Sebagaimana judul yang dipakai, Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong, novel ini mengisahkan tiga dunia sekaligus dalam rentang waktu yang bersamaan. Dunia tersebut adalah dunia nyata yang diwakili oleh omong kosong yang dilakukan antara dua orang tokoh yaitu sutradara pementasan dan salah seorang penonton pertunjukan. Ah tidak, bukan seorang penonton. Bisa jadi kita sendiri selaku penbacanya. Yang kedua adalah dunia panggung atau dunia pertunjukan drama dengan tokoh utamanya, Yangrana. Dunia yang ketiga adalah kisah perjalanan Yangrana dalam menembus dan melintasi dunia kecil yang terdapat di dalam lakon pertunjukan tersebut.

Yang menjadi penggerak alur cerita dalam novel ini adalah Yangrana, Sutradara, dan seorang Penonton. Maaf bukan penonton. Maksud saya pembaca. Eksistensi ketiga tokoh ini sangat jelas, namun yang menjadi tumpuan utama penulis, A. Syauqi Sumbawi adalah Yangrana. Tokoh inilah yang menjadi wahana penyalur ide dan pemikiran penulisnya.

Perjalanan Yangrana dalam dunia kecil merupakan sebuah perjalanan yang misterius. Perjalanan yang penuh dengan teka-teki yang harus diungkap olehnya. Kalau boleh diilustrasikan, perjalanan Yangrana seolah-olah menyimbolkan perjalanan ruhaniah seorang mistikus dalam mengungkap tabir kehidupan.

Di dalam dunia kecil tersebut, Yangrana berposisi sebagai orang yang awam. Orang yang tidak mengerti apa-apa dan bahkan ia pun tidak mengerti dengan keberadaanya saat itu. Setiap orang yang dijumpainya dalam dunia kecil tersebut, justru malah membuatnya semakin bingung. Setiap kali bertanya masalah keberadaanya, ia justru dihadapakan dengan persoalan-persoalan yang baru. Ia justru dihadapkan dengan teka-teki yang sanggup memicu timbulnya amarah.

Meskipun setiap orang yang ditemui Yangrana di dunia kecil tersebut membuatnya bingung dan emosi, mereka juga kerap menanamkan nilai-nilai kepribadian yang lebih. Nilai-nilai tersebut tidak hanya tertuju kepada Yangrana semata, melainkan juga mengarah kepada para pembaca. Beberapa di antara nilai-nilai tersebut adalah nilai kesabaran, keyakinan, dan percaya diri.

Sabar merupakan modal utama dalam menjalani kehidupan. Hal itu disebakan oleh, setiap kehidupan pasti terdapat suatu bentuk hambatan, ujian, dan tantagan. Semua itu haruslah dihadapi dengan penuh kesabaran agar seseorang kuat dalam menjalaninya. Selain itu, kesabaran merupakan pondasi awal dalam diri seseorang sebelum ia melakukan suatu perubahan yang sangat besar dan menyeluruh. Nilai kesabaran yang ditanamkan adalah; “Benar sekali. Karena di mana pun, hanya yang mempunyai kesabaran yang bisa beradaptasi. Pertahanan diri yang pertama sebelum melakukan evolusi” (hal:42).

Masalah keyakian merupakan masalah yang pokok dalam kehidupan seseorang. Keyakinan berorientasi pada personalitas seorang individu yang tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dipaksa-paksakan. Hal tersebut berorientasi kepada apa saja, baik ketuhanan, agama, ideologi, kebenaran, maupun yang lainya. Meskipun demikian, keyakinan seseorang bisa berubah-ubah dan tidak tetap. Kadang kuat dan kadang melemah. Semua itu tinggal sugestilah yang memegang peranan penting. Sugesti yang kuat dalam mempengaruhi-lah yang nantinya sanggup mengarahkan pilihan seseorang selanjutnya. Nilai keyakinan yang tercantum adalah; “Anda yakin sekali, Tuan Yangrana. Akan tetapi perlu anda tahu, keyakinan sifatnya tidak permanen. Seperti iklim cuaca yang begitu mudah berubah. Seperti temperatur. Kadang di puncak dan kadang di titik terrendah. Anda harus paham itu dan berhati-hati” (hal:93).

Sifat percaya diri keberadaanya juga sangat penting dalam diri seseorang. Dengan demikian, sifat tersebut perlu untuk ditumbuhkembagkan. Hal itu disebabkan oleh sifat percaya diri mampu menciptakan daya semangat hidup dalam diri seseorang. Seseoarang akan terlihat lebih bersemangat dalam menjalani realitas kehidupan yang ada jika ia memiliki sifat percaya diri yang tinggi. Namun perlu diingat, sifat percaya diri yang sangat berlebihan juga kurang baik dalam diri seseorang. Nilai sifat percaya diri yang terungkapkan adalah; “Kenapa anda masih bingung meskipun interpretasi anda tentang dunia kecil adalah sebuah jawaban yang benar, menunjukkan bahwa anda ragu-ragu. Apalah artinya kebenaran jika disikapi dengan keragu-raguan?!” (hal:92).

Masih cukup banyak nilai-nilai lain yang terdapat di dalam novel ini. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan cermin dalam menjalani realitas kehidupan yang ada. Masuklah ke dalam dunia kecil. Berjalanlah dan telusurilah lorong-lorong misteri yang ada di dalamnya, selaksa Yangrana yang mencari hakekat keberadaanya. Sungguh, hikmah kehidupan akan bermekaran selaksa kuncup bunga yang sedang mengembang. Dan petiklah!

Dari bangun intrinsiknya, ada satu permainan alur yang cukup unik di dalam novel ini. Di dalam novel ini, penulis secara sengaja menyematkan konstruksi alur yang meloncat-loncat, namun konstan dan terarah. Alurnya tidak serampangan dan tersusun secara apik. Loncatan-loncatan itu menimbulkan efek yang baik dalam karya tersebut, yaitu menimbulkan adanya suspens antara pembaca dengan karya itu sendiri. Yang menjadi titik pangkalnya adalah timbulnya foreshadowing dalam alur cerita sehingga menjadikan pembaca bertanya-tanya dan tertarik untuk mencari dan membaca kejadian-kejadian yang akan terjadi pada tokoh selanjutnya.

Selain semua itu, susunan alur yang demikian juga mampu membingungkan pembaca. Mereka yang kurang jeli, kurang teliti, dan kurang khusuk dalam membaca, maka akan mengalami hambatan saat melakukan pemahaman. Mereka kurang dapat menikmati dalam proses membaca, bahkan sanggup mengalami kejenuhan. Mereka juga akan bingung sendiri sebab tidak mampu menemukan kesatuan ide penceritaan. Jadi, dalam proses membaca perhatikan betul loncatan sekaligus perubahan alur ceritanya. Cermati dengan seksama antara suasana dunia panggung dengan di luar panggung.

Novel ini disusun ke dalam tiga puluh bagian buku. Setiap bagianya menghadirkan loncatan-loncatan yang cukup variatif. Dan dimunculkan dalam bentuk perubahan setting penceritaanya. Yang paling unik lagi, novel ini mengajak pembaca berdialog secara langsung. Pembaca dijadikan salah satu tokoh penyusun dan penggerak alur ceritanya. Hal itulah yang kiranya sungguh fantastik dan brilian yang dilakukan penulisnya. Suatu teknik yang jarang dan bahkan bisa dibilang belum pernah di terapkan oleh penulis sebelumnya. Dan akhirnya, selamat membaca! Selamat menyelami! Selamat menikmati! Temukan segala yang menjadi misteri.

17/02/09

Kelakar Jazz Donny Suhendra

Aguslia Hidayah
http://www.korantempo.com/

Di atas panggung, Donny Suhendra memulai penampilannya dengan berbicara kepada penonton. Selain memperkenalkan para musisi yang mendampinginya, ia menjelaskan bahwa selain nomor lama dan sudah dikemas dalam cakram padat (CD), ada sebuah nomor baru. Bahkan, "belum ada judulnya".

Di Bentara Budaya Jakarta Kamis malam lalu, musisi jazz ini memang memperkenalkan sebuah album dalam bentuk CD berjudul Di Sini Ada Kehidupan. Album yang berisi sembilan lagu itu merupakan pengemasan ulang dari album serupa yang pernah dirilisnya pada 1999.

Album ini juga diperkaya dengan featuring sederet musisi jazz kondang yang membantu Donny. Di antaranya Indra Lesmana, Pra Budidharma, Syaharani, Akshan Syuman, Gilang Ramadhan, Iwang Gumiwang, dan Indro Hardjodikoro.

Mengapa meluncurkan album lama? Tahun ke tahun, ia selalu ingin membuat album solo berikutnya. "Tapi kok banyak orang malah bertanya album pertama saya," katanya. Mengambil jalan tengah, Donny bersama produser Gideon Momongan pun mengemas ulang album tersebut.

Beraksi santai di atas panggung dalam tajuk "Life in Peace and Harmony", Donny ditemani Christian (bas) dan Demas Narawangsa (drum). Sejumlah lagu pun dimainkan, antara lain PagiMu, Water, dan Kano. Sesekali ia berkelakar. "Saya kepanasan di sini, mungkin karena terlalu bersemangat," katanya dari atas panggung.

Alunan jazz yang kental ala Donny dinikmati oleh para pengunjung tanpa bosan. Mereka juga memperlihatkan aksi solo masing-masing. Mata dan konsentrasi penonton pun tertuju ke panggung menyaksikan aksi masing-masing mereka.

Tak melulu jazz tanpa vokalis, Donny menghadirkan Hans Bartell untuk menyanyikan lagu baru dalam album itu. Di album ini, Hans menyanyikan lagu baru berjudul Akulah Aku, sekaligus menjadi lagu yang dinyanyikan malam itu. Vokalnya jernih dan cukup berkarakter. "Aku suka vokal lho," kata Donny kepada pria tambun asal Kupang itu.

Donny menyajikan pertunjukan dengan santai malam itu. Selain sesekali melempar guyonan atau berbicara kepada penonton, ia sempat menerima telepon saat memperkenalkan Hans. "Sebentar ya, ada telepon. Siapa tahu ada job," ujarnya bercanda.

Ketika konser berakhir, tepuk tangan bergema panjang. Lalu, penonton meminta tambahan lagu. Urung pamit, Donny dan kawan-kawan kemudian membawa sebuah nomor tambahan. "Ini lagu spontan. Nggak pakai latihan dulu," katanya.

Nama Donny Suhendra pernah berkibar pada 1980-an setelah ia menjadi gitaris terbaik dalam ajang Light Music Contest. Apalagi, band Krakatau tempatnya bernaung kala itu tengah jadi idola. Selain itu, ia membentuk Dimensi Band bersama Yuke Sumeru dan Ruby Subekti. Mereka memainkan musik beraliran jazz-rock.

Pada 1990-an, ia bersama Indra Lesmana dan Gilang Ramadhan meninggalkan Krakatau dan membentuk formasi Indra Lesmana Java Jazz dan Adegan. Lalu, Kamis malam itu ia tampil dengan formasi berbeda.

Menguatkan Korelasi Susastra dan Film Nasional

N. Syamsuddin CH. Haesy
http://jurnalnasional.com/

PRODUKSI film nasional, pada masanya berkorelasi dan menggerakkan gairah penulisan dan penerbitan buku-buku sastra. Juga sejumlah programa siaran radio. Kita mencatat beberapa film nasional yang sedemikian bermakna sebagai penggerak kreativitas penulisan novel dan karya sastra lainnya.

Cintaku di Kampus Biru, Jangan Ambil Nyawaku, Lupus, Catatan Si Boy, dan lainnya adalah contoh paling konkret dari korelasi itu. Belum lama, kita mencatat film Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Tentu tak hanya itu, karena karya-karya roman juga diangkat ke layar lebar, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Sitti Noerbaja, dan Sengsara Membawa Nikmat.

Korelasi karya susastra dalam bentuk novel dan roman, serta programa siaran radio dengan film merupakan keniscayaan. Keduanya bisa saling menguatkan satu dengan lainnya. Apalagi, bila hendak disimak lebih jauh, bahwa karya-karya susastra berbasis fiksi dan kontemplasi, dalam banyak hal merupakan deskripsi realitas kedua atas realitas pertama kehidupan manusia. Semua itu relevan menjadi basis cerita atau ruh karya film.

Soalnya kemudian adalah seberapa jauh kedua wilayah kreatif ini dipertahankan korelasinya satu dengan lain, dalam bentuk produk yang mengekspresikan kreativitas dan inovasi dayacipta. Karenanya, kedua medium ekspresi kreativitas itu, tak hanya harus dipandang sebagai potret industri kreatif yang saling berhubungan satu dengan lainnya, karena di dalamnya terdapat dimensi kedalaman yang menyentuh akar budaya, basis nilai peradaban manusia.

Film sebagai medium budaya yang sekaligus medium komunikasi massa, merupakan salah satu produk budaya populer. Medium harmoni mimpi, imajinasi, dan realitas.

Memahami dengan saksama korelasi masing-masing medium, kita – kemudian -- menemukan sedemikian banyak aspek peradaban dan keadaban manusia. Mulai dari proses pengembangan imajinasi kreatif, menjadi ekspresi produktivitas budaya yang dikelola secara profesional. Dalam konteks demikianlah, film sebagai media, merupakan kekuatan potensial yang mengekspresikan perkembangan peradaban suatu bangsa. Lantas, dari kekuatan itulah, kita menemukan format paling konkret dari makna: transformasi secara luas. Mulai dari transfer of knowledge, sains, dan teknologi.

Perubahan Mindset

KINI dan mendatang, ketika peradaban manusia terus berkembang, film sebagai medium ekspresi nilai-nilai peradaban manusia akan selalu bertambah kokoh bila dikaitkan dengan karya susastra. Keduanya saling menguatkan satu dengan lainnya.

Dalam konteks inilah, kita menemukan sedemikian banyak karya-karya film yang sedemikian merasuk ke dalam pikiran, dan mengubah mindset peradaban manusia yang sedemikian plural, multikultural, dan melintasi batas wilayah negara dan budaya. Harry Potter, adalah salah satu contoh yang bisa disebut sebagai paduan harmonis karya susastra dan film yang mengubah mindset sedemikian banyak manusia penonton dan pemirsanya. Demikian pula halnya dengan The God Father, dan begitu banyak karya lainnya.

Beranjak dari pandangan demikian, di tengah keringnya gagasan kreatif tentang film-film berdimensi kultural dalam makna yang luas, kita perlu menguatkan kembali hubungan korelasi kedua medium itu secara sistemik. Memadukan kedua medium itu merupakan langkah strategis, ketika kita sungguh menyadari, bahwa bangsa ini memerlukan gerakan transformasi baru menembus dunia global. Menjembatani pluralitas dan multikulturalisme.

Dalam konteks itulah, kembali kita ingatkan pentingnya menghidupan kembali program apresiasi sastra dan film di lingkungan pendidikan formal. Tak hanya sebatas program dalam wilayah ekstra kurikuler dan co-kurikuler dalam keseluruhan program pendidikan kita. Karena semestinya, kedua media itu menjadi bagian tak terpisahkan dari bidang studi yang terintegrasi di dalam silabus kurikulum pendidikan nasional kita.

Dalam kerangka demikian, sekali lagi, diperlukan kesadaran, tanggung jawab, kemauan, kemampuan kolektif kita untuk melihat susastra dan film sebagai bagian penting hidup kebangsaan dan kenegaraan. Tak hanya berkutat di wilayah politik dan ekonomi. Karenanya, sangat perlu Badan Perencanaan Nasional (Bapenas) memikirkan hal ini.

Simfoni untuk Haydn

Ibnu Rusydi
http://www.tempointeraktif.com/

Jakarta: Di tengah padatnya kesibukan akhir pekan di Plaza Semanggi, terselip rombongan penikmat musik klasik. Mereka memadati kursi-kursi melingkar di Balai Sarbini. Sekitar 600 orang menghayati pengalaman musik karya Haydn dan Beethoven.

Nusantara Symphony Orchestra, Jumat malam lalu itu bukan tak sengaja memilih karya kedua komponis klasik tersebut. Tahun ini adalah adalah perayaan 200 tahun sejak meninggalnya Franz Joseph Haydn (1732-1809), komponis dari Austria. Komponis Jerman Ludwig van Beethoven pernah belajar di bawah bimbingan Haydn meski hanya setahun.

Konduktor dan pengarah musikal malam itu adalah Hikotaro Yazaki. Saat ini, Yazaki merupakan konduktor utama tamu untuk Nusantara Symphony Orchestra. Sang maestro ini dulunya adalah mahasiswa jurusan matematika Universitas Sophia, Tokyo. Pada 1970, dia lulus sebagai konduktor dari Universitas Nasional Tokyo. Kini, dia menjadi konduktor kenamaan kelas dunia dan sudah memimpin berbagai orkestra di berbagai belahan bumi.

Malam itu, Yazaki memimpin orkestra dan membawakan dua karya Haydn, yaitu Simfoni nomor 1 dalam D mayor (1759) dan Simfoni nomor 104 London dalam D mayor (1795). Karya Beethoven yang dipersembahkan adalah Simfoni nomor 3 Eroica dalam E flat mayor (1803).

Simfoni nomor 1 adalah karya pertama Haydn, sang Bapak Simfoni. Karya ini terdiri atas tiga gerakan (movement). Gerakan pertama dimulai dengan kresendo dan nada-nada yang bertahap naik. Ini adalah tren baru saat itu, yang menunjukkan karakter Austria Haydn. Gerakan kedua didominasi alat musik gesek dan bagian terakhir cenderung riang.

Simfoni nomor 104 adalah karya terakhir Haydn, penutup Simfoni London, yaitu 12 simfoni yang ditulis saat Haydn berkunjung ke London. Karya ini lebih mengeksplorasi alat-alat tiup, yang lumayan banyak mendapat sesi solo. Terdiri atas empat gerakan, bagian terakhir dibuka dengan gaya musik rakyat Kroasia.

Diselingi intermisi 15 menit, setelah karya Haydn, orkestra mempersembahkan Eroica (Italia: heroik). Ini karya yang dipersembahkan oleh Beethoven untuk mengenang memori seorang besar. Saat menulis Simfoni nomor 3 ini, Beethoven memikirkan Napoleon Bonaparte sebagai wujud Revolusi Prancis.

Mei 1804, Napoleon mengangkat diri sebagai Kaisar Prancis. Beethoven, yang tadinya menjuduli karya itu Bonaparte, mencoret judul itu dengan pisau, hingga kertas berlubang. Kemarahan itu tak berlangsung lama. Pada 1810 ia menulis karya itu "mungkin bisa didedikasikan kepada Napoleon".

Sementara itu, Eroica adalah karya yang emosional. Beethoven memasukkan unsur-unsur ketegangan. Karya ini terdiri atas empat gerakan. Keseluruhan simfoni ini adalah sebuah karya yang panjang.

09/02/09

Mengaranglah Sampai ke Amerika

Binhad Nurrohmat
http://www.pikiran-rakyat.com/

Pada sejumlah pengarang kita mengarang karya ketika berada di negeri lain serta terilhami kenyataan manusia dan kebudayaannya, misalnya Rendra (Blues untuk Bonnie, 1971), Umar Kayam (Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, 1972), dan Budi Darma (Olenka, 1983).

Para pengarang dan karyanya yang berjelajah lintas-budaya ini merupakan sebagian jejak prestasi "kosmopolitan" kesusastraan kita. Para pengarang ini mengarang karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaan di negeri sendiri maupun negeri lain, yaitu Amerika, dengan mutu literer dan kadar kepekaan persoalan yang mengagumkan.

Pengarang yang mengarang karya di negeri lain serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya agaknya masih menjadi sejenis romantisme dan dianggap bakat istimewa yang tak dipunyai oleh semua pengarang. Puisi Rendra, cerpen Umar Kayam, dan novel Budi Darma itu menangkap, menyelami, dan menyerap kenyataan manusia dan kebudayaan di negeri yang "baru" mereka kenal. Banyak pengarang kita kerap mondar-mandir ke berbagai negeri, tapi masih amat langka karya sastra kita yang menjadikan kenyataan kebudayaan dan manusia di negeri lain itu sebagai sumber penciptaannya.

Tempat baru, apalagi di negeri asing, bisa memberi pengalaman baru yang ekstrem, mengesankan, atau memukau. Alasannya, musim, tradisi, cuaca, watak manusia, peristiwa, dan pernik-pernik kebudayaan di Amerika atau Eropa, misalnya, berbeda dengan musim, tradisi, cuaca, watak manusia, peristiwa, dan pernik kebudayaan di Indonesia. Perbedaan-perbedaan ini bukan tak memengaruhi kecenderungan bentuk maupun batin karya sastra. Pengalaman, sebagaimana juga pengetahuan, punya peran besar dan penting dalam membentuk kecenderungan atau memberi corak mental maupun cara pandang pengarang.

Pengalaman merupakan pengetahuan dan kekayaan rohani yang bisa menjadi sumber penciptaan, tapi tak semua pengarang mampu menjadikannya sebagai sumber penciptaan. Ada sejumlah pengarang kita yang tinggal atau berkelintaran di negeri lain melulu mengarang karya tentang negerinya sendiri, misalnya pengarang eksil kita di negeri-negeri Eropa Barat, Tiongkok, dan Uni Sovyet. Akan tetapi, ada juga pengarang kita yang bertualang ke berbagai negeri mampu mengarang karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya maupun tentang kenyataan manusia dan kebudayaan di kampung halamannya sendiri, misalnya Sitor Situmorang.

Sudah lazim, pengarang menggarap karya tentang urusan yang dekat dan diakrabinya. Kedekatan dan keakrabanlah yang potensial memantik naluri kepengarangan; dan pengalaman di negeri lain cenderung menjadi urusan yang asing dan tak menggerakkan naluri atau daya kepengarangan, seperti yang digambarkan puisi Sitor Situmorang, "Dua kota satu kekosongan/Dua alamat satu kehilangan/Antara nyiur dan salju/ Merentang ketakpedulian tuju".

Barangkali, tingkat kepekaan dan wawasan kebudayaan dunia yang membuat pengarang mampu atau gagap mengarang karya di negeri asing serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya.

Dunia ulang-alik

Linus Suryadi A.G. mengarang Pengakuan Pariyem (1981) di kampung halamannya (Yogyakarta) dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya, Ahmad Tohari mengarang Ronggeng Dukuh Paruk (1982) di kampung halamannya (Cilacap) dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya, dan D. Zawawi Imron mengarang Madura Akulah Darahmu (1999) di kampung halamannya (Madura) serta diilhami oleh suasana alam dan manusianya. Para pengarang ini kerasan di kampung halamannya dan mengeksplorasi kebudayaan lokalnya. Demikian pun Sandiwara Hang Tuah (1996) karya Taufik Ikram Jamil (Riau), Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini (Bali), Perempuan Pala (2004) karya Azhari (Aceh), dan Perantau (2007) karya Gus tf Sakai (Payakumbuh).

Sementara Rendra (lahir di Solo), Umar Kayam (lahir di Ngawi), dan Budi Darma (lahir di Rembang) mengarang karya sastra di Amerika dan tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya; Sitor Situmorang (lahir di Harianboho, Sumatra Utara) mengarang puisi di Prancis serta tentang pengalamannya di negeri itu, dan Acep Zamzam Noor (lahir di Tasikmalaya) mengarang puisi di Italia serta tentang pengalamannya di negeri itu (puisi "periode Italia" penyair ini dianggap sebagai karya terkuatnya).

Semua itu merupakan bukti kepekaan karya pengarang kita dalam jelajah lintas-budaya dan mengeksplorasi kebudayaan lokal--tanpa pemujaan atau glorifikasi pada kebudayaan di negeri lain maupun kebudayaan di kampung halaman sendiri. Mereka membumi karena mengarang karya berdasarkan sumber penciptaan yang mereka alami, kuasai, atau miliki. "Membumi" tak mesti berarti terikat hanya dengan kenyataan manusia dan kebudayaan di kampung halaman sendiri, melainkan sejenis "daya" membangun keakraban dan kepekaan pada kenyataan manusia dan kebudayaan di mana pun.

Pengelanaan pengarang kita ke negeri lain itu telah menghasilkan karya tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya yang memperkaya jelajah lintas budaya khazanah kesusastraan kita; dan eksplorasi kebudayaan lokal pengarang kita itu menyumbangkan karya "kampung halaman" yang berharga bagi khazanah kesusastraan kita. Pengelanaan dan eksplorasi semacam ini berpengaruh secara signifikan terhadap kekayaan pengalaman kebudayaan maupun kebahasaan pengarang dan karyanya.

Namun, pengarang yang mengarang karya di negeri lain serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya tak niscaya membuat karyanya "mendunia"; dan pengarang yang mengarang di kampung halaman sendiri serta tentang kenyataan manusia dan kebudayaannya tak mustahil menghasilkan karya berharga bagi dunia.

Selain faktor estetikanya, karya sastra menjadi berharga karena mampu menawarkan kedalaman atau keunikan perspektif terhadap manusia dan kebudayaannya.

Keluasan jelajah dan kedalaman eksplorasi sumber penciptaan karya makin tak terelak menuntut pengarang mana pun, termasuk kejembaran wawasan dan inovasi estetikanya. Jelajah di sini tak sebatas keluasjauhan rambahan fisikal belaka, tapi juga kedalaman batiniahnya. Begitulah, kesusastraan makin menuntut kematangan pribadi pengarang, kedalaman dan kejembaran pengetahuan, dan pengalamannya terhadap beragam kenyataan manusia dan kebudayaannya.

Dunia tak bisa mengelak dari perubahan "konsep" ruang-waktu lantaran perkembangan sains dan teknologi abad mutakhir yang "melipat" ruang-waktu dan perubahan ini memengaruhi kecenderungan kesusastraan di belahan bumi mana pun karena dunialah sumber penciptaan karya sastra. Dalam dunia semacam ini, akar budaya pengarang mesti bisa rileks, luwes, dan melar ke sana-sini menghadapi beragam manusia dan kebudayaan.

Akar atau identitas kebudayaan serupa "terminal" yang menjadi titik awal berangkat menuju dan mengenal beragam manusia dan kebudayaannya serta sekaligus menjadi tempat pengarang pulang. Inilah dunia ulang-alik (commute) manusia dan kebudayaan yang terselenggara lantaran teknologi transportasi dan komunikasi yang mampu membuat "migrasi" atau pertukaran informasi dan kebudayaan berlangsung tanpa batas dan setiap saat. Bukankah dunia ulang-alik sudah menjadi klise abad mutakhir? Pagi menyantap nasi gudeg dan siangnya mengunyah pizza tanpa rasa gegar budaya, hari ini berada di Salatiga dan besok hari duduk-duduk di sebuah taman di New York sesantai berganti telefon genggam atau kaus kaki.

Sama sekali bukanlah kemulukan atau kutukan bahwa tempurung dunia yang sudah terbuka membuat tata dunia menyejagat dan kompleks sehingga menuntut manusia menyelenggarakan pola pergaulan dan cara pandang serta membentuk visi tentang diri dan dunianya yang berbeda dengan masa sebelumnya, dan menepis kenyataan ini serupa menampik musim atau deru angin....***

Geni Jora

Penulis: Abidah El Khalieqy
Penerbit: MAHATARI
Tahun: 2004, cetakan I
Tebal: 222 hal.
Peresensi: Endah Sulwesi
http://www.ruangbaca.com/

Nama tokoh utama cerita ini adalah Kejora, Dewi Venus, bintang pagi yang tampak paling benderang di antara berjuta bintang di langit. Matanya belok, seperti boneka cantik dari negeri Antah (Heran, kenapa ya tokoh wanita dalam novel dan film selalu saja dikatakan cantik. Kapan ya yang tidak cantik mendapat peran utama? Paling-paling perannya sebagai antagonis : nenek sihir culas, ibu tiri jahat atau pembantu rumah tangga bagian bodor-bodoran. Kata temanku, kalau tidak cantik nanti ceritanya jadi tidak menarik, akibatnya buku atau film itu jadi tidak laku) Kejora juga cerdas, selalu ranking satu di kelas. Ia pun gadis mandiri dengan cita-cita tinggi : mendobrak dominasi laki-laki.

Untuk seorang anak dari seorang ayah yang tunduk patuh pada ajaran-ajaran Islam, agak aneh juga ia dinamai Kejora. Kakak perempuannya (yang juga jelita) bernama Bianglala. Kedua saudara lelaki mereka bahkan bernama Samudra dan Prahara. Biasanya, ayah (dalam budaya kita, ayahlah yang lebih berhak memberi nama anaknya, meskipun ibu yang setengah mati mengandung dan melahirkannya) yang islami akan memberi nama anak-anaknya, jika perempuan, memakai "Siti" dan jika lelaki, akan memakai "Muhammad" Tapi sudahlah, tidak terlalu penting bukan soal nama-nama itu. What's in a name, kata Shakespeare lebih seabad yang lalu.

Terlahir dari seorang ibu berstatus istri kedua, Kejora bersaudara tumbuh di dalam rumah besar dengan tiga dinding tinggi tebal mengurung mereka seperti sebuah harem, hanya bagian pintu pagar saja yang agak terbuka memperlihatkan dunia luar. Ibu tirinya, istri pertama ayahnya, tinggal di dalam harem itu juga. Rumahnya dengan rumah mereka beradu punggung, hanya dipisahkan oleh sebuah halaman seluas lapangan bulutangkis. Kejora kecil hanya dibolehkan ke luar halaman untuk sekolah dan les bahasa Arab. Sementara, adik lelakinya, Prahara, boleh bermain sepuasnya di luar rumah dari pagi hingga petang.

Ketika ia dan Lola (nama panggilan Bianglala) menginjak remaja, mereka mulai naksir pemuda sebelah rumah. Setiap pagi, kedua gadis cilik itu memanjat pohon yang banyak tumbuh di halaman rumah mereka, demi mengintip pemuda tetangga keturunan Arab bernama Ali Baidawi alias Alec Baldwin, jogging. Memanjat pohon dan mengintip Alec Baldwin adalah bentuk perlawanan terhadap perlakuan diskriminasi orang tua (ayah, ibu, paman dan nenek) mereka.

Lihatlah, Nek! Kau telah gagal membentengi diriku. Tamengmu tameng semu. Terbukti cakrawalaku lebih menghampar dari halaman rumahmu. Langitku lebih lebar dari atap rumahmu. Pemandanganku lebih luas dari kisi-kisi jendela karatmu. Dari atas pendakianku, terlihat semua yang kau tutupi dan terbuka semua yang kau sembunyikan. Milikku adalah semesta penglihatanku dan milikmu, Nek, sebatas tempurung buntu. Kaulah "katak dalam tempurung" sang waktu. (hal. 77)

Rumah tangga orang tuanya benar-benar sebuah lembaga patriarkhi yang memberi tempat utama bagi lelaki. Sementara perempuan seperti dirinya, ibunya, ibu tirinya, dan Lola, hanya berada di urutan kedua. Selalu ke dua, meski ia jauh lebih cerdas dari adik lelakinya itu. Neneknya, oleh sebab lama berada di bawah dominasi para lelaki, akhirnya justru menjadi salah satu agen patriarkhi di rumah tersebut. Kesemua ini membuat Kejora tumbuh dengan sebuah "dendam" di hati. Dendam kepada penguasaan para lelaki.

Selanjutnya, Kejora, oleh ayahnya, disekolahkan ke pesantren paling top di kotanya. Dari sinilah saya jadi tahu seluk-beluk kehidupan para santri, khususnya santri putri, yang tentu saja berbeda dengan sekolah-sekolah umum. Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin keras berdasarkan syariat Islam. Tentu diajarkan pula ilmu pengetahuan umum lainnya, tidak semata-mata pelajaran agama saja. Dari sini, kelak diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding mereka yang jebolan sekolah umum. Kejora mewakili gambaran seorang santri ideal tersebut. Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya.
"Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat"
"Hanya ada satu hal, Ustadz"
"iya. Sebutkan"
Aku mendehem dan memandang ragu ke arah Ustadz Mu'ammal yang tak acuh dengan soalnya. Pedulikah ia dengan jawabnya?
"Tidak memiliki imajinasi" (hal.33)

Mungkin sudah menjadi watak remaja di seluruh bumi : memberontak. Tak terkecuali di pesantren "galak" ini, ada saja santri-santri badung yang senangnya melanggar peraturan dan disiplin pesantren. Ada persaingan akademis yang berbuah kecemburuan, ada geng-gengan yang saling bermusuhan, sampai dengan skandal asmara sejenis alias lesbianisme. Tak terhindarkan memang, mengingat sehari-hari yang mereka temui dan gauli adalah kaum sejenis. Sudah tentu, lesbianisme merupakan barang haram di pesantren tersebut dan pelakunya pasti diganjar hukuman rotan.

Penulisnya, Abidah El Khalieqy, mengisahkan isi perut pesantren dengan fasihnya. Tak heran, sebab ia adalah jebolan Pesantren Putri Modern PERSIS di Bangil, Pasuruan. Bisa jadi sebagian kisah Kejora ini merupakan petikan pengalamannya semasa menjadi santri. Pun, saat cerita sampai pada Kejora yang melanjutkan kuliahnya di Maroko, tentu sedikit banyak diambil dari pengalamannya mengikuti berbagai konferensi perempuan Islam di manca negara.

Novel Geni Jora ini sarat dengan gugatan seorang perempuan muslim terhadap persoalan gender : pendidikan yang amat diskriminatif bagi perempuan, poligami, lesbianisme, dominasi laki-laki, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta seksualitas perempuan. Bentuk perlawanan itu tampil dalam sosok seorang feminis muslim, Kejora yang, sayangnya, terlalu sempurna.

Dalam penyampaiannya, Abidah tampak amat lepas dengan kalimat-kalimatnya. Ia bisa dengan ringan membahas semua hal di atas dengan bahasa yang lugas tanpa kehilangan keindahannya. Saya bahkan banyak mendapati rangkaian kalimat puitis berima, seperti : Aku bangkit berdiri. Menjarak dari sajadah bumi dan berjalan menuju diri. Dalam sunyi 00.00. Dini hari. (hal.128)
Ia juga dengan cukup berani menampilkan percintaan Kejora dan Zakky penuh gelora dan keterusterangan : bahwa perempuanpun berhak atas kebahagiaannya serta boleh berinisiatif dalam, ataupun menolak, segala hal, termasuk urusan cinta dan seks.

Budaya Arab yang identik dengan Islam (Abidah banyak mengutip ayat-ayat Al Qur'an dan menyelipkan istilah-istilah bahasa Arab) melatarbelakangi kehidupan para tokohnya : Ibu tiri Kejora, Fatmah, adalah wanita Arab. Pemilik pesantren juga orang Arab. Demikian halnya dengan Zakky, kekasih Kejora, dan Elya, karibnya serta Si Pemuda Tetangga, Alec Baldwin. Abidah memberikan kritiknya terhadap mereka yang mengaku Islam namun sikap dan perbuatannya amat jauh dari nilai-nilai Islami. Ajaran-ajaran Islam sering disalahgunakan justru sebagai tameng dan pembenaran bagi tingkah laku menyimpang yang seringkali berakibat ketidakadilan bagi perempuan (misalnya : poligami). Abidah merindukan dunia yang mengakui kesejajaran hakiki antara pria dan wanita, ( Ah...sobat, apakah itu bukan sekedar utopia mengingat dunia ini sangat penuh lelaki yang tak ingin "hak-haknya" dikurangi, sebab itu, buat mereka, sama artinya dengan berkurangnya kenikmatan hidup)

Sebelum Geni Jora yang ke luar sebagai pemenang ke dua Sayembara Novel 2003 versi DKJ, Abidah telah banyak menulis novel lain, di antaranya : Ibuku Laut Berkobar (1997), Perempuan Berkalung Sorban (2000), Menari di Atas Gunting (2001), dan Atas Singgasana (2002).

Sajak-Sajak Abidah el Khalieqy

http://www.infoanda.com/
KIDUNG SIMALAKAMA

Aku berdiri di bawah khuldi
saat senja menyamar
seperti iblis tanpa diundang
berbilah racun bersarung pedang
menusuk lambungku
di langit terang

Aku berdiri menangkar sunyi bumi
sendiri
menerbangi titik niskala
menyusupkan jiwa
ke puncak tahta
cahaya Cinta

Tak ada waktu membayang
merekah dan mengaku kalah
jengkal tanah selalu begitu
menghisap semua bunga
sekaligus putiknya

Hawa menembang lagu merdu
serupa kidung simalakama

2003



INTA WAHDAH
(Dikau Saja)

Hausku bukan Iqlima memeluk Qabil
bukan pula Cleopatra
Aphrodite atau Zulaikha

Cukup sudah cinta!
Tak usai Hawa ngembara
menyelami airmata
pohon apa bakal tumbuh
jika Layla abadi koma
di barak kumuh dan luka

Wahai Majnun di puncak resah!

Sudah kuhafal kata kata bijak
huruf batu dari kaum botak
namun kosa kata cinta
baru ketemu kamusnya
saat matamu purnama
dan subuh menderu
memanggil ruh di tubuh

Dikaulah cuma, kidung dadali kuping tuliku
juga ombak yang timbul tenggelam
bagai iman samudra jiwaku

Dan malam menggelombang
karna bintang berjumpaan
di pangkuan kasih dan cinta
mendesirkan sukma
semilir jiwaku
bukan perempuan bukan lelaki
bukan budak atau tuan
jika ingin menakarku
kecuali mummi sedang menimbang
diri sendiri

Burung burung terbang tinggi
menguntai tasbih
langit abadi
rindu rumah di syurga Rabi'ah
asing dan sunyi

2005

08/02/09

Puisi-Puisi Indrian Koto

http://sastrakarta.multiply.com/
Lelaki Sia

betapa malang dirimu
yang tak punya kepandaian apapun
selain mengutuk musim
yang berlarian di sepanjang jalan

berapa harus kau bayar
hidup yang sia-sia
dengan hanya menceracaukan
kutuk dan serapah
;bapak yang begitu kurang ajar
bersepakat dengan ibumu menciptakan
sebuah takdir yang tak kau kehendaki

lalu apa lagi
jika bunga-bunga pada pakaianmu
terus tumbuh
seekor ular kecil sembunyi di sana
dan sedikit nakal menggelitiki
kelaminmu
;hidup adalah warisan
yang terus diturunkan

selalu saja tubuhmu kosong
setiap kali ada yang menziarahi
kelayapan di mana saja kau ini hari
kau gantungkan impian pada sepotong malam

kau terlihat begitu kasihan dan kesepian
yang tak memiliki kepandaian apa-apa
selain mengutuk waktu
yang terus berlarian
di sepanjang tubuhmu yang kosong.

2006



Perempuan Laut

aku ingin tamasya ke tubuhmu yang pantai
melayari teluk dan riang ombak di palungmu
yang landai
menyelami dasar dan seluruhmu
sampai matahari menungguku pulang

tubuhmu, butiran pasir yang tertinggal
di lengan para penziarah yang kembali
ke balik kelam
meruat dan menanam di balik dapur

haruskan kujilati asin rambutmu, bacin tubuhmu
tiap kali kau terpekik – serupa camar,
jika mendulang mendung dan hujan
pada muara tubuhmu yang melulu lumpur

beri aku peta, sekadar petunjuk akan arah
akan kujelang tubuhmu
sebagai satu-satunya penziarah
yang membawa gunung ke asam-garam
lautmu

yogyakarta, juni 2006



Sebuah Ramadhan

malam itu bulan berlari kekasih
dilompatinya pohon bambu
lalu sembunyi di balik asam
aduh, betapa hidup terasa muram

sebelum malam padam
tak lagi genap puasaku
jika mengingatmu
membatalkan niatku

malam itu langit tak cukup
menampung rinduku kekasih

sebentar lagi imsyak aku tak tahu lagi
apakah aku bisa mempuasakan
segala keluh segala rindu

piyungan, oktober 2006



Amak dan Suatu Lebaran

malam ini mak, kucium keringatmu
yang beraroma api tungku
bolumu, hangus sebelah, lihatlah
di luar malam semakin matang
tanganmu masih cekatan dan mata begitu awas
menjaga lebaran tidak tersesat

lebaran tak lewat di kampung kita
katamu dulu tiap kali kutanya baju baru
mungkin tahun depan
saat kemarau sedikit bersepakat

dan tanganmu masih saja menata-nata
bolu, kue sangko
kompormu terlalu besar, mak
minyakmu terlalu panas
kue sapik dan loyangmu bisa terbakar

apa kataku,
dapur kita terbakar
api kelewat cepat melalap riwayat
hingga yang bersisa isakmu di susut dapur
bapak keburu membungkus kain
sebelum api sempat padam

dan lebaran ini, kau masih membisu
sedang usia berpacu dengan musim
dan aku melayari pulau
demi mencari tiang penyangga
agar dapur kita kembali kukuh
dan bolumu kembali matang

lalu, aku tak lagi mampu mengingat jalan
rantau menelantarkanku dalam
kerlip kunang-kunang
barangkali – seperti dulu – mak,
lebaran ini aku tak pulang
dan kau kian belukar dipagut
penantian dan kepulangan

2006

Catatan: amak, ibu.



Stasiun

kita adalah stasiun
di mana keberangkatan
dan kepulangan
begitu saja mengatur
jadual lewat
sakit dan ngilu
diri

sepertimu,
aku ingin melepas pintu
agar tubuh ini
menjadi tempat keluar-masuk
yang paling aman
siapa saja yang terbiasa
dengan luka

poetika, 250706.

07/02/09

Einstein Tak Menemukan Tuhan

A. Yusrianto Elga*
http://www.jawapos.com/

Albert Einstein adalah salah satu sosok pemikir yang sangat dikagumi sekaligus sangat dibenci di pengujung abad 20 dan bahkan hingga kini. Kenapa demikian? Karena selain penemuan-penemuan spektakulernya di bidang sains dan teknonogi yang sulit ditandingi oleh para ilmuan pada masanya, Einstein kerap melancarkan kritik pedas pada gereja dan doktrin-doktrinnya yang dianggap tidak rasional. Menurut Einstein, gereja telah melakukan ''pembodohan massal'' dengan konsep ketuhanan yang tidak masuk akal.

Kritik yang disampaikan Einstein tersebut sebenarnya berangkat dari kegelisahannya ihwal eksistensi Tuhan yang tak kunjung ditemukan. Ia tidak puas dengan sosok Tuhan yang dipersonalkan atau digambarkan mirip manusia (antropomorfisme) dalam Kitab Injil. Selain itu, ia juga mengkritik filsafat ketuhanan yang dikembangkan oleh gereja yang terkenal dengan istilah Trinitas: Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Sampai akhir hayatnya, Einstein belum menemukan jawaban yang rasional terkait dengan filsafat ketuhanan tersebut.

Dalam logika Einstein yang mendasarkan pikirannya pada fisika dan matematika, Tuhan yang dipersonalkan jelas tidak masuk akal. Karena itu, dengan tegas ia menolak: ''Tentang Tuhan saya tidak dapat menerima suatu konsep apa pun yang berdasarkan otoritas gereja. Sepanjang yang saya ingat, saya membenci indoktrinasi massal. Saya tidak mengimani karena takut akan kehidupan, takut akan kematian, maupun iman yang buta...'' (hal. 153).

Pernyataan Einstein tersebut tak pelak membuat panas telinga para pemuka agama Nasrani. Ia dianggap mengingkari Al-Kitab yang seharusnya diimani tanpa harus diperdebatkan lagi. Einstein memang cukup berani membongkar sekian ayat yang terdapat dalam kitab Injil yang tidak sesuai dengan nalar logikanya. Ia sama sekali tidak mengimani Injil sebagai sabda Tuhan karena sepanjang penelitiannya terdapat pertentangan antara Injil yang satu dengan lainnya. Dalam Injil Yohanes, misalnya, Eisntein melihat ada pertentangan ayat yang sangat mendasar dengan Injil Barnabas (The Gospel of Barnabas) yang naskah aslinya ditemukan di The Emperial Library Wina, Austria. Atas dasar inilah Einstein semakin tidak yakin akan kebenaran Injil. Apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa ketika Paus St. Glasius I bertahta pada 492-496, Vatikan secara resmi melarang Injil Barnabas beredar dan dibaca oleh umat Kristiani.

Einstein menilai keputusan tersebut sangat paradoks dan sulit diterima oleh akal sehat. Sehingga dengan lantang ia menuduh Paus telah melakukan campur tangan dalam penulisan Injil.

Kritik pedas inilah yang membuat vatikan kegerahan. Einstein dianggap terlalu berlebihan dan mengada-ada. Pihak gereja kemudian bergerak lebih cepat untuk menyikapi apa yang telah dikemukakan pemikir yang berpengaruh itu agar tidak mereduksi keimanan umat Kristiani di seluruh dunia.

Seorang pemuka Nasrani yang berasal dari Lutheran Church of Our Savior, yakni pendeta Carl F. Weldman menanggapi dengan keras pendapat Einstein yang menolak Tuhan dipersonalkan: ''Tidak ada Tuhan selain Tuhan personal! Einstein tidak mengetahui apa yang sedang diucapkannya. Dia salah total!'' (hal. 165). Dalam pandangan Carl F. Weldman, pernyataan Einstein bukanlah termasuk bagian dari pencarian hakiki akan eksistensiNya. Akan tetapi hanyalah sebentuk provokasi yang tidak didasari oleh iman yang kuat.

Sri Paus Yohanes Paulus II yang bertahta di Vatikan juga ikut menyerang Einstein: ''Menginginkan bukti-bukti ilmiah tentang Tuhan sama dengan merendahkan Tuhan ke derajad wujud-wujud dunia kita dan karenanya kita akan keliru secara metodologis berkenaan dengan apa itu Tuhan. Sains harus mengakui batas-batasnya serta ketidakmampuannya untuk mencapai eksistensi Tuhan, ia tidak bisa mengukuhkan ataupun mengingkari eksistensiNya...'' (hal.169).

Semua umat Kristiani yang menerima filsafat ketuhanan dengan modal iman jelas menganggap Einstein sebagai pengingkar (kafir). Ilmuan peraih nobel yang pada akhir hayatnya kedua bola matanya dijugil untuk diawetkan itu dituduh atheis karena logika berpikirnya tidak sejalan dengan Al-Kitab.

Tuduhan yang sama sebenarnya juga dilancarkan oleh para pemuka agama Yahudi yang menganggap Einstein anti-Tuhan karena telah berani menolak untuk menjalani bar mitzvah, yaitu upacara untuk menjadi komunitas orang Yahudi. Sebagaimana diulas oleh Wisnu Arya Wardhana dalam buku ini, sejak kecil Einstein memang hidup dengan ''dua agama'': Yahudi dan Katholik. Jika pada pagi hari ia belajar agama Katholik di Katholik Petersschule, sedangkan sorenya ia menerima pelajaran agama Yahudi dari Alexander Moszkowski, guru privat yang sengaja didatangkan oleh orang tuanya (hal.45).

Dengan demikian, Einstein sudah mempelajari dengan cukup cermat isi Kitab Talmud (Taurat) dan isi Al-Kitab (Injil) sejak ia masih kecil, yakni saat masih berumur tujuh tahun. Walaupun pada saat itu ia belum berani melakukan koreksi terkait beberapa ayat yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya.

Hidup dengan dua agama bukanlah sesuatu yang aneh bagi Einstein. Ia belajar agama Yahudi karena termasuk agama leluhurnya, sedangkan pelajaran Katholik ia dalami tak lain karena pencariannya akan eksistensi Tuhan. Namun sepanjang yang dipelajari Einstein dari kedua Kitab Suci tersebut, yakni Taurat dan Injil, sosok Tuhan yang sesuai dengan jalan pikirannya tak juga ditemukan. (*)

*) Tim penulis Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia: 1908-2008
Judul Buku : Einstein Membantah Taurat & Injil
Penulis : Wisnu Arya Wardhana
Penerbit : Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Cetakan : 1, 2008
Tebal : xxxiv + 258 Halaman

Diburu

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

Tahun akan menghadapi krisis, kata para pakar, tapi kita tahu, ”nasib” adalah sebuah cerita yang senantiasa datang terlambat. Kita baru dapat menyimpulkannya setelah perjalanan selesai.

Bagaimana sejarah akan usai, itu tak mudah dijawab. Sebab kita adalah anjing diburu dalam tamsil Catetan Th. 1946 Chairil Anwar, yang

—hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang.
Pernah ada optimisme bahwa kita bisa menyusun sebuah tambo tentang perubahan, ketika
Lahir orang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat.

Pernah juga ada harapan bahwa nanti, jika kegaduhan selesai, gejolak reda dan rusuh hati berhenti, jika bencana, jatuh bangunnya kekuasaan, perang dan huru-hara yang berkecamuk sudah lewat dan hanya tersisa sebagai ingatan yang kabur—jika nanti tiada sawan lagi diburu/ Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu—kita akan bisa mencoba menemukan makna dari semua itu: Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir setempat.

Tapi pada awal abad ke-21 kita tahu bahwa menyusun kembali ”kenangan berdebu”, dan memberi arti dari pengalaman itu—semua itu tak mudah. Kita, selamanya dibentak oleh batas ruang dan waktu, makin tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. ”Sandiwara sekarang” kian lama kian hanya secara fragmentaris tampak. Informasi datang lekas dan segera pula berubah.

Perubahan itu meningkat terus tinggi velositasnya: benda-benda teknologi ditemu-ciptakan dan disebarkan kian cepat dan tanpa istirahat, begitu juga halnya kesimpulan ilmu kian mudah jadi basi, jumlah dan keanekaan penerima informasi pesat meluas, dan berubah pula ekologi manusia yang merespons informasi itu.

Semua memergoki kita sebelum kita siap—seakan-akan pada tiap jam berita pagi masa-depan melewati ambang pintu tanpa mengetuk, mengambil alih masa-kini. Perubahan berarti keragaman, kompleksitas, inkonsistensi, bahkan chaos, dan apa yang pernah disebut sebagai ”kejutan masa-depan”, the future shock, kini jadi sebuah masalah epistemologis: bagaimana kita ”tahu” atau ”tak tahu”. Kita ”tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang”, tapi juga banyak hal lain tak kita ketahui. ”Kejutan masa-depan” mempercepat masa-kini jadi masa-lalu, dan menyebabkan masa-lalu berubah dalam gudang kenangan kita, makin tak stabil dan makin tak mudah diidentifikasi.

Maka jadi problematis pula kesatu-paduan kesadaran kita, dan goyah pula posisi kita sebagai subyek yang ”mengetahui”. Apa artinya ”mengetahui”? Alain Badiou mencerminkan suasana zaman ini ketika ia membedakan ”pengetahuan” dari ”kebenaran”.

”Pengetahuan” bersifat melanjutkan, mengulang, menerapkan. Sebaliknya kebenaran bercirikan sifat ”baru”, sesuatu yang ”kawedar”—sesuatu yang kita temui ketika kita misalnya membaca puisi, menyaksikan karya seni rupa. Badiou mengutip Heidegger tentang penyair dan kebenaran: ”Penyair selalu bicara seakan-akan ’ada’ diekspresikan buat pertama kalinya”.

Badiou berbicara tentang ”proses kebenaran”.

Proses itu menyebabkan ”pengetahuan” tak begitu penting dibandingkan pengalaman dan perbuatan.

Dua abad yang lalu, para literati Jawa membedakan (dan kemudian mencoba mempertautkan) antara ngèlmu dan laku, antara ”tahu” (dari mana kata ”pengetahuan” berasal) dan perjalanan dalam hidup dan pengalaman. Jika kini kita memakai dikotomi ini, dalam arus deras informasi yang berubah terus dengan cepat ini sejauh manakah ngèlmu membentuk laku dan sebaliknya laku membentuk ngèlmu?

Hubungan antara pengetahuan, isi kognitif kesadaran kita, dan pengalaman jasmaniah, punya sejarah sendiri. Ada masanya ngèlmu diasumsikan datang dari Tuhan atau sumber ekstra-empiris lain, ada masa lain ketika ngèlmu dianggap berasal dari perjalanan di dunia, ”kalakoné kanti laku”, seperti ditulis dalam syair Wedatama yang terkenal.

Dalam sejarah, manusia tak putus-putusnya terlibat dalam ambivalensi. Di satu pihak ada dorongan untuk melihat kesadaran, sang subyek, sebagai pembentuk pengalaman. Di lain pihak ada dorongan semangat empiris untuk melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang berakar pada dan dibentuk oleh pengalaman itu.

Di satu pihak, ada pengakuan bahwa pengalaman empiris hanya mampu menyajikan ”sebagian dari sandiwara sekarang”—dengan kata lain: sesuatu yang niscaya terbatas. Di lain pihak ada keyakinan bahwa kita mampu melintasi, dengan transendensi, batas itu.

Di satu pihak, ada pengakuan bahwa tak mungkin kita mempunyai sebuah pandangan yang total, yang menyeluruh, tentang hal ihwal. Pada akhirnya kita akan mengakui bahwa ketika manusia menulis sejarah—mencatat, menyusun ngèlmu—ia menjalani sebuah laku, sebuah perjalanan dalam hidup. Di lain pihak, ada kepercayaan bahwa manusia, dengan bantuan Kitab Suci atau ilmu pengetahuan, melihat pengalaman itu bagian dari totalitas yang belum diungkapkan kepada kita.

Tapi semakin lama semakin kita tahu, seperti terbersit dari Catetan Th. 1946, kita selalu mencoba berdiri dari sejarah yang terguncang. Yang tercatat adalah sesuatu yang tak stabil—tapi itulah bagian yang tak tercampakkan dari diri manusia: laku, terkadang dengan kreatif, dalam dunia fisik yang rapuh, sementara, kekurangan.

Pada tahun 2009 yang sulit, haruskah kita jeri? Ada satu baris dari Chairil lagi yang bisa menjawab:

Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita