31/01/09

Saat Sastrawan Butuh Manajer

Mustafa Ismail
http://www.serambinews.com/

Di atas panggung, cerpenis Hamsad Rangkuti, sebelum membaca puisi, berguyon; Malam ini, saya menyumbang panitia Rp 2 juta. Malam itu di lapangan parkir Taman Ismail Marzuki, 28 April 2008, sekelompok sastrawan dan seniman mengadakan Malam Puisi Chairil Anwar. Acaranya cukup sederhana, digagas secara gotong royong plus sokongan pengelola Taman Ismail Marzuki (jangan salah, yang dimaksud ini bukan Dewan Kesenian Jakarta).

Remmy Novaris DM, seorang penyair (pada 1980-1990-an) dikenal sebagai penulis cerpen remaja yang produktif, satu persatu memanggil para seniman untuk tampil. Ada Sutardji Calzoum Bahri, Abdul Hadi WM, Leon Agusta, Rahmat Ali, Amien Kamil, Sri Warso Wahono, Syahnagra Ismail, Chavchay Syaifullah, dan banyak lagi. Acara dimulai sejak sore hingga sekitar pukul 21.15. Saya datang agak terlambat, menunggu sebentar langsung dipanggil membacakan puisi.

Hamsad datang tak lama setelah saya membaca puisi. Tapi benarkah Hamsad menyumbang dua juta rupiah untuk panitia? Sebentar, kata-kata Hamsad di atas belum selesai. Ia lalu mengutarakan, biasanya sekali ia membaca cerpen dibayar 2-4 juta rupiah. Karena dalam acara itu ia tidak dibayar, berarti sama saja ia telah menyumbang panitia senilai itu. Belum lagi ongkos taksi dari Depok (tempat tinggalnya) ke TIM (tempat acara) bolak-balik. Penonton gerr. Suasana segar menyeruak.

Tentu saja, Hamsad juga para sastrawan lainnya, tidak menuntut honor dalam acara bersifat sukarela itu. Apalagi Remmy Novaris, sang panitia, sejak awal mewanti-wanti kalau mereka tidak bisa memberi honor. Jadi, acara ini lebih berwujud solidaritas untuk kesenian, mengingat penyair Chairil Anwar.

Tentu lain halnya dengan acara-acara yang punya sokongan dana dan sponsor besar. Saya ingat, ketika suatu kali diminta membaca puisi dalam sebuah acara off air di RRI, mereka memberi honor sekitar Rp 700 ribu. Malam itu, ada Sutardji Calzoum Bahri dan Taufik Ismail yang juga membaca puisi. Sudah tentu pula honor mereka jauh lebih besar. Wajar kan, mereka telah berkesenian jauh lebih lama dibandingkan saya. Namun sebenarnya bukan nilai uangnya tapi apreasiasi.

Sebetulnya, sastrawan itu pekerja profesional. Seperti halnya dokter, pengacara, dosen, wartawan, pembicara seminar, artis, dan lain-lain. Sebagai profesional, sastrawan juga berhak mendapatkan apresiasi yang profesional pula. Bahkan, jika perlu sastrawan juga menetapkan tarif untuk pekerjaannya. Jika yang mengundang orang berduit atau panitia acara yang banyak sponsor, ia bisa mengatakan: tarif saya baca puisi Rp 10 juta. Di sini, tentu, bisa terjadi negosiasi. Sangat mungkin, dengan berbagai penjelasan dan pemakluman dari panitia, tarif itu kemudian diturunkan. Jika sastrawan itu rikuh untuk menetapkan tarif itu, ia bisa menunjuk seorang manajer. Mengapa tidak? Tidak mahal kok untuk menyewa menejer. Sebab ada manajer yang bekerja berdasarkan fee (komisi) dari job yang bisa didapatkan untuk orang yang dimanajerialkan. Tergantung kesepakatan.

Orang seperti Sutardji Calzoum Bahri, Hamsad Rangkuti, Taufik Ismail, Leon Agusta, Rendra, Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S Mahayana (kritikus sastra UI), sangat layak punya manager pribadi yang profesional. Begitu pula seniman-seniman di daerah. Jadi kegiatan mereka dikelola oleh sang manajer. Sehingga apreasiasi yang mereka dapatkan juga lebih profesional. Manajerlah yang akan mencari job, mengatur jadwal kegiatan, kontrak kerja, jumlah honor, hingga bagaimana si seniman tampil.

Manajer bisa melihat suatu acara profit atau bersifat amal/solidaritas. Tentu saja, untuk acara-acara yang bersifat amal atau solidaritas manajer tidak perlu memasang tarif tinggi. Kalau perlu, gratiskan saja. Ya, semacam subsidi silanglah. Tapi terpenting kegiatan sang sastrawan terkelola secara profesional.

Sebelum tampil, manager dan sastrawannya sudah harus tahu bahwa setelah sang sastrawan tampil mendapatkan honor atau tidak, termasuk jam berapa ia bisa tampil, jam berapa sudah harus tiba di tempat acara. Jika panitia menyalahi kesepakatan, misalnya yang tadinya mesti tampil di awal tapi kemudian ditaruh di bagian ekor acara, manajer sastrawan bisa `mengklaim´ kompensasi kepada panitia acara.

Dengan begitulah sastrawan bisa menaikkan citra dirinya dan membuat profesi itu menjadi lebih dihargai. Sudah saatnya sastrawan seperti profesional lainnya, misal seperti artis. Sastrawan perlu membuka diri untuk masuk dalam sebuah industri. Dan industri itu mesti diciptakan, dikelola, dan dijalankan dengan baik. Selama ini, sastrawan sering lupa bahwa dirinya adalah sebuah institusi profesional yang jika dikelola dengan baik akan menghasilkan kehidupan yang layak buat dirinya.

Selama ini sastrawan dicitrakan cukup dibayar alakadarnya usai tampil. Bahkan terkadang cuma mendapat bayaran 2M (Makasih Mas) alias pulang dengan tangan kosong. Zaman semacam itu harus segera lewat. Kalau artis sekali tampil bisa dibayar sampai Rp 20 juta, mengapa sastrawan tidak. Ini soal pencitraan saja.

*) Penulis sastra dan tertarik pada manajemen seni.

Pengukuhan Prof Dr Abdul Hadi WM Diwarnai Diskusi Kebudayaan dan Musikalisasi Puisi

Susianna
http://www.suarakarya-online.com/

Hujan baru saja reda. Sehingga acara pembacaan dan musikalisasi puisi Abdul Hadi : Kado Untuk Maestro berjalan lancar yang digelar di halaman kampus Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu malam lalu.

Malam itu merupakan hari kedua acara Tapak Budaya Paramadina: Tiga Hari Bersama Prof Dr Abdul Hadi WM, menjelang pengukuhan penyair Dr.Abdul Hadi Wiji Muthari sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, pekan lalu.

Sejumlah penyair membacakan puisi-puisi karya Abdul Hadi yaitu Sutardji Calzoum Bahri membacakan puisi Sarangan dan Tanya, Slamet Sukirnanto.membacakan puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat, Diah Hadaning memilih puisi Surat Atas Hidup. Kemudian tampil beberapa penyair lainnya seperti Leon Agusta, Wowok Hesti Prabowo, Adri Darmadji Woko, Ahmadun Yosi Herfanda, Jamal D Rahman, Endang Supriadi, dan Wanda Leopolda. Tak ketinggalan cerpenis Hamsad Rangkuti setelah membaca puisi Abdul Hadi juga membaca cerpen sendiri Ayahku Seorang Guru Mengaji.

Pembacaan puisi diawali Ayusha Ayutthaya - putri bungsu Abdul Hadi yang membacakan puisi ayahnya Akhirnya Kita Bertemu Lagi terjemahan dalam bahasa Mandarin.

Acara malam itu diisi dengan orasi budaya Paradigma Abdul Hadi WM Dalam Kebudayaan Indonesia oleh Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid Baswedan, Ph.D.

Sehari sebelumnya diselenggarakan diskusi kebudayaan menampilkan pembicara Sukron Kamil mengusung topik Sastra Islam Dalam Perspektif Abdul Hadi WM. Sementara Sutedjo mengetengahkan masalah Menimbang Paradigma Sastra Profetik Abdul Hadi Dalam Pembelajaran Sastra, dan Ahmadun Yosi Herfanda mengemukakan isu Paradigma Abdul Hadi WM Dalam Sastra Indonesia.

Abdul Hadi, kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juni 1946, menerbitkan 12 antoloji puisi, di antaranya Arjuna in Meditation bersama Darmanto Jt dan Sutardji Calzoum Bachri, dan antoloji puisi dalam bahasa Inggris (At Last We Meet Again). Sejumlah puisi Abdul Hadi diterjemahkan dalam 14 bahasa yaitu Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, Mandarin, Thailand, Spanyol,Urdu, Arab, Rusia, Korea, Bengali dan Turki.

Penerima berbagai penghargaan dalam dan luar negeri ini juga menulis sebanyak 7 buah buku fiksi, beberapa kajian sastra dunia dan terjemahan karya, serta lebih dari 500 artikel, esai, dan karangan ilmiah di berbagai media tentang sastra Indonesia, sastra dunia, kebudayaan, dan falsafah. Lebih dari 35 tahun ia menggeluti kesusasteraan, sufisme dan khazanah intelektual nusantara.

Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan mantan redaktur berbagai media cetak ini meraih gelar MA dan Ph.D di Universitas Sains Malaysia (1992-1996). Beberapa tahun sebelumnya kakek dari 3 cucu dan ayah dari 3 putri ini menimba ilmu di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Fakultas Sastra (1964-1967) dan Fakultas Filsafat (1968-1971).

Pengukuhan sebagai Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Abdul Hadi WM menyampaikan orasi bertajuk Paradoks Globalisasi : Memikirkan Kembali Arah Kebudayaan Kita dalam sidang terbuka Senat Universitas Paramadina, dihadiri sejumlah undangan, di Auditorium Nurcholish Madjid, Rabu lalu. Dengan pengukuhan Abdul Hadi, perguruan tinggi yang didirikan oleh Prof. Dr.Nurcholish Madjid (almarhum) ini memiliki tiga orang Guru Besar.

Dalam orasinya Abdul Hadi mengemukakan, bidang yang ditekuninya adalah sejarah falsafah dan kesusastraan. Namun disiplim ilmu seperti ini tidak dituntut sekadar sistematis dalam menelaah sesuatu. Tetapi lebih dituntut. sifat reflektif.

Menurut Abdul Hadi bahasa adalah media komunikasi dan ekspresi terpenting bagi manusia dan tidak bisa digantikan oleh media lain. Bahasa adalah perwujudan kebudayaan yang merangkum di dalamnya khazanah pemikiran, gagasan, dan ingatan kolektif sesuatu masyarakat termasuk pengalaman sejarahnya. Tanpa bahasa, manusia tidak akan berpikir dan menanggapi dunia sekitarnya dengan baik. Karena, tidak ada manusia yang dapat berpikir di luar bahasa.

Berbicara kebudayaan dalam pengertiannya bersifat memelihara, baik kebersamaan maupun kebebasan individu yang terkendali. Kebersamaan ada jika ada solidaritas atau apa yang disebut gotong royong oleh Bung Karno dan koletivisme oleh Bung Hatta. Kebersamaan membuat hidup menyenangkan.

Selain itu kebudayaan dapat memulihkan kesatuan apabila masyarakat terancam perpecahan. Kebudayaan juga mengembalikan apa yang sering hilang pada manusia, yaitu cinta dan rasa persaudaraan dengan sesamanya. Karena, tujuan kebudayaan ialah menciptakan kesatuan dan kebersamaan maka yang menjadi ancaman utama bagi kebudayaan ialah politik praktis dan anarkis.

Kebudayaan dimaksudkan untuk mengangkat martabat atau harkat manusia sebagai makhluk spritual. Simbol dan tingginya martabat manusia terletak pada kebajikan, kecerdasan dan kreativitasnya. Kebudayaan yang sejati adalah milik bersama anggota sebuah komunitas yang disebut bangsa atau etnik. Karena itu, kebudayaan selalu dikaitkan dengan komunitas. Dan kebudayaan tidak pernah dikaitkan dengan orang seorang atau suatu kelompok kecil manusia, seperti kelompok aliran keagamaan tertentu.

Minuman Ringan Penggugah Iman

Muhammd Ali Fakih AR
http://www.surabayapost.co.id/

Pada suatu hari Abu Bakar Ar-Razi berkata kepada para muridnya, “Iman dalam hati seorang mukmin bagai sebuah pohon yang memiliki tujuh ranting: pertama, ranting yang melambai sampai ke hati, buahnya adalah kemauan yang benar. Kedua, ranting yang melambai sampai ke mulut, buahnya adalah perkataan yang jujur. Ketiga, ranting yang melambai sampai ke kaki, buahnya adalah berjalan menuju majelis taklim. Keempat, ranting yang melambai sampai ke tangan, buahnya adalah memberi sedekah. Kelima, ranting yang melambai sampai ke mata, buahnya adalah melihat untuk mendapat pelajaran. Keenam, ranting yang melambai sampai ke perut, buahnya adalah makan yang halal dan meninggalkan yang syubhat. Ketujuh, ranting yang melambai sampai ke jiwa, buahnya adalah meninggalkan syahwat.

Kisah singkat di atas dikutip dari buku Spiritual Softdrink, hasil saduran M. Tajuddin. Sebuah cerita yang di dalamnya penuh dengan hikmah dan merupakan piranti perenungan yang tinggi atas keimanan. Cerita ini merupakan suatu kritik sekaligus peringatan terhadap kaum muslimin agar selalu menjaga keimanannya, karena keimanan akan selalu menjaga manusia dari penyakit pribadi dan sosial. Keimanan adalah sumber terbesar dari system etika universal.

Tergerusnya nilai keimanan manusia menjadikan dunia bagai suatu rumpun suku manusia yang tak lagi peduli dengan lingkungan sosial dan alamnya, bahkan terhadap dirinya sendiri. Tidak heran kemudian jika erosi sosial dan alam yang bergulir deras tiada tanda kapan akan berakhir ini terjadi tanpa kompromi. Problema-problema kehidupan tanpa diduga tiba-tiba terjadi dan menyentak kesadaran kita sebagai mahluk yang memiliki pikiran dan perasaan.

Jika ditelisik lebih jauh, sesungguhnya penyebab dari semua ini ialah karena daya rasionalitas terlalu dijunjung tinggi oleh kita. Kita mengira bahwa dengan rasionalitas – tanpa spiritualitas – dapat menanggulangi segala permasalahan yang sedang kita dihadapi, baik dalam dimensi kemanusiaan maupun kealaman. Tetapi justeru setelah daya rasionalitas mencapai puncaknya yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi, semakin canggihnya arus pemikiran tentang etika sosial dan humanisme, kian dituhankannya sistem demokrasi, tingginya tingkat gaya hidup dan liberalisasi, justru permasalahan yang harus kita hadapi kian bertambah rumit.

Secara kuantitatif, permasalahan kita di zaman pra-modern ialah terletak pada bagaimana taraf kepuasan dalam hal teknologi, pemikiran atau regulasi sosial tertata dan terpenuhi. Pada zaman ini tidak muncul suatu permasalahan yang kemudian dinamankan sebagai ketercerabutan manusia dari patahan-patahan narasi kecil hidupnya. Baru setelah perkembangan sains, teknologi dan gaya hidup hampir mencapai puncaknya seperti saat ini, permasalahan itu mulai banyak diperbincangkan.

Masalah-masalah yang berkenaan dengan erosi etika, keterpecahan sosial, ketercerabutan manusia dari kearifan budayanya, kian bebasnya ruang gerak ekstremisme dan radikalisme, tingginya angka atheisme dan kebebasan seksual, sampai pada permasalahan global worming, tergerusnya bermacam ekosistem dan habitat mahluk hidup, kian terancamnya produksi dan jumlah tumbuhan dan hewan, serta terdengusnya kabar bahwa masa depan dunia akan lebih buruk dari apa yang diduga, menjadikan kita berada dalam kungkungan ketakutan-ketakutan.

Problematika akbar ini, dalam konsepsi Frijtof Capra (2001), terjadi ialah karena manusia modern lebih mendukung perkembangan dimensi rasionalitas dari pada spiritualitas, dan tidak sedang berusaha menyingkronkan keduanya. Gerakan-gerakan posmodernisme tampaknya mendukung konsepsi Frijtof ini dengan ditandai oleh perkembangan pemikiran yang mempertanyakan kembali duduk perkara dimensi spiritualitas manusia. Syahdan, kini gerakan-gerakan aktual yang berusaha mengembalikan spiritualitas kepada tempatnya yang layak mulai menampakkan gaungnya yang membanggakan.

Tak heran jika pada saat ini segala hal yang berkenaan dengan pengembangan dimensi spiritualitas tiba-tiba menjadi trend, baik dalam bentuk pemikiran maupun dalam aktualisasi, baik dalam bentuk visual maupun verbal. Fenomena ini menunjukkan bahwa kita nampaknya kian merasa jumud dengan hasil usaha kita selama ini. Jiwanya merasa kering dan butuh siraman-siraman yang sifatnya nir-rasional, sesuatu yang sejak dulu kita tentang. Kini kita benar-benar butuh apa yang dinamakan sebagai kecerdasan emosional-spiritual.

Buku ini merupakan sebuah antologi kisah-kisah penggugah spiritualitas yang memang dimaksudkan oleh penulisnya menjadi medium perenungan bagi kita. Cerita-cerita hikmah dalam buku ini merupakan hasil olahan penulisnya dari beberapa kitab kuning yang cukup terkenal, hadits, al-Qur’an, kisah-kisah para sufi dan israiliyat. Dengan penggunaan bahasa yang sederhana, mengalir dan segar, menjadikan mudah bagi kita untuk menimba sumur hikmah yang kontekstual.

Dengan demikian, jelas bahwa buku ini menawarkan ruang-ruang kepada kita untuk selalu berintropeksi, merenungan, dan bertadabbur di tengah dunia yang tak lagi arif. Memang, cerita-cerita yang termuat dalam buku ini pendek-pendek, tetapi bukan dalam artian bahwa cerita-cerita itu lemah dan tak menarik. Bahkan dengan kesederhanaannya, kesingkatannya, cerita-cerita itu ingin menawarkan secercah kesadaran hati, sehembus angin ruhani dan sepercih kesegaran air rabbani. Maka tak berlebihan kiranya, jika cerita-cerita penuh hikmah itu dijuluki sebagai Spiritual Softdrink, sebuah minuman ringan yang menyegarkan serta membangkitkan gairah dan semangat.

Kisah-kisah yang terangkum dalam buku ini cukup relevan untuk dibaca dan direnungkan pada bulan Ramadhan ini. Bulan Ramadhan yang penuh dengan berkah dan ampunan akan lebih sempurna bila ditambah dengan bacaan-bacaan penggugah keimanan semacam buku ini, agar puasa kita menjadi kian mantap. Buku ini merupakan minuman ringan penggugah daya spiritualitas.
*

Judul: Spiritual Softdrink
Penulis: M. Tajuddin
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xx+220 Halaman
Peresensi:Muhammad Ali Fakih AR (pustakawan Rumah Baca Zainal Arifin Thoha Yogyakarta).

30/01/09

Hantu, Perempuan Sundal, dan Kebohongan Bramanto

Fakhrunnas MA Jabbar
http://www.lampungpost.com/

Akulah hantu itu. Tertiup angin aku datang ke pulau yang mulai gemerlapan ini. Tersebab lupa, aku tak tahu darimana aku tiba. Aku bisa berumah di awang-awang atau berhimpun dalam gemuruh hujan dan petir. Tak usahlah aku berterus-terang ihwal asalku. Orang-orang Melayu kebanyakan agak berpantang membincangkan soal itu. Kecuali, para batin dan bomoh yang sewaktu-waktu bisa saja memanggilku tanpa surat perintah sekali pun. Aku hanya takluk pada mantera dan bacaan gaib serta bau-bauan kemenyan atau ramuan kembang para batin atau bomoh tadi.

Oleh karenanya, aku bisa diperalat oleh siapa saja yang mengimpikan suatu pengharapan dan cita-cita. Ya, aku mengalir dalam takhayul-takhayul orang kesurupan akan harta dan jabatan. Maaf, tak mungkin aku berterus-terang siapa saja yang pernah menggunakanku untuk mencapai ambisi-ambisi pribadinya. Sssttt...off the record-lah gitu...!

Seperti angin dan bau-bauan, aku pun bergentayangan begitu saja di pulau ini. Aku datang tanpa permintaan siapa pun. Tak ada batin atau bomoh yang memperalatku. Tak ada maksud-maksud khusus di balik kehadiranku. Aku hanya ingin bersaksi di sebuah kawasan baru yang selama ini tak tertera di peta. Sungguh, sebelumnya aku sudah kenal kota-kota besar yang bertumbuh bagai meteor yang melesat ke langit biru malam hari. Bahkan aku sudah beranak-pinak di kawasan-kawasan semacam itu menyebarkan ketakutan dan kecemasan di tengah kegerahan kehidupan malam.

Aku baru tahu di pulau ini ada kehidupan yang mulai asing. Dunia hiburan tanpa batas tiba-tiba menjadi ratu di kegelapan malam. Ini yang aku suka. Meski aku juga tahu kalau orang-orang Melayu penghuni asal pulau ini telah berkeringan air mata meratapi perubahan yang mengoyak-ngoyak tabir budayanya yang santun. Dentum suara musik di diskotek-diskotek sejak malam hingga pagi hari membenamkan dengung azan di menara-menara masjid yang senantiasa jadi tumpuan doa orang-orang Melayu di sini. Bar dan karaoke yang dipenuhi kepulan asap dan bau maung pil nipam, ineks, rohipnol serta cekikikan perempuan sundal tengah malam menguburkan rengek-tangis anak-anak Melayu yang hidup bersahaja di ceruk-ceruk tanjung dan selat nan jauh dari keramaian. Kesepian mereka lebih diam dari bintang di kejauhan. Aku faham....aku faham sungguh!

Malam-malam kujalani di tiap jengkal pulau harapan ini. Terang-benderang kota di luaran berbancuhan dengan ruang remang-remang yang dijejali asap dan bisingnya suara musik. Aku ikut larut dalam hentakan musik yang membuat ribuan orang terkulai dan menahan dingin di pojok-pojok diskotek dan bar. Orang-orang berpelukan semaunya. Dunia tanpa kata-kata. Orang-orang hanya mengandalkan gendang telinga untuk menikmati irama musik yang tak beraturan lagi. Itu juga yang aku suka. Aku sudah terbiasa dengan suasana-suasana seperti itu. Bagi makhluk semacam kami, ketakutan dan kecemasan adalah santapan penuh gizi. Aku datang ke pulau ini pun sebisanya menularkan ketakutan dan kecemasan itu. Orang-orang yang kesetanan adalah sahabat sejati kami.

Kucoba mengenali orang-orang di pulau ini sebisaku. Kucoba mengakrabi wajah mereka. Tak peduli apakah dia orang tempatan atau tamu yang berdatangan dari luar pulau ini. Sudah lama kudengar, banyak orang yang datang ke pulau ini setelah urusan dinasnya menikmati malam-malam panjang dan perempuan sundal yang bisa "dibeli" dengan harga lebih murah. Bahkan, perempuan semacam itu jadi bagian proses bisnis atau urusan dinas mereka. Ha ha ha... (maaf, aku jadi tertawa berlebihan).

Malam ini aku bersendirian saja. Seperti biasa aku berkelana kian-kemari. Dari tempat yang remang di luaran hingga keremangan diskotek dan karaoke. Entah bagaimana, kehidupan kami lebih dominan ditakdirkan berada di keremangan. Hanya bedanya, dulu aku hidup di keremangan rimba belantara. Tapi kini kucoba menikmati keremangan lain. Keremangan yang dijejali kerlap-kerlip lampu dan hentakan musik.

Aku melihat seorang perempuan muda yang menggigil di sudut ruangan diskotek. Aku kasihan melihat kegetiran hidupnya malam itu. Aku ingin berbicara dengannya. Tentu bukan dalam bahasa hantu. Tentu juga dalam wajah kami yang selalu berubah dan mengerikan. Seperti tabiat kami yang bisa berubah rupa, aku pun akan mendekatinya dengan wajah seorang lelaki tampan.

"Hai, manis! Kenapa sendiri?" sapaku.

Perempuan itu semula diam saja. Menatapku penuh keheranan. Tampak di wajahnya ia mulai berbagi perasaan. Satu sisi ingin menolakku karena aku masih asing baginya. Di sisi lain, ia juga sangat bersimpati padaku, tersebab aku cukup tampan malam itu.

"Hai, manis! Perlu ditemani?" sapaku mengulang.

Ia mulai tersenyum. Manis sekali.

"Boleh aku duduk di sini?" pintaku.

Ia beraksi dan menyempurnakan posisi duduknya. Pakaiannya yang berkerutan karena melampiaskan rasa kesal akhirnya dirapikan tergesa-gesa. Ia tampak berusaha melayaniku dengan prima. Tampaknya ia mulai tertarik padaku.

"Abang dari mana?" tanya perempuan itu singkat.

"Aku dari pulau ini. Aku penduduk sini. Kau, mengapa di sini sendirian saja?"

Ia mulai bercerita. Katanya, ia sedang kesal karena menunggu seorang lelaki yang menjadi tamu istimewanya. Pak Bramanto, namanya. Seorang tamu yang bertugas dan menetap di Jakarta. Persisnya pejabat di dinas atau kantor apa, perempuan yang mengaku bernama Prili itu tak pernah tahu pasti. Walaupun sebenarnya, sang lelaki sudah menjadikannya sebagai "istri piaraan" selama lebih tujuh tahun. Biasanya Pak Bram, begitu ia senang dipanggil, akan mengunjungi 3--4 kali setahun, sejalan dengan tugas dinas luarnya di pulau itu.

"Kamu suka hidup seperti ini?" desakku.

"Gimana lagi, Bang. Sebenarnya aku tak mencintainya. Apalagi bagi perempuan di tempat hiburan seperti aku, dijamin tak punya tambatan hati. Tapi Pak Bram memelas dan memohon agar aku tetap jadi isteri simpanannya. Ya, aku terima juga. Yang penting bagiku...ya duitnya. Aku sudah dihadiahinya sebuah rumah mewah lengkap dengan isinya. Lebih dari itu, pada ulang tahunku yang ke-24 tahun lalu, dia juga hadiahkan buatku sebuah sedan BMW. Tentu aku suka...," derai tawa Prili terdengar manja sambil menyandarkan wajahnya di bahuku. Sebagai hantu, tentu aku tak nafsu.

Kencan kami malam itu sampai larut malam. Meski dentuman musik house masih terus mengalir sampai pagi, tapi aku memutuskan pembicaraan sampai pukul 02.00 dini hari. Aku tak menawarinya untuk menemaninya antar pulang. Sebab, aku tak menghendaki ia sampai mengajakku tidur bersama. Aku tak biasa melakukannya.

Di malam-malam berikutnya, Prili masih mengajakku datang dan bertemu di diskotek yang sama. Di malam yang kebelasan kalinya, saat aku duduk mendampingi Prili, tiba-tiba ponsel di genggamannya berdering. Ia tampak gelagapan dan bicara berbisik. Bagai ada yang disembunyikan. Tapi aku persis tahu semua apa yang dibicarakannya. Bahwa, Pak Bramanto sebentar lagi akan datang karena pesawatnya baru mendarat agak kemalaman dari Jakarta.

"Bisa kutinggal sebentar, aku ada keperluan lain...," ujar Prili berhati-hati.

"Tak usah repot. Aku juga mau pergi. Pak Bramanto sedang ada di sini kan?" selidikku. Prili tersengak.

Tokoh Prili bagiku jadi menarik begitu kutahu hubungan gelapnya dengan Pak Bram. Oleh sebab itu, selama tiga hari pertemuan mereka, selalu tak luput dari intaianku. Aku selalu menyaksikan hari-hari kemanjaan mereka di pusat belanja, kamar tidur, restaurant sea food hingga lancongan mereka ke Singapura. Aku hanya menangkap wajah kebohongan pada kedua tubuh itu. Pak Bram menjual kebohongan-kebohongan pada anak-istrinya yang jauh. Sementara Prili membohongi Bram tentang kesetiaan dan kejujurannya.

Sebagai hantu, aku menerobos ruang dan waktu tanpa batas. Oleh karenanya, saat Pak Bram kembali ke Jakarta, aku mendahuluinya. Kumasuki ruang mimpi anak-istrinya. Kubisikkan semua yang dilakukan Pak Bram sejak tujuh tahun berlalu. Aku tak ingin kebohongan Pak Bram lestari sepanjang usianya. Mestinya ia lebih punya tanggung jawab di usia yang kian senja.

Ketika Pak Bramanto sampai di rumah, istri dan anaknya menyambut dingin. Pak Bram jadi ketar-ketir. Ia mencoba seolah tak terjadi apa-apa dengan menyuguhkan oleh-oleh yang beragam.

"Ada apa, Ma?" tanya Pak Bram saat bertemu sang istri di kamarnya.

Sang istri makin cemberut. Pak Bram jadi salah tingkah. Apalagi saat anak-anaknya yang sudah dewasa mengerumuninya.

"Saatnya, Papa berterus terang pada kami. Papa punya perempuan simpanan kan di Batam? Itu yang membuat Papa sangat senang dinas luar ke sana..." serang ketiga anaknya serempak.

Pak Bramanto terdiam.

"Bagaimana kalian tahu?" suara Pak Bram meluncur pelan.

"Kami bagai dibisikkan sesuatu. Kami menyaksikan semuanya lewat mimpi. Seolah-olah ada yang memberitahu kami akan kejadian yang sebenarnya...," tanggap sang istri berapi-api.

"Tapi, mimpi tak lebih dari bunga tidur. Bukan fakta..bukan realita. Bagaimana bisa dipercaya...?" Pak Bram masih mencoba mengelak.

Aku menyaksikan perdebatan di rumah tangga itu sambil tersenyum geli. Saat suasana hening di dalam kamar itu, aku mengubah jasadku menjadi Prili. Aku langsung mengetuk pintu. Pak Bramanto yang berdiri paling dekat ke pintu langsung menekan gerendel.

"Selamat malam... Hai, Pak Bram! Maafkan aku mengganggu...," sapaku dengan memakai jasad dan suara Prili dengan senyum ramah.

Pak Bram benar-benar tersengat dan terkejut. Dadanya berguncang hebat. Tak lama kemudian ia rubuh ke lantai karena serangan jantung. Semula nyaris tak ada yang peduli. Tapi setelah aku berterus terang dan mengenalkan diri sebagai Prili, perempuan simpanan Pak Bram, barulah anak laki-lakinya yang bungsu memberikan pertolongan pada Pak Bram. Sementara istri dan dua anak perempuannya mencoba menyeretku ke luar. Mereka tiba-tiba kesurupan ingin meremas wajahku.

"Sabar dulu, Bu. Aku datang untuk memberitahu ihwal sebenarnya agar Pak Bram tak membohongi kalian lagi. Permisi...," aku langsung gaib dan menghilang membuat semuanya tercengang.

Aku kembali ke Pulau Batam menyaksikan ribuan kebohongan para lelaki. Kuberitahu Prili bahwa Pak Bramanto tak akan datang lagi karena ia sudah meninggal dunia sejak mendapat serangan jantung dulu. Hati Prili berbunga-bunga.

Pangkalan Kerinci, Agustus, 2003

*) cerpenis tinggal di Pangkalan Kerinci, Riau.

25/01/09

Puisi-Puisi Thowaf Zuharon

http://sastrakarta.multiply.com/
Suatu Siang di Tanah Itu
- buat Windy

di sebuah tanah yang telah merantaukan
muram buku harianmu, tempatmu
mencatatkan kalut, yang ternyata dulu
tertanam pada kulit pohon kepel,
pada dinding gedung-gedung yang terpugar
karena iklan dan sumbangan,
di situ, sebuah hari, bagimu
hanya kereta tua yang cepat berlalu
tanpa mau mengucap salam perpisahan,

hari yang membuatmu selalu ingin
menyusun gurauan di kantin penuh angin,
penuh pertanyaan dan jawban.
di tanah itu, kau begitu suka
menggumamkan kisah-kisah sederhana.
tentang ibumu yang bergincu kecemasan.
tetanggamu yang melesat kerja ke negeri jauh,
atau kekasihmu yang kian larut dalam kesibukan

di tanah itu, kau pun menyusup dalam langkahku,
membagi keraguanmu
pada jalan-jalan yang berlimpah
rintangan, tangis dan harapan
mimpi itu begitu pekat, katamu,
seperti raut lelah tukan batu yang kerap gugup
menatap segala harga yang terus melaju



Fantasi Hujan Siang Hari

kalau deras hujan menjelma kata-kata
tak perlu lagi kita bicara, menulis, atau membaca.
sebab hujan telah jadi dongeng yang merembes
ke sungai, ke muara, ke pematang yang mengandung
air mata orang-orang desa

kalau deras hujan menjelma kata-kata
jalan kurup dengan puisi dan demonstrasi
wajah pasar jadi sunyi, toko-toko pucat pasi

kalau kata-kata menjelma deras hujan
genting rumah bising caci maki
semua benda dipanpangi huruf-huruf
kuburan basah doa-doa
dan di luar, hujan semakin menderas

kalau kata-kata menjelma halilintar
saat hujan menderas
manusia enggan bercakap
penyair ramai merangkai hingar bingar
dan kata-kata semakin menderas di luar

kalau hujan hanya fantasi yang siang
laut berangsur susut, rumput akan maut



Kita Berjalan di Trotoar

kita berjalan di trotoar.
siang api dan rambut ponimu
meruapkan masa lalu,
makin menyeruakkan
cerita nenek moyang pilu.
cerita yang merangkum derita kerja paksa,
penjajah yang menjarah subur tanah,
hingga anak cucu hanya mampu
menelan kalah dan amarah

kita berjalan bareng di trotoar.
amis angin kota meniup tubuh kita.
serasa mengirimkan jerit kanak
kehilangan mainan dan ibunya,
jerit dari kota muram penuh luap hujan,
penuh air mata sedu sedan

kita tetap berjalan di trotoar
meski jejak tak ada lagi
meski cahaya tinggal jadi lara
meski masa depan cuma arang
meski mimpi tak menawarkan imaji



Lelaki Bersegi Sembilan

di sepanjang alur perjalanan
seolah selengkap semesta
seorang lelaki bersegi sembilan
senantiasa menebarkan damai surga

di sekujur daratan
dengan ucapannya yang remang
kukuh menggarami samudera
dengan semilyar welas asih
hingga angin ikut asin

lelaki bukit mati lahir kembali di Jogja
di atas punggung kuda berpelana merah tua,
gagah-gigih dalam jubah putih dilingkupi doa-mantra,
selepas usia empat tiga,
tubuh mungilnya bergegas menebas
pamrih miang duri wanasari
cakrawalanya menggagas aras cemas
selalu resah agar tetap manusia
menapaki jejak tapak Suryo Mentaraman
setiap rembang nyalang mengosongnya,
selalu mendengungkan Freire dan Comte
khusyuk merasuk dalam seluruh geraknya

begitu kencang dipacunya laju kuda,
berbekal buku dan buah karya, peta tanpa skala,
juga sebuah mikropon di tangannya
menjadi empu dari para guru,
ia terus mengembara seperti udara
kota demi kota, desa demi desa
mengungkap beribu mimpinya tentang
kertas-pena yang seharusnya tanpa harga,
remaja riang tanpa himpitan kutipan BP3,
atau tentang kita semua
yang sebaiknya marak bergerak
dengan satu modal bersama

dalam riuh pesta hari lahirnya, ingin kucuri
kerlip cahaya sembilan butir bintang
di luas lengkung keningnya
niscaya kusimpan satu di kamarku,
sebagai penerang mimpi burukku
dan kubagikan sisanya
kepada jutaan liliput dekil yang hampir kekal:
bersimbah samsara, selalu menggigilkan nasibnya
tak mengenal aksara,
terlunta tanpa roti dan aqua dalam siang neraka
jutaan liliput, para usia lima yang tersisih dari kasih
merindukan taburan cahaya
di perempatan kota-kota yang menentang agung nirwana

tapi sebelum kulunaskan niatku
lelaki bersegi sembilan itu lebih dulu
mempersembahkan seluruh semestanya
kepada kanak arca gempa yang menjelma
pemulung murung hampa asa
berbekal sembilan butir cahaya
yang terang menyala di tubuhnya
ia meleburkan seluruh selnya
kepada segala samsara mayapada
menjadi lilin kaum papa
lalu melesat ke nirwana
sembari mengumandangkan lengking tangisnya
yang kelak menggempur angkara

sampai nirwana, bersama siddharta
ia meluruhkan sembilan sudut dirinya
demi lestari wangi mayapada
lalu sempurna menjelma bilangan tak terhingga

2006

Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar

http://sastrakarta.multiply.com/
Di Malam Lain Pada Sebuah Ujung

Malam pertama: kita bertemu di sela waktu
menyibukkan jarumnya pada setiap putaran
lalu melelehkan gerimis dari kisi jendela
tempat kamu gantung jam dinding

tahukan kamu? tirai jendela rumahmu
(hadiah ulang tahun, dari jejak usia yang fana)
waktu tak selalu merindukan tidurmu
dan terus bergerak mengarak nafasmu
melompat ke luar pagar tanpa kau duga
melewati jedah istirahatmu yang fana pula

Malam kedua: kita saling membuang pandang
ke bubungan

entah kapan, matahari melucuti lapisan awan
tak perlu lagi menunggu ketukan berulang
tanpa harus selangkan pandang
pada busur jam yang terus memburu jejakmu
di jalan setapak bercabang
kita mesti ke luar
meniti keluh: meski peluh membengkakkan sel tubuh

di malam yang lain: kita bersepakat

menyulut api, lalu memadamkannya
saat waktu menggetarkan tangga rumah
yang belum kita perbaharui warna catnya

jogja, 2006



Metamorfosa

semenit, seusai perjamuan; ada yang merayap dari sudut
retak dinding rumahmu, kau diam di sebalik pintu, terpaku
saksikan pelepasan para tamu sesudah melepas penat
kau hitung jejak satu-satu

kuyakini tak ada yang tertinggal, detak jam tanggal
tepat pukul satu ada yang ganjil, bisikmu
nafasmu, barangkali
kau pun membandingkannya dengan langsir matahari
ada yang menyusup dan berbisik lewat bebayang
semenit lalu; ke mana nafas berhembus?
kau diam menghitung jejak
tiada sisa
hanya denyutmu singgah di setangkup roti sisa perjamuan
pun di sebalik dinding rumah tatapmu tambat
dengan segala ingatan kalap, dan semenit
kau terasa kehilangan segala sesuatu yang tak nyana kau tunggu
rumah singgah, adakah telah menampung segala ingatan?

ngijo/jogja-rumahpoetika, 2006-2007



Dendang Cinta Lima Belas Purnama

i
memantrai hari-hari dengan segenap
rahasia hembus nafas. ada yang mengapung dari ceruk laut
menjaring cahaya purnama. bukan percik api tenung. tapi kilau karang-
sesaat mengapung mengarak riak menuju muara tempat sampan dikandaskan

oh, dendang cinta lima belas purnama. saksikanlah, berdiri di tepi pantai
memahat sepi, membidik arah angin: agar asin garam lebur pada sisik kulitku-kulitmu
agar cahaya purnama tumpah

di simpang jalan tak berujung
yang senantiasa bingar oleh erang panjang
bukan dendang cinta lima belas purnama
namun letih lantaran panen berujung malang
dan mengapa kita begitu enggan menabur bunga persembahan
di halaman panjang
rumahku
rumahmu
sebelum purnama diarak kabut
dan upacara kematian dilangsungkan?


ii

berdiri di tepi pantai, bersedekap menghimpun nafas ombak
dalam gegas langkah penabur kembang
malam semakin panjang
mengendap di gubuk-gubuk
persingahan para nelayan
ada yang bersijingkat saat angin terpintal
Dari sela tungku api ikan pindang
menisik dalam derap langkah
menoreh kisah metafora luka
tubuhku
tubuhmu
sebelum rahasia semesta
terjaring jala cinta
dan dendang cinta lima belas ditembangkan

jogja, 2007



Biografi Sunyi

sunyi, angin mensedekapkan sepi
abjad-abjad berlesatan selepas
kidung kematian didengungkan
huruf-huruf basah
nafasku-
nafasmu
hanyut dalam jejak rahasia
yang fana
pasrah-
berserah
di lubuk waktu
tanpa gumam
sebelum malam
mensedekapkan kita
pada kalam subuh
pagi, tiba-tiba menepi
dalam semadi waktuku
yang fana

ngijo, 2007



Penghujung Musim

hujan turun
di simpang jalan
bulan dihimpun angin

di tegalan
seorang lelaki menggigil
mengais tangis
hujan mengelus ubun-ubun: diam-diam
bulan menuntunnya ke ujung malam

lelaki itu, besijingkat
sekarung rumput ia jinjing
tanggalkan ladang dan semak
menghimpun harap
panen jagung tak berujung malam

ngijo, 2007

Sajak-Sajak Teguh Ranusastra Asmara

http://sastrakarta.multiply.com/
Siapakah Aku

di antara bunyi yang sepi
kulewati jalan setapak ini
tak kan jejakku berpaling pada kasih pengembara
disini ada setumpuk lengking yang bisik
seperti wajah orang dengan kerut-kerut tuanya
memandang bulan mengaca di telaga

Yogya, Awal April 1969



Jalan yang Putus

katakan bahwa kereta tak akan berhenti lagi
di rel ini yang tua
sinya-sinyal mengangguk tunduk berkarat
dulu kereta selalu lewat
dengan bunyi desah yang mengisi senja hari
termakan muatan, manusia penuh tanda tanya
mana kepala setasiun ?
disini kereta tak mau lagi berhenti
rel kembali membujur, dan setasiun
dimakan beribu-ribu kesepian

Yogya, 1969



Sebuah Ruangan Tua

sudahkan tirai ini kau buka kembali
bau busuk, dan debu menambah
ruangan makin hitam
ramat-ramat adalah lukisan dinding tanpa pigura
semua serba mendekap
mentari pertama yang menyentuh dinding
jamur pada melekat
untuk inikah kau akan memulai
langkah yang baru, jalan lenggang

bukalah tirai lebar-lebar
kalau tak ingin mati dibius kepadatan mimpi

Yogya, 1970



K a l i K u n i n g

masih seperti dulu
bening dan sejuk dari lereng merapi
ketika hasrat dibangkitkan lewat cinta
segalanya mencair, batu jadi api
tinggal abu yang memutihkan cemara
seperti rambutmu terbasuh di kali kuning
di kaki bukit
tertinggal luka dan darah membekukan langkah
yang tak pernah sampai
dan jika angin september tiba
mengantar doa-doa
untuk ditaburkan pada hati
menyimpan sepi, penuh misteri

Yogya, 1981



Masih Tersisa

kueja namamu di balik kalender tua
ada yang masih tersisa
lagu dan jarimu menyentuh
rinduku dan musim kemarau meninggalkan
ranting-ranting patah, disini tak ada lagi
ringkik kuda sumbawa dalam padang tandus
mari jendela purba dibuka, menerbarkan wangi
di halaman rumah kita

Yogya, 1982

Puisi-Puisi Abdul Azis Sukarno

http://sastrakarta.multiply.com/
SEJAK LAMA KITA TELAH CACAT

terlalu sering kita berjalan dan tersesat
terlalu sering kita lukai kaki kita sendiri

mau kemanakah kita sebenarnya?
kenapa harus ada tujuan dan kita harus meyakininya?

hidup dan hiburan sepertinya tak bisa diceraikan
memisahkannya berarti sendiri dan mati

lihatlah, bagaimana kebohongan menjadi kawan
satu-satunya?

dunia adalah sarang jebakan dan perangkap
untuk kita selamanya. harapan mampu berlari kencang
adalah sikap aneh dan menyedihkan
marilah kita menololkan diri habis-habisan. atau
memintarkan diri kita dengan banyak kebodohan
jangan percaya, bahwa kita lebih hebat dari siapapun
Jangan percaya, bahwa masing-masing diri memiliki
kelebihan. itu hanya gejala 1 persen + 99 keberuntungan

ingat, kita telah lahir dalam keadaan cacat
cacat melihat, cacat mendengar, dan cacat merasakan
kebenaran! kita semua adalah produk cacat mental
sehingga, tak perlu heran, bila kita lamban dalam segalanya

dunia adalah pusat aborsi,
bagi kandungan pikiran-pikiran besar kita
pusat rehabilitas yang tidak efektif bagi pecandu-pecandu
seperti kita yang gemar menghisap mimpi
ayo menangis dan tertawa,
untuk merayakan ketidaktahuan kita akan arti
dari sedih dan gembira
ayo bangun dan tidur lagi
toh kenyataan dan bukan kenyataan adalah sama saja!

Pringgolayan, Yk, 2007



BIARLAH!

biarlah, semua tak terjawab
biarlah, telinga-telinga itu menjadi tuli
biarlah, mereka menganggap lidahku kelu

aku sudah cukup sabar
untuk sesuatu yang kadang meragukanku
cukup paham
atas apa yang mesti kuraih dan kulepaskan

biarlah, tangan-tangan itu membutakan mataku
dan membuat jalanku terhalang kegelapan
demi mala petaka yang ada di depanku
akan kudatangi ia sebagaimana ia mendatangiku
akan kuhajar ia sebagaimana ia menghajarku
akan kubiarkan kakiku melangkah ke arah yang salah
dan menyesatkan

aku sudah cukup tabah
mengusung mimpi kemana-mana, seperti mengusung jenazah
yang tak siap dikebumikan. Menjadi panji tengkorak
yang tak pernah kelelahan menyeret peti mati kekasihnya.

dan begitulah, aku dengan mereka
adalah aku dengan lubang-lubang jebakannya
yang kini kutahu amat menyedihkan
aku dengan mereka adalah aku dengan luka-luka
yang menganga!

Tamansiswa, Yk, 2006



AKU RINDU LAUT DAN IKAN-IKAN LAPAR

sudah sekian tahun
sungai tempatku tenggelam mengering tanpa air
sudah sekian waktu itu pula
tubuhku diam di sela-sela bebatuan tak terbawa air

tak ada yang tahu, kenapa aku sampai kemari
tak juga diriku yang menerima nasib jadi begini
dulu aku hanyut, karena sungai menghanyutkanku
dulu aku tertarik arus, karena lebih kuat dari daya berontakku

muara mimpi menjadi muara ilusi
muara tanpa kepastian dan tempat yang cocok untuk bunuh diri
muara mimpi menjadi muara halusinasi
tak bisa ditebak, tak juga diyakini

aku bergerak, karena digerakkan
aku diam, karena didiamkan
seperti jasad beku dalam keranda panjang
yang tak tahu kapan dan di mana akan dimakamkan
sudah sekian tahun,
aku disembunyikan begini rupa tak berdaya dan tidak bisa apa-apa
terselubung dan tak menentu
terjepit payah oleh kepingan-kepingan waktu

laut! laut! laut! di manakah kau?
ikan-ikan lapar! ikan-ikan lapar! Aku rindu kalian semua.

Monjali, Yk, 2006



SEJUJURNYA AKU MENOLAKNYA, TAPI…

sebagai ulat, sejujurnya aku menolak menjadi kepompong
dan sebagai kepompong pun sebenarnya aku menolak
menjadi kupu-kupu
tapi, semua telah terjadi
dengan kedua sayap ini, sesuatu seolah memaksaku
masuk ke dalam tamanmu: taman yang dulu tak pernah
sedikit pun kuimpikan

sekarang, mau tak mau
aku mesti belajar menghirup aroma bunga
mencium semua putiknya
dan berputaran terbang rendah di sekitarnya

setelah itu, tugasku tidak lebih dari menunggu, menunggu,
dan terus menunggu, kapan saatnya waktu
meluruskan tubuh dan semua penolakanku

Pringgolayan, Yk, 2006



SAMPAI LELAH. SAMPAI LELAP

jika aku bersujud, pada siapa aku menyembah?
jika aku bersedih, pada siapa aku meneteskan air mataku?
jika aku gembira, pada siapa sebenarnya aku tertawa?

telah lama cawan jiwaku kosong dan membiarkan
rasa hausku menjadi penderitaan. Telah lama tenggorokan
batinku mengering dan membiarkan rasa dahaga menyiksaku
aku cukup terbiasa. Siang atau malam bagiku sama saja
sebab di antara cahaya dan kegelapan, aku tak di mana pun

seperti kulit kepompong, aku lahir dari ulat
yang meninggalkanku setelah menjadi kupu-kupu
sendirian, menempel pada sebuah pohon yang kelak
memusnahkanku. Aku seolah bukan bagian dari diriku

jangan beri aku cermin, karena aku telah lupa cara melihat diriku
jangan beri aku cinta, karena aku telah lama menghilangkan tempatnya
jangan beri aku keyakinan, karena sakitku akan bertambah parah olehnya

biarkan aku seperti ini, bila memang harus begini
berjalan sewajarnya, bergerak apa adanya
sampai aku lelah, sampai aku lelap
sampai aku menemukan diriku dalam mimpi yang sesungguhnya.

Monjali, Yk, 2006

22/01/09

Cinta, Sastra, dan Kita

Matroni El-Moezany
http://www.sinarharapan.co.id/

Cinta tak lain adalah sebuah reaksi kimia tubuh yang segalanya bisa diterangkan sebagai persoalan senyawa kimia. Belakangan ini para ilmuwan semakin tertarik menerangkan perasaan manusia sebagai gejala kimia biologi.

Bukan lagi gejala jiwa atau psike. Sesungguhnya ini sangat kontroversial. Tren penemuan-penemuan belakangan ini menunjukkan bahwa yang selama ini dianggap sebagai jiwa dalam bentuk sifat, perasaan, perilaku ini dapat dikendalikan bahkan diubah melalui manipulasi hormon dan senyawa kimia otak.

Jadi, implikasi secara ekstrem adalah tak ada jiwa, tak ada badan, tak ada psikis, yang ada biologi. Tak ada ruh, yang ada organisme, kalau tak ada ruh, ya tak ada yang namanya hari kiamat.

Bukanlah aku sangat paham akan cinta dan bila kusingkap dan kutumpahkan cinta kekasihpun telah menyingkapkan dan menampakkan dirinya sungguh aku hanyalah mencintai cinta (Puisi Amen Wangsitalaja).

Demi pemahaman akan cinta kita semua butuh pengetahuan, serta cinta adalah konsekuensi eksistensi manusia di muka bumi. Dunia bukan hanya untuk kepuasan atau kebutuhan praktisi melainkan gairah untuk mengetahui. Cinta adalah sikap, sesuatu orientasi watak yang menentukan pribadi dengan dunia keseluruhan bukan menuju objek cinta yang mempunyai suatu tindakan yang aktif, bukan perasaan yang pasif. Itu pun harus berdiri dalam cinta, tidak jatuh ke dalamnya (Erich Fromm).

Dalam bukunya Enduring Love, Ian McEwan, seorang novelis yang amat terpukau pada spekulasi senyawa kimia, mengatakan bahwa lewat tokoh utama novel itu: tidaklah cinta hanyalah tipuan tubuh agar kita berkembang?

Bukankah drugs peningkat kadar dopamin dan serotonim telah beredar kerap kali dipakai di pesta-pesta? Dopamin dan serotonim senyawa yang membuat orang berbunga-bunga dan merasa kuat, yang diproduksi dengan kadar tinggi dalam tubuh orang sedang mabuk asmara.

Itu sama menariknya asmara hubungan antara orang tua dan anak, terutama ibu dan anak yang dianggap sebagai naluri. Tentunya cinta mempunyai kesejukan, ini terlihat keakraban dengan alam dan lingkungan yang kian bermakna saat ketenteraman dan kedamaian berpadu dalam hati masyarakat walau lambat laun teknologi dan imformasi akan merangsek tatanan tradisi budaya itu sendiri.

Cinta tidak terlepas dari masalah yang berkaitan mengenai sastra romantis dan sastra itu sendiri, dan kita tak lepas dari kaitan antara karya, sastrawan, masyarakat, maupun negara, serta kebijakan ideologi yang dianut. Hubungan keempat unsur tersebut memang sudah diperdebatkan sejak zaman Plato dan kerap kali menimbulkan peristiwa yang tidak mengenakkan.

Peristiwa itu bisa berupa pengusiran atau pencekalan sastrawan dan karyanya. Dan itu pun terdapat bukti yang tertera dalam daftar yang sangat panjang dari peristiwa itu: Boris Pasternak, Solzhenitsyn, Anna Akhmatova di Rusia, Celine, Victor Hugo di Prancis, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Muchtar Lubis, Emha Ainun Najib di Indonesia dan masih banyak lagi yang lainnya.

Namun, hubungan sastra dengan kita juga tak jarang menimbulkan bisnis antara para sastrawan yang mau menjadi pendukung dan alat penyebar kebijakan pemerintah.

Cerpen, seperti tugas-tugas bentuk lain sebagaimana dinyatakan Budi Darma adalah membentuk jiwa humanitat yakni membentuk manusia yang halus, manusiawi, dan berbudaya. Hal ini akan terjadi apabila dicapai pencanggihan estetika bentuk dan isi. Inilah yang membedakan antara sastra dari berbagai jenis tulisan lainnya.

Mayoritas yang dicari pembaca dari sastra ialah penuangan yang berbeda dari jenis-jenis tulisan yang lain. Jika hanya mencari isi dan aspirasi bisa dicari dalam bentuk tulisan di luar sastra, ini berarti sastra tidak membatasi aspirasi. Pada kodratnya sastra memiliki peran dalam istilah Mathew Arnold sebagai criticsm of life (kritik kehidupan).

Dalam hal ini kita harus setuju pada sesuatu yang pernah diungkapkan Budi Darma bahwa pengarang mampu menjaga jarak antara sastra dan emosi serta aspirasi baik sebagai individu maupun sebagai wakil dari kesadaran yang kolektif agar terbatas dari pencemaran emosi.

Dengan demikian, estetiknya sastra tetap terjaga. Pada dasarnya sastra—meminjam istilah Goenawan Mohamad—mengandung pengabdian atau peran yang tak cuma untuk dirinya sendiri di dunia yang penuh dengan masalah sastra. Ia tak bisa mengabaikan realitas dengan hanya mengotak-atik hal-hal dan formal dan hanya mementingkan estetika bentuk seperti yang dikehendaki paham seni untuk seni.

Dan masih ada sastrawan pencari nafkah, sastrawan pelampias nafsu, sastrawan iseng, macam-macam. Ada juga yang semoga diizinkan saya sebut sastrawan hati nurani (YB Mangunwijaya).

Melihat hal seperti itu kita harus sadar dan menyadari bahwa jadi penulis (sastrawan) sangat banyak godaannya. Baik itu godaan harta, kekuasaan, nafsu rendah. Namun ibarat emas di dalam debu (pinjam kata Rumi) ada juga sastrawan hati nurani (YB Mangunwijaya). Dalam sejarah kehidupan kita sehari-hari kita dapat dengan mudah menemukan fenomena seperti itu.

Jika melihat fenomena yang terjadi saat ini seperti di era kini lebih banyak memilukan bagaimana banyak para sastrawan yang hanya menjual kekerasan dan mimpi kosong pada khalayak dan para sastrawan yang bersedia bekerja keras, jauh dari sikap kemaruk harta. Problemnya yang paling menurun pembentukan estetika moral dalam kebudayaan Indonesia yang disebabkan tidak berkembangnya sistem imbalan dan sanksi, bukan hanya karena ketidakadaan model di antara para budayawan.

Tetapi apakah seorang pemuda yang babak-belur karena membela seorang gadis yang hendak diperkosa, mendapat insentif sosial dan perhatian para budayawan dan pemerintah. Padahal, sastrawan yang diharapkan dan sesuai dengan Alquran adalah sastrawan yang memiliki hati nurani yang bersih dan halus.

Jadi pada akhirnya, jika melihat fenomena di atas yang menentukan apakah karya sastra dapat mencerahkan atau tidak, itu bukan terletak pada bahan ceritanya yang baik atau buruk, tetapi lebih bagaimana sikap estetika seorang sastrawan ketika merespons persoalan tersebut. Sikap estetika ini tentunya dipengaruhi oleh ideologi dari sang sastrawan. Ideologi yang tidak berarti sastrawan harus berafiliasi terhadap orientasi ideologi pilitik tertentu dan ideologi itu lebih mengarah pada world view, yaitu bagaimana sastrawan melihat alam semesta.

Terlihat dengan masalah pandangan dunia sastra, itu tidak terlepas dari filsafat pemaknaan-pemaknaan terhadap gejala-gejala alam. Baik yang datang dari oksidentalisme maupun dari bangsa Timur. Sadar atau tidak sejarah juga melihat dan mencatat bahwa sastra Barat tidak sepenuhnya bersih, tetapi penuh dengan genangan darah. Hal ini karena sejarah sastra Barat merupakan bagian integral dari sejarah panjang kolonialisme dan imprealisme yang sangat menyengsarakan bangsa-bangsa Timur.

Memang dalam era saat ini banyak mainstream yang mengalami pergeseran paradigma (sheftim paradigm) jika sudut problematika tersebut dipertajam, maka lewat merebaknya cinta yang tidak saja mengubah keberadaan dunia, tapi juga mentalitas dan cara berpikir, yang dirasakan paling mendesak saat ini adalah perubahan mentalitas seseorang dalam menghadapi persoalan, baik itu persoalan fisik maupun mentalitas yang berhubungan dengan tingkah laku.

Oleh karena itu, tolok ukur untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat apresiasi sastra di suatu masyarakat selalu tidak jelas. Oleh sebab itu, Taufiq Ismail menyatakan bahwa tingkat apresiasi sastra masyarakat kita masih payah tentu saja benar atau sebaliknya.

Persoalan ketidakjelasan ini sudah barang tentu bermuara pada parameter yang digunakan sinyalemen itu, di samping pemahaman yang tepat untuk membumikan sastra itu sendiri. Masalah dalam pengembangan sastra Indonesia adalah sistem pendidikan. Bertahun-tahun peran pendidikan di negara ini adalah sebagai penyeragaman pendapat, dan bukan pemandaian masyarakat.

Tentu saja sastra hanya sepetak ladang kata, tidak lebih dari itu. Dan jika kekuasaan korup maka sastralah yang membersihkannya.

*) Penulis adalah Staf Devisi Sastra dan Budaya Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta & Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI).

21/01/09

Panca Sila

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Amat minta dibuatkan nasi kuning.

“Untuk apa?”tanya Bu Amat curiga.

“Merayakan kelahiran Panca Sila.”

“Lho merayakan Panca Sila dengan nasi kuning?”

“Ya sudah, kalau begitu ditambah dengan betutu ayam kampung!”

Bu Amat tercengang, kontan membentak.

“Kalau cuma mau makan betutu ayam kampung tidak usah pakai alasan merayakan Panca Sila! Nggak! Nggak ada waktu!”

Amat tidak membantah. Kalau dibantah, pasti nggak-nggaknya Bu Amat akan menjadi tidak. Tapi kalau tidak dibantah, biasanya tidak dari Bu Amat hanya sekedar gertakan, nanti pasti akan ada nasi kuning dan betutu.

“Tenang saja, “kata Amat pada Ami, “Bapak sudah hidup puluhan tahun dengan Ibumu itu, jadi sudah tahu segala sepak-terjangnya. Menghadapi dia harus pakai taktik strategi yang tepat. Pokoknya tetap saja undang teman-temanmu di kampus biar semua datang nanti pada hari Kesaktian Panca Sila ke rumah. Kita rayakan ultah falsafah negara yang sudah mengantarkan kita pada hidup damai dalam perbedaan itu. Sudah waktunya bangkit lagi setelah seratus tahun. Sudah terlalu banyak orang kini lupa dan bahkan mau menggantikan Panca Sila. Kita harus pertahankan!!”

Pada tanggal 1 Juni, Amat keramas dengan air bunga, lalu menggenakan stelan putih-putih. Sepanjang hari ia menyendiri, seperti masuk ke dalam sanubarinya. Hanya sekali-sekali ia mengintip ke arah dapur sambil mencium-cium apa sudah ada tanda-tanda betutu ayam kampung itu rampung. Ternyata tidak ada. Amat mulai deg-degan ,

Sore hari, Amat melirik ke meja makan. Tapi tidak ada perubahan. Istrinya yang siang tadi pamit karena ada pertemuan di rumah tetangga belum pulang. Amat mulai tidak yakin. Akhirnya ia masuk ke dapur dan memeriksa. Di situ ia kecewa sekali, karena nggak Bu Amat sekali ini memang berarti tidak.

Amat masih mencoba untuk memeriksa ke dalam gudang di samping dapur. Jangan-jangan istrinya mau bikin kejutan. Tetapi di gudang hanya ada ayam. Jumlahnya masih lima ekor. Tak satu pun yang disembelih. Jelas sudah tidak akan ada nasi kuning dan betutu ayam kampung.

Waktu Ami pulang dari kampus, Amat panik.

“Ami, Bapak salah perhitungan hari ini. Ibumu ternyata tak sempat masak karena ada pertemuan para ibu. Sampai sekarang belum pulang. Jadi kita akan menghadapi bahaya.”

Ami mengangguk tenang.

“Nggak apa, Pak. Tenang saja. Kita kan sudah 350 tahun dijajah, kita sudah biasa menghadapi bahaya.”

“Tapi kita akan malu besar, bagaimana kalau teman-teman kamu di kampus menanyakan nasi kuning dan betutu yang Bapak janjikan itu?”

“Tenang saja, Pak.”

“Bagaimana bisa tenang! Pasti mereka akan menuduh kita penipu?”

“Memang.”

“Aduh! Itu yang celaka! Kita menyambut Hari Kesaktian Panca Sila mestinya untuk membangun kepercayaan. Tapi ternyata kita sudah melakukan penipuan. Itu bisa tambah merusakkan Panca Sila!”

Ami mengernyitkan dahinya.

“Masak begitu?”

“Ya! Kalian anak-anak muda kan sudah banyak sekali menyimpan kedongkolan dan ketidakpuasan. Makanya kalian semua cepat marah. Belum apa-apa pasti langsung maunya demo, turun ke jalan berteriak-teriak, menentang, menggempur apa saja. Bapak mengerti sekali itu. Sekarang akan tambah bukti lagi, aku tua bangka ini sudah mempermainkan mereka!”

“Makanya kalau belum pasti Bapak jangan suka janji-janji.”

“Habis kalau tidak dipikat begitu, mereka pasti tidak akan mau datang!”

Ami nampak beringas.

“O, jadi Bapak memancing mereka datang dengan nasi kuning dan betutu? Bapak pikir mereka ngiler nasi kuning dan betutu?”

“Ya kan?!”

Ami tiba-tiba tertawa.

“Kok ketawa?”

“Yang ngiler sama nasi kuning dan betutu itu kan Bapak! Teman-temanku itu sekarang lebih seneng makan pizza, burger atau fried chicken. Mereka sama sekali tidak tertarik pada pancingan Bapak itu. Mereka tertarik karena masih ada orang mau meryakan Panca Sila di rumahnya secara pribadi. Itu berarti Panca Sila bukan hanya barang dagangan yang dipajang sebagai slogan, tetapi dikembangkan di dalam rumah, di dalam diri. Mereka suka, jarena itu mereka akan datang.”

Amat tercengang.

“Jadi mereka tidak mengharapkan nasi kuning dan betutu?”

“Apa Bapak tidak malu kalau teman-temanku datang merayakan kelahiran Panca Sila karena tertarik nasi kuning dan berutu?! Itu menghina! Ami tidak pernah bilang sama mereka ada nasi kuning dan betutu!”

Amat terkejut.

“Jadi kamu tidak pernah bilang ada nasi kuning dan betutu?”

“Ngapain nasi kuning dan betutu! Itu namanya melecehkan kebesaran Panca Sila!”

Amat mengurut dada senang. Ia merasa amat bahagia.

Malam hari, sekitar 15 orang teman-teman seperjuangan Ami datang. Peringatan diadakan dengan membacakan Pidato Bung Karno yang menandai kelahiran Panca Sila itu. Disusul dengan uraian dari salah seorang mahasiswa yang membentangkan Panca Sila dengan begitu bagusnya, sehingga Amat mnerasa seperti makan nasi kuning dengan betutu ayam kampung.

Setelah peringatan Panca Sila yang sederhana namun khususk itu selesai, tiba-tiba salah seorang mahasiswa nyeletuk.

“Tapi mana nasi kuning dan betutu ayam kampungnya?”

Amat tersirap. Ia gugup. Buru-buru ia mencari Ami ke belakang, sebab ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.

“Ami! Kenapa teman kamu menanyakan nasi kuning dan betutu ayam kampung?”

“O ya?”

“Ya! Padahal kamu kan sudah bilang, kamu tidak pernah mengundang mereka dengan nasi kampung dan ayam kuning!” bentak Amat keliru-keliru karena panik.

Ami tersenyum.

“Tenang, Pak. Mereka sudah biasa dibohongi. Dibohongi sekali lagi, mereka tidak akan apa-apa. Apalagi hanya janji betutu dan nasi kuning. Bangsa kita kan jago memaafkan. Lagipula kalau manusianya pembohong, tidak berarti Panca Silanya yang bohong! Ayo, kalau berani berbohong, Bapak harus berani juga menghadapi hasil kebohongan itu!”kata Ami menyeret bapaknya kembali ke depan.

Dengan sangat malu Amat terpaksa ikut. Ternyata di depan, para mahasiswa sedang rebutan nasi kuning dan betutu ayam kampung yang baru saja dibawa Bu Amat dari tetangga.

MONUMEN SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika Sutardji Calzoum Bachri (SCB) memproklamasikan Kredo Puisinya: “membebaskan kata dari beban makna, menghancurkan penjajahan gramatika, dan mengembalikan kata pada awalnya, pada mantera” dan coba mengimplementasikan sikap kepenyairannya itu dalam karya, jagat sastra Indonesia–khasnya puisi— seketika seperti dilanda kegandrungan eksperimentasi. Semangat kembali pada tradisi dan kultur etnik –yang dirumuskan Abdul Hadi WM sebagai kembali ke akar kembali ke sumber— laksana memasuki zaman aufklarung: menyebarkan pencerahan betapa sesungguhnya Nusantara punya warisan kultur agung.

Kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak (1973) yang sarat mantera seperti saklar yang mengingatkan sastrawan—penyair pada corak keindonesiaan yang menjelma dengan semangat dan elan baru. Bukankah keindonesiaan terbentuk melalui perjalanan panjang dan rumit proses akulturasi dan inkulturasi etnisitas berhadapan dengan kebudayaan Hindu, Buddha, Islam, dan belakangan Barat? Di sana kultur etnik menjadi akar dengan tradisi sebagai sumber wawasan estetiknya. Kembali ke kultur etnik, kembali ke tradisi, itulah gerakan estetik yang diusung sastrawan tahun 1970-an.

Sutardji Calzoum Bachri dan sastrawan seangkatannya memahami tradisi tidak lagi sebagai sesuatu yang statis, selesai, dan dilupakan yang dikatakan oleh generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dengan “… kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan lama sampai ber-kilat dan untuk dibanggakan….” Tradisi bagi sastrawan Angkatan 70-an ini ditempatkan sebagai sesuatu yang dinamis, elastis, terus hidup dan dihidupi masyarakatnya. Maka, ia harus selalu berada dalam semangat melakukan tafsir ulang sesuai dengan keperluan masa kini. Dikatakan Abdul Hadi, tradisi bukan sekadar produk sejarah, melainkan juga sebagai sistem pengetahuan holistik yang berkaitan dengan kehadiran rahasia Yang Transenden dalam kehidupan. Dengan semangat itulah, SCB memperlakukan tradisi Melayu yang melahirkan dan membesarkannya sebagai sumber wawasan estetiknya. Ia menjadi alat kesadaran untuk berbuat—mengungkap-mengucap.

Salah satu sarana untuk mengungkap-mengucap itu adalah puisi. Dan SCB memahami benar, bahwa puisi bermain dalam tataran bahasa dengan kata sebagai intinya. Maka, ia meneroka hakikat kepenyairannya dalam cengkeraman kegelisahan yang hidup yang pencariannya tidak sekadar mencipta ilham atau mengolah kata sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Puisi bukan sekadar menghidupkan kembali bahasa yang sudah usang (arkaik) menjadi lebih segar sebagaimana yang dilakukan Amir Hamzah. Juga tidak sebatas memanfaatkan bahasa sehari-hari sebagai alat ucap yang penuh vitalitas, seperti yang diperlihatkan Chairil Anwar.

Bagi SCB, tugas penyair adalah melakukan penjelajahan, menukik—mengorek sampai ke inti kata. Mencipta kata dan membiarkan menemukan maknanya sendiri. Di sinilah, pesan spiritualitas SCB mengembalikan kata pada mantera akan menyesatkan jika ditafsirkan secara letterlijk, harafiah! Pesan spiritualitasnya mesti dimaknai lebih jauh sebagai salah satu upaya mengembalikan rahasia yang transenden sebagai ruh puisi. Maka, puisi bukan semata-mata deretan kata-kata yang membangun makna sintaksis—semantis, melainkan kata yang dapat memancarkan sihir, ritme yang membangun sugesti, dan ekspresi yang dapat menghidupkan saklar imajinasi, inspiring untuk membawa pembaca—pendengarnya menerbangkan asosiasinya ke wilayah pengalaman spiritualitas masing-masing. Puisi harus menyimpan kekuatan magis yang membetot pembaca—pendengarnya ke dalam wilayah transendensi yang mahaluas, tak terbatas ruang dan waktu.

Di situlah SCB berhasil melampaui vitalitas Chairil Anwar dan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang minta-minta warisan dari kebudayaan dunia. SCB tidak mendurhaka pada Mak Budayanya (Melayu), sekaligus juga tidak bermaksud me-laplap sampai berkilat. Ia membangun wawasan estetiknya dari usaha menafsir ulang tradisi dan sekaligus menghidupinya kembali. Itulah yang dikatakannya sebagai upaya melupa dan mengingat. Dengan begitu, karya-karya SCB laksana simbol perlawanan—pemberontakan estetik pada mitos Chairil Anwar dan sekalian membongkar stagnasi makna metafisik Amir Hamzah, bahkan juga Hamzah Fansuri. Tetapi, ia juga mengenang kembali semangat transendensi sufistik. Begitulah, SCB sesungguhnya coba melupa mantera dan mengingat sihirnya. Ia menghapus pantun dan menorehkan spontanitas sampirannya. Ia juga coba menenggelamkan pencarian dan kerinduan sufistik dan memancarkan semangat spiritualitasnya, penemuannya, dan ekspresi kreatifnya.
***

Harus diakui, pada dasawarsa 1950-an, Ajip Rosidi coba menawarkan kultur keindonesiaan sebagai lahan garapan sastrawan yang kemudian memunculkan begitu banyak kosa-kata bahasa daerah. Tetapi pengucapannya belum lepas dari pengaruh Chairil Anwar dan sastrawan seangkatannya. Seperti Mohammad Yamin yang memperkenalkan tubuh soneta dalam jiwa pantun. Bentuk luar dan kemasannya seolah-olah baru, meskipun isinya belum beranjak dari cengkeraman jiwa yang lama.

Itulah salah satu yang menjadikan akar (kultur ibu—Mak Budaya) dan sumber (tradisi) yang dihidupkan kembali dalam puisi-puisi SCB membawa penyadaran atas keberlimpahan kultur keindonesiaan yang sesungguhnya. Heterogenitas yang sudah mengada sejak lahirnya, bahkan juga sejak dalam kandungan. Di situlah kultur etnik seketika terangkat menjadi kesadaran akan kekayaan kultural. Tradisi serempak jadi bahan pencarian. Tipografi diperlakukan sebagai asesori penting. Kata-kata—bahasa tidak sekadar alat permainan dan sekaligus ukuran kualitas kesastrawanan, melainkan coba didekonstruksi dan dimaknai kembali secara bebas sesuai tuntutan jiwa puisi itu sendiri. Dan manakala SCB harus mempertanggungjawabkan ekspresi puitiknya di depan publik dalam sebuah pementasan, puisi serta-merta menjadi pentas bergengsi. Pembacaan puisi bergerak, membentuk pementasan artistik yang bermartabat. Pembacaan puisi menjadi pagelaran produk budaya yang asyik ditonton!

Dalam pentas dunia, sastra Indonesia kini tak lagi sebagai warga sastra dunia, melainkan menjelma bagian dari sastra dunia itu sendiri. Maka, ketika para pengamat sastra Indonesia –dalam dan luar negeri—secara seksama mencermati karya-karya SCB berikut kiprah kesastrawanannya selama hampir empat dasawarsa ini (Periksa esai-esai dalam buku Raja Mantra Presiden Penyair, Jakarta: Yayasan Panggung Melayu, 2007), Chairil Anwar dan penyair berikutnya mendadak surut ke belakang. Berada dalam cengkeraman ngiau.
***

Popo Iskandar mengungkapkan, bahwa eksplorasi SCB lebih mendalam dibandingkan Chairil Anwar. Konteks pernyataan itu tentu saja bukan pada perbedaan zaman, melainkan pada usaha melakukan penggalian pada hakikat kata, mengorek sampai ke inti kata yang kelak bakal menjadi ruh, jiwa, dan tubuh puisi. Itulah semangat penyair yang hidup. Ia bukan penulis puisi yang cukup menderetkan kata-kata yang membangun rangkaian makna. Penyair adalah pencipta dunia lewat kata-kata. Ia juga seorang pesulap, pawang kata-kata yang piawai menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan, dan kehidupan. “Ia adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan dan kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata…” begitulah ucap SCB.

Berbagai tanggapan kemudian bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan reputasi dan kebesaran SCB dengan Chairil Anwar. Bahkan A. Teeuw dan Umar Junus, menyebutkan puisi SCB, seperti POT atau SHANG HAI dan beberapa puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tak ada artinya. Meski begitu, dalam esainya “Terikat pada Pembebasan Kata” (Tergantung pada Kata, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) A. Teeuw, menyatakan, “… saya tidak menyangkal pula kekuatan dan keorisinalan pendekatan puisi Sutardji. Dialah yang paling radikal dan berani merombak sistem bahasa dalam perontaannya untuk mencari jejak Tuhan….” Dalam esai itu juga, A. Teeuw menegaskan, bahwa SCB berhasil mencipta sendiri makna kata-kata yang digunakannya di luar konvensi bahasa yang berlaku. Sejumlah penyair senior juga tiba-tiba seperti mengalami sindrom buah apel, yaitu ketika seorang melabeli anggur yang menggantung di atas kepalanya sebagai masam, karena ia tidak sanggup meraihnya.
***

Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita mambandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar atau para penyair lainnya dengan monumen (: capaian estetik) SCB? Jika Dami N. Toda (“SCB: Datu Teknik Perpuisian Indonesia Modern: Studi Bentuk Diksi Puitik O, Amuk, Kapak, 1981”) menempatkan Chairil Anwar sebagai mata kanan dan SCB sebagai mata kiri sastra Indonesia, maka saya –setelah coba mendalami ceruk kedalaman puisi-puisi SCB, coba menangkap makna di balik kesederhanaan dan kelincahpiawaian naratif cerpen-cerpennya, mencermati pandangan kritis para pengamat sastra Indonesia tentang Sutardji Calzoum Bachri dan terhanyut saat menjelajahi filsafat seninya dalam Isyarat (2007), rasanya saya harus berkesimpulan: Sutardji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar!

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

EKSPRESI RUANG DI ANTARA PENDAPAT

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

"Kecenderungan itu suatu kerahasiaan yang sedikit terungkap"

Pendapat ialah nilai, kelembutan air atau hembusan angin. Di antaranya ada nilai-nilai yang bisa digali tempat duduknya. Kita tak dapat memaksa pembaca, melaksanakan yang pernah kita geluti di alam nalar jadi keyakinan. Cukuplah diri, biar lainnya menarik jarak tempuh sebab perjalanan insan berbeda-beda.

Barangkali maksud temuan dari pendapat sebelumnya. Bagaimanapun tempat damai di hadapan orang, bisa berbalik kekacauan. Maka keadilan sebagai waktu mendiami ruang berketepatan, percakapan cahaya yang menjelma pembicaraan hangat menghadirkan kesadaran.

E.M. Cioran itu anak emas pendapat Nietzsche, tapi saudara boleh tak sefaham. Meski ada kesamaan nilai, boleh tak sama pengertian dalam batok kepala. Yang terindah mengambili sesuatu, serta mengeluarkannya dengan kemampuan melewati pengertian, sebagai keadilan penilaian atau pijakan.

Kita tidak mungkin mengikuti politisi kata-kata menerus, apalagi yang mendasarkan riwayat hidupnya sebagai kajian, meski pada seorang sejarawan. Karena boleh jadi yang kita mengerti itu pembetulan, lantas kita menemukan yang terpunyai sungguh dari teks-teks tersaksikan.

Kiranya kurang bijak menentang pendapat tanpa mengetahui takarannya. Kita mendiami tempat masing-masing, dan kebenaran mutlak hanya gambaran keuniversalan dari sesuatu yang disengaja sebagai nilai baru, yang bukan hukum saklek mudah patah arang.

Perbedaan yang menimbulkan perasaan masam atau rasa tak pernah tercecap namun ada, hadir saat membaca sebagai jarak dari beberapa nilai yang dipelajari. Tidak perlu hawatir keramaian, sebab bukan pertentangan. Lalu keburukan menuntut tidak dirasa, saat sedang mempersiapkan pendapat yang sudah tertanam semacam jiwa lapang.

Ketika tidak menyukai nilai yang ditanam, usah berbenci. Mereka masih serupa, mendiami ruang pribadi. Ini rahasia jarak agar yang dimaksud tidak jadi batu sandungan, ketika hendak ke alun-alun pendiskusian, tidak gontok-gontokan dari bermacam cabang aliran.

Simbul hadir di antara perberbedaan, memiliki kesamaan tingkat yang pencariannya damai. Dan kepemilikan paling besar, sebelum memahami kehadiran berbendapat. Ini kelapangan, membagikan hasil bukan paksaan pengalaman, tapi memberi kegembiraan. Berkah, itu bukan sesalan yang berangkat dari hitungan logika rasa semata, namun kesungguhan kerja di punggung matahari membakar kalori. Panas uap keringat, angin mengiringi senandung sebagai kesatuan kehendak.

Senja milik orang-orang memperhatikannya, dan kita tak punya, sepulang dari temaram menuju kemalaman. Namun gelap malam bagi semuanya, kecuali yang berada di tengah gemerlap kota. Langit selalu hadiahkan ruang pengertian, demi terus berjalan mengambili yang terasakan sebagai penerimaan, menghadirkan nilai universal.

Andai semua membantah, berarti ada ruang lain menjadi jarak terlaksana. Jarak tidak berarti kalau tak mendiami titik tertentu, meski sementara. Paparan ini bukan pembagian, andai muncul tuntutan, itu mengambil dari yang terpunyai di antara semuanya. Seperti hari ini mendapatkan capaian sendiri; keadilan perbuatan yang membutuhkan-berkecukupan.

Tidak bisa memungkiri, kita pernah lelah di ambang kebosanan. Dan istirah itu jarak penyembuhan, semisal nilai-nilai tertata apik. Menerima yang termiliki, dan menolaknya sebab tiada ruang untuk didiami. Maka jarak yang kita telusuri, sebenarnya ruang pribadi.

Ruang kosong terisi penerimaan sebagai waktu yang kita jalankan. Meski cara berangkat dari orang, kita memiliki hak dikembangkan berkepemilikan. Inilah studi masuknya diri menemukan pendapat, yang didasari lelatihan atas prosesi berulang. Pribadi mandiri tanpa harus memenggal kepala yang lain.

Kita memiliki ruang damai sejati, lewat berfikir seimbang tanpa paksaan dari keyakinan membelenggu. Maka melatih pertimbangan, sejenis melumasi penalaran kapan pun waktu, yang tidak tersendat bentuk karatan. Mengawasi timbangan, membetulkan yang kurang tepat atas jalannya keindahan, tapi bukan melupakan kehendak pertimbangan.

Membuka ruang kemungkinan bayu melewati pintu-jendela, memperbolehkan orang lain melihatnya, kecuali kerahasiaan. Sebab, pun takkan sanggup memasukinya, mereka hanya mereka-reka mendekati pembenaran, atas sikap kecenderungan. Adalah kecenderungan itu suatu kerahasiaan yang sedikit terungkap.

Ini berbeda dengan pintu terbuka was-was. Penantian hawatir ialah daerah rawan, butuh penyembuh serupa pengharapan baik. Kehawatiran itu perasaan miskin mendera, selalu kurang puas atas wilayah kesunyian. Dan kepenuhan didasarkan kecukupan diri sebagai kekayaan bathiniah. Kepenuhan murni datang pelahan, atas bangunan penerimaan tak goyah dari kesunyian gaib.

Jiwa-jiwa merdeka setelah membuka pepintu pendapat. Ini bukanlah membuang kesuntukan, tapi usaha menarik nafas dalam, dan dikeluarkan dengan niat kebugaran. Tentunya tidak mengganggu jika demi kesehatan mandiri, sebab mengeluarkan bau tak sedap. Bersikat gigilah, sebagai kesiapan sebelum bercakap, inilah kesungguhan data jadi mempuni.

*) Pengelana asal Lamongan, 2006 Jawa Timur, Indonesia.

MENGUAK JENDELA KEPENULISAN DJENAR MAESA AYU

Sutejo
Ponorogo Pos

Djenar Maesa Ayu, adalah sastrawan perempuan mutakhir yang tidak pernah ambil pusing dengan berbagai sebutan. Sebutan yang mengganggu sebagian perempuan itu adalah sastrawangi. Dalam Prosa4, 2004) terungkap bagaimana sisip-sisi proses kreatifnya yang menarik untuk dikritisi sebagai cermin ajar. Beberapa karyanya telah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah seperti: Kompas, Media Indonesia, Republika, Lampung Post, Horison, dan Majalah A+.

Puisi-Puisi S Yoga

http://www.kompas.com/
http://syoga.blogspot.com/
PELANCONG

mereka turun dari kapal di gelap malam
membawa senter, oncor dan peta masa lalu
dan gerimis senja mengantarnya pada hutan belukar
di sebuah tempat yang tak terduga
sebuah semenanjung di sebuah pulau
tempat budak-budak diternak

terdengar lolong serigala di perbukitan
tubuhnya bercahaya di antara bayangan bulan
dan hutan yang terbakar
rupanya bayang-bayang lebih gaib dari pikiran
karena ia selalu lepas dari genggaman

beri aku senapan, beri aku peluru teriakmu
ketika mendengar suara-suara binatang malam
kubisikkan kata-kata muram sebelum matanya lebih jalang
tunggu semua burung-burung pulang ke sarang
agar kau jumpai pikiran lepas dengan badai ingatan

ah kau inlander tahu apa tentang masa lalu
aku pun diam di bawah pohon besar
dekat sebuah makam purba bernisan batu
aku pun tahu sebentar akan sampai pada batas

di pantai ini hanya nasib yang mempertemukan
sebelum esok pagi kita pergi ke besuki
panarukan, panji dan asembagus
melihat pabrik-pabrik dan bising mesin
meminta kita untuk kembali ke masa-masa silam
ketika senjata menjadi panglima
dan pikiran-pikiran berputar-putar pada hasrat dunia
pejamkan matamu dan kau akan melayari semua impian
yang pernah terlupakan, sebelum tergadaikan

di pagi hari di pelabuhan jangkar sebelum gempa
kau memandang kapal-kapal yang berkabut
terdampar di pelupuk matamu yang biru
asap dan bayang-bayang masih menyelimuti
sebuah pulau, nun jauh di sana yang tak terjangkau
seolah diterjunkan dari bukit-bukit tandus
kebun-kebun tebu, sawah dan ladang hangus

dan di pabrik gula, mesin-mesin terus bekerja
memeras keringat dari madu kemurnian
dan sungai-sungai dipenuhi kegelapan
mengalir dari hulu menuju muaramu
sebelum kau layarkan ke pulau-pulau asing
tempat terjauh yang tak pernah kukenal

sebuah gudang tua milik tuan tanah
menyimpan sejarah gelap perbudakan
di ladang tebu, tembakau dan perkebunan
tubuh yang hitam berdiri memandang senja
di antara sihluet patung raksasa berambut gimbal
kau duduk di antara pohon-pohon tua
di pelabuhan kau berteriak, ini juga tanah airku
kau ambil peta dan kau bubuhi tanda
dulu aku juga dilahirkan di sini

aku tenggelam dalam kenangan
bunga harum yang kuharap telah jadi bangkai
ah kau hanya merayu untuk sesuatu yang sesat
ini bukan birahiku di antara sepi dan api
tapi hanyalah lelaki jalang yang mengembara
di antara pulau-pulau yang masih perawan
dan tanah-tanah yang minta diberkahi
aku beri tanda dan kau hanya bisa tengadah
nyalakan obor di kandang dan gubuk sebagai tawanan
hambamu hanyalah hamba yang tunduk pada takdir
kau hanya boleh memainkan kincir di batas mimpi

bau kemarau masih menyimpan tubuhmu dari seberang
di tanah ini telah kau tandai waktu dan sejarah
dengan pabrik, lori, tebu, tembakau dan kapal-kapal
agar masa lalu bisa terulang dan aku terkenang pada noni-noni
ah wajahnya putih susu dan betisnya seharum bunga leli
sedang bau keringatku seapek tembakau di gudang tua
kini kami mainkan tambur dan genderang di ladang-ladang
agar semangat kerja menjadi doa dan pahala

Situbondo, 2008



LAYANG -LAYANG

layang-layang adalah masa kecil yang hilang
ia terbang ke atas dan turun menukik
dan sesekali menyambar-nyambar angin
ketika putus kau terperanggah dan menangis

lalu bangkit dan mengejar-ngejar bayangan
melintasi sawah, ladang, rumah dan menara
ke arah susuh angin yang tak kutahu di mana rimbanya
yang begitu sempurna mempermainkan sayap sihirnya

dalam pengejaran ini aku semakin tercekam
ketika memasuki senja dengan cahaya suram
yang kulihat hanya bayang-bayang gelap
yang mengejar-ngejar dan mempermaikan waktu

Ngawi, 2008



ASMARALAYA

di antara pohon-pohon kamboja
dan rerontokan bunga kenanga
ilalang panjang dan nyanyian rembang

kusaksikan sebuah isyarat senja
di epitat reruntuhan makam
kekasih adalah batu yang dipahat waktu

Ngawi, 2008

18/01/09

Malam Menggelepar di Tanjungkarang

Alex R. Nainggolan
http://www.suarakarya-online.com/

Udara dingin malam jatuh semaput merajut tubuh Pedro. Ia merasa nyerinya menusuk sampai ke tulang, barangkali kemarau telah sampai di akhir Juni ini. Tapi ia tetap saja berjalan, menelusuri jalan Tanjungkarang yang sebenarnya sudah akrab baginya. Ia ingin menuntaskan sesuatu, di kepalanya telah lama bertungkai pelbagai rencana: mungkin ke tempat hiburan malam, menenggak bergelas-gelas bir, mencari perempuan yang bisa menemaninya sebentar, atau bila segalanya tak satu pun yang terpenuhi, ia akan melamun sendiri, berdiam di dalam sunyi, menyimak kota Tanjungkarang yang dibalut warna-warni cahaya lampuan.

Ia melihat di ujung jalan, malam menggelepar, sepertinya semakin sunyi, barangkali siap-siap untuk masuk ke peraduan, ke dalam tidur yang panjang.

Ia masih saja berjalan. Mobil yang dikendarainya terus saja melaju, membelah udara. Ia merasa angin masih saja menampar dirinya, menelusup lewat jendela, yang tak bisa disingkirkan. Ia teringat pada kekasihnya yang baru saja menangis. Ya, beberapa jam lalu, ia baru saja bertengkar dengannya. Hanya karena ia tak menjemputnya pulang kemarin malam.

"Sialan! Benar-benar lucu, masak karena hal semacam itu saja ia menangis. Cengeng betul perempuan itu," umpatnya.

Ia tak paham, mengapa perempuan selalu saja berminat untuk diperhatikan yang berlebih. Hal lain yang membuat dirinya makin bingung, bila ini merupakan pertengkaran yang paling besar terjadi. Barangkali memang perempuan seperti sebuah teka-teki, sebagaimana percakapan yang didengarnya dalam film Biola Tak Berdawai.

Acapkali cinta hadir dengan berbagai kemungkinan yang tak bisa diterka dengan lugas. Sebuah getar yang ajaib, yang bisa menyedot atau sekadar menelantarkan. Terkadang lewat cinta, keajaiban datang tak terduga, seperti rajutan temali yang mengikat dua insan untuk terus bersama. Seakan-akan menawarkan kenangan tersendiri.

Kini ia berkelana, memasuki ruang-ruang sesak di dalam kota. ia menghisap sebatang tembakau, menghembuskannya ke luar jendela. Suara radio di dalam mobil sayup-sayup sampai, membuatnya tak lagi menyimak alunan lagu secara penuh. Dan udara dingin malam terus saja menjulur, seperti lidah yang sebeku es tengah menjilat beberapa bagian tubuhnya. Ia ingin memutar setir mobil ke arah taman kota, atau ke daerah pantai, mungkin akan ditemukan perempuan-perempuan muda yang menawarkan kehangatan tubuhnya. Tetapi urung, akhirnya ia cuma bisa berjalan ke arah bundaran gajah saja. ia membayangkan patung gajah-gajah itu benar-bermain bola di tengah kota. Saling membagi bola dengan belalainya. Ia melihat kiri-kanan jalan yang lengang, sudah pukul setengah dua belas malam saat itu. Ia merasa kota ini semakin malam, semakin mati.

Ingatannya mengembara ke Jakarta sewaktu liburan kemarin, di sana berbeda, pikirnya, makin malam, makin liar *). Jakarta selalu saja hidup, biarpun di saat malam. Ah, mungkin ini hanya perasaan dirinya saja, pikirnya. Ia membuang puntung rokok itu, masih bersinar, dan berpijar dengan nyala merahnya saat jatuh ke atas aspal hitam. Lagi-lagi, ditemukan malam semakin menggelepar. Ia jadi makin bimbang. Ia melihat malam jadi seorang raksasa, yang sedang duduk di antara cakrawala, jubahnya yang hitam itu berumbai, dan menutupi seluruh langit. Tetapi raksasa itu menggelepar, diam, tak bersuara.

Pikirannya tiba-tiba dikejutkan oleh klakson mobil dari belakang. "Hei, cepat! Jangan melamun kalau nyetir mobil!" umpat orang di dalamnya. Aneh, padahal sebelumnya ia tak melihat mobil di belakang lewat kaca spion. Ia menepi ke kiri, dan membiarkan mobil di belakang untuyk melewatinya. Sepintas ia sempat melirik dari bening kaca, wajah orang yang mengemudi mobil tersebut. Masih muda, sepantaran dirinya, dan barangkali kesepian sama seperti dirinya, baru saja berselisih dengan kekasihnya. Kemudian, mengendarai mobil malam-malam begini melintasi Tanjungkarang. Ya sama seperti dirinya, terkadang kesepian begitu menyakitkan.

Ia melintasi Jalan Diponegoro, melewati rumah-rumah yang dengan ukuran lumayan besar. Kembali ia dihadapkan kenangan pada kekasihnya yang kembali berdenyar. Meski baru saja ia menemui dirinya yang tengah hambar. Sungguh, sebetulnya ia seorang lelaki yang tak tahan melihat air mata jatuh dari kelopak mata perempuan. Ia kembali menakar-nakar, berapa lama mereka menjalin hubungan, adakah sesuatu yang tak lengkap ditemui pada diri perempuan itu? Bagaimana orang bisa mengenal orang lain? Seberapa lama? Ia menghitung waktu, ia seperti melihat hari-hari sempit menjelma jadi parit yang terus mengalir. Tanggalan berganti, pagi kembali datang, matahari datang menagih janji. Ia melihat kelebat tahun yang berulangan, seperti pembakaran besar, api unggun, tetapi ia tak mendapatkan apa-apa. Sedangkan ia merasa dirinya tinggal abu dan arang. Hitam dan berlalu.

Ia seperti ingin menggambar lagi hitamnya malam. Tetapi tetap saja ia bertemu pada wajah kekasihnya yang ditinggalkannya tadi, menangis sendirian. Malam mendadak jadi lebar di matanya, serpihan peristiwa pelan-pelan datang, bagaimana mereka tertawa bersama, bercakap-cakap, dan bercumbu. Ia merasa udara dingin malam yang masuk ke celah jendela, melemparkannya pada bau parfum yang kerap digunakan kekasihnya. Mendadak matanya berkaca, ada rindu yang menyergap tanpa ia pahami dari mana datangnya. Padahal malam masih seperti raksasa besar dengan jubah hitamnya yang memeluk langit, tertidur dengan pulas.
***

Pedro bertemu dengan perempuan itu pada akhir bulan Juni, dua tahun yang lalu. Pertemuan yang ganjil di sebuah acara konser musik, kebetulan perempuan itu bersebelahan dengannya. Saat lagu mengalun dibawakan oleh penyanyinya, mereka berdua bersenandung, sesekali melirik, dan menukik ke dalam kehangatan bola mata. Ya bola mata adalah sihir yang memukau. Sebuah dunia pertama di mana manusia membaca orang lain.

Maka dunia mereka berdua berubah. Kemana-mana berdua, duduk berdua di kafe lama-lama. "Aku sudah malas mencari hubungan dengan orang lain. Lebih baik memperbaiki hubungan dengan seseorang yang dicintai saat ini, ketimbang berpisah," ucap si-perempuan di suatu waktu.

Memang, di antara mereka berdua memiliki kesamaan. Dalam bidang apapun, sehingga tak ada yang patut direwelkan, perselisihan antara mereka juga jarang terjadi. Paling-paling kalau sudah begitu, esok harinya mereka akan bercanda lagi, saling berbagi cerita, dan tertawa bersama. Tetapi ini lain, Pedro seperti tak lagi mengenali kekasihnya itu. Ia merasa ini pertengkaran yang terhebat yang ditemui. Ia menebak, sehabis ini hubungan mereka akan berakhir. Sama seperti ajang kampanye yang berakhir setelah sesumbar janji berlalu, setelah pemilu dilaksanakan. Baru kali ini, Pedro melihat kekasihnya menangis. Air mata itu seperti tak patut mengalir dari pelupuk mata yang indah. Semestinya tak terjadi! Air mata yang membuat batinnya bergetar. Di mata itu pertama kali Pedro kepincut dengan bola matanya, semestinya tak begitu! Seharusnya bukan air mata yang menetes di situ, yang membuat diri perempuan itu tak lagi cantik.
***

Jalanan makin legam. Malam makin menggelepar. Pedro merasa ia mesti menghubungi ponsel kekasihnya, meminta maaf, kemudian ia memutar mobil ke arah rumah kekasihnya. Ia masih sempat mengingat-ingat, keinginannya tadi, ke tempat hiburan malam, menenggak bergelas-gelas bir, mencari perempuan yang bisa menemaninya sebentar. Ia hardik pikiran itu sambil setengah mengumpat, "Aku akan berusaha setia padamu!" Malam masih saja menggelepar di Tanjungkarang, seperti menggelar pelbagai kemungkinan.

Bandarlampung, Juni 2004

Catatan: *) diambil dari judul lagu Flowers

TINJA DABO

M. Arman AZ
http://www.suarakarya-online.com/

Kota basah kuyup jam dua malam. Dari balik langit hitam, jemari raksasa itu belum juga letih menabur serbuk-serbuk air ke bumi. Jalanan senyap. Orang-orang mengurung diri dalam rumah. Sembunyi dari gigitan dingin. Sesekali terdengar desis roda mobil berlari menyibak gerimis. Tiang lampu jalan menjulang bagai pepohon besi tanpa daun dan ranting. Di pucuknya, lampu bundar memancarkan cahaya bulat keemasan.

Dabo gelisah tak bisa tidur. Punggungnya bersandar di tembok. Sepasang kakinya selonjor di atas bentangan tikar plastik usang dan kardus bekas. Sarung cokelat kumal yang melapisi badannya kalah melawan dingin. Wajah Dabo pucat. Bukan karena cuaca atau tempias yang sesekali membentur wajah. Sedang terjadi perang dalam perutnya. Dia merasa tak enak badan. Mungkin masuk angin. Sejak tadi tangan kanannya mengeram di balik kaos kumal. Mengelus-elus perut yang terasa tegang melilit. Sesekali bibirnya gemetar lirih mendesiskan nama Tuhan. Dabo butuh obat, tapi dalam cuaca buruk macam itu tak ada gerobak warung yang masih buka. Cuma minyak kayu putih dalam botol kecil di genggaman tangan kirinya yang dipakai mengurapi perut dan sesekali dihirup aromanya. Kepala Dabo mendongak. Entah menatap serbuk gerimis yang menari ritmis di bawah sorot lampu jalan atau berharap Tuhan memberi sedikit perhatian kepadanya.

Emper trotoar di mulut jalan sebuah komplek pertokoan tua di jantung kota. Itulah rumah Dabo. Ruko-ruko dua lantai berderet di ruas jalan itu. Toko elektronik, pakaian, sepatu, bakery, atau pangkas rambut. Siang hari jalan itu riuh rendah. Aneka wajah dan kendaraan hilir mudik. Pekik klakson kendaraan-kendaraan yang gusar karena terjebak macet atau mencari ruang parkir menambah keruh suasana. Sebagian trotoar di ujung jalan dipenuhi deretan lapak kayu milik pedagang kaki lima yang menjual buah-buahan, mainan anak-anak, kaset atau VCD bajakan. Ruas jalan itu sunyi senyap kala malam. Hanya ada beberapa mobil pemilik ruko parkir di tepi jalan. Bangunan-bangunan tua nampak murung. Suasana remang menerbitkan kecemasan.

Dua ratus meter belok kanan dari mulut jalan tempat Dabo tergolek, ada taman kota dengan tugu menjulang di tengahnya. Pemulung, gelandangan, waria, dan anak jalanan biasa berkumpul di sana. Ada yang sibuk memilah dan merapikan barang bekas, ngobrol ngalor ngidul menunggu pagi, ada juga yang menjejali perut dengan arak murahan. Sempat terfikir dalam benak Dabo untuk ke sana. Seorang dari mereka tentu bisa dimintai tolong mengerik punggungnya. Tapi, jangankan melangkah, bangkit pun Dabo seperti tak punya tenaga sama sekali.

Dabo jarang kumpul bersama mereka. Dia lebih suka menyendiri di mulut ruas jalan itu. Bagi warga liar di taman, Dabo seperti lelaki tanpa masa lalu. Tak ada yang tahu siapa nama aslinya. Pada setiap orang yang bertanya asal usul dan keluarganya, jawaban Dabo selalu berbeda. Anak istrinya di pulau seberang, anak istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya dibawa kabur lelaki lain, bahkan pernah Dabo mengaku bujang lapuk. Jika ada yang dongkol karena merasa dikibuli, Dabo cuma nyengir. Apalah pentingnya riwayat pemulung, celetuk Dabo ringan.

Taman yang sudah puluhan tahun jadi penanda kota itu kerap di razia. Selain mengganggu ketertiban, mereka dianggap merusak pemandangan. Mujur nasib Dabo. Dia selalu luput dari razia karena sedang berburu sampah dan barang bekas. Setiba di taman sore hari, dari beberapa anjal yang selamat setelah lari lintang pukang dari kejaran pamong praja, dia dapat kabar banyak yang diciduk. Dabo cuma melongo. Di benaknya tergambar sosok-sosok aparat berseragam gelap membawa pentungan yang satu saat kelak bisa saja menciduknya. Tapi begitulah, setelah razia, semua kembali berjalan seperti biasa. Taman kembali ramai dengan pemulung, gelandangan, waria, dan anak jalanan. Wajah-wajah asing pun datang dan pergi menghiasi penanda kota itu.
***

Hajat besar sudah di depan hidung kota itu. Tak lama lagi pemilihan gubernur di gelar. Kota menjelma rimba iklan. Kian hari kian banyak saja spanduk, poster, sticker, umbul-umbul dan baliho di sepanjang jalan. Semua berisi gambar calon gubernur dan kelompok pendukungnya. Yang ukuran kecil di tempel di tembok, halte, tempat ibadah, warung makan, atau dipaku di batang pohon peneduh jalan. Spanduk dan bendera dipasang di tiang telepon, atau marka jalan. Ada yang berisi pantun bernada humor, meniru iklan, atau memakai bahasa daerah. Umbul-umbul dan baliho besar ditancapkan di tempat-tempat strategis. Bahkan Dabo pernah melihat sepasang bendera raksasa berkibar di puncak bukit pinggiran kota. Gambarnya pasangan calon gubernur dan logo sebuah partai.

Beberapa waktu lalu Dabo melihat arak-arakan manusia menyesaki separoh badan jalan. Semua mata tertuju ke sepasang becak di bagian terdepan. Bukan pengayuh becak berkepala plontos berkaus sebuah partai yang jadi pusat perhatian, namun dua lelaki gagah berseragam safari yang duduk di masing-masing becak. Mereka mengumbar senyum seraya melambaikan tangan ke sana ke mari. Beberapa orang sibuk mengawal di kiri kanan becak. Ratusan orang lainnya mengekor jalan kaki. Dahi mereka berkilat tertimpa cahaya matahari siang bolong. Beberapa wartawan sibuk memotret penumpang becak.

Dari celetukan orang-orang, Dabo tahu mereka iring-iringan calon gubernur dan wakilnya yang mau mendaftar ke sebuah kantor. Dabo nyengir kuda melihat betapa jenakanya mereka. Sambil melanjutkan mendorong gerobak, Dabo bertanya-tanya dalam hati. Apa mereka naik becak karena tak sanggup lagi beli bensin setelah BBM naik? Apa mereka masih mau naik becak jika jadi gubernur? Tapi, Dabo lebih yakin mereka cuma cari muka.

Dabo meringis. Dia ingin sakit perutnya cepat sirna. Magrib tadi ada pemulung memberitahu tentang calon gubernur yang mau kampanye di alun-alun besok siang. Dabo mau ke sana. Dia tak keberatan berkerumun siang bolong, berteriak mengikuti yel-yel sambil sesekali mengepalkan tangan ke udara. Biasanya usai kampanye ada acara bagi uang di sudut yang agak jauh dari panggung kampanye. Itu yang diincar Dabo. Dua puluh atau lima puluh ribu rupiah bakal mengisi kantongnya. Belum lagi jika ada orkes dangdut. Tak usah ditawari dua kali, dia akan berjoget, menghibur hidup yang miskin menahun.

Celoteh orang-orang di atas panggung? Dabo tak ambil pusing. Baginya, mereka cuma menabur janji menebar simpati yang kelak berbuah pepesan kosong. Dabo memang melarat, tapi tak bodoh. Dia cuma ingin mengambil apa yang bisa di ambil dari semua calon gubernur. Dia pernah berhasil membawa pulang dua plastik berisi sembako setelah antri berdesakan-desakan. Pernah pula mendapat sehelai kaos tipis. Peduli setan siapa yang kelak terpilih. Toh tak ada bedanya buat Dabo. Berapa kali ganti gubernur, berapa kali ganti presiden, nasibnya tak berubah. Tetap saja cari makan dari tumpukan sampah.

Subuh buta ketika warga kota masih menyelesaikan mimpinya, Dabo sudah berenang di tempat pembuangan sampah. Memunguti dan membersihkan apa saja yang masih bisa dijadikan uang. Kardus, botol, atau plastik bekas air mineral. Ditemani cericit gerombolan tikus got dan denging lalat hijau yang mencari sisa makanan, dia tak merasa kesepian. Mereka pun tak dianggap sebagai saingan. Setelah gerobak penuh, setelah malamnya dibersihkan, besok siangnya barang-barang itu dijual ke penampung. Dia selalu punya alasan untuk menaikkan harga hasil memulungnya, terlebih setelah BBM naik.
***

Gencatan senjata dalam perut Dabo tak tahan lama. Baru sebentar tidur, perutnya bergolak lagi. Dia mengerang menahan kesal dan sakit. Kali ini ada yang berontak dalam perutnya. Mendesak dan kian mendekati ujung anus. Dabo bergegas balik badan, mundur dua langkah, nungging di tepi trotoar. Suara berondongan sember kontan terdengar begitu Dabo memelorotkan jeans buntung berikut kolor kumalnya. Kepalanya menengok ke belakang. Memastikan cairan cokelat keruh dan gumpalan-gumpalan kecil itu larut bersama genangan air, raib ke dalam lubang selokan.

Dabo membuang nafas lega. Disekanya keringat dingin di dahi dengan punggung tangan kiri. Sampah dalam perutnya telah dikuras habis. Tapi masalah baru menyusul. Bagaimana membersihkan dubur? Tak mungkin pakai sarung kumal yang melilit lehernya. Pandangan Dabo menyapu sekeliling. Bola matanya berkilau saat menemukan sesuatu tergolek di trotoar tak jauh dari tempatnya jongkok. Tanpa pikir panjang Dabo bangkit. Langkahnya lucu saat berjingkat dengan kaki mengangkang sambil memegangi celana yang menggantung separuh paha.

Hujan angin merontokkan spaanduk putih seukuran bendera itu dari tiang marka jalan. Ada sosok pria gagah berpeci tersenyum di dalamnya. Seorang calon gubernur. Dabo tak peduli. Setengah memaksa diloloskannya ikatan spanduk dari kayu. Digenggam, dikibas-kibas mengusir pasir yang melekat, lalu diremasnya spanduk basah itu. Dabo celingukan kiri kanan. Memastikan tak ada yang memergoki kelakuannya. Setelah dirasa aman, tangan kirinya menjulur ke selangkangan. Disekanya anus yang basah dengan spanduk itu. Setelah beberapa kali poles, Dabo puas duburnya telah bersih meski masih terasa lembab. Sebelum dicampakkan, disempatkannya melirik spanduk. Dabo menyeringai jijik melihat sisa tinjanya melekat di mulut pria dalam spanduk itu.

* Bandarlampung, 2008

Tentang Keterasingan dan Kegilaan

Dwi Fitria
http://jurnalnasional.com/

Novel pertama pemenang Nobel Sastra 2008, J.M.G Le Clezio

Adam Pollo, seorang laki-laki berusia 20-an menemukan sebuah rumah kosong di sebuah pinggiran kota Prancis. Adam yang pendiam memutuskan untuk tinggal di sana. Berbulan-bulan, ia hanya ditemani kesunyian, pemikirannya, dan sebuah buku catatan tempat ia sering menulis surat yang tak pernah ia kirimkan kepada seorang perempuan bernama Michele.

Kontaknya dengan manusia lain hanya terjadi saat ia pergi berbelanja ke kota untuk mendapatkan kebutuhan sehari-harinya: rokok, roti, dan masih banyak lagi. Lama-kelamaan Adam bahkan merasa tak nyaman dengan pertemuan-pertemuannya yang teramat jarang itu. Ia berusaha menghilangkan dirinya dari kerangka penilaian-penilaian yang berlaku dalam masyarakat, dengan cara membayangkan diri sendiri menjadi seekor binatang, seekor anjing yang hidup di sekitar rumah kosong yang ditempatinya, atau tikus-tikus di rumah kosong itu.

Identitas Adam sendiri adalah sesuatu yang tak jelas. Tak ada sejarah yang jelas mengenai masa lalunya. Ia tak yakin apakah dirinya seorang pasien rumah sakit jiwa, atau seorang tentara yang melarikan diri.

Keanehan Adam akhirnya membuat ia dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Di sana ia harus menghadapi ketakutannya berhubungan dengan manusia saat para dokter berusaha mengungkap masa lalunya melalui serangkaian wawancara.

Buku ini adalah buku pertama karya Jean-Marie Gustave Le Clezio.Dalam pengantar bukunya ia memasukkan buku ini ke dalam kategori roman-jeu atau roman puzzle. Di mana ia tidak bermaksud mengikuti selera pembaca yang menyukai realisme, atau memberikan analisis psikologis bagi tokoh-tokohnya, tapi lebih berusaha membangkitkan perasaan sentimental para pembacanya— hal 5.

Sebagaimana diterangkan Le Clezio, novel ini tak bisa dibaca menggunakan logika standar, sebab The Interrogation dipenuhi ide dan gaya penulisan yang acak. Persis seperti pengkategoriannya, The Interrogation dipenuhi dengan teka-teki.

Saya tak berusaha membuat cerita ini menjadi sesuatu yang realistis (sebab semakin lama saya semakin yakin bahwa yang disebut realitas itu sesungguhnya tak ada). Saya hanya ingin kisah ini dibaca sebagai sebuah fiksi murni, menarik karena bisa menimbulkan kesan mendalam (sesingkat apa pun) dalam benak pembacanya.—hal 6

Jean Marie Gustave Le Clezio dilahirkan di kota Riviera, Nice, Prancis pada 13 April 1940. Ayahnya adalah seorang dokter asal Kepulauan Mauritius yang berpindah-pindah dari Inggris, lalu ke Guyana, dan Nigeria, sebelum menetap di Afrika untuk jangka waktu yang cukup lama.

Le Clezio sendiri dibesarkan di Prancis. Ia mulai menulis puisi sejak usianya baru menginjak delapan tahun. Tahun 1947, Le Clezio pindah ke Nigeria bersama ibu dan saudara laki-lakinya. Selama tiga tahun ia tidak bersekolah, namun ia amat bahagia. Pengalaman masa kecilnya tersebut kemudian ia bukukan dalam sebuah buku semi autobiografis berjudul Onitsha yang diterbitkan pada 1991. Sebuah buku yang berkisah tentang seorang anak laki-laki yang berlayar ke Afrika bersama ibunya, sementara ayahnya mengejar mimpinya sendiri.

Namanya bukan nama yang akrab di telinga banyak pembaca dunia, sehingga keberhasilannya memenangi hadiah Nobel pada 2008 mengundang rasa ingin tahu banyak komunitas sastra di seluruh dunia. Namun sesungguhnya Le Clezio adalah salah satu penulis Prancis yang karya-karyannya paling banyak diterjemahkan.

The Interrogation diterbikan pertama kali pada 1963. Saat itu Le Clezio baru berusia 23 tahun. Dengan buku berjudul asli Le Proces-verbal ini, Le Clezio menyabet hadiah Theophraste Renaudot Prize, sebuah penghargaan sastra yang amat bergengsi di Prancis.

Dalam buku ini Le Clezio memperkenalkan salah satu tema yang kelak menjadi tema sentral dalam banyak karyanya: seorang tokoh yang melarikan diri dari konvensi dalam masyarakat dan masuk ke dalam kondisi pikiran yang ekstrem.

The Interrogation telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Finlandia. Berbeda dengan banyak penulis lain yang tak ragu untuk menikmati ketenaran mereka, Le Clezio malah memutuskan untuk tak terlalu sering tampil di depan layar. Alasannya sederhana, ”saya belum yakin bahwa menulis adalah cara yang baik untuk mengekspresikan diri,” ujarnya dalam sebuah wawancara pada 1965.

Selain menulis Le Clezio berpindah-pindah dan mengajar sastra di beberapa universitas berbagai negara, di antaranya Buddhist University di Thailand, University of Mexico, Boston University, University of Texas, Austin, serta Universtiy of New Mexico, di Albequrque.

Pengalamannya tinggal di berbagai negara ini dituangkan Le Clezio dalam setting-setting unik pada karya-karyanya kemudian, termasuk, Desert (1980), Le Deluge (The Flood), Terra Amata, dan masih banyak lagi. Dalam karier kepenulisannya, setidaknya ia telah menghasilkan 36 buku, terdiri dari kumpulan cerita pendek, novel, esai, juga beberapa buku cerita anak-anak.

Di awal kariernya ia kerap melakukan berbagai eksperimentasi dalam tema. Sebuah usaha yang cukup berhasil dan mengundang kekaguman tokoh-tokoh sekaliber Michel Foucault dan Gilles Deleuze. Pada pertengahan 70-an gaya ini berubah drastis. Le Clezio mulai mengangkat tema-tema yang lebih populis, semisal kenangan masa kecil dan masa remaja, juga perjalanan ke berbagai belahan dunia.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita