31/12/08

Masa Depan Teater Jawa Timur

Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/

Bicara problematik teater di Jawa Timur atau bahkan di Indonesia, kalau mau kita sederhanakan, sejak jaman Usmar Ismail dengan Sandirwara Mayanya, adalah hampir memiliki kesemaan. Sejak jaman Usmar Ismail sampai generasi teater Indonesia terkini teater masih bernasib sama, diperjuangkan sampai tetes darah terakhir.

Cerita tentang jual-menjual harta benda untuk sebuah pementasan terjadi sejak jaman itu, hingga sekarang. Ekonomi dan infrastruktur yang minim juga masih berlangsung hingga saat ini. Teater dijauhi penonton juga terjadi turun temurun. Teater termarjinalkan juga seperti kutukan, hinggap dalam tubuh teater hingga saat ini pula.

Memang berbicara teater selalu menyulut kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan. Tetapi di balik kemuraman itu juga tersimpan harapan dan impian yang coba terus disusun meski kemudian runtuh lagi, persis seperti Sisipus. Teater masih tumbuh pada wilayah-wilayah lokal yang sempit di antara para individu yang saling kenal, meski kalau diibaratkan patah tumbuh hilang berganti.

Selama rentang 365 hari ini, apa yangg terjadi dengan teater di Jawa Timur? Kalau kita jujur, selama setahun ini tidak ada yang patut kita catat, meski ada letupan-letupan kecil, tapi itu hanya peristiwa yang muncul sesaat dalam lingkaran area kecil.

Letupan-letupan kecil itu seperti, beberapa performing art Ilham J Badai di berbagai forum, Pesta Pencuri garapan Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya, Percakapan Dari Dalam Kulkas sanggar Lentera STKIP Sumenep, Nyai Ontosoroh teater Institut Unesa, Satu Malam 3 Cerita Teater Nol Surabaya, Monumen-Monumen komunitas Jadul Surabaya, dan beberapa letupan lainnya. Namun letupan itu hanya berlalu begitu saja, kemudian sunyi.

Selebihnya kita kemudian berganti menyaksikan segala peristiwa keseharian yang ternyata lebih mengoyak kesadaran dan emosi kita. Kisah tentang lumpur Lapindo, pabrik narkotika, bencana alam, kriminalitas, korupsi, carut marut politik, lebih memiliki kekuatan dramaturgi dengan adegan-adegan yang lebih teatrikal.

Disaat seperti itu, teater (kita) hanya mampu berdiri di pojok panggung besar kehidupan ini sembari merasa sedih karena hampir potensi dalam dirinya ‘dimanfaatkan’ pihak lain. Lahan teater semakin menyempit, karena telah kehilangan momentum. Teater menjadi gagap menilai tanda bahkan gagap mengidentifikasi dirinya. Akibatnya ia merasa menjadi makluk yang terasing dalam pranata sosial dan budaya. Padahal sejak jaman bahula, teater hidup dalam pranata itu.

Karena itu (mungkin benar) tengara Radhar Paca Dahana bahwa dalam dekade terakhir teater mengalami stagnasi. Artinya, selama dekade terakhir ini pekerja teater tidak mampu memperlihatkan diri sebagai entitas yang kukuh. Sebenarnya, seratus tahun perjalanan teater (modern) adalah modal sejarah dan modal budaya yang pantas dimanfaatkan untuk menempatkan teater dalam posisi kultural yang lebih baik
Tanpa menafikan beberapa pencapaian sporadis, dalam dekade belakangan ini, pada umumnya teater maupun teaterawan, terasa inferior ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga lain di luar dirinya. Teater menjadi lembaga yang klepto. Teater perlu seni rupa. Teater perlu tari. Teater perlu film. Teater perlu musik. Teater perlu pencanggihan estetika pertunjukan yang sekaligus merayakan pembunuhan aktor-aktornya.

Teater menjadi semacam subordinasi. Padahal sejak jaman bahula, teater merupakan entitas budaya yang melebur dalam kehidupan masyarakat. Karenanya teater tidak saja sebuah pertunjukan, tetapi bagian dari ritual, bahkan baian dari pandangan hidup tersendiri. Namun di tengah kebudayaan modern (baca : barat), teater menjadi subordinasi kebudayaan, bahkan semakin menyempit menjadi subordinasi seni.

Padahal seperti diungkapkan Jakob Sumardjo bahwa teater Indonesia telah ada ribuan tahun yang lalu. Dengan berbagai upacara yang menjadi ikon masyarakat, secara tidak langsung, teater telah menjadi bagian dari proses kehidupan masyarakat kita. Upacara-upacara yang digelar masyarakat kita, percakapan-percakapan soal hidup, soal cinta, telah masuk menjadi bagian dari ritus teater kita.

Memahami problim saat ini sebenarnya kita tengah membaca masa depan teater kita. Nasib teater di Jawa Timur ke depan, tergantung dari cara kita mengolah persoalan yang terjadi saat ini.

Letupan-letupan kecil yang terjadi dalam komunitas-komunitas mungkin akan menjadi amunisi yang dahsyat ledakannya, jika mampu kita kelola secara bersama-sama. Sementara ini, masing-masing masih terksesan berjalan sendiri-sendiri, sehingga upaya- menjadikan teater sebagai proses budaya secara utuh sulit tercapai.

Berteater memang berbeda dengan berseni rupa atau bersastra. Teater membutuhkan ikatan komunal. Berteater tidak bisa bekerja sendiri, meski harus diakui di dalam ikatan komunal itu ada stake holder yang menonjol, sebagai penggerak.

Karena itu, saya sepakat pada Goenawan Mohamad, saat deklarasi Federasi Teater Indonesia di Jakarta tahun 2004 lalu, agar aktivis teater membentuk semacam ‘gilda’ atau kelompok kerja menurut bidang masing-masing. Pembentukan gilda ini, sebagai tempat tukar pikiran para pekerja teater. Gilda-gilda juga berfungsi untuk tukar pengalaman dan memberikan masukan ke beberapa lembaga teater.

Pembentukan kelompok kerja ini, agar semua aktivis teater bisa tertampung. Karena tidak semua orang punya bakat main teater, tetapi mungkin ia punya bakat di organisasi. Inilah perlunya menampung semua orang yang punya minat di dunia teater.

Namun apakah ide itu efektif atau tidak, sebernanya bergantung dari upaya pekerja teater untuk melakukan perubahan. Sejauh ini saya melihat kelemahan teater (di Jawa Timur) terletak pada kerja kolektifnya yang sering saya sebut ‘civitas akademika teater’ yang terdiri dari pekerja teater, kritikus teater, dramaturg, media massa, dan penonton.

*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.

26/12/08

Apresiasi Sastra dan Problem Bahasa

Agus Wibowo
http://www.lampungpost.com/

SASTRA, kata William Henry Hudson dalam Introduction to the Study of Literature (1960), selalu menyumbangkan nilai positif bagi kemanusiaan. Itu karena anasir-anasir yang dicipta bertalian erat dengan penikmatan ragawi dan rohani manusia seperti olah rasa, cipta dan karsa. Lewat kelembutan dan kehalusannya, lanjut Hudson, sastra mampu membangkitkan emosi luhur sekaligus menjembatani sifat fitrah manusia yang cinta akan keindahan.

Ketika hendak berkomunikasi dengan pembaca, sastra membutuhkan sarana atau mediasi, yaitu bahasa. Singkatnya, sastra mengguratkan hasil pencarian imajinasi itu dalam rangkaian kata dan bahasa yang tertata amat indah. Maka, peran bahasa menurut Slamet Mulyana (1964), sangat vital dan tidak bisa dianggap sepele.

Pertanyaannya kemudian, apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa, mutu bahasa, dan apresiasi seseorang terhadap karya sastra? Tentu saja ada korelasi sangat signifikan. Sebab, kedalaman dan penguasaan bahasa seseorang akan memberinya kemudahan untuk menangkap pesan, pengetahuan, hiburan, atau ancaman yang dibawa teks (termasuk sastra), termasuk kemudahan menyampaikan pengetahuan itu pada orang lain.

Maka, benar kata Seno Gumira Ajidarma (2007), bahasa itu menentukan corak berpikir tentang sesuatu, ekpresi imajinasi, dan pengetahuan seseorang. Singkatnya, bahasa adalah batas pengetahuan dan batas apresiasi budaya seseorang.

Fakta itu juga saya alami ketika menyimak Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) membacakan karya sastra maupun orasi budaya yang disampaikan setiap malam tengah bulan. Demikian juga ketika mendengar Mustofa W. Hasyim, Hamdy Salad, Indra Trenggono, Agus R. Sarjono, Beni Setia, dan sastrawan lainnya membaca karyanya. Para sastrawan dan penyair itu, karena penguasaan bahasa, mampu menangkap pesan teks--baik yang tersurat maupun tidak--secara apik, yang selanjutnya dikomunikasikan kepada audience sastra. Karena penguasaan bahasa pula, audience sekitar saya ada yang menangis terharu, gusar, atau hanya melongo (baca; tak tahu apa-apa).

Dari analisis itu, tepat pendapat Slamet Mulyana bahwa besar kecilnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra ditentukan penguasaan bahasa. Sayangnya, sistem pendidikan kita tidak menanamkan penguasaan keterampilan bahasa itu pada anak didik. Dalam kegiatan pembelajaran, guru lebih sering menekankan teori dan pengetahuan bahasa, daripada mengutamakan keterampilan berbahasa. Dengan kata lain, pengajaran bahasa Indonesia cenderung membawa siswa belajar tentang bahasa daripada belajar berbahasa, aspek kognitif lebih diutamakan daripada aspek psikomotorik.

Kurikulum pengajaran bahasa, tulis St. Kartono (2007), benar silih berganti, mulai dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, hingga 2006. Namun demikian, pendekatan pembelajaran bahasa yang mendasari kurikulum itu belum beranjak dari pendekatan struktural menuju pendekatan komunikatif. Belum lagi keterbatasan alokasi waktu, di mana untuk SMA hanya disediakan waktu empat jam pelajaran tiap minggu.

Bandingkan dengan pelajaran IPA, Matematika, Fisika dan ilmu-ilmu eksak lainnya. Anehnya, kurikulum itu dengan tegas mensyaratkan kenaikan kelas atau kelulusan dengan nilai bahasa Indonesia bukan merah.

Keterbatasan Bahasa

Problem pengajaran bahasa masih diperparah dengan kualitas bahasa Indonesia sendiri, ketika dipersandingkan dengan bahasa dunia lainnya. Bahasa kita (Indonesia) tidak mampu menangkap dan menerjemahkan semua letupan atau "ujaran" sastra. Fenomena ini dikeluhkan hampir semua sastrawan kita, salah satunya Otto Sukatno C.R. (2007).

Menurut Otto, lantaran sempitnya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, sastrawan kita sering meminjam istilah bahasa asing. Akibatnya, produk sastra menjadi elitis karena maknanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu (yang paham bahasa lain). Produk sastra menjadi kehilangan pembacanya sehingga tidak banyak memberi kontribusi pada kehidupan manusia.

Keterbatasan bahasa kita, semakin terasa tatkala menerjemahkan karya sastra atau pemikiran bahasa lain (Inggris, Arab, Spanyol, Prancis, India dan sebagainya). Naskah asli misalnya hanya sekitar 100 lembar, tetapi begitu diterjemahkan menjadi 200 lembar atau lebih. Karena keterbatasan perbendaharaan kosakata pula, bahasa kita sering memenggal atau mendangkalkan rasa bahasa aslinya.

Ketika membaca dan mengapresiasikan karya-karya besar semacam Wordsworth, Mahabarata, Ramayana, dan Mary Shelley, mestinya hati kita akan takjub dan bergetar. Akan tetapi justru sebaliknya, karya besar itu terasa biasa-biasa saja dan tak mampu menggugah relung batin kita. Ini artinya, bahasa kita boros kata tetapi dangkal makna.

Selain aspek pengajaran, problem bahasa juga tidak lepas dari peran politik dan kekuasaan. Pemerintah Orde Baru (Orba) misalnya, sering menempatkan bahasa sebagai komoditi kekuasaan yang sering dipolitisi. Orba dengan sistem sentralistik dan totaliter, mengharuskan keseragaman di setiap lini kehidupan, termasuk bahasa. Maka, dikeluarkanlah aturan baku penggunaan bahasa yang disebut dengan "Ejaan Yang Disempurnakan" (EYD).

Di satu sisi, adanya peraturan yang ketat terhadap masuknya berbagai kosakata asing bertujuan meneguhkan identitas kebangsaan kita. Tetapi di sisi lain, aturan itu justru menyempitkan ruang apresiasi bahasa terhadap teks-teks sastra asing.

Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi kita selain terus membenahi model pengajaran dan kualitas bahasa Indonesia. Pertama, pengajaran bahasa harus menjadi proses pembiasaan berbahasa yang baik dan benar.

Para guru harus menjadi teladan bagi anak didiknya dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Sebab, kebiasaan berbahasa anak didik hanya dapat dibentuk dalam suasana disiplin para guru bahasa Indonesia itu sendiri. Maka, para guru bahasa harus mempunyai kebiasaan membaca, terbuka dengan pemikiran baru, dan membiasakan menulis, sehingga merangsang siswa untuk melakukan hal yang sama. Singkatnya, para guru bahasa Indonesia tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi juga menempatkan diri sebagai pendidik yang membangun kebiasaan berbahasa para siswanya.

Kedua, adanya kebijakan pemerintah yang memberi kebebasan bagi para pakar bahasa untuk mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebudayaan kita sehingga menemukan istilah-istilah, padanan kata atau kosakata yang bisa menerjemahkan berbagai simbol bahasa di dunia.

Jika bahasa kita tidak terus berbenah, dia tidak akan sanggup menerjemahkan simbol-simbol bahasa dunia, dan dengan demikian tidak akan menjadi alat komunikasi yang efektif. Hanya dengan perbendaharaan kosakata yang lengkap, bahasa kita dapat menangkap rasa bahasa lain atau paling tidak mendekati rasa bahasa aslinya. Semoga.

*) Pemerhati Sastra, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

BELAJAR MENULIS DARI AZYUMARDI AZRA

Sutejo
Ponorogo Pos

Sejak mahasiswa tingkat S1, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini sudah rajin menulis. Awalnya dia menulis sajak dan puisi yang dimuat majalah Ti¬me. Berangkat dari kelompok diskusi mulailah dia menulis artikel di berbagai media massa, dan buku pertama yang diterbitkan adalah tesis dan disertasinya. Hingga kini –paling tidak-- telah mengha¬silkan 18 judul.

Mahasiswa, Demonstran Seksi

Misbahus Surur
http://indonimut.blogspot.com/

Tonggak sejarah berdirinya republik ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari peran mahasiswa di dalamnya. Perlawanan terhadap kolonialisme setelah tahun 1900-an banyak dipelopori oleh gerakan kaum muda (baca: mahasiswa). Lahirnya Boedi Oetomo (1908), sebagai pelopor perjuangan bangsa ini dalam melawan kolonialisme juga di dominasi oleh kaum muda. Boedi Oetomo menjadi tempat persemaian bibit-bibit pergerakan nasional. Dengan watak perjuangan yang terorganisir kaum muda ingin meninggalkan model perjuangan lama, yakni sebelum tahun 1900 yang masih bersifat kedaerahan. Semenjak diterapkannya sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang menyebabkan penindasan dan eksploitasi kekayaan negeri ini, gelagat perjuangan kaum muda mulai berkobar.

Di Indonesia, gerakan mahasiswa lahir atas kondisi historis untuk menjawab kondisi penindasan bangsa tersebut. Akar gerakan kaum muda mempunyai orientasi yang cukup panjang. Dimulai sejak depresi ekonomi tahun 1878 yang menyebabkan munculnya kebijakan Cultuur Stelsel hingga lahirnya penentangan terhadap kebijakan tersebut dari Social Democratische Arbeider Partij (SDAP) yang kemudian melahirkan kebijakan baru, ”Politik Etis” tahun 1895 (hlm. 76-77).

Dalam menentang kebijakan penguasa yang tak memihak rakyat, mahasiswa punya sejumlah nostalgia sejarah yang kisahnya tak bisa dilupakan begitu saja. Perjuangan tersebut bisa direkam lewat beberapa insiden antara lain; peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974, sebuah protes dan penentangan mahasiswa atas kebijakan pemerintah terhadap pemodal/ investor asing (Jepang & Amerika) yang dinilai merugikan bangsa. Kemudian tragedi Trisakti 1998 hingga Semanggi I & Semanggi II. Seluruh tragedi tersebut merupakan akumulasi dari kekecewaan mahasiswa atas kebijakan pemerintah yang cenderung tidak memihak rakyat. Walau harus mengorbankan nyawa, nyatanya mahasiswa selalu menjadi yang terdepan dalam menentang kebijakan & represi negara.

Namun apa yang terjadi sungguh menjadi suatu ironi. Gaya hidup mahasiswa sekarang banyak terperosok ke arah prinsip hidup hedonisme yang kalau boleh dibilang, justru menjerumuskan diri mereka pada jurang kapitalisme. Dalam budaya kapitalisme, tubuh direduksi sebagi komoditas yang terus dieksploitasi. Semua itu dengan tujuan bagaimana bisa menarik dan menciptakan massa supaya hanya bisa beli dan beli. Akhirnya semuanya digiring pada obsesi yang sulit untuk dipenuhi. Karena pada dasarnya libido manusia memang tidak akan pernah mengalami rasa puas.

Sifat acuh terhadap realitas sosial, pergaulan yang serba permisif dan gaya hidup glamour yang mengikuti trend masa kini membuat mahasiswa menjadi apatis, menggadaikan idealisme demi kesenangan & hasrat untuk melampiaskannya. Maka lakon yang dibawakan hanya sebatas berburu lawan jenis, pacaran dan seterusnya. Begitu pula sistem pendidikan di sekolah maupun di kampus dinilai tidaklah mendidik, tetapi malah menjauhkan pelajar & mahasiswa dari permasalahan sosial dan membuat mereka menjadi produk-produk statis dan tidak punya integritas sosial.

Mahasiswa dengan kungkungan sistem pendidikan kapitalis seperti sekarang, aktivitas mereka cenderung ke arah mencari kesenangan & foya-foya dari pada menekuni teori yang mengantarkan pada penemuan yang berdampak besar bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, atau menggagas perubahan menuju tatanan sosial yang lebih adil & memihak rakyat. Di era kapitalisme yang menyelimuti mereka, mahasiswa seharusnya bangun dari mimpi buruk ini dan menengok sejarah guna mengambil sebuah pelajaran berharga.

Dalam konteks kekinian gerakan mahasiswa semestinya diarahkan pada proses pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Karena di samping sebagai insan akademik, mahasiswa juga menjadi motor utama dalam mengawal setiap perubahan yang terjadi di negeri ini. Dengan memikul tugas besar sebagai pengontrol kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat. Baik melalui kritik sosial semisal aksi demonstrasi maupun dalam ranah pemikiran. Dalam pemikiran mereka bisa meningkatkan kapasitas dirinya dengan kegiatan intelektual yang kreatif dan produktif. Apalagi saat ini, di tengah keadaan negeri yang dipenuhi oleh beragam bencana tanah longsor dan banjir yang tak berputus-putus, sangat diharapkan sekali peran mahasiswa. Tugas besar inilah yang mengilhami Nurani Soyomukti menulis buku ini.

Ketika gerakan & tuntutan rakyat ditumpulkan oleh penguasa, dan wakil rakyat yang seharusnya membela hak rakyat ternyata hanya bisa duduk dikursi empuk dan enak-enakan tidur ketika sedang diajak membicarakan masalah rakyat (tidak dapat berbuat banyak untuk rakyat), maka mahasiswalah yang selalu tampil sebagai penyambung lidah rakyat.

Buku ini ditulis bukan karena hajatan untuk merayakan pornografi layaknya ”Jakarta Undercover” dan sejenisnya, juga bukan dengan niat menghakimi mahasiswa sebagai pelaku secara hitam putih, justru sebaliknya adanya buku ini mengajak mereka sadar dan kritis terhadap kuasa kapitalisme yang terus menghimpit kehidupan mereka sehari-hari. Buku ini meletakkan mahasiswa sebagai obyek (korban) kapitalisme dan hedonisme. Dalam industri budaya kapitalisme kontemporer memang secara besar-besaran mahasiswa menjadi korban empuknya. Dan ironis, mahasiswa tidak cepat-cepat menyadarinya.

Untuk itu, sebagai seorang anak muda yang punya keprihatinan tinggi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, penulis buku ini bermaksud mengingatkan kembali peran penting mahasiswa di tengah masyarakatnya. Mahasiswa perlu menyadari akan jati diri mereka, bukan terlalu muluk adalah sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai subjek perubahan (agent of change). Mahasiswa harus kembali ke hakikatnya sebagai manusia normal. Mahasiswa bukan benda yang statis dan tidak pula mengutamakan pemuasan hasrat libido seksual layaknya binatang. Jika kita memandang sekitar kita dan segalanya sesuatu terjadi secara alami dan mengalir seperti biasa, maka sejatinya daya kritis mahasiswa telah mati.

Hadirnya buku ini juga sekaligus akan melengkapi sederet buku-buku yang memfokuskan pada hal yang sama. Diantaranya, ”Bangsa Yang Belum selesai: Indonesia Sebelum dan Setelah Orde Baru” karya jurnalis peneliti Australia, Max Lane dan ”Penakluk Rezim Orde Baru; Gerakan Mahasiswa ’98” yang diedit oleh Muridan S. Widjojo. Sekilas pertama melihat buku ini, saya mengira adalah sebuah novel remaja, karena tampilan cover yang menurut saya tidak terlalu cocok untuk buku yang mengetengahkan serial mahasiswa. Terlepas dari itu, di tengah zaman yang serba pragmatis ini, jika berfikir kritis, bertindak produktif dan bijaksana jarang mereka lakukan, maka hakikat mahasiswa akan terus menjadi paradoks. Atau mahasiswa memang perlu, meminjam istilah Nurani, ”menerapi diri sendiri” untuk mengembalikan kenormalan ini. Jawabannya akan kita temukan di sekujur buku ini.

Judul Buku: Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas; Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi, Jogjakarta
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 182 Halaman

Muda Dipeluk Maut

Judul Buku : Mereka yang Mati Muda, Sekali Berarti dan Sesudah itu (bukan Berarti) Mati!
Penulis : Arifin Surya Nugraha dkk
Penerbit : Bio Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama) 2008
Tebal : 200 halaman
Peresensi: MG. Sungatno *
Media Indonesia, 22 Nov 2008

23/12/08

Pemakaman Bekas Presiden

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Opini televisi di Singapura cenderung menganggap almarhum Jendral Soeharto, presiden Indonesia selama 32 tahun, adalah bapak pembangunan. “Masyarakat memaafkan apa yang sudah diperbuat oleh almarhum, tetapi mungkin tidak akan bisa melupakannya,”komentar seorang pengamat.

Penghargaan atas jasa almarhum yang dianggap telah membangun ekonomi Indonesia yang terpuruk di bawah presiden Soekarno, dikabarkan datang dari pejabat di Philipina, Malaysia, Amerika, Jepang dan Singapura sendiri. Pak Harto didudukkan sebagai orang penting dan kepergiannya adalah sebuah kehilangan yang besar.

Almarhum dianggap membawa perkembangan baru yang memberikan iklim lain pada Indonesia yang sebelumnya berkonfrontasi dengan Malaysia. Juga disebut-sebut jasa almarhum sebagai salah seorang pelopor terbentuknya ASEAN.

Bung Franki yang sedang hendak menonton perayaan tahun baru China di Singapura, tertegun di depan pusat perbelanjaan Takasimaya, Orchard Street. Entah siapa yang mengirim, di HPnya muncul SMS: “Tolak pengibaran bendera setengah tiang dan penyiaran televisi berkelebihan. Sebarkan!”

Begitu selesai membaca, SMS lain muncul lagi dari Jakarta. “Manusia Indonesia pemaaf. Semua saluran televisi merasa tiba-tiba berada saat Orde Baru. Kini bahkan almarhum lebih hidup dan lebih berkuasa lagi.”

Franki cepat-cepat kembali ke kamar hotelnya. Lalu menonton upacara pemakaman almarhum di Astana Giri Bangun Solo, disaksikan oleh 2000 tamu-tamu. Di antaranya presiden SBY, wakil presiden, para pejabat dan tamu-tamu VIP dari mancanegara. Upacara berlangsung megah, layaknya kepergian seorang raja.

Memang Channel News Asia sudah sejak kemaren mengikuti dengan cermat dan mendetail seluruh peristiwa. Komentar dari orang awam pun ditampilkan. Rata-rata mengemukakan bahwa almarhum adalah orang baik. Almarhum telah membangun ekonomi Indonesia. “Bisa jadi ada cacadnya, tetapi kalau mau obyektif, keadaan sesudah almarhum memegang tapuk pemerintahan pun tidak lebih sehat,”kata seorang warga Jakarta di kantornya. Walhasil, terasa positip.

Franki termenung. Ia jadi teringat ketika bapaknya sendiri meninggal. Sedikit sekali yang mengantar. Keluarganya pun tak lengkap. Upacara berlangsung dengan sederhana bahkan nyaris papa. Orang mengucapkan duka setengah basa-basi. Tak ada yang merasa sedih, karena yang meninggal dianggap sudah waktunya pergi.

“Padahal Bapakmu itu sebenarnya belum tua. Pensiun pun belum,”kata Ibu Franki, “Tak pernah merecoki orang. Apa tugas-tugasnya dilaksanakan dengan baik. Tidak curang dalam soal uang. Hanya saja ia memang agak nakal, karena suka perempuan. Tapi ibu memaafkannya, karena memang itulah kelemahannya.”

Kemalangan datang beruntun setelah ayah Franky tak ada. Seseorang datang mengaku rumah yang ditempati keluarga Franky adalah milik mereka. Dulu itu dipinjam oleh almarhum. Karena sekarang almarhum sudah tak ada, pemiliknya akan mempergunakan sendiri. Pernyataan itu disertai dengan surat-surat lengkap, dikawal oleh RT dan RW serta petugas, terpaksa Franky dan ibunya pindah.

“Apakah ayah bisa masuk surga setelah meninggalkan kita dalam keadaan tuna wisma seperti ini?”tanya Franky kalau lagi iseng.

Ibunya hanya menjawab.

“Bapakmu sendiri pun mungkin menolak masuk surga, karena dia tahu dia sudah mentelantarkan kita seperti ini. Padahal dulu janjinya akan membahagiakan kita. Ibu sendiri tidak mendoakan supaya Bapak masuk surga. Tidak. Yang Ada Di Atas Sana pasti akan memberikan tempat yang semestinya sesuai dengan perilaku bapakmu. Kalau bapakmu karmanya memang buruk, untuk apa mendapat tempat yang baik. Pasti tempat baik hanya untuk orang yang baik. Dan kalau bapakmu memang baik, tak akan mungkin salah kamar di tempatkan di neraka.”

Franky melihat kembali ke layar kaca. Upacara sudah berakhir. Bunga telah dtaburkan dan tamu-tamu VIP sudah mulai pulang. Hanya rakyat yang masih ada di jalanan. Lalu Franky mengambil HP dan menjawab SMS liar itu.

“Semoga almarhum mendapat tempat yang semestinya di sana.”

Tapi setelah itu, ia tidak tahu bagaimana menjawab anjuran untuk menolak pengibaran bendera dan penyiaran tv yang berlebihan.

“Pasti pengirim SMS ini tak suka kalau almarhum terlalu dibesar-besarkan, sementara banyak hal yang masih perlu dijelaskan, “kata Franki kepada istrinya, “inilah demokrasi. Kita boleh dan bebas berpendapat. Asal kita kemudian tidak memaksakan apa yang kita inginkan itu terjadi. Karena kehendak orang banyak yang beralku. Kalau kalah suara, meskipun keki, mesti berani menerima, jangan lalu ngamuk dan memaksakan mau menang. Harus berjuang mengumpulkan lebih banyak sauara , jangan maksa begini!”

Istri Franki melotot.

“Maksud Abang apa?”
“SMS ini seperti orang marah dan memberi aku perintah!”
“Itu karena Abang tidak setuju!”

“Bukan! Aku cuma tidak suka caranya. Coba baca, masak dia bilang: sebarkan! Dia pikir, makin keras berteriak makin benar! Itulah jadinya pendidikan yang sudah ditanamkan oleh kekuasaan otoriter di masa lalu. Kita semua jadi terlatih jadi anarkhis! Mau menang sendiri! Bagaimana bisa belajar demokrasi kalau mau menang sendiri! Mau apa kalau nyatanya rakyat lebih banyak mencintai almarhum?”

“Aku tidak mau menang sendiri, aku hanya menganjurkan! Abang saja yang terlalu sensitif!”

Franki terkejut.

“O jadi yang menulis SMS itu kamu?”

Istri Franki melotot.

“Kenapa jadi menuduh begitu?”
“Habis kamu membela!”
“Siapa yang membela? Membela apa?”

“Kamu setuju upacara pemakaman almarhum begitu dibesar-besarkan, sampai tujuh hari bendera berkabung?”

“Tapi itu layaknya untuk seorang bekas presiden! Semua p;residen kita yang mana pun harus begitu caranya dimakamkan! Kalau tidak, berarti dosa!”

Perjalanan Bahasa Indonesia Menuju Bahasa Dunia

Maman S Mahayana
http://www.riaupos.com/

Jika Bahasa Melayu ditempatkan sebagai bahasa daerah, sangat mungkin para pakar bahasa (Indonesia) dan Pusat Bahasa, akan menghadapi tembok besar kegagalan. Bukankah salah satu syarat sebuah bahasa menjadi bahasa resmi PBB ditentukan oleh klaim bahwa bahasa itu telah menjadi bahasa negara, bukan bahasa daerah. Jika yang diusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa Nusantara, kendalanya sama saja, lantaran ia bukan sebagai bahasa negara. Jadi, yang diusulkan sebagai bahasa resmi PBB hendaklah bahasa negara, dan itu tidak lain adalah bahasa Indonesia. Pertanyaannya, apakah Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan beberapa negara ASEAN lainnya akan mendukung usulan itu?

Untuk melihat sejauh mana kemungkinan bahasa Indonesia dapat diterima sebagai bahasa resmi PBB, berikut ini akan dipaparkan argumen yang melandasinya, baik dilihat dari aspek kesejarahan, linguistik, maupun luas penyebarannya. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita menengok ke belakang pada sejarah perkembangan bahasa Indonesia.

Salah satu hasil Kongres Bahasa Indonesia II, di Medan tahun 1954, adalah disepakatinya pembentukan suatu badan yang khusus menyusun peraturan ejaan bahasa Indonesia. Alasannya, bahwa Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik yang ditetapkan tahun 1947, perlu disederhanakan dan disempurnakan lagi. Badan tersebut baru terbentuk tahun 1956. Setahun kemudian, berhasil dirumuskan patokan-patokan baru Ejaan Bahasa Indonesia yang terkenal dengan nama Ejaan Pembaharuan.

Belum sempat ejaan ini diresmikan, Persekutuan Tanah Melayu, yakni Malaysia dan sekitarnya, mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna membentuk penyeragaman sistem ejaan kedua negara. Hasilnya adalah konsep Ejaan Melayu-Indonesia. Lalu terkenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Konsep ini pun, belum sempat diresmikan, lantaran kedua belah pihak terlibat konfrontasi.

Memasuki zaman Orde Baru, baik Indonesia maupun Malaysia menyadari bahwa sesungguhnya perselisihan antar-bangsa, terutama antar-negara bertetangga, tidaklah mendatangkan manfaat. Lalu, hubungan kedua negara pun dijalin kembali. Sebagai realisasi bentuk persahabatan itu, Ejaan Melindo yang pernah disepakati, dihidupkan kembali. Lahirlah Ejaan Baru tahun 1966.

Entah bagaimana pasalnya, ejaan yang terakhir ini pun tidak sempat diresmikan. Sementara itu, perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat, menuntut perlunya penyempurnaan ejaan dengan segera. Maka atas dasar berbagai pertimbangan, antara lain, perlunya penyesuaian ejaan Bahasa Indonesia dengan perkembangannya, ketertiban cara penulisan, usaha pembakuan Bahasa Indonesia secara menyeluruh, serta usaha pengembangannya, keluarlah Surat Keputusan Presiden Soeharto No 57 tentang peresmian berlakunya “Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan”.

Keputusan tersebut, tentulah tidak hanya atas pertimbangan segi kebahasaan semata-mata, melainkan juga ada sejumlah faktor lain yang tak dapat diabaikan. Dalam hubungannya dengan masalah itulah, kita akan melihat betapa tepat dan pentingnya pembakuan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhannya. Lebih jauh lagi sebagai upaya untuk menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.

Faktor Kesejarahan

Dalam perjalanan bahasa Indonesia sampai sekarang, yakni sejak dicetuskan pertama kali dalam butiran Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, pedoman ejaan Bahasa Indonesia secara resmi baru dua kali mengalami perubahan. Pertama, melalui Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, tanggal 19 Maret 1947, yang disusul dengan Surat Keputusan No 345/Bhg A, 15 April 1947. Kedua, Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 7/U/1972, Mashuri, yang kemudian diresmikan pemakaiannya melalui Surat Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

Sebelum Ejaan Soewandi, pedoman ejaan waktu itu masih menggunakan ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini bersumber dari buku yang berjudul Kitab Logat Melajoe hasil penyusunan Charles Adriaan van Ophuijsen dibantu oleh Engkoe Nawawi Gelar Soetan Ma’moen dan Moehamad Ta’ib Soetan Ibrahim. Konsepnya sendiri sebenarnya dimulai tahun 1896, setahun sebelum AA Fokker mengusulkan penyeragaman ejaan Bahasa Melayu dengan huruf Latin. Namun baru diundangkan secara resmi oleh pemerintah Belanda tahun 1901.

Mengingat latar belakang diberlakukannya Ejaan van Ophuijsen, tindakan tersebut cukup punya arti penting bagi perjalanan Bahasa Melayu selanjutnya. Waktu itu, pengaruh Islam di wilayah Nusantara yang amat kuat, menyangkut juga soal bahasa. Masyarakat di Semenanjung Melayu dan sekitarnya, sudah terbiasa menggunakan huruf Arab-Melayu (huruf Jawi atau Pegon—bahasa Melayu dengan huruf Arab). Begitu juga di Pulau Jawa, bahasa daerah setempat banyak juga yang memakai huruf Pegon.

Di samping itu, jauh sebelum bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara, bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca bagi penduduk di kepualauan ini. Bahkan perhubungan dengan para pedagang asing seperti India, Arab, Cina, Portugis, dan Persia, juga menggunakan Bahasa Melayu. Dengan sendirinya, di beberapa daerah muncul dialek-dialek Melayu. Kosakata, ejaan, maupun struktur bahasa Melayu, jadi beragam.

Sungguhpun demikian, dialek Melayu Riau yang biasa digunakan oleh para sultan di kepulauan itu, tetap dianggap sebagai Bahasa Melayu Tinggi. Dengan kata lain, Bahasa Melayu yang dianggap standar dan baku waktu itu adalah Bahasa Melayu dialek Riau. Dialek itulah yang kemudian dijadikan model bagi van Ophuijsen dan dua rekannya untuk menyusun pedoman ejaan Bahasa Melayu.

Maka sejak tahun 1901, perkembangan Bahasa Melayu harus berpatokan pada pedoman Ejaan van Ophuijsen, yang pada hakikatnya berlandaskan pada Bahasa Melayu dialek Riau. Semua kosakata yang berasal dari bahasa asing —Cina, Arab, India, Inggris, Portugis, dan Belanda— serta yang berasal dari daerah-daerah di kawasan Nusantara, harus disesuaikan dengan ejaan Bahasa Melayu.
Perkembangan yang amat menonjol ditandai dengan berdirinya Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat), 14 September 1908, kurang dari empat bulan setelah lahir Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Buku-buku yang diterbitkan komisi ini diseleksi secara ketat. Tidak hanya isinya yang harus sejalan dengan garis politik kolonial Belanda, tetapi juga harus menggunakan Bahasa Melayu tinggi sesuai dengan Ejaan van Ophuijsen.

Pada tahun 1917, komisi ini berganti nama menjadi Kantor Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Penggantian nama ini, sama sekali tidak mengubah kebijaksanaan sebelumnya. Kaidah-kaidah kebahasaan tetap berpedoman pada Ejaan van Ophuijsen. Di balik itu, para pemuda terpelajar kita makin merasakan pentingnya mempunyai bahasa sendiri. Emosi kebangsaan mereka makin menggelora. Sampai puncaknya, pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah membulat tekadnya, “Bertanah airyang satu —Indonesia, berbangsa yang satu— Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.”

Ikrar para pemuda itu, pada awalnya bersifat politis, namun sesungguhnya dalam perkembangannya benar-benar telah mampu meleburkan persoalan suku, adat, ras, dan agama. Kepentingan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari kepentingan lainnya. Dengan demikian, tekad untuk mengusir penjajah, serta hasrat untuk membentuk negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat, nyata sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Melihat Kelemahan

Dalam persoalan bahasa, para pemuda terpelajar kita mulai melihat adanya beberapa kelemahan yang terdapat dalam Ejaan van Ophuijsen. Khususnya ketidakcocokan konsep gramatika Belanda dan Arab yang diterapkan dalam Bahasa Melayu. Fonem-fonem asing seperti ain, hamzah, ch, sj, oe, dl, dan ts, seringkali menimbulkan cara penulisan dan pembacaan yang keliru. Lantaran itulah, dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25—28 Juni 1938, diputuskan perlunya ejaan baru, di samping gagasan untuk menyempurnakan dan menyederhanakan Ejaan van Ophuijsen.

Ternyata, tindak lanjutnya baru dilakukan dua tahun setelah Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa negara yang tertuang dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, 19 Maret dan 15 April 1947, mencanangkan penggantian Ejaan van Ophuijsen dengan Ejaan Republik.

Beberapa perubahan yang dilakukan, antara lain, digantinya fonem oe menjadi u, bunyi vokal e (E) dan e (e) diwakili oleh satu fonem e serta ucapan kata-kata asing atau pinjaman yang disesuaikan dengan cara pengucapan bahasa Indonesia. Namun, bentuk kata yang diulang masih dibolehkan memakai angka dua (2). Hal ini tentu saja dapat mengacaukan dengan kata ulang atau reduplikasi, seperti kupu-kupu, paru-paru, biri-biri, dan banyak lagi reduplikasi yang sebenarnya bukan merupakan kata yang diulang.

Sejumlah kelemahan yang terkandung dalam Ejaan Soewandi, dikecam cukup pedas oleh Prof Dr Prijono. Menurutnya, Ejaan Soewandi tidak lebih dari “pindah tulis” dan bentuk lain dari Ejaan van Ophuijsen. Lalu dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 23 Oktober—2 November 1954, mulailah Ejaan Soewandi “ditinjau” kembali.

Setelah tersusun konsep Ejaan Pembaharuan atau yang dikenal juga dengan nama Ejaan Prijono—Katoppo, Persekutuan Tanah Melayu mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna menyusun pedoman ejaan bagi kedua negara itu. Namun batal diresmikan karena terjadi konfrontasi. Baru kemudian dihidupkan kembali lewat pertemuan di Kuala Lumpur 21—23 Juni 1967, dengan nama Ejaan Baru Bahasa Indonesia untuk Indonesia dan Ejaan Baru Bahasa Melayu untuk Malaysia.

Sebenarnya, konsep ejaan ini bertumpu pada konsep hasil penyusunan Panitia Crash Program Ejaan Bahasa Indonesia LBK, Agustus 1966. Panitia yang diketuai oleh Anton M Moeliono ini, mendasari konsepnya atas konsep Ejaan Pembaharuan tahun 1957, dan Ejaan Melindo tahun 1959, serta berpegang pada prinsip “satu fonem, satu tanda”.

Hambatan utama terlaksananya hasil rumusan panitia tersebut, sebenarnya lebih menyangkut soal pembiayaan daripada soal kebahasaan. Maka atas berbagai pertimbangan, rumusan itu mengalami beberapa perubahan lagi. Sampai kemudian, keluarlah keputusan yang memberlakukan Ejaan Yang Disempurnakan, 17 Agustus 1972.

Menuju Bahasa Dunia

Pada masa awal diberlakukannya EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan), reaksi timbul dari berbagai kalangan. Yang tidak setuju, umumnya melihat dari segi pembiayaan semata-mata. Sedangkan yang setuju, melihatnya jauh ke depan. Sesungguhnya, Keputusan Presiden No 57 itu ibarat langkah yang tidak hanya hendak mengokohkan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, melainkan juga upaya mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN dan bahasa dunia.

Dalam lingkup ASEAN, tampaknya Filipina dan Muangthai saja yang mungkin masih merasakan beberapa hambatan. Sungguhpun demikian, berdasarkan unsur kekerabatan, korespondensi fonemis, faktor geografis, struktur gramatika, maupun unsur kebahasaan lainnya, bahasa Tagalog di Filipina dan bahasa Siam di Muangthai, mempunyai hubungan yang erat dengan Bahasa Melayu yang merupakan asal dan dasar Bahasa Indonesia. Begitu juga dengan Bahasa Cham di Kamboja.

Apabila kita membandingkan sejumlah kosa kata yang terdapat di negara-negara tersebut —seperti yang dilakukan Gorys Keraf dalam bukunya, Linguistik Historis Komparatif— kita akan mendapatkan bukti kuat, bahwa bahasa-bahasa di kawasan Asia Tenggara (rumpun bahasa Austronesia) sebenarnya masih satu keluarga bahasa yang sama. Kita tak perlu heran, jika orang Filipina berkata ku:lang (kurang), ilung (hidung), dan bu’guk (buruk). Pendeknya, bahasa Tagalog dengan Bahasa Melayu umumnya mempunyai bentuk dan bunyi yang mirip, bahkan sama.

Bukti lain dapat kita lihat dari hasil penelitian Dr H Kern tahun 1889. Ia membandingkan sejumlah kata dari 100 bahasa yang tersebar dari Malagasi sampai Amerika Selatan. Kesimpulannya, mustahil jika kesamaan bunyi dan bentuk dari nama-nama tumbuh-tumbuhan dan binatang yang terdapat di kawasannya, terjadi secara kebetulan. Artinya, dapat dilacak lebih jauh adanya hubungan kerabat dari satu nenek moyang atau protobahasa yang sama.

Jadi jelas, Bahasa Melayu bagi negara-negara ASEAN, sesungguhnya dapat pula mempererat hubungan antar-negara bertetangga ini. Malaysia, Singapura, dan Brunei, bahkan juga di Muangthai (khasnya Patani) dan Filipina (khasnya Mindanau), menyadari hal itu. Malaysia menempatkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Demikian juga Brunei Darussalam sejak tahun 1959 —sebagaimana yang dinyatakan Pangeran Badaruddin— “bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa resmi dan mesti digunakan di dalam segala bidang.”

Bagi Indonesia, persoalan tentu tidak semata-mata menjadikan bahasa Melayu (baca: Indonesia) sebagai bahasa resmi ASEAN, tetapi juga sebagai bahasa resmi dunia, seperti juga bahasa Inggris atau Perancis. Dan syarat-syarat untuk itu, memang sudah dimiliki Bahasa Indonesia. Antara lain, Bahasa Indonesia merupakan lingua franca bagi lebih dari 136 juta penduduk, bentuk dan strukturnya mudah dipelajari dan sederhana, bentuk tulisan dan ujaran tidak mengandung banyak perbedaan, menyerap secara bebas unsur dan istilah bahasa asing, mampu digunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, serta merupakan mata ajaran wajib di semua tingkatan sekolah.

Lebih dari itu, bahasa Indonesia juga sudah diajarkan di banyak perguruan tinggi negara-negara sahabat. Tokyo, Seoul, Beijing, Melbourne, Canberra, Cornel, Yale, Mokow, Paris, Praha, Leiden, Warsawa, Berlin, Mesir, dan banyak lagi universitas di luar negeri yang membuka jurusan tersendiri tentang bahasa dan kesusastraan Indonesia. Paling sedikit, memberikan mata ajaran Bahasa Indonesia. Ini merupakan satu indikasi, betapa Bahasa Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi bahasa resmi internasional.

Melihat kenyataan tersebut, tidaklah sepatutnya jika masih ada suara sumbang yang meremehkan peran Bahasa Indonesia. Tidak patut pula jika kita tidak bangga pada bahasa sendiri. Dalam menyikapi perkembangan zaman dan arus globalisasi, peran bahasa Indonesia tentu berlainan dengan waktu pertama kali dicanangkan dalam ikrar Sumpah Pemuda. Jika dulu mampu berperan sebagai alat persatuan dan kesatuan bangsa, maka kini, mampukah ia mengangkat citra keagungan bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, gagasan untuk menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia atau bahasa resmi PBB sesungguhnya lebih terterima dibandingkan dengan Bahasa Melayu. Semoga saja harapan ini menjadi kenyataan.***

*) Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI). Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media di Indonesia, Malaysia dan Brunai Darusallam, dan sudah banyak dibukukan. Tinggal di Depok.

20/12/08

KEDUDUKAN PARA PRIYAYI DALAM PETA NOVEL INDONESIA MODERN

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com

Umar Kayam dalam peta kesusastraan Indonesia mencuat namanya ??terutama?? karena cerpen panjangnya "Sri Sumarah" dan "Bawuk" (1975) serta beberapa cerpen lainnya yang dimuat di majalah Horison. Kini ia telah meninggalkan kita dengan sejumlah warisan berupa sejumlah cerpen, buku esai, dan dua buah novel: Para Priyayi (Pustaka Utama Grafiti, 1992) dan Jalan Menikung (2001). Jika dalam peta cerpen, ia berhasil mengangkat kultur Jawa dengan sangat meyakinkan, lalu bagaimana pula dengan novelnya, Para Priyayi? Tulisan ini coba menempatkan Para Priyayi (selanjutnya disingkat: PP) dalam peta novel Indonesia mutakhir.

PP yang tebalnya 308 halaman, ternyata mengundang tanggapan yang ramai. Dalam satu bulan sedikitnya telah muncul 10-an resensi dan empat artikel di media massa ibukota. Dalam waktu sebulan, novel ini mengalami cetak ulang kedua. Cetakan ketiga, November 1992, dan kini terus mengalami cetak ulang.

Secara intrinsik, PP sebenarnya tidaklah menyodorkan inovasi yang radikal. Artinya, novel ini masih tergolong sebagai novel konvensional. Sungguhpun demikian, Umar Kayam tampak hendak merumuskan semacam sintesis, baik yang menyangkut tema citra manusia Jawa, maupun unsur intrinsik lainnya yang pernah digarap para novelis Indonesia. PP dalam hal ini, bolehlah dikatakan menampilkan sesuatu yang "baru". Justru dalam soal itulah, PP punya arti dan kedudukan yang penting dalam peta novel Indonesia modern.

Dinasti Priayi Jawa

PP sebenarnya lebih menyerupai "kumpulan" cerita yang membentuk satu kesatuan cerita. Sapardi Djoko Damono dalam resensinya (Tempo, 20 Juni 1992) menyebut novel ini sebagai novel esai yang menyerupai album besar. Alur ceritanya sendiri dikembangkan oleh sedikitnya delapan pencerita, yaitu pencerita tokoh Lantip, Sastrodarsono, Hardoyo, Noegroho, Harimurti, dan para istri ??Ngaisah, Soemini, dan Sus. Lengkapnya, Para Priyayi terdiri atas sepuluh bagian cerita yang kait?berkait dan masing?masing ditandai dengan judul?judul sebagai berikut: "Wanagalih" (hlm. 1?8), "Lantip" (hlm. 9?28), "Sastrodarsono" (hlm. 29?114), "Lantip" (hlm. 115?137), "Hardoyo" (hlm. 138?176), "Noegroho" (hlm. 177?205), "Para Istri" (hlm. 206?233), "Lantip" (hlm. 234?260), Harimurti (hlm. 261?299), dan "Lantip" (hlm. 300?308).

Mengingat PP dikembangkan oleh sedikitnya delapan pencerita, dan masing?masing merangkaikan peristiwanya sendiri --meskipun saling melanjutkan dan melengkapi— maka PP dapat dikatakan merupakan novel yang beralur banyak; sebuah novel yang pola alurnya hampir sama dengan yang terdapat dalam novel Pada Sebuah Kapal (1973) karya Nh. Dini.

Untuk memberi gambaran serba sedikit mengenai keseluruhan cerita PP di bawah ini akan dipaparkan sinopsis ringkasnya sebagai berikut:

PP bercerita tentang perjalanan hidup tokoh Mas Soedarsono. Berkat kesetiaan ayahnya dalam menggarap sawah Ndoro Seten, seorang priayi Kedungsimo, Soedarsono disekolahkan oleh priayi itu, dan berhasil mengantongi beslit guru bantu. Sebagai anak yang sudah dewasa, ayahnya lalu mengganti nama Soedarsono menjadi Sastrodarsono agar sesuai dengan dunia priayi yang akan dimasukinya. Ia kemudian dijodohkan dengan Siti Aisah (Ngaisah), putri tunggal mantri penjual candu bernama Mas Mukaram, priayi yang cukup terkenal di Jogorogo. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai tiga orang anak; Noegroho, Hardoyo, dan Soemini. Ketiga anaknya itu ternyata berhasil pula melanjutkan kepriayian ayahnya. Betapapun di dalam perjalanan hidup mereka, situasi sosial politik dan perubahan zaman, tidak jarang melibatkannya ke dalam persoalan yang rumit.

Begitulah, keluarga besar Sastrodarsono telah berhasil membangun sebuah dinasti priayi Jawa, semacam dengan dinasti Wang dalam trilogi novel The Good Earth (1931) karya Pearl S. Buck. Hanya saja, jika dinasti priayi Sastrodarsono yang berasal dari daerah petani itu, mampu menanamkan kepriayiannya bagi anak cucunya, maka dalam novel Pearl S. Buck, kebesaran dinasti Wang ??yang juga berasal dari darah petani?? justru hancur oleh keserakahan anak cucunya sendiri.

Bahwa keluarga besar Sastrodarsono berhasil membangun sebuah dinasti priayi Jawa, sesungguhnya itu juga sangat ditentukan oleh kepedulian masing?masing anggota keluarga itu menjaga kerukunan dan keselarasan dalam kehidupan ini.

Latar Sejarah dan Peristiwa 1965

Novel Indonesia modern yang berlatar sejarah, sebenarnya belumlah terlalu banyak. Di antara yang sedikit itu, Hulubalang Raja (1934) dan Mutiara (1946) karya Nur Sutan Iskandar, Tambera (1949) karya Utuy Tatang Sontani, Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953) karya Abdoel Moeis –sekadar menyebut beberapa di antaranya— merupakan novel yang secara jelas mengangkat peristiwa sejarah sebagai bagian dari keseluruhan cerita. Hulubalang Raja mengangkat peristiwa sejarah yang terjadi di Minangkabau sekitar tahun 1665?1668. Pada bagian pendahuluan novel itu tertulis keterangan sebagai berikut:

Segala keterangan dan cerita yang berhubungan dengan sejarah yang terdapat dalam buku ini, dipungut dari kitab De Westkust en Minangkabau (1665??1668) yaitu "academisch proefschrift" oleh H. Kroeskamp, yang dicetak oleh Drukkerij Fa. Schotanus & Jens di Utrecht dalam tahun 1931. (Hulubalang Raja, hlm. 5). Adapun kedua karya Abdoel Moeis, mengangkat peristiwa kepahlawanan Untung Surapati yang terjadi selepas tahun 1680, sebagaimana tertulis di awal cerita novel itu: "Kota Jakarta di tahun 1680" (Surapati, hlm. 5).

Dalam perkembangannya kemudian, novel Indonesia selepas merdeka yang berlatarkan sejarah ??umumnya?? lebih banyak mengangkat peristiwa di sekitar perang kemerdekaan atau peristiwa seputar zaman Jepang sampai sekitar tahun 1949?an. Barulah pada tahun 1980, terbit dua karya Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980) yang mengambil latar sekitar peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1900?an sampai pertengaham tahun 1930?an. Kedua novel Pramudya Ananta Toer itu ternyata merupakan empat serangkai dari dua novel berikutnya, Jejak Langkah (1981) dan Rumah Kaca (1981), serta Arus Balik (1998).

Dalam konteks novel Indonesia yang berlatarkan sejarah itu, harus diakui, bahwa hampir semua novel tersebut umumnya mengambil peristiwa?peristiwa yang sezaman, kecuali Burung?Burung Manyar (1981) karya Y.B. Mangunwijaya. Tokoh Setadewa dan Larasati dalam novel itu, mengalami peristiwa empat zaman; zaman Belanda, zaman pendudukan Jepang, awal kemerdekaan sampai zaman Orde Baru (6 Mei 1979) yang tercantum di atas tanda tangan tokoh Setadewa yang terdapat di halaman terakhir novel itu. Memang, secara eksplisit Burung?Burung Manyar dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian I, 1934??1944; Bagian II, 1945??1950; dan Bagian III, 1968??1978. Dari pembagian itu, tersimpul bahwa Burung?Burung Manyar tidak membicarakan periode 1951??1967. Hanya diceritakan, bahwa sejak Indonesia memperoleh kedaulatannya kembali, Setadewa meninggalkan Indonesia. Melanjutkan pendidikan di Harvard dan menjadi ahli komputer, kemudian bekerja di perusahaan minyak tempat Setadewa bekerja. Setelah ditinggalkan istrinya, tahun 1968 Setadewa kembali ke Indonesia.

Jika menempatkan karya Pramudya Ananta Toer dan Mangunwijaya dalam perjalanan sejarah pergerakan bangsa Indonesia, maka dalam kedua karya pengarang itu ada rentang waktu yang "kosong" beberapa periode. Karya Pramudya Ananta Toer, misalnya, tidak mengungkapkan peristiwa yang terjadi zaman berikutnya, yaitu zaman Jepang dan awal kemerdekaan. Begitu pula karya Mangunwijaya, walaupun novel itu terjadi antara tahun 1934 sampai 1979, periode zaman orde lama dan tahun?tahun pertama orde baru, tidak terungkapkan.

Demikianlah, bahwa adanya beberapa periode yang "kosong" itu, seolah?olah terisi dengan hadirnya novel PP. Persoalannya menjadi jelas karena Kayam dalam novelnya itu membentangkan peristiwa yang terjadi zaman Belanda yang diawali 1910?an, zaman Jepang, awal kemerdekaan, akhir orde lama, dan awal orde baru. Jadi, waktu cerita dalam novel PP meliputi periode tahun 1910??1967. Batas awal tahun 1910 itu kita ketahui setelah tokoh Sastrodarsono berhasil menyelesaikan sekolahnya dan memperoleh beslit guru bantu. "waktu itu, sekitar tahun 1910 Masehi..." (PP, hlm. 33). Sedangkan batas akhir tahun 1967, terungkap lewat cerita tokoh Lantip, anak angkat Hardoyo. "Tahun 1967 ini Embah Kakung, panggilan tokoh Lantip kepada Sastrodarsono. Sewaktu kecil Lantip dibesarkan keluarga Sastrodarsono ketika ia sudah berumur kira?kira delapan puluh tiga tahun." (PP, hlm. 301).

Dengan waktu cerita yang begitu panjang itu, PP seolah?olah menjadi semacam sintesis dari waktu cerita yang pernah digunakan dalam sejumlah novel Indonesia modern yang mengangkat latar sejarah sejak zaman awal pergerakan hingga masa orde baru. Setakat ini, PP merupakan novel Indonesia modern pertama yang mengambil waktu cerita yang begitu panjang.

Dengan demikian, peristiwa tahun 1900?an yang diangkat dalam PP, bolehlah dikatakan melengkapi ??dan sekaligus juga melanjutkan?? waktu cerita yang terdapat dalam novel Pramudya seolah?olah berlanjut pada waktu cerita dalam karya Mangunwijaya, terutama peristiwa di awal kemerdekaan sampai tahun 1967. Sangat kebetulan, Bagian III karya Mangunwijaya diawali tahun 1968. Sedangkan novel Umar Kayam berakhir pada tahun 1967.

Sementara itu, peristiwa zaman orde lama dan awal orde baru yang diangkat dalam PP, terkesan hendak melanjutkan dan melengkapi dua cerpen panjang Umar Kayam sendiri yang berjudul "Bawuk" dan "Musim Gugur Kembali di Connecticut" yang keduanya menceritakan penangkapan dan pembunuhan mereka yang terlibat PKI: Tokoh Hasan, suami Bawuk, tertembak mati. Bawuk sendiri tidak diketahui nasibnya ("Bawuk"); Tokoh Tono, bekas anggota HSI dan Lekra, dibawa aparat keamanan entah ke mana. Ia meninggalkan istrinya yang sedang mengandung ("Musim Gugur ..."). (Anak Tanahair, Ajip Rosidi)

Dalam PP, yang terlibat Lekra/PKI adalah Harimurti, anak tunggal Hardoyo. Waktu itu, ia berhubungan rapat dengan Gadis, nama samaran Retno Dumilah. Ketika geger PKI pecah, dan aparat keamanan sedang mengejar PKI dan para pengikutnya, Gadis lari entah ke mana. Sedangkan Harimurti, atas anjuran Lantip, menyerahkan diri. Belakangan, setelah Harimurti berhasil keluar dari penjara berkat campur tangan pamannya, Noegroho, Gadis diketahui sedang menjalani tahanan di penjara wanita. Ternyata, kekasih Harimurti itu sedang hamil besar. Ketika Lantip sedang mengusahakan pembebasannya ??juga lewat campur tangan Noegroho, Gadis meninggal bersama anak yang dikandungnya.

Dari cuplikan itu, tampaklah bahwa ada beberapa hal yang sejajar antara tokoh Harimurti??Gadis, Hasan??Bawuk, dan Tono dan istrinya. Dalam hal ini, tokoh Harimurti lebih dekat pada tokoh Bawuk ??hanya beda kelamin?? dan tokoh Tono. Harimurti yang berasal dari keluarga priayi, terlibat Lekra/PKI sesungguhnya bukan karena ia menyukai kehidupan politik; juga bukan karena ia ingin memperjuangkan komunisme, melainkan karena kecintaannya pada kesenian, di samping sifatnya yang peka terhadap kehidupan wong cilik. Keadaan itu kemudian tumbuh subur ketika hatinya tertambat pada Gadis, penyair Lekra yang dalam pandangan Harimurti sangat berbeda dengan wanita Jawa umumnya. Hal itulah yang lalu dimanfaatkan oleh orang?orang PKI. Jadi, keterlibatan Harimurti dalam kegiatan Lekra/PKI sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh kepiawaian PKI dalam menjerat orang?orang yang akan dijadikan kadernya.

Keadaan itu hampir sama dengan apa yang dialami Tono dalam "Musim Gugur Kembali di Connecticut". Keterlibatannya dalam Lekra bukan karena ia tertarik pada perjuangan PKI atau komunisme, melainkan lantaran Tono merasa, karya?karyanya, berbagai gagasannya, "lebih" dihargai di kalangan Lekra. Di dalam organisasi itu, ia mendapat saluran dan tempatnya sendiri.

Adapun keterlibatan Bawuk dalam kegiatan PKI, semata?mata karena merasa sebagai istri Hasan; istri dari ayah anak?anaknya, dan bukan sebagai istri seorang tokoh PKI. "Selama itu Bawuk selalu merasa pertama?tama kawin dengan seorang Hassan daripada dengan seorang komunis." ("Bawuk" hlm. 127). Komunisme yang telah menjadi bagian dari kehidupan suaminya, bagi Bawuk, merupakan "Sesuatu yang menempel pada diri suaminya itu telah menjadi semacam setan kecil yang sepenuhnya telah menguasai suaminya." ("Bawuk", hlm. 128). Sikap sebagai istri seorang manusia yang bernama Hassan itu pula yang menyeretnya ikut dalam berbagai kegiatan yang dilakukan suaminya.

Begitulah, bahwa peristiwa yang terjadi di seputar diri tokoh Harimurti dalam PP dapat dikatakan "melengkapi" atau sekaligus juga "melanjutkan" apa yang terjadi dalam "Bawuk" dan "Musim Gugur Kembali di Connecticut".

Dalam konteks novel Indonesia yang mengangkat peristiwa sekitar tahun 1960?an itu, PP ??terutama gambaran keterlibatan tokoh Harimurti?? tampak pula mempunyai kesejajaran dengan tokoh Ardi dalam Anak Tanah Air (1975) karya Ajip Rosidi. Keterlibatan tokoh Ardi maupun Harimurti dalam kegiatan Lekra, bukan karena ketertarikan mereka terhadap ideologi marxis atau komunis, melainkan oleh banyak faktor yang memungkinkan muslihat kader PKI mendapat tempat yang subur dalam diri kedua tokoh itu.

Keadaan serupa juga terungkapkan dalam novel Kubah (1980) karya Ahmad Tohari. Tokoh Karman masuk sebagai kader PKI lebih disebabkan oleh cara kerja PKI yang berhasil mengeksploitasi kekecewaan yang dialami Karman. Dalam kadar lebih bersahaja, adalah keterlibatan tokoh Srintil dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982; 1985; 1986), karya Ahmad Tohari.

Citra Priayi Jawa

Menarik juga menempatkan PP dalam konteks novel Indonesia yang mengangkat kehidupan tokoh (keluarga) Jawa. Dalam hal ini, Umar Kayam tampaknya sengaja hendak mempertegas kembali persoalan yang pernah disinggung Sutomo Djauhar Arifin (Andang Teruna, 1941), Arswendo Atmowiloto (Canting, 1986), dan, boleh juga dimasukkan, Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem, 1984) serta "Sri Sumarah" karya Umar Kayam sendiri. Karya?karya itu dipandang banyak kritikus "mewakili" citra manusia (wanita) Jawa.

Dalam konteks itu PP tampaknya punya nilai lebih, baik menyangkut idiom?idiom kejawaannya, maupun dalam menampilkan sosok petani, priayi ataupun wanita Jawanya. PP tidak hanya terasa lebih filosofis dan sosiologis. Kejawaannya itu sendiri menjadi sangat logis dan wajar, karena filsafat Jawa yang banyak merujuk pada simbol?simbol dunia pewayangan, serta karya sastra adiluhung yang dihasilkan para pujangga keraton, berhasil rapi diselusupkan ke dalam dialog maupun lakuan para tokohnya. Ia menyatu sebagai unsur intrinsik dan tidak sekadar sebagai amanat an sich. Yang muncul ke permukaan laksana "potret" masyarakat (manusia) Jawa dengan suasana dan berbagai ungkapan kejawaannya.

Berkaitan dengan hal itu, yang tampak dalam PP adalah sebuah kehidupan priayi yang menempatkan pandangan hidup kejawaannya sebagai bagian dari perilaku sehari?hari. Oleh karena itu pula, gambaran tokoh Sastrodarsono dan istrinya, Siti Aisah ??Ngaisah menurut lidah suaminya??, tidak sama dengan keluarga Hartasanjaya dan Adikusuma (Andang Teruna), Pak Bei dan Bu Bei ??Ngabehi Sestrokusuma dan Tuginem?? (Canting), maupun Cokro Sentono dan Pariyem (Pengakuan Pariyem).

Tokoh Sastrodarsono dan Ngaisah, memang menjadi pusat orientasi dan tempat "pengaduan" bagi putra?putrinya, tetapi mereka juga tampil sebagai tokoh 'demokrat' yang dapat diajak berdiskusi dan bercengkerama. Ketika Soemini, putri tunggal keluarga Sastrodarsono, dilamar oleh keluarga Soemodiwongso untuk anaknya yang bernama Raden Harjono Cokrokoesoemo, Sastrodarsono dan istrinya, berembuk dahulu dengan anak?anaknya yang lain, termasuk Soemini sendiri. Padahal sebagai orang tua, mereka dapat saja memutuskan lamaran itu. Perhatikan kutipan di bawah ini:

"Anak?anak, ini begini. Hari ini datang surat lamaran dari pamanmu Soemodiwongso di Soemoroto yang ingin minta Soemini jadi menantunya. Karena orang tuamu ini bukan priayi kuno kami mengumpulkan kalian, terutama genduk Mini untuk kami tanya pendapat kalian." (PP, hlm. 76).

Lalu bagaimana hasil keputusan "rapat" keluarga itu? Perhatikan kutipan berikutnya ini :

"Priye, Nduk. Kamu rak ya sudah sreg to dengan kamas?mu Raden Harjono? Kalau menurut wawasan bapak?ibu kalian berdua itu sudah pas betul. Kamu anak perempuan priyayi yang terpelajar. Tamat HIS sebentar lagi. Bahasa Belandamu bagus. Calon suamimu tamatan OSVIA, sudah naik pangkat jadi asisten wedana. Ya, memang selisih umur kalian memang agak jauh sedikit. Tapi tidak apa, to, Nduk?"

Saya melihat anak?anak laki?laki saya pada tegang wajah mereka. Mungkin mereka kurang senang karena saya mulai menggiring jawaban Soemini. Tetapi, Soemini kelihatan tenang saja. Hanya diam. Tetapi, akhirnya dia angkat bicara juga.

"Begini ya, Bapak, Ibu dan Mas?mas. Saya menerima lamaran ini..."
"Naa, rak ya begitu to, Nduuk, Nduk. Saya kira kamu itu mau menolak atau ngambek."
"Tunggu dulu Pak. Saya terima lamaran, tetapi ada tetapinya,"
"Elho!"
"Saya punya permintaan sedikit kepada Bapak, Ibu, dan Mas?mas. Tetapi terutama kepada Kamas Harjono.

"Alah, Nduuk,Nduk. Anggepmu itu Woro Sembodro apa? Mau dikawin Arjuno yang sudah tidak kurang apa?apa masih mau minta gamelan surga."

"Biar dia selesai dulu to, Paak. Kita dengar saja dulu apa maunya anakmu itu."<$F8Kalimat ini dikatakaan oleh istri Sastrodarsono, Siti Aisah. Dari sini saja, kita dapat melihat bahwa saling menghargai pendapat masing?masing anggota keluarga itu, mendapat tempat yang proposional dalam keluarga priyayi itu. Dalam hal ini, baik Sastrodarsono maupun Siti Aisah, sama sekali tidak pernah bertindak otoriter.

Soemini tersenyum aneh karena matanya mengeluarkan sinar yang lucu.

"Saya mau sekolah dulu di Van Deventer School. Selesai itu baru saya bersedia jadi istri Kamas Harjono." Aduh, pan depenter skul! Itu berarti dua sampai tiga tahun dia sekolah lagi. Terus bagaimana calon suaminya itu? Kalau dia tidak sabar menunggu bisa ditinggal anak saya. Sia?sia saja persiapan yang begitu lama kami lakukan. Belum lagi menutup rasa malu kepada keluarga Soemodiwongso yang begitu baik. Dan mencari lagi calon menantu seperti Raden Harjono itu apa akan mudah? Calon yang baik pendidikan, latar belakang keluarga, pangkat maupun rupa, serba memenuhi syarat. Apakah peruntungan begitu akan bisa datang lagi dalam waktu yang begitu dekat? (PP, hlm. 77??78).

Usul Soemini itu didukung pula oleh kakak?kakaknya. Ternyata, gagasan itu tidak membuat Sastrodarsono tersinggung. Ia dan istrinya kemudian dapat menerima usul Soemini yang akan menjelaskan duduk persoalannya secara baik?baik kepada calon suaminya.

Di bagian lain, dalam hal yang menyangkut masalah?masalah yang prinsipil, kedua suami?istri itu juga dapat bertindak tegas. Jadi, dalam hal menentukan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan anggota keluarga, mereka dapat bersikap demokratis, toleran, menghargai pandangan yang berbeda, tetapi juga dapat bersikap tegas. Apa yang dialami Soenandar, keponakannya yang ikut dan disekolahkan keluarga itu, misalnya, merupakan contoh, betapa Sastrodarsono dapat pula bertindak tegas. Petama, ketika Soenandar diketahui mencuri uang teman sekolahnya, ia dihajar ??setelah beberapa kali dinasihati?? dengan pukulan rotan. Sastrodarsono juga berusaha agar keponakannya itu dikeluarkan dari sekolahnya.

Kedua, Sastrodarsono terpaksa mengeluarkan keponakannya itu dari sekolah karena Soenandar diketahui mencuri lagi untuk kali yang kedua. Belakangan diketahui, Soenandar adalah ayah Lantip. Soenandar yang waktu itu dipercayai mengurus sebuah sekolah tidak resmi, ternyata kemudian menghamili Ngadiyem. Setelah kandungan Ngadiyem mulai membesar ia kabur secara tidak bertanggung jawab. Ketika Soenandar bersama beberapa temannya usai melakukan perampokan, ia tewas tertembak. Adapun Ngadiyem, walaupun belum sempat dikawini secara resmi oleh Soenandar, Ngadiyem tetap membesarkan kandungannya hingga lahir Wage. Ini yang menjadi salah satu alasan Sastrodarsono memungut Wage dan menyekolahkannya. Sejak itu, nama Wage diganti menjadi Lantip.

Dari gambaran yang diperlihatkan keluarga Sastrodarsono, terungkaplah bahwa kepriayian bukanlah soal status semata?mata. Ia juga menyangkut soal laku; tindakan dan peran kepriayiannya itu sendiri. Masalahnya, bahwa orang cenderung terpaku pada simbol atau status kepriayian an sich, dan bukan pada laku dan perannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam PP, terungkap bahwa Sastrodarsono sebenarnya masih berdarah petani. Ia menjadi priayi karena pendidikannya yang memungkinkan status dan derajatnya naik,dan kepriyayiannya diekspresikan melalui sikap dan tindakannya yang terpuji yang membuatnya mampu mempertahankan kepriayiannya. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh tokoh Lantip. Ibunya, Ngadiyem, penjaja tempe yang kere dan melarat. Ayahnya yang kabur sebelum mengawini Ngadiyem, tewas sebagai seorang perampok. Tetapi Lantip sendiri yang sadar akan harkat dirinya, nyatanya berhasil menjadi sarjana ilmu sosial politik dan kemudian menjadi dosen di almamaternya.

Di samping soal pendidikan ikut menentukan kepriayian seseorang, juga kesanggupannya mengejawantahkan status kepriayian itu dalam kehidupan, terutama mempertanggungjawabkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka, "...semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting... semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. Dan ... perjalanan mengabdi masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada habisnya." (PP, hlm. 305??307).

Demikianlah, dinasti Sastrodarsono tampil laksana potret sebuah keluarga priayi Jawa. Dengan kesadaran kepriayiannya, mereka menghayati dan menjunjung nilai?nilai kepriayiannya serta mengejawantahkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih daripada itu, saratnya novel PP dengan filsafat Jawa dan simbol?simbol dunia pewayangan, serta sejumlah ungkapan yang khas mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, menjadikan novel ini sangat bersuasana Jawa; sangat menjawa. Bagaimana misalnya, penjelasan tentang lakon Partokromo (Perkawinan Arjuna) atau Sumantri Ngenger (Penghambaan Sumantri), di samping penjelasan Serat Wedhatama dan Serat Wulangreh ??di antaranya, dapat mengalir begitu saja tanpa ada kesan menggurui. Perhatikanlah beberepa penggal kutipan di bawah ini:

"Anak?anak, kalian masih ingat bukan pada waktu kalian berkumpul di sini dan saya minta Lantip menembang Wedhatama dan Wulangreh? Kemudian saya menjanjikan pada satu waktu untuk juga bersama?sama mendengarkan Tripama? Nah, inilah saat itu."

"Tripama ini saya pandang sekarang tepat sekali untk saya sampaikan kepada kalian. Buat kau Noegroho karena kau sudah menjadi prajurit, buat kau Hardojo karena kau sudah menjadi priyayi Mangkunegaran, dan buat Nakmas Harjono karena kau sudah naik pangkat di Karesidenan Madiun."

"Meskipun Tripama ini kelihatannya hanya ditujukan untuk para prajurit, sesungguhnya juga dimaksudkan untuk para priyayi semua. Inti dari wejangan ini adalah kesetiaan kepada raja dan negara. Kita semua diingatkan untuk meniru sikap setia dari tiga tokoh dalam wayang, yaitu Sumantri, Karna, dan Kumbakarna. Meskipun sifat kesetiaan mereka berbeda, namun intinya sama, yaitu kesetiaan sebagai tanda tahu membalas budi kepada raja dan negara."

Hardojo kemudian langsung memberikan pendapatnya.

"Tetapi, Bapak, kesetiaan dari orang semacam Sumantri itu menggelisahkan saya."
"Lho, sebabnya apa, Le?"
"Sumantri, bagi saya, bukan contoh seorang priyayi dan satria yang baik. Dia adalah justru contoh seorang priyayi yang tidak lengkap kekesatriaannya."
"Wah, Mas Hardojo kok jadi galak sekali lho."

"Lho, ya tidak, to, Mini. Saya hanya ingin memahami tokoh itu saja. Sumantri dalam mengejar cita?citanya untuk menjadi priyayi kerajaan Maespati begitu bernafsu hingga tega mengorbankan adiknya. Dan waktu dia sudah menyelesaikan tugas menaklukkan seribu negara dan memboyong putra?putrinya, dia masih mau menantang rajanya. Mau mencoba kehebatan rajanya. Alangkah congkak prajurit semacam itu. Memang dia akhirnya mati dalam membela rajanya, tetapi kesetiaannya itu kesetiaan yang bergelimang cacat."

"Bagus, Yok. Mungkin saya belum bercerita kepada kalian, ya? Waktu saya dulu dikawinkan dengan ibumu, kami disumbang pertunjukan wayang kulit eyangmu Seten Kedungsimo. Lakonnya ya itu. Sumantri Ngenger. Romo Seten memilih lakon itu sebagai sangu saya menjadi priyayi."

"Tetapi, mengapa Kanjeng Gusti Mangkunegara IV memilih Sumantri sebagai contoh? Yang pertama lagi."

"Saya kira karena keberaniannya berperang melawan Rahwana hingga dia gugur. Kemudian Karna diambil sebagai contoh karena dia berani memilih berpihak kepada Kurawa yang jahat." (PP, hlm. 185??186).

Selanjutnya, penjelasan tentang perang Baratayuda disampaikan Sastrodarsono kepada anak?anaknya dalam bentuk semacam diskusi yang lalu dihubungkan pula dengan konsep harakiri dan seppuku serta semangat bushido para samurai. Pembicaraan tersebut memang relevan dengan apa yang terjadi dalam diri Noegroho yang waktu itu memilih masuk menjadi tentara Peta dan ditugaskan sebagai Chudancho. Sesungguhnya, secara tersirat, Sastrodarsono hendak menekankan kepada Noegroho ??yang menjadi prajurit satu?satunya dalam dinasti keluarga Sastrodarsono?? bahwa kesetiaan dan pengabdiannya bukan kepada pemerintah Jepang, melainkan kepada bangsa dan negara Indonesia. Dengan cara mengambil simbol?simbol dari dunia pewayangan itulah, nasihat Sastrodarsono sama sekali tidak mengesankan sebagai menggurui. Ia sadar, bahwa anak?anaknya sudah dewasa, sudah dapat memilih sendiri yang baik dan benar dalam menjalani kehidupan ini. Tinjauan mendalam aspek sosiologis novel PP telah dilakukan Daniel Dhakidae, "Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel "PP" (Kompas, 10??11 Juli 1992).

Dengan demikian, berbagai ungkapan maupun cerita yang sebenarnya bermakna filosofis itu, sama sekali tidak menyerupai fatwa atau propaganda filsafat. Ia tampak meluncur begitu saja, tanpa beban, tanpa pemaksaan.

Bentuk Penceritaan

Bentuk penceritaan di dalam novel atau cerita rekaan lainnya, secara umum terdiri atas pencerita akuan (first person narrator) dan pencerita diaan (third person narrator). Pencerita akuan juga terdiri atas dua pencerita, yaitu pencerita akuan sertaan (first person participant) dan pencerita akuan tak sertaan (first person non?participant). Halnya sama dengan pencerita akuan, pencerita diaan juga terdiri atas dua pencerita, yaitu pencerita diaan semestaan (third person omniscient narrator) dan pencerita diaan amatan atau terbatas (third person observer narrator).>

Secara keseluruhan, PP menggunakan bentuk pencerita orang pertama; pencerita akuan (first person narrator). Seperti telah disebutkan, novel ini dibangun lewat cerita yang disampaikan oleh sedikitnya delapan pencerita. Dikatakan demikian karena ada tokoh lain, di antaranya, Pakde Soeto, Paman Lantip, juga bertindak sebagai pencerita ketika ia menjelaskan riwayat Soenandar, ayah Lantip (hlm. 116??118).

Ketika mereka bercerita, semuanya menggunakan bentuk orang pertama, Saya. Hanya ada yang sekaligus terlibat di dalam cerita (akuan sertaan), ada juga yang tidak terlibat (akuan tak sertaan).

Bentuk pencerita akuan itu sendiri sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam perjalanan novel Indonesia modern. Mengenai hal ini, kita dapat menyebut Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) karya Hamka, Atheis (1949) karya Achdiat Karta Mihardja, Gairah untuk Hidup dan Untuk Mati (1968) karya Nasjah Djamin, Burung?Burung Manyar (1981) karya Mangunwijaya, Pada Sebuah Kapal (1973) dan sebagian besar karya Nh. Dini, atau Rafilus (1988) karya Budi Darma ??sekedar menyebut beberapa di antaranya.

Sudah banyak buku yang membicarakan masalah ini. Yang cukup lengkap antara lain, diungkapkan oleh Norman Friedman (1975), Percy Lubbock (1965), atau Jonathan Raban (1968). Lihat juga Anwar Ridwan (1985), Panuti Sudjiman (1988) dan Th. Sri Rahayu Prihatmi (1990).

Di antara novel?novel tersebut, cara penyampaian ceritanya ada yang melalui bentuk surat atau catatan harian atau semacam otobiografi. Dalam Burung?Burung Manyar secara taat asas bentuk penceritaan ganti berganti dari pencerita akuan ke pencerita diaan (third person narrator). Sedangkan dalam Rafilus karya Budi Darma, mengingat bentuknya yang inkonvensional, sesungguhnya kurang begitu tepat diperbandingkan dengan PP. Akan tetapi, cara penyampaian cerita oleh si pencerita tokoh saya, pola pergantiannya mempunyai kesejajaran dengan pola pergantian penceritaan dalam PP. Jadi, dalam konteks ini, saya mengandaikan bahwa Rafilus masih dalam bentuk yang konvensional. Walaupun ada juga bentuk surat, disampaikan dengan cara yang lain; perubahan dari bentuk penceritaan menjadi pernyataan. Oleh karena itu, bentuk surat yang ada dalam Rafilus sering malah menjadi bagian dari cerita si pembaca surat atau menjadi pernyataan si tokoh pencerita.

Dalam hal tersebut di atas, pencerita akuan dalam PP tampak menyerupai pola yang digunakan Nh. Dini dalam Pada Sebuah Kapal. Sedangkan cara pergantian pencerita yang saling melanjutkan ??dan sekaligus juga melengkapi?? memperlihatkan adanya kesejajaran dengan Burung?Burung Manyar ??jika, misalnya, tokoh Larasati juga bercerita tentang dirinya sendiri dalam bentuk akuan??, serta Rafilus ??dalam bentuknya yang konvensional??. Pencerita akuan (saya) dalam Rafilus yang disampaikan lewat tokoh Tiwar ataupun Munandir, misalnya, berfungsi saling melengkapi, seperti juga fungsi pergantian pencerita dalam PP.

Demikianlah, bahwa pola penceritaan dalam PP cenderung sejajar dengan pola penceritaan dalam Pada Sebuah Kapal, Burung?Burung Manyar, dan Rafilus. Dengan demikian, PP ibarat novel konvensional "gaya baru"; model dan bentuknya yang lama, tetapi dalam kemasan yang baru. Justru dalam hal itulah, PP mempunyai nilai "kebaruan" yang berbeda dengan novel Indonesia modern lainnya.

Yang menarik dalam PP adalah bahwa pergantian pencerita itu ??seperti telah disebutkan?? saling melanjutkan dan saling melengkapi. Apa yang diceritakan Lantip, misalnya, dilengkapi dan dilanjutkan oleh tokoh Sastrodarsono, tetapi sekaligus di dalamnya, melengkapi dan melanjutkan.

Pada bagian yang berjudul "Wanagalih" (hlm. 1??8) dan "Lantip" (hlm. 9??28), misalnya, diceritakan perihal yang bersangkut paut dengan keadaan alam desa Wanagalih. Yang bertindak sebagai pencerita adalah Lantip yang sudah dewasa (hlm. 1??8). Bagian berikutnya, yang bercerita masih tokoh Lantip, tetapi menyangkut diri Lantip yang masih kanak?kanak hingga ikut keluarga Sastrodarsono.

Pada bagian berikutnya yang diberi judul "Sastrodarsono" diceritakan asal?usul keluarga Sastrodarsono sampai ia selesai sekolah dan memperoleh beslit guru bantu, kawin dengan Siti Aisah, membawa sanak familinya ??termasuk Lantip??, sampai anak?anaknya tumbuh dewasa dan berkeluarga. Tetapi, perihal siapa ayah Lantip yang sebenarnya, masih belum terungkapkan. Barulah melalui cerita Pakde Soeto, Lantip mengetahui ayahnya yang sebenarnya.

Begitulah secara keseluruhan pergantian bentuk pencerita dalam PP secara konsisten terus digunakan dalam keseluruhan novel ini. Dan semuanya pencerita itu menggunakan bentuk akuan (saya). Sebagai contoh, perhatikan kutipan berikut ini yang diambil dari bagian yang diberi judul "Para Istri" (hlm. 206??203) yang menampilkan tiga pencerita ??semuanya menggunakan bentuk saya?? yaitu Siti Aisah, Soemini, dan Sus, istri Noegroho.

Kami bertiga (Siti Aisah selaku pencerita, Sastrodarsono, dan Soemini: MSM) duduk dengan diam di ruang tengah hingga lebih dari seperempat jam. Hanya sedan?sedan yang tertahan dari Soemini saja yang terdengar. Akhirnya Soemini dapat memenangkan (sic!) hatinya dan menceriterakan keadaannya di Jakarta.

Sesungguhnya saya (cetak miring dari penulis: MSM) malu menceriterakan ini kepada Bapak dan Ibu. ... (Para Priyayi, hlm. 212?3).

Perhatikan juga kutipan di bawah ini:

Sus tidak segera menjawab. Tapi, saya (Siti Aisah: MSM) lihat air mukanya menjadi mendung untuk kemudian mulai menitikkan air mata.

"Lho, lho, ada apa Sus? Sabar, sabar dulu. Minum dulu kopi yang hangat ini. Nanti pelan?pelan ceritera."

Sus pelan?pelan menyeruput kopinya. Sesudah tenang dia mulai bercerita.

Marie tahun ini sudah dua puluh tujuh tahun umurnya. Kalau menurut adat kami dulu sudah sepantasnya dia kawin bahkan menggendong anak. ...

Sejak Toni gugur dulu kami, terutama saya (garis bawah: MSM, saya di sini adalah Sus yang bertindak sebagai pencerita) selalu diliputi perasaan takut satu ketika akan kehilangan anak lagi. Saya masih saja belum bisa melupakan keterkejutan serta kepedihan saya waktu ditinggal mati Toni. (PP, hlm. 223?224).

Kutipan?kutipan tersebut di atas memperlihatkan, bahwa pergantian pencerita saya sebagai Siti Aisah ke saya sebagai Soemini atau Sus, berlanjut begitu saja. Hanya saja, dalam setiap akan terjadi pergantian pencerita, selalu ada informasi yang mewartakan bahwa cerita berikutnya disampaikan tokoh lain. "Soemini dapat menenangkan hatinya dan menceriterakan keadaanya di Jakarta" atau "Sus pelan?pelan menyeruput kopinya. Sesudah tenang dia mulai bercerita," merupakan semacam isyarat bahwa pencerita akan diganti oleh pencerita tokoh berikutnya. Cara ini secara konsisten terus dipergunakan Umar Kayam dalam keseluruhan novel ini, sehingga kita masih dapat mengetahui siapa yang berikutnya bertindak sebagai pencerita.

Begitulah, tokoh?tokoh dalam PP yang bertindak sebagai pencerita, terus berlanjut ganti?berganti secara konsisten. Oleh karena yang digunakannya bentuk pencerita akuan (saya), maka secara efektif terasa lebih dekat pada model catatan biografis ??atau otobiografis?? dari masing?masing tokohnya. Dengan perkataan lain, terbentangnya perjalanan hidup keluarga priayi Sastrodarsono itupun, mulai dari kakeknya ??sebelum tahun 1910?an?? sampai cucunya ??tahun 1967?an??, mirip pula sebagai catatan (oto)biografis; salah satu cara untuk memperkuat fakta sejarah yang diangkat dalam novel ini.


Penutup

Dari berbagai hal yang telah diuraikan mengenai novel pertama Umar Kayam, PP itu, dapat kita tarik beberapa kesimpulan, antara lain, sebagai berikut:

PP masih tergolong sebagai novel konvensional dan tidak menampilkan bentuk inovasi yang radikal.

(2) PP dalam bentuknya yang konvensional itu ternyata mengundang sejumlah "kebaruan" yang sama sekali berbeda dengan novel?novel Indonesia sebelumnya. Kebaruannya menyangkut banyaknya tokoh yang bertindak sebagai pencerita akuan (saya), yang pada gilirannya membawa novel ini mempunyai lebih dari satu alur cerita. Dalam perjalanan sejarah novel Indonesia modern, PP termasuk satu?satunya novel Indonesia yang beralur banyak, setelah Hulubalang Raja dan Pada Sebuah Kapal yang beralur ganda.

(3) Dalam hal yang menyangkut waktu cerita, PP pun termasuk novel pertama yang waktu ceritanya meliputi rentang yang begitu panjang; sebelum tahun 1910?an hingga tahun 1967.

(4) Secara tematik, PP lebih mempertegas lagi persoalan citra tokoh (keluarga) Jawa yang pernah diangkat para pengarang Indonesia sebelumnya.

(5) Dalam konteks karya?karya Umar Kayam sendiri, PP seolah?olah hendak melanjutkan ??dan sekaligus juga melengkapi?? persoalan yang pernah digarapnya dalam "Sri Sumarah", "Bawuk", dan "Musim Gugur Kembali di Connecticut".

(6) Sebagai novel yang sangat bersuasana Jawa dan sarat bermuatan dunia kejawaannya, PP dapat pula kiranya disebut sebagai "Grotta Azzura"?nya Jawa dalam bentuk dan kemasan yang lebih rapi, luwes, dan apik.

(7) Banyaknya makna tersirat dengan berbagai kompleksitasnya menempatkan PP tidak hanya kaya dengan makna?makna simbolik, tetapi juga dapat kita anggap sebagai novel yang matang yang digarap secara serius.

(8) Berbagai masalah lain yang belum terungkap, tentu masih terlalu banyak. Penelitian lebih lanjut dan mendalam terhadap PP, niscaya akan menguak kedalaman makna novel ini.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Sutomo Djauhar. 1941. Andang Teruna. Djakarta: Balai Pustaka.
Atmowiloto, Arswendo. 1986. Canting. Jakarta: Gramedia.
Buck, Pearl S. 1988. Bumi yang Subur. Terj. Gianny Buditjahja dan Iriana M. Susetyo. Jakarta: Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1992. "Album Besar Priayi Jawa," Tempo, 20 Juni.
Darma, Budi. 1988. Rafilus. Jakarta: Balai Pustaka.
Dhakidae, Daniel. 1992. "Kekuasaan dan Perlawanan Novel 'Para Priyayi,' Kompas, 10??11 Juli.
Dini, Nh. 1973. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Pustaka Jaya.
Djamin, Nasyah. 1968. Gairah untuk Hidup dan untuk Mati. Djakarta: Pustaka Jaya.
Friedman, Norman. 1975. Form and Meaning in Fiction. Athens: The University of Georgia Press.
Hafidz, Tatik S. 1992. "Tebu Sauyun Priyayi Jawa," Editor, No. 40, V,27 Juni.
Hamka. 1978. Di Bawah Lindungan Ka'bah. Jakarta: Bulan Bintang. Cetakan XIII; Cetakan I, 1938
Iskandar, Nur Sutan. 1961. Hulubalang Radja. Djakarta: Balai Pustaka. Cetakan IV; Cetakan I, 1934.
Kayam, Umar. 1986. Sri Sumarah. Jakarta: Pustaka Jaya. Cetakan I, 1975.
???. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Mahayana, Maman S. 1992. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo.
???. 1992. "Sintesis Priyayi Jawa," Suara Karya, 12 Juni
???. 1992. "Para Priyayi: Bukan Novel Esai," Media Indonesia, 12 Juli.
??. 1992. "Para Priyayi: Novel Konvensional 'Gaya Baru'" Surabaya Post, Minggu III, Juli.
???. 1992. "Citra Ideal Wanita Jawa," Suara Karya, Minggu IV, Agustus.
Mangunwijaya, Y.B. 1981. Burung?Burung Manyar. Jakarta: Djambatan.
Mihardja, Achdiat Karta. 1949. Atheis. Djakarta: Balai Pustaka.
Moeis, Abdul. 1950. Surapati. Djakarta: Balai Pustaka.
???. 1953. Robert Anak Surapati. Djakarta: Balai Pustaka.
Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1988. Dari Mochtar Lubis hingga Mangunwijaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Raban, Jonathan. 1976. The Technique of Modern Fiction. London: Edward Arnold.
Ridhwan, Anwar. 1985. Sudut Pandangan dalam Cereka. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rosidi, Ajip. 1975. Anak Tanah Air. Jakarta: Gramedia.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sudyarto, Sides. 1992. "Novel 'Para Priyayi' Karya Sastrawan Ilmuwan Umar Kayam," Media Indonesia, 19 Juni.
Sundari, Siti, dkk. Sri Sumarah: Antara Cahaya dan Pelita. Yogyakarta: Humanitas.
Suryadi, Linus. 1984. Pengakuan Pariyem. Jakarta: Sinar Harapan.
Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.
???. 1990. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya
Toer, Pramudya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
???. 1980. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
---. 1981. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.
----. 1981. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.
Tohari, Ahmad. 1980. Kubah. Jakarta: Pustaka Jaya.
???. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.

Inspirator Maya Angelou

Dwi Fitria
http://jurnalnasional.com/

Di Amerika, Maya Angelou dikenal lewat buku-buku semi-autobiografinya semisal I Know Why the Caged Bird Sings. Lewat perjalanan hidupnya yang inspiratif, ia menjadi contoh positif bagi para perempuan Amerika di sana. Angelou memperlihatkan bagaimana dengan karakter, konsistensi, dan kerja keras, seorang perempuan dapat meraih kesuksesan.

Selain seorang penulis, ada banyak predikat lain yang bisa disandangkan kepada perempuan yang terlahir dengan nama asli Marguerite Johnson ini. Sebelum dikenal lewat buku-bukunya yang kerap mengangkat permasalah yang dihadapi para perempuan kulit hitam, I Know Why the Caged Bird Sings atau Gather Together in My Name, Angelou sudah terlebih dahulu merambah dunia seni sebagai seorang penari. Selain itu ia juga dikenal sebagai seorang aktivis perempuan.

Marguerite Johnson dilahirkan di St Louis, Missouri pada 4 April 1928. Masa kecilnya tak bahagia. Ia tinggal berpindah-pindah dari rumah ibunya di Arkansas dan rumah neneknya di Missouri.

Saat berusia delapan tahun, ia diperkosa oleh pacar ibunya. Pacar ibunya ini kemudian dibunuh oleh paman Angelou. Kejadian ini meninggalkan trauma bagi Angelou, hingga enam tahun kemudian Angelou mejadi bisu. Angelou merasa karena ia mengatakan yang sebenarnya, maka terjadilah pembunuhan itu.

Masa remaja ia habiskan sebagai seorang penari. Angelou yang kurang pandai bergaul, terisolasi dan memfokuskan dirinya pada eksperimentasi tariannya. Pada usia 16 tahun Angelou melahirkan seorang anak laki yang ia namai Guy.

Setelah melahirkan ia mendapatkan kesempatan untuk berkeliling Eropa karena bermain dalam sebuah drama musikal Porgy and Bess. Pada 1960 ia kembali ke New York, saat itulah ia bergabung dengan Harlem Writers Guild dan kemudian menjadi seorang aktivis.

Angelou kemudian sempat tinggal di Ghana selama beberapa waktu. Ia bekerja sebagai seorang editor untuk sebuah majalah African Review. Di sinilah ia mulai memandang kehidupannya, kepenulisannya juga perannya sebagai seorang aktivis dengan lebih serius.

Ia kemudian menulis lima volume buku semi-autobiografi yang kelak melambungkan namanya sebagai seorang penulis. Dimulai dengan I Know Why the Caged Bird Sings pada 1970. Memoar itu memuat masa-masa paling berat dalam kehidupannya. Tanpa disangka buku ini meraih sukses besar.

Buku-buku selanjutnya berjudul All God’s Children Need Traveling Shoes (1986), My Painted House, My Friendly Chicken and Me (1994). Angelou juga menerbitkan beberapa kumpulan puisi. Di antaranya And Still I Rise (1987), Complete Collected Poems of Maya Angelou (1995). Salah satu buku kumpulan puisinya Just Give Me a Cool Drink of Water ‘Fore I Die (1971) membuatnya masuk nominasi penghargaan sastra bergengsi Amerika, Pulitzer.

Pada 1993, Angelou membaca On the Pulse of Morning di acara pengangkatan Bill Clinton, sebuah puisi yang ditulis khusus atas permintaan Clinton. Dalam sejarah Amerika, Angelou adalah penyair kedua yang diminta untuk membacakan puisi dalam sebuah upacara pengangkatan presiden. Sebelumnya Robert Frost pernah diminta untuk membacakan puisi saat penobatan Presiden John F Kennedy.

Pada 2006 lalu, Angelou menyatakan kesediaannya menjadi pembawa acara tetap di sebuah radio milik jaringan media Oprah Winfrey yang juga sahabat dekatnya. Saat ini, ia juga mengajar Wake Forest Universitu di North Carolina di mana ia menjabat Professor of American Studies seumur hidup.

9 Pertanyaan untuk Marco Kusuma Widjaja: Memahami Seni Secara Luas

Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/

DIKENAL sebagai arsitek dan ahli tata kota, namun dua tahun silam Marco Kusuma Widjaja terpilih menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pro dan kontra mengiringi terpilihnya putera Pangkal Pinang ini, bahkan dua orang anggota DKJ memilih untuk mengundurkan diri.

Perdebatan berlarut-larut mengenai dirinya tak membuat Marco berkecil hati. Rumor yang mengatakan bahwa ia titipan dari komunitas tertentu dijawab dengan senyum dan lapang dada. "Yang penting bukan dari mana saya berasal, tetapi ke mana saya melangkah," katanya meyakinkan. Berikut petikan obrolan Marco dengan Jurnal Nasional di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

1. Selama dua tahun duduk sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), apa target yang Anda inginkan sudah tercapai?

Saya tidak memiliki target. Target yang ingin dicapai merupakan target kolektif dari anggota DKJ yang berjumlah 23 orang, mereka bukan anak buah saya tetapi rekan sejawat. Mengenai target tersebut tentu saya akan menjawab masih banyak yang harus dilakukan.

Saya rasa kita memang tidak boleh cepat berpuas diri. Apalagi dengan kondisi negara yang sedang carut marut. Tetapi, saya cukup senang karena selama dua tahun ini kami sudah melakukan beberapa perubahan yang cukup signifikan.

2. Perubahan apa yang Anda maksud?

Kami menetapkan kode etik yang berlaku yakni para anggota DKJ tidak boleh memakai panggung dan fasilitas DKJ untuk memanggungkan karya seni. Kami hanya boleh terlibat sebagai steering committe tidak boleh menjadi panitia pelaksana karena kita adalah tuan rumah, sebaliknya seharusnya kita harus mengundang seniman lain untuk terlibat.

Memilih untuk "menyewa" profesional untuk menangani semua proyek. Misalnya saja Kencan Tari ada empat program officer, setiap kegiatan kami akan merekrut proyek officer yang bekerja hanya untuk proyek itu. Sehingga, staf kami berfungsi sebagai penghubung. Ini berat juga bagi kawan-kawan anggota karena mereka tidak dibayar sebagai panitia.

3. Hal apa yang belum terselesaikan?

Yang belum selesai adalah memisahkan antara dewan dan manajemen. Ketua dewan tidak seharusnya mengurusi masalah tetek bengek sehari-hari. Tentu maksudnya bukan untuk mendewakan anggota DKJ, tetapi supaya tencipta jarak sehingga ada self-critic dan evaluasi.

Ujungnya sebetulnya membangun manajemen organisasi DKJ yang modern. Organisasi yang menggunakan uang rakyat secara terbuka dan dikelola secara benar dengan harapan di masa datang DKJ juga didukung oleh banyak orang.

Hal itu pernah dicoba pada jaman Ramadhan KH. Ia merupakan mantan anggota DKJ yang duduk sebagai direktur eksekutif serta menjalankan tugas sehari-hari. Sistem manajemen seperti itu yang ingin kami laksanakan.

Hal lain yang harus dilakukan adalah perubahan sumber dana DKJ dari APBD menjadi dana endowment atau hibah. APBD itu berarti tiap tahun harus mengajukan dan kami harus dag dig dug, sementara kalau dana endowment, berarti sudah dianggarkan tiap tahun sehingga bisa terjamin.

Rencana tersebut belum terselesaikan karena memerlukan konsensus banyak pihak. Kesadaran hidup di negara dunia ketiga, di mana kesenian harus "bersaing" dengan banyak bidang membuat rencana ini terhambat. Kami juga sadar diri kalau pemerintah harus mengutamakan bidang kesehatan dan pendidikan. Untuk itu kita harus lebih menggalang dana masyarakat yang bisa kita gali dari para pecinta seni. Sementara kalau hanya mengandalkan APBD yang notabene dana bersama berarti kita harus mau berbagi dengan bidang-bidang lain.

4. Apa sebenarnya fungsi DKJ bagi dunia kesenian Tanah Air?

Pada awal kemunculannya, TIM merupakan satu-satunya pusat kebudayaan di Indonesia. Seiring berjalannya waktu bermunculan pusat-pusat kebudayaan, sehingga DKJ sebagai salah satu elemen TIM harus berbagi peran dengan pusat kebudayaan tersebut. Untuk itu DKJ memilih untuk menjalankan fungsi yang tidak dilakukan pusat kebudayaan lain misalnya saja pembibitan seniman-seniman muda. Pembibitan itu kami lakukan melalui beberapa cara misalnya menyelenggarakan Sayembara Novel DKJ.

Mungkin hadiah yang dijanjikan tidak sebesar sayembara serupa seperti Khatulistiwa Literary Award. Tetapi sayembara lain kan hanya mau mengakomodasi para penulis yang sudah jadi, sementara DKJ melakukan investasi pada tingkat yang paling hulu. Terbukti sayembara DKJ telah melahirkan banyak penulis hebat seperti Ayu Utami. Memang tidak semua pemenang sayembara novel DKJ sefenomenal Ayu, namun setidaknya dengan memenangkan sayembara tersebut mereka jadi memiliki akses untuk menerbitkan karya-karyanya.

Dari ruang tari kami juga mengadakan Kencan Tari. Di mana kami mengundang selusin penari muda dari seluruh Indonesia, lalu dipertemukan dengan kritikus utama untuk menjadi fasilitator. Nanti para penari itu akan mempresentasikan konsep yang mereka miliki dan diskusikan bersama sebelas rekan serta fasilitator.

DKJ juga mencoba membangun ruang yang mempertemukan seniman dengan publik. Misalnya lewat Lampion Sastra atau pameran seni rupa Bienale yang akan dilaksanakan pada waktu dekat ini.

Kami juga memberikan ruang apresiasi bagi masyarakat untuk lebih akrab dengan kesenian. DKJ bekerja sama dengan LPPM untuk memberikan semacam kuliah pendek tentang seni kepada mahasiswa S2 manajemen. Selain itu DKJ juga menciptakan ruang pembangunan kelembagaan. DKJ membangun hubungan kerja yang lebih baik dengan lembaga-lembaga yang lain dan memperbaiki manajemen kami sendiri.

5. Bagaimana tanggapan Anda mengenai komentar miring bahwa DKJ sering membatalkan acara secara sepihak secara mendadak?

Komentar itu benar. Tetapi, tentu ada alasan mengapa kami terpaksa membatalkan acara, anggaran yang kacau menjadi biang keladinya. Untuk tahun ini saja kami baru mendapat kepastian jumlah anggaran bulan September. Nah, sebelum mendapatkan kepastian anggaran, kami terpaksa berspekulasi dalam merancang program. Mengurangi biaya operasional tentu tidak mungkin dilakukan, terpaksa kami melakukan penyesuaian anggaran kegiatan. Oleh karena itu, banyak kegiatan yang harus batal atau tertunda.

Karena anggaran yang belum jelas, selama tujuh bulan anggota kami tidak menerima gaji. Bahkan, kami terpaksa menggunakan uang pribadi untuk membayar gaji karyawan. Sebenarnya kami tidak keberatan jika dana diturunkan belakangan, asalkan ada kepastian jumlah.

6. Apa yang membuat Anda tertarik menjadi anggota DKJ?

Awalnya saya sama sekali tidak tertarik, seorang kawanlah yang merekomendasikan nama saya. Saya yang ketika itu masih bekerja di Aceh berpikir apa salahnya, toh cuma jadi anggota. Kemudian tak berapa lama teman saya itu menelepon lagi dan mengatakan, setiap anggota harus mau dipilih menjadi ketua. Saya pikir-pikir lagi, toh saya belum tentu terpilih jadi ketua.

Saya berpikir siapa tahu ilmu yang saya miliki dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia seni Tanah Air. Saya memiliki "sedikit" pengetahuan mengenai arsitektur, seperti yang kita ketahui pada jaman Renaissance disebut mother of art, sebab semua bidang seni itu menempel atau mengambil tempat di dalam arsitektur.

Mengenai latar belakang saya yang bukan seniman, saya rasa itu bukan masalah. Menjadi anggota DKJ bukan berarti harus seniman kan? Saya rasa kita harus memahami secara luas apa itu seni dan seniman.

7. Bagaimana dengan pro dan kontra seputar terpilihnya Anda sebagai Ketua?

Saya rasa pro dan kontra merupakan sesuatu yang wajar. Hal tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah proses demokrasi. Saya sangat menghargai pihak-pihak yang tidak setuju. Mungkin saya bukan sosok seniman besar seperti yang mereka harapkan. Itu sah-sah saja. Tetapi, sebagai pemangku amanat saya akan tetap menjalankan tanggung jawab yang telah dibebankan kepada saya.

Bagi saya kepercayaan merupakan sebuah modal penting untuk berbuat sesuatu. Lagi pula, kepemimpinan DKJ bersifat kolektif, di mana satu sama lain duduk sejajar. Sebagai Ketua saya hanya merangkum ke-25 energi dari masing-masing orang yang diarahkan mencapai tujuan bersama dan memastikan kalau energi yang tersalurkan ini berjalan dengan baik.

8. Tanggapan Anda mengenai kabar bahwa Anda merupakan "titipan" dari komunitas tertentu?

Saya adalah orang yang memegang prinsip, bukan dari mana saya berasal melainkan ke mana saya akan melangkah. Saya rasa tidak penting apakah seseorang itu titipan atau bukan, yang harus diperhatikan adalah apakah titipan itu disaring atau tidak.

Pemilihan anggota DKJ kali ini merupakan pemilihan yang paling demokratis, karena prosesnya terbuka dan diumumkan di dua koran nasional. Sejumlah 800 orang yang mendaftar dan didaftarkan disaring oleh tim yang diketuai Putu Wijaya. Dari 800 orang itu dipilih 30 orang yang kemudian diseleksi kembali oleh anggota Akademi Jakarta seperti Goenawan Mohammad, Rendra, Ajip Rosidi, NH Dini, Rosihan Anwar. Saya rasa seleksi dua tahap tersebut seharusnya dapat membuat semua pihak berbesar hati terhadap komposisi yang terpilih.

Saya rasa tidak masalah bila seseorang dekat dengan komunitas tertentu. Yang menjadi masalah adalah apabila dalam menjalankan tugasnya ia berat sebelah. Nah, untuk hal ini kami menerima untuk diawasi serta dikritik.

9. Seandainya Anda dicalonkan kembali apakah Anda sanggup?

Saya tidak percaya untuk menciptakan sesuatu yang baik harus diperpanjang hingga (periode) dua kali. Memang untuk memulai sesuatu yang baru selalu ada risiko buruk, tetapi bisa juga menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Apalagi dalam dunia kesenian yang mengalami perubahan dalam waktu cepat dibutuhkan orang-orang dengan pemikiran segar.

Olimpiade Sastra Siap Digelar

Ika Karlina Idris
http://jurnalnasional.com/

SELAMA ini olimpiade identik dengan mata pelajaran matematika dan sains. Olimpiade di bidang sastra? Tidak mustahil juga dilakukan. Apalagi, pada 2009, pemerintah berniat menggalakkan lagi pendidikan sastra di tingkat pendidikan dasar lewat olimpiade sastra.

“Kami siap menggelar olimpiade sastra sebagai penghargaan tertinggi bagi para siswa yang berminat dan mendalami sastra,” kata Direktur Pembinaan Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar (TK/SD), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Mudjito AK di Jakarta, kemarin.

Dikatakan, lewat kompetisi bidang sastra diharapkan akses anak anak untuk membaca buku sastra bisa lebih luas lagi. Kecakapan anak untuk membaca bisa terpacu karena dilatih dengan baik. Puncaknya, timbullah minat yang mengarah pada kebiasaan. Kondisi itu akan menumbuhkan budaya baru di kalangan muda Indonesia.

Menurut Mudjito, kini kompetisi yang tersedia untuk karya sastra terbatas pada lomba mengarang. Itu pun digabung di acara festival seni. Tidak berdiri sendiri. Diakui, lomba mengarang memang baik, tapi harus ditingkatkan dan ditambah variasinya. "Banyak karya sastra selain mengarang. Misalnya: puisi, lirik lagu, dan prosa," katanya.

Ia sadar, kurangnya minat siswa atas karya sastra lebih karena tidak tersedianya bahan bacaan karya sastra di sekitar mereka. Bahkan di perpustakaan sekolah pun amat sulit ditemukan buku selain buku teks pelajaran. "Dulu memang pernah diupayakan sumbangan buku dari orang tua. Aneh, kini saat semua orang minta pendidikan tanpa pungutan, justru sulit minta sumbangan buku dari orang tua," katanya.

Mudjito membentangkan fakta, sepanjang 2008 pemerintah pusat telah menyetujui dana Rp7,1 triliun untuk pengadaan buku perpustakaan dan alat-alat pelajaran. Namun, pada 2009, bantuan tersebut dialihkan untuk rehabilitasi gedung dan infrastruktur sekolah.

Dalam kaitan itu, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, meminta Depdiknas berhati-hati dalam penyelenggaraan olimpiade sastra. Tujuan, agar terhindar dari bentuk yang artifisial berupa penghafalan dan pengetahuan kesastraan. Bukan keterampilan membaca, memahami, mengapresiasi, dan mengungkapkannya lagi dalam bentuk lisan dan tulisan.

Menurut Maman, cara tersebut sebenarnya langkah efektif untuk mengembangkan kreativitas. Mereka dituntut memahami teks, menangkap makna konteksnya, dan merumuskan lagi dengan argumen sendiri. Dengan begitu, mereka sebenarnya juga sedang membiasakan diri berpikir kritis, tak gampang menjadi pembebek, serta tak mudah goyah oleh hasutan dan provokasi. “Mereka menerima apa pun secara kritis dengan memanfaatkan olah pikir. Bukan sekadar mengikuti perasaan,” katanya.

Yang tak kalah penting, menurut Maman, adalah peningkatan kemampuan guru bahasa Indonesia dan akses untuk mendapat buku-buku sastra bermutu. Jika tidak maka pengajaran sastra di sekolah tetap seperti di masa lalu: lebih menekankan penghapalan, bukan pada proses kreatif. “Jika guru bahasa dan sastra masih begini-begini saja, lebih baik kita tunda dulu. Karena hasilnya tidak akan optimal,” katanya.

19/12/08

Cheng Ho, Pejuang Risalah Islam yang Terkubur

Ibn Ghifarie
http://www.kabarindonesia.com

Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Chin [Cina] - (peribahasa)

RASANYA tak berlebihan bila petuah di atas mengingatkan kita untuk tetap berusaha mencari ilmu pengetahuan, sekalipun jauhnya ke negara Cina.

Menuntut ilmu merupakan satu kewajiban bagi umat Islam (hadis). Kehadiran Hari Raya Imlek layak pula kita jadikan momentum evaluasi secara bersama, mulai dari nilai dinamika keberagamaan (antar, intra) kita, sampai sistem pemerintah. Membicarakan perayaan masyarakat Tionghoa, khususnya di Indonesia, sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari sosok pejuang-gigih risalah Tuhan—yang mulai kita lupakan.

Adalah Laksamana Cheng Ho atau lebih dikenal dengan sederetan nama Cheng Ho, Hanyu Pinyin, Zhèng Hé (Wade-Giles), atau Haji Mahmud Sam Po Kong (1371 - 1435). Cheng Ho merupakan seorang kasim Muslim, pelaut sekaligus penjelajah Cina terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara 1405-1433, saat kaisar Tiongkok Yongle (berkuasa tahun 1403-1424) sebagai kaisar ketiga dari Dinasti Ming.

Ia berasal dari Provinsi Yunnan, bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, tapi beragama Islam. Kala pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan dijadikan orang kasim. Kali pertama Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (Hang Liu), dikirim oleh kaisar Tiongkok untuk menikah dengan Raja Malaka (Sultan Mansur Shah).

Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande pada 1426-1435) ke beberapa daerah dan negara di Asia dan Afrika, di antaranya Vietnam, Taiwan, Malaka/bagian dari Malaysia, Sumatra/bagian dari Indonesia, Jawa/bagian dari Indonesia, Sri Lanka, India bagian Selatan, Persia, Teluk Persia, Arab, Laut Merah, ke utara hingga Mesir, Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik (www.wirahma.com).

Dalam khazanah keislaman, kehadiran Cheng Ho di Indonesia telah memunculkan wacana baru studi keislaman Indonesia. Cheng Ho berperan besar dalam pergolakan politik kerajaan-kerajaan di Jawa.

Setidaknya, Cheng Ho berperan dalam membangun kerajaan Islam Demak pada tahun 1475, serta memiliki andil besar dalam keruntuhan Majapahit. Selama ini yang kita kenal kehadiran Islam di Indonesia biasanya dikaitkan dengan dua teori besar yakni teori Arab dan India. Literatur "padang sahara" mengatakan Islam masuk Indonesia langsung dari tanah Arab, tepatnya Hadramaut. Kali pertama teori ini dipopulerkan oleh Crawford--diikuti oleh sejarawan Indonesia seperti Mukti Ali dan Buya Hamka.

Sementara teori India (Gujarat) dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje (atau Abdul Ghofur). Prof. Dr. Abdul Jamil, Rektor IAIN Walisongo Semarang dalam Perayaan Festival Cheng Ho (2005) menuturkan, Cheng Ho berperan dalam proses panjang islamisasi di Nusantara, sekaligus persahabatan antarbangsa dan kerukunan masyarakat.

Menariknya lagi, misi misi utama pelayaran Cheng Ho adalah menjalin persahabatan. Jika ada aspek dakwah, hal itu harus dilihat dalam perspektif makro, tidak seperti model dakwahnya para Wali Songo yang menghasilkan banyak konversi agama.

Oleh karena itu, jika ada nuansa Islam dalam melaksanakan misi kenegaraan itu, pada hakikatnya merupakan hasil samping karena tanggung jawab seorang Muslim untuk berdakwah meski hanya satu ayat. Pendeknya, kalau memakai istilah sekarang, dakwah yang dijalankan oleh Cheng Ho adalah model dakwah bil hal, dakwah dengan contoh perilaku, karena yang dikembangkan merupakan inti untuk memperkuat kerukunan seperti juga yang menjadiinti ajaran agama Islam. (Republika, 5/8/2005)

Laksamana Cheng Ho meninggal pada 1435 dalam perjalanan pulang dari Afrika Timur ke Cina. Ia dimakamkan di Niushou, Nanking (Nanjing). Ia kemudian menjadi peletak dasar orang-orang Cina ikut "bermain" dalam pemerintahan di kerajaan-kerajaan Jawa. Cheng Ho dipercaya mengunjungi Majapahit pada 1406, setahun setelah pelayarannya dari Cina.

Di tengah keterpurukan bangsa dan maraknya konflik antarumat beragama, sebuah keharusan membumikan pesan-pesan luhur Sam Po Kong, saat tiba Hari Raya Imlek Cia Gwee Che It 1 Imlek 2259. Gong Xi Fa Cai ....!!

*) Mahasiswa Studi Agama-agama Fakultas Filsafat dan Teologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dan pegiat Khazanah Tionghoa.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita