28/11/08

Pram, Sastra Kiri dan Pembebasan

Firdaus Muhammad
http://www.lampungpost.com/

"KITA semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia." (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hlm. 325)

Pramoedya Ananta Toer (Pram), maestro sastra berideologi kiri, 6 Februari lalu genap berusia 80 tahun, usia cukup keramat. Ketajaman mata batin mengiringi energi kreatifnya hampir tak tertandingi sehingga dinobatkan sebagai empu sastra. Karya-karyanya cukup berenergi, meski dibungkam gagasannya selalu hidup dan banyak mengilhami aktivis-aktivis pergerakan kampus. Hal itu bukan sebuah kebetulan, sebab Pram memiliki kecintaan pada rakyat dan pada angkatan muda yang selalu tergambar dalam karyanya. Kecuali itu, kekuatan kepenulisan Pram tercermin pada kemampuannya memadukan antara sastra (fiksi) dan sejarah (realitas), tepatnya, ia mampu mengelaborasi, bahkan 'menghidupkan' tokoh atau pelaku sejarah dalam jeda waktu tertentu dalam sebuah teks fiksi. Kepiawaiannya menjinakkan teks realitas dan teks fiksi dirajut sedemikian eloknya sehingga sebuah realitas sejarah dapat dibaca dalam fiksi yang kuat.

Syahdan, baik juga menyatakan meski terkesan klise, bahwa Pram berada pada garda terdepan dalam lanskap penulis sastra Indonesia yang memiliki komitmen kuat atas masa depan bangsanya. Komitmen sosial yang demikian kuat itu mewarnai pilihan gaya sastranya yang beraliran kiri. Dalam ranah ini, ia kadang menampilkan tokoh dengan karakter antagonis-protagonis sehingga fiksi sebagai media eksplorasinya mampu membentuk persepsi, bahkan menghipnotis pembacanya untuk mengarungi sejarah Indonesia yang sesungguhnya.

Proses kreatifnya terekam dalam Menggelinding I yang merupakan buah pemikirannya ketika muda sebagai jejak proses panjang keberkaryaannya dalam rentang 1947--1956 dan masih suci dari beban ideologi tertentu. Stigmatisasi kiri kemudian ditahbiskan kepadanya pascaketerlibatannya di Lekra. Karya-karya Pram berhaluan revolusioner dan bersemangat dilahirkannya saat aktif sebagai seniman-sastrawan kiri dan bergeliat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dalam komunitas itu terlahir karyanya "Suatu Peristiwa di Banten Selatan" dengan menarik garis 'realisme sosialis' dan propaganda sekaligus. Pilihan berhaluan kiri (baca: anti-Orde Baru atau anti-Soeharto) itu pula yang menjebloskannya ke bui tanpa pengadilan tidak kurang dari 18 tahun dan diasingkan ke pulau Buru, Maluku. Hal itu dialaminya sebagai rekayasa politik rezim yang dilawannya. Di sana ia tetap berkarya yang sebagian karyanya itu hampir mencerminkan jalan hidupnya, Pram memang meyakini dalam konteks tertentu, karya sastra kadang juga menjadi biografi penulisnya. Secara tegas dalam pidato penerimaan hadiah Ramon Magsasay 1995, Pram melukiskan bukanlah suatu kebetulan bila penulis, tidak terkecuali dirinya, disebut oposan, pemberontak, bahkan revolusioner. Penulis sastra selalu membuat reevaluasi dan evaluasi di setiap bidang kehidupan, meski dilakukan dengan kebisuan teks saat berhadapan dengan realitas kekuasaan yang hegemonik dan otoriter.

Karya-karya fiksi Pram sarat dengan seruan pembebasan dengan dimensi sejarah yang menggugah, seperti dalam "Arus Balik", "Arok Dedes", dan "Mangir", membuktikannnya sebagai pembaca dan penafsir sejarah yang tekun dan setia disertai kemahiran bertutur kata yang lihai, tetapi fiksinya berhasil menyingkap semangat dari lembaran sejarah realitas sehingga racikan semangat inilah yang membuat sajian fiksinya melahirkan realitas baru, realitas susastra yang dilahirkannya dari rahim realitas sejarah yang autentik. Karenanya, kritikus sastra Keith Foulcher (1993:36) yang juga dilansir Ihsan Ali Fauzie, meyakininya memiliki niatan didaktis kuat, karena karya-karya Pram memiliki pandangan tertentu tentang sejarah Indonesia di luar yang lazim, yakni memiliki relevansi kuat dengan sejarah Indonesia modern maupun sebagai catatan sejarah masa lampau. Hal itu bukanlah sesuatu yang ganjil, sebab Pram terobsesi menulis sejarah dalam bentuk novel. Tampaknya, kesan itu didapatkan dalam karyanya, "Jejak Langkah".

Pram sebagai anak zaman penindasan melakoni dunia sastra secara sarkastis sepanjang Orde Baru berkuasa, rezim yang membungkamnya sekaligus membesarkan namanya sebagai sayap perlawanan dengan ideologi kirinya. Ia dipenjara tanpa diadili dan diasingkan selama puluhan tahun. Tak pelak di balik jeruji itulah Pram melanjutkan proses kreatifnya. Saat mendekam dibui ia melahirkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulis di Pulau Buru. Tindakan Pram menulis di Pulau Buru ini mirip dengan yang dilakukan pengarang Marxis Italia, Antonio Gramsci, yang dibui pada 1930-an.

Namun pascatumbangnya Orde Baru, Pram menghirup udara kebebasan, sang maestro pun turun gunung. Era reformasi menjadi era pembebasan bagi Pram, karyanya dipublikasikan. Buku-buku karya tokoh Lekra ini, kini dengan gampang dapat ditemukan. Misalnya, kwartet roman Pulau Buru, seperti Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Juga, buku-bukunya yang lain, seperti Arus Balik (1995), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Sang Pemula (1985), dan Gadis Pantai (1987). Buku-buku karya Pram itu ada yang masih baru, ada juga yang bekas. Hasta Mitra, sebagai penerbitnya, sengaja mengangkat sastrawan sosialis itu dengan menerbitkan ulang buku-bukunya, pada sampul tiap edisinya tertulis Edisi Pembebasan. Karya-karya lama Pram, seperti Di Tepi Kali Bekasi (1947), Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Percikan Revolusi (1950), Subuh (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Cerita dari Blora (1952), dan Korupsi (1954), juga dengan gampang ditemukan cetak ulangnya.

Padahal, buku-buku Pram, terutama roman-roman Pulau Buru-nya dulu dianggap berbahaya, dan yang menyimpan serta mengedarkannya bisa ditangkap. Misalnya, kasus yang menimpa tiga aktivis Yogyakarta, Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono, pada 1989. Ketiganya ditangkap dan dipenjarakan bertahun-tahun hanya karena kedapatan membawa buku Rumah Kaca. Keadaan itu kini agaknya sudah berbalik. Jangankan novel-novel Pram, buku-buku ajaran komunis dan marxisme saja kini bebas beredar. Bukan hanya di toko-toko kecil atau pasar-pasar buku bekas. Toko-toko buku besar pun sering menjualnya. Inilah masa pembebasan bagi karya-karya Pram yang dibungkam sekian lama, kini Pram hidup di ruang bebas dengan karya yang menyerukan pembebasan sejati.

Gayung bersambut, generasi Pramania menyoalisasikan ide-ide pembebasan Pram. Sebut misalnya, Pramoedya Institute sebagai lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan. Didirikan di Bandung, 24 Oktober 2003. Lembaga ini terbentuk, tergerak, serta bermuara demi dan hanya pada cita-cita kebudayaan semata. Penggunaan nama Pramoedya sebagai lembaga tidak menjadikan Pramoedya Institute bertujuan mengkultuskan sastrawan Pramoedya Ananta Toer secara individu. Tetapi patut dipermaklumkan, Pram tak pernah mengindahkan pujian dan nama baik sehingga ia tidak pernah terbebani dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya tanpa takut dicela sekalipun. Pram memang penulis sejati sebagai seorang berpikiran mandiri, individualis, dan sulit beradaptasi dengan dunia baru, ia hanya pengarang yang sunyi dan karenanya ia terbebaskan dan membebaskan.

-------
*)Koordinator Lingkar Kajian Komunitas AFKAR Circle Bandar Lampung.

Perjalanan Sang Penggagas Sastra Profetik

Abang Eddy Adriansyah
http://www.kabarindonesia.com/

KabarIndonesia - Satu minggu sebelum penyematan Anugerah Pena, penghargaan khusus FLP atas pengabdiannya di khazanah sastra Indonesia, Prof. Kuntowijoyo, cendekiawan dan sastrawan muslim itu dipanggil menghadap ke hadirat-Nya (23 Februari 2005). Almarhum meninggal setelah mengidap Meningo Encephalitis (radang selaput otak kecil) sepulang dari studi di negeri Belanda, sejak Januari 1992. Ia pamit dari hadapan khalayak pengagum yang selalu menunggu karya-karya cemerlangnya. Ia mangkat dari hadapan seniman, cendekiawan, tokoh-tokoh bangsa yang kerap menyerap ide dari kreativitas pemikirannya. Ia pergi, meninggalkan keluarga yang selama ini bersaksi atas ketekunan dan loyalitasnya membangun kemaslahatan hidup, melalui kolom, novel, jurnal, dan cerita-cerita pendeknya yang bernas.

Minat Prof. Kuntowijoyo terhadap dunia penulisan, khususnya sastra, terasah sejak usia dini. Di surau desa Ngawonggo, kecamatan Ceper, Klaten, di sela-sela kegiatan mengaji, ia belajar mendongeng dan deklamasi. Menurut Amien Wangsitalaja dalam artikel Kuntowijoyo Pelopor Sastra Profetik : Dari Surau di Klaten hingga Kampus UGM, ketika itu jarang orang mengetahui, bahwa di surau sederhana itu dua orang sastrawan nasional, M. Saribi Arifin (salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan) dan M. Yusmanam, ikut bergiat mengajari anak-anak dusun. Interaksi antara Pak Kunto - panggilan akrab Prof. Kuntowijoyo - dengan dua sastrawan tersebut, merupakan awal dari ketertarikan serta kecintaannya kepada dunia sastra.

Semasa kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM), bakat Pak Kunto berkembang sedemikian pesat. Setelah mendirikan wadah-wadah penggerak kegiatan seni budaya, seperti : LEKSI (Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam) dan Studi Group Mantika, karya-karyanya mulai diapresiasi luas. Cerita pendeknya Rumput-rumput Danau Bento dan Dilarang Mencintai Bunga-bunga, naskah lakonnya Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cardas dan Topeng Kayu, roman pertamanya Pasar, bahkan meraih berbagai penghargaan bergengsi.

***
Pasca kuliah, Pak Kunto lebih disibukkan oleh tugas-tugasnya sebagai salah seorang tenaga pengajar di almameternya : Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM. Untuk menopang kariernya sebagai staf edukatif, pada tahun 1973 Pak Kunto mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat. Beliau mendapat gelar MA dari University Of Connecticut (1974) dan PhD dari Columbia University (1980). Sekembalinya dari negeri Paman Sam, ia lebih banyak bergiat dalam kegiatan akademik, forum diskusi, dan berbagai studium generale. Praktis pada masa ini kegiatan bersastranya berkurang. "Sekitar dua puluh tahun (1973-1993) adalah masa "pensiun" saya dari bersastra."ucap beliau pada suatu kali. Memang di rentang waktu tersebut tak ada cerpen atau novel yang beliau hasilkan. Meskipun begitu, kata-kata "pensiun" yang beliau lontarkan itu bisa dianggap sekedar kelakar belaka. Karena justru pada masa-masa itulah ia menulis beberapa puisi, yang kelak diterbitkan oleh Gema Insani Press (1995) dengan tajuk Daun Makrifat Makrifat Daun. Menyusul kumpulan terdahulunya Suluk Awang Uwung (1975) dan Isyarat (1976).

Karena deraan penyakit yang diidapnya sepulang dari Negeri Kincir Angin, Belanda, Pak Kunto baru bisa berkarya kembali pada medio 1993. Cerita-cerita pendeknya kembali tertera pada halaman-halaman lembar seni budaya media cetak terkemuka. Setahun kemudian, kumpulan cerita pendeknya Dilarang Mencintai Bunga-bunga meraih Penghargaan Penulisan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Penghargaan demi penghargaanpun kemudian berturut-turut disematkan kepada Pak Kunto, seperti : Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995); Cerpen Terbaik KOMPAS (1995, 1996, 1997) untuk cerpen Laki-laki yang Kawin dengan Peri, Pistol Perdamaian, dan Anjing-anjing Menyerbu Kuburan; Asean Award On Cultural (1997); Satya Lencana Kebudayaan RI (1997); Mizan Award (1998); Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999); dan SEA Write Award (1999) dari Pemerintah Thailand.

Dalam kiprahnya sebagai sastrawan muslim yang taat, Pak Kunto dikenal sebagai pelopor genre sastra profetik. Satu konsep penulisan atau penggarapan karya sastrawi, yang dijiwai oleh prinsip-prinsip dan tradisi kerasulan. Konsep itu dibangun dari ide sastra pembebasan, sastra kemanusiaan -yang sebelumnya selalu bertentangan-, ditambah dengan ide sastra transendental yang disisipkan oleh beliau. Penggabungan ketiga konsep tersebut, memungkinkan sebuah teks sastra dapat bergerak diantara fungsi pemeliharaan hubungan vertikal (dengan Tuhan) dan penguatan hubungan horisontal (dengan sesama manusia). Dengan demikian, sebuah karya sastra berguna pula sebagai alat manusia untuk ber-amar ma'ruf, nahi munkar. "Manusia dituntut untuk ber-amar ma'ruf, nahi munkar. Amar ma'ruf itu memanusiakan manusia, nahi munkar itu membebaskan manusia, dan beriman kepada Tuhan itu transendental. Penjumlahan semua itu menurut Kuntowijoyo menjadi sastra profetik." menurut David Krisna Alka, dalam artikelnya Membangkitkan Kembali Sastra Profetik. Pertentangan antara kutub sastra yang universal-humanistik-emansipatoris-liberal dengan kutub sastra yang relijius-transendental-spiritual, termediasi dalam sastra profetik ini. Output yang diharapkan oleh Pak Kunto dengan pengguliran konsep tersebut adalah sebuah karya proporsional. Tidak terlalu membumi, sehingga manusia tersaputkan dari unsur-unsur ilahiah. Tidak terlalu melangit, sehingga manusia lupa bahwa ia bagian dari manusia lainnya. Sastra profetik, dengan begitu bermaksud merangsang pembacanya untuk selalu eling, selalu berada dalam garis keseimbangan hidup.

Sebagai sejarahwan atau intelektual muslim, Pak Kunto banyak menyumbangkan karya monumental. Beberapa karya tulis monumentalnya yang telah terbit dalam bentuk buku itu diantaranya adalah : Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991), Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), Radikalisme Petani (1993), Identitas Politik Umat Islam (1997), dan Islam Tanpa Masjid (2002). Dalam Islam Tanpa Masjid, Pak Kunto menyoroti sikap mental kaum intelektual Indonesia pasca reformsi, yang menunjukkan gejala degradasi. Menurut beliau, banyak cendekiawan terjebak dalam pikiran pragmatis, ramai-ramai memposisikan diri sebagai praktisi politik. Beliau berpendapat, janganlah kalangan intelektual telalu terpukau pada persoalan-persoalan politik belaka. Karena proses pendidikan, meskipun memakan waktu lama, hasil akhirnya kelak akan sangat luar biasa. "Banyak orang pintar yang dahulu menjadi alat bantu pembentukan ideologi sebuah rezim, kini tanpa malu-malu mengkritik pemerintahan yang dahulu pernah membesarkan dan melaksanakan konsepnya." ujar Pak Kunto, seperti dikutip Muhammad Subarkah dalam artikelnya Kuntowijoyo. Pengkhianatan intelektual itulah yang sesunguhnya diprihatinkan oleh Pak Kunto dalam berbagai kolom-kolomnya pasca kejatuhan Orde Baru.
***

Capaian-capaian Pak Kunto dalam lingkup sastra maupun dalam kiprah intelektualnya sebagai cendekiawan muslim, adalah raihan yang luar biasa, mengingat berbagai masterpiece-nya tercipta ketika beliau tengah berjuang menghadapi penyakit akut yang diderita. Indonesia tidak hanya kehilangan sastrawan, seniman, sejarahwan, atau seorang pakar edukatif saja. Lebih dari itu, Indonesia kehilangan tauladan, dari seseorang yang selama ini telah mencontohkan "keshalihan intelektual." Wafatnya Profesor Kuntowijoyo, adalah perginya seseorang "yang telah menghidupi." Ide sastra profetik yang beliau cuatkan, ditengah-tengah merebaknya bacaan atau buku porno-absurd-profan ber-"kulit" karya sastra, kini menunggu tangan-tangan muda yang sedia menghidupi. Dari alam kekal tempat beliau kini bertinggal di sisi Tuhan-Nya, Pak Kunto menunggu para penulis muda yang kelak akan meneruskan jejaknya : menulis untuk membangkitkan, membebaskan, mencerahkan, menyatukan manusia dengan harmoni hidup ; menulis untuk menjaga keseimbangan antara khusyuknya hablum minallah dan guyubnya hablum minannaas.

SASTRA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURALISME*

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demo-kratis. Multikulturalisme didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu, diyakini pula bahwa rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan melalui pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain itu, tentu saja penting artinya dalam rangka pembukaan ruang interaksi antaretnis, antarsuku bangsa dan antarbudaya. Dari sanalah pemahaman adanya perbedaan budaya dapat ditempatkan dalam posisi yang setara, sehingga ia dapat diapresiasi masing-masing etnis dan suku bangsa dengan keanekaragamannya. Secara ideologis, multikulturalisme sangat mengagungkan adanya perbedaan budaya yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai sebuah corak kehidupan kemasyarakatan.

Pusat perhatian dan titik tekan multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan, baik perbedaan ideologi, agama, suku bangsa, maupun budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap individu sebagai bagian dari kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan perbedaan budaya dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas.

Kesusastraan sebagai bagian dari kebudayaan, dan secara spesifik sebagai karya yang dihasilkan melalui proses panjang kegelisahan dan pemikiran sastrawannya, tentu saja tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dalam konteks multikultural, justru dapat dianggap sebagai representasi salah satu corak kebudayaan. Jadi, ia tidak hanya dapat diperlakukan sebagai dokumen sosial yang menggambarkan corak individu di dalam interaksinya dengan sebuah kelompok masyarakat atau suku bangsa, tetapi juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya yang melahirkan, membesarkan, dan melingkarinya. Dengan demikian, karya sastra dapat pula persoalannya ditarik dalam lingkaran cultural studies atau multikulturalisme. Yang kemudian disoroti bukanlah teks, melainkan konteks budayanya yang mengagungkan perbedaan-perbedaan dan pluralisme kultural.
***

Masalah multikulturalisme dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan secara praksis muncul bersamaan dengan lahirnya sastra Indonesia modern. Ada beberapa alasan yang melatari pemikiran itu. Pertama, sastra Indonesia modern lahir sebagai hasil pertemuan dengan kebudayaan Barat yang lalu wujud dalam bentuk sastra tulis. Dengan begitu, tradisi lisan (oral tradition), tersisih oleh berbagai ragam sastra tulis. Kedua, sastra Indonesia dilahirkan dari rahim sastrawan yang tidak dapat melepaskan dirinya dari kultur etnik yang membesarkan dan membentuknya. Mengingat sastrawan Indonesia berasal dari pluralitas dan keanekaragaman etnik, maka niscaya khazanah sastra Indonesia mencerminkan juga kenekaragaman itu. Ketiga, sastra Indonesia ditulis dalam bahasa Indonesia, sebuah bahasa yang diangkat dari bahasa etnis Melayu yang penyebarannya di wilayah Nusantara telah punya sejarah yang panjang. Ia juga sudah sejak lama menjadi lingua franca; bahasa perhubungan antarsuku-suku bangsa yang berbeda dan antara pribumi dan orang asing, baik dalam hubungan pemerintahan, maupun perdagangan.

Demikian, kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya sudah memperlihatkan dirinya sendiri yang multikultural. Ada pluralitas yang mendiami ruh sastra Indonesia, dan dengan demikian ada keanekaragaman, baik yang menyangkut tema yang diangkat, maupun gaya pengucapan yang disampaikannya. Dalam konteks yang lebih luas, sastra Indonesia merupakan representasi pluralisme budaya yang melatarbelakangi, melingkari, dan yang melekat dalam diri pengarangnya.

Di dalam perkembangannya kemudian, representasi pluralitas budaya tadi sering dilupakan atau sengaja dilalaikan. Akibatnya, sastra Indonesia seolah-olah lahir begitu saja, tanpa proses kultural. Ia seperti tak punya kaitan dengan problem yang berada di belakangnya. Ia juga seperti tak berhubungan dengan kegelisahan dan pergolakan kultural yang berkecamuk dalam diri pengarang, baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat yang berkebudayaan. Dengan begitu, secara tersirat kesadaran mengenai identitas kesusastraan Indonesia, sepertinya ditiadakan dan yang muncul ke permukaan adalah wadah persamaan dan kesatuan keindonesiaan yang seolah-olah homogen. Sastra Indonesia jadinya tercerabut dari akar pluralitas kulturalnya.
***

Problem dasar sastra Indonesia dalam kaitannya dengan multikulturalisme adalah kenyataan bahwa lewat wadah bahasa Indonesia, berbagai perbedaan etnis dan budaya, dianggap telah selesai. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana; hanya alat bagi sastrawan kita untuk mengejawantahkan kegelisahan kulturalnya. Di dalam masyarakat-bangsa yang majemuk, pluralitas etnik adalah kenyataan. Dan kenyataan itu tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragamanan, hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama.

Dalam kaitan itulah, para pendiri bangsa ini merumuskan butiran Sumpah Pemuda dengan kesadaran untuk tidak meninggalkan dan menanggalkan pluralitas etnik. Butiran kedua Sumpah Pemuda: “Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” tidaklah berhenti hanya sampai di sana, karena ada butiran ketiga yang mengikuti sekaligus yang melengkapinya. Cermati rumusan butir ketiga Sumpah Pemuda: “Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Demikian, secara politis-ideologis, berbagai perbedaan etnik dapat dipersatukan melalui kesadaran menjunjung bahasa persatuan dan tidak mengaku sebagai bahasa yang satu. Ini berarti ada pengakuan mengenai keberadaan bahasa yang lain. Secara kultural, masing-masing etnis tetap hidup dengan keanekaragaman perbedaan bahasanya. Tersirat, ada pengakuan kesetaraan terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang melekat pada keanekaragaman pluralitas etnik.

Bagian itulah yang mestinya dikembangkan sebagai bentuk pengakuan dan sekaligus apresiasi terhadap perbedaan yang memang sejatinya telah ada sebagai kenyataan. Jadi, pemaknaan terhadap butir kedua dan ketiga Sumpah Pemuda itu bukanlah dalam kerangka monokulturalisme yang menekankan penyatuan budaya-budaya sebagai sebuah kesatuan yang seragam, melainkan dalam kerangka multikulturalisme yang mengagungkan dan sekaligus mengakomodasi perbedaan-perbedaan kesukubangsaan .
***

Sejak awal kelahiran dan pertumbuhan sastra Indonesia, politik kolonial Belanda memperlihatkan cengkeraman hegemoninya. Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial, secara efektif memperalat sastra Indonesia untuk kepentingan membangun citra positif bangsa Belanda. Langkah-langkah politis melalui kebijaksanaan pendidikan pun lalu dijalankan. Muncullah kemudian sastra Indonesia yang elitis, yang tidak menyinggung perbedaan etnis, yang dilarang mengangkat persoalan agama, dan yang tidak boleh membicarakan semangat kebangsaan.

Hegemoni politik kolonial pun diperluas dengan usahanya membendung pengaruh bacaan-bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Dikatakannya, bacaan-bacaan itu sebagai produk agitator dari “Saudagar kitab yang tidak suci hatinya.” Bacaan-bacaan itu berbahaya karena dapat menghasut dan menyesatkan. Dengan menggunakan cap sebagai “Bacaan liar,” karya-karya sastra yang diterbitkan pihak swasta, selalu terhadang memasuki wilayah dunia pendidikan. Jadilah, karya-karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka bergulir dengan konotasi yang buruk sebagai bacaan yang menyesatkan.

Sekadar menyinggung beberapa karya, sebutlah buah tangan para pengarang peranakan Tionghoa, seperti Oey Se (1903) karya Thio Tjien Boen, Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, Tjerita si Riboet (1917) karya Tan Boen Kim, Nyai Marsina (1923) karya Numa, Boenga Roos dari Tjikembang (1927) dan Drama dari Krakatau (1929) karya Kwee Tek Hoaij, Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929) karya Madame d’Eden Lovely, dan Njai Isah (1931) karya Sie Liplap. Selain itu, karya-karya bangsa pribumi macam Mas Marco Kartodikromo, Studen Hidjo (1919) dan Rasa Medika (Hikajat Soedjanmo) (1924), Semaun, Hikajat Kadiroen (1924), Hamka, Didjempoet Mamaknja (1930), Soeman Hs, Pertjobaan Setia (1931), A. Hasjmy, Melaloei Djalan Raja Doenia (1938), A. Damhoeri, Depok Anak Pagai (1938), dan Merayu Soekma, Menanti Kekasih dari Mekah (1938) termasuk karya yang diterbitkan pihak swasta.

Lalu apa maknanya karya-karya itu dalam konteks pembicaraan multikulturalis-me? Sebagai akibat dijalankannya politik kolonial yang kemudian mengalir terus dalam dunia pendidikan kita selama ini, karya-karya itu secara apriori dimasukkan ke dalam kotak roman picisan --menurut Roolvink-- dan bacaan liar menurut versi kebijaksanaan Balai Pustaka pada masa awal berdirinya lembaga itu. Buku-buku sejarah sastra Indonesia juga tidak memasukkan karya-karya itu dalam kanon resmi perjalanan sastra Indonesia. Akibatnya, banyak nama dengan sejumlah karyanya, masih tetap tercecer, termarjinalisasi, dan tenggelam oleh kanon sastra yang resmi.

Lebih jauh lagi, persoalannya tidak hanya sampai di sana. Karya-karya yang ditulis oleh para pengarang peranakan Tionghoa, banyak yang mengangkat wacana asimilasi sebagai sebuah proses pembauran etnik minoritas ke dalam masyarakat mayoritas. Dalam novel Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, misalnya, proses itu tampak masih terbatas pada usaha menampilkan kultur masyarakat Tionghoa, pribumi, dan Belanda.

Hasrat mengangkat wacana pembauran itu lebih jelas lagi tampak dalam Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoaij. Percintaan antaretnis (Tionghoa dan pribumi) dibumbui pula gambaran budaya Cina dan Sunda. Di dalamnya termasuk juga persoalan kepercayaan (Konghucu dan Islam). Wacana yang juga dimunculkan Madame d’Eden Lovely dalam Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929). Dalam karya Mas Marco Martodikromo dan Semaun, konflik budaya feodal dan egaliterian dihadapkan pada persoalan sukubangsa dan kebangsaan.

Masalah kultur etnik dan kritik tajam terhadap feodalisme dan tradisi, memang paling mudah dicari dalam novel-novel terbitan swasta dibandingkan dalam novel-novel terbitan Balai Pustaka. Kecuali novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis yang menampilkan hubungan dua budaya melalui Corrie (Indo-Perancis, Barat) dan Hanafi (Minangkabau, pribumi) dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro yang juga menampilkan dua budaya melalui Rustam (Minangkabau) dan Dirsina (Sunda), sebagian besar novel Balai Pustaka sebelum merdeka, tidak menjadikan kultur etnik dan pertemuan antarbudaya etnik sebagai persoalan atau tema penting. Oleh karena itu, dalam novel-novel Balai Pustaka, kita akan sulit menjumpai tema yang mengangkat konflik antarbudaya atau persoalan yang ditimbulkan lantaran perbedaan-perbedaan budaya, agama, kepercayaan, sukubangsa atau ideologi.

Persoalan itu tentu saja ada kaitannya dengan politik kolonial Belanda. Nota Rinkes (1910) secara eksplisit menyebutkan tiga syarat penting yang digunakan Balai Pustaka dalam menyeleksi naskah-naskah yang akan diterbitkan. Ketiga syarat itu adalah (1) tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu,dan (3) tidak menyinggung perasaan suatu agama tertentu. Dengan adanya ketentuan Nota Rinkes itu, maka wajarlah jika novel-novel Balai Pustaka cenderung memperlihatkan tokoh-tokoh yang karikaturis dan hitam-putih dengan persoalan seputar perkawinan dan kehidupan rumah tangga.

Persyaratan model Nota Rinkes itu tentu saja tidak berlaku bagi penerbit swasta.
Dengan demikian, penerbit swasta lebih leluasa menerbitkan buku-bukunya tanpa harus mempertimbangkan masalah etnik, agama, kepercayaan, dan golongan. Bahkan, dalam beberapa novel, pengarangnya tampaknya justru sengaja mengeksploitasi konflik-konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan sukubangsa, agama, kepercayaan, etnik, dan golongan sebagai bentuk promosi, baik untuk bukunya itu sendiri, maupun untuk majalah tempat cerita itu dimuat secara bersambung. Peristiwa-peristiwa percintaan, kehidupan rumah tangga atau peristiwa apa saja yang menjadi berita, sering kali kemudian diangkat sebagai novel dengan menyebutkan bahwa cerita novel itu berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Novel Lo Fen Koei, misalnya, di halaman depannya ada keterangan sebagai berikut: “Tjerita jang betoel soeda kedjadian di pulo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opioem di Res. Benawan ...”

Dengan memperhatikan tema-tema yang begitu beragam dari khazanah karya sastra terbitan di luar Balai Pustaka itu, maka di satu pihak, terbuka penelitian yang luas bagi cultural studies dan lebih khusus lagi melalui pendekatan multikulturalisme untuk mencari bentuk multikulturalisme yang pas bagi kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk dan pluralis. Di samping itu, sudah saatnya bagi kita membuka lebar-lebar kesadaran tentang berbagai perbedaan dan interaksi kultural untuk menempatkan multikulturalisme sebagai sebuah wadah yang dinamis, ruh yang demokratis.

Meskipun demikian, tentu saja tidak semua khazanah karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka dapat digunakan sebagai bahan kajian. Karya-karya yang cuma sekadar mengeksploitasi konflik-konflik etnis tanpa dibarengi oleh eksplorasi literer-estetik, tentu saja tidak perlu dipertimbangkan. Nilai estetik dan literer, bagaimanapun tetap menjadi bahan pertimbangan, di samping sebagai salah satu usaha menghindar dari kepentingan ideologis tertentu.
***

Khazanah sastra Indonesia selepas merdeka, terutama di awal tahun 1950-an, sebenarnya lebih kuat mencerminkan semangat etnik kedaerahan. Dengan begitu, memperlihatkan juga semangat mengangkat kultur etnik. Hal tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut.

Pertama, pengaruh Balai Pustaka selepas merdeka tidaklah sekencang dan sekuat sebelumnya. Nota Rinkes dan persyaratan penggunaan bahasa Indonesia yang bersih dari unsur etnik, tidak lagi berlaku. Dengan demikian, sastrawan Indonesia selepas merdeka jauh lebih leluasa mengungkapkan kegelisahan kulturalnya.

Kedua, bersamaan dengan pudarnya pengaruh Balai Pustaka, muncul pula penerbit-penerbit lain yang juga cukup luas pengaruhnya.

Ketiga, pudarnya pengaruh sastrawan asal Sumatra dan munculnya sastrawan-sastrawan dari berbagai daerah, terutama Jawa dan Sunda, makin memperkaya style, gaya pengucapan, serta tema-tema yang dikedepankan.

Keempat, masuknya pengaruh asing secara lebih leluasa, membuka ruang yang lebih lebar bagi pemerkayaan tema, gaya atau apapun yang berkaitan dengan usaha sastrawannya meningkatkan kualitas kesastrawanannya.

Keempat faktor itu terjadi pada dasawarsa tahun 1950-an ketika pemerintah Indonesia tidak lagi diganggu oleh militer Belanda. Kini, terjadinya gerakan Reformasi yang melengserkan rezim Soeharto, telah membawa ke dalam situasi yang dalam kesusastraan Indonesia kondisinya hampir sama dengan kondisi awal tahun 1950-an itu. Bahkan kini, arus deras globalisasi dan hilangnya sekat-sekat geografis dalam dunia telekomunikasi, makin meramaikan keberagaman dan kesemarakan budaya. Oleh karena itu, saatnya kini sastrawan kita mengeksploitasi keberagaman dan berbagai perbedaan budaya sebagai lahan garapannya. Ini tentu saja penting tidak hanya untuk menghindari terjadinya konflik etnik, tetapi juga menarik persoalannya dalam kerangka integrasi dan kebangsaan. Dalam konteks itulah, multikulturalisme dapat memainkan peranannya.
***

Kondisi saat ini sesungguhnya membuka kemungkinan yang sangat besar bagi laju perkembangan sastra Indonesia di kancah sastra dunia. Ada sejumlah faktor pendukung yang niscaya membawa kesusastraan Indonesia dengan mudah memasuki wilayah sastra dunia dan memperoleh pengakuan internasional. Beberapa faktor pendukung itu dapatlah disebutkan di sini sebagai berikut:

Pertama, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya sendiri. Dari kultur Minangkabau, misalnya, kita dapat menyebutkan nama-nama Darman Munir lewat novelnya, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto, Asmaraloka (1999) dan antologi cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron dan dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan.

Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang tidak disebutkan di atas yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Niscaya pula karya-karya mereka juga sangat pantas menjadi bahan kajian kita.

Kedua, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.

Ketiga, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik dari karya-karya mereka adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif multikultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas. Periksa misalnya dua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), Dewi Lestari, Supernova (2001), antologi cerpen Dorothea Rosa Herliany, Perempuan yang Menunggu (2000) dan antologi puisinya, Kill the Radio (2001), Helvy Tiana Rosa, Manusia-Manusia Langit (2000) dan Nyanian Perjalanan (2000), Fira Basuki, Jendela-Jendela (2001), Abidah el-Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan antologi cerpen Menari di atas Gunting (2001), antologi cerpen Ratna Indraswari, Namanya, Massa (2001), dan dua novel Oka Rusmini, Tarian Bumi (2000) dan Sagra (2001).

Keempat, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada gilirannya, kondisi ini makin mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan kita.
***

Menempatkan kesusastraan Indonesia dalam perspektif multikulturalisme pada akhirnya menggulirkan pertanyaan mendasar: peranan apa yang hendak dimainkan sastra Indonesia di dalam kerangka multikulturalisme?

Melihat kenyataan pahit bahwa di berbagai daerah terjadi konflik etnis dan agama serta munculnya benih-benih disintegrasi, sangat boleh jadi pemicunya lantaran hilangnya toleransi dan pemahaman budaya etnik yang lain. Dalam konteks itulah, sastra Indonesia yang merupakan salah satu bentuk representasi kultural sastrawannya, dapat menjadi alat yang efektif untuk saling mempelajari kebudayaan-kebudayaan lain. Jadi, melalui karya-karya sastra sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bangsa ini dapat memulai program pendidikan kebudayaan suku-suku bangsa lain yang tersebar di Nusantara ini. Bersamaan dengan itu, boleh pula dicobakan pendidikan multikultural yang bahan-bahannya, di antaranya, juga karya-karya sastra tadi. Persoalannya tinggal, bagaimana pendidikan kebudayaan-kebudayaan lain lewat karya-karya sastra itu disusun dan disiapkan guna menemukan format yang paling ideal. Barangkali, gagasan ini bolehlah dicobakan!

(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424)

Agama, Sastra, dan Pluralitas

Heru Kurniawan
http://www.lampungpost.com/

KALAU saya menganalogikan alam semesta dan sastra sebagai dunia yang sama, itu karena di antara keduanya mempunyai paradigma yang seide, yaitu alam semesta dan sastra merupakan dunia manifestasi dari penciptanya.

Alam semesta adalah manifestasi dari "perbendaharaan Tuhan". Sedangkan sastra adalah manifestasi "pikiran pengarang". Dalam tradisi filosofis, alam semesta dan sastra sama merepresentasikan kejeniusan penciptanya.

Karena alam semesta dan sastra sebagai perwujudan Tuhan dan pengarang selamanya tidak mampu merepresentasikan "kemahaan" penciptanya. Alam semesta adalah bahasa Tuhan dalam mewujudkan diri-Nya, tapi kesempurnaan alam semesta tidaklah sesempurna Tuhan.

Tuhan jauh lebih sempurna lagi. Hal ini juga terjadi pada sastra, seluas apa pun pemikiran dalam sastra tetaplah tidak bisa sama dengan keluasan pikiran pengarangnya karena menulis sastra hakikatnya mengambil keputusan untuk menghentikan pengembaraan ide dan memilih salah satu ide yang dianggap menarik untuk dituliskan. Jadi, masih ada berjuta ide yang terdapat dalam diri penulis yang tidak dituliskan.

Dengan dasar melihat kegeniusan mutlak yang dimiliki pencipta ini maka tradisi romantik lahir. Tradisi romantik muncul sebagai gerakan yang menyuarakan kiblat mengembalikan alam semesta dan sastra pada penciptanya.

Cara pandangnya pun berujung pada pencipta, maka alam semesta dan sastra menjadi dunia yang "diabaikan" karena dialog yang dibangun adalah komunikasi dengan yang "mahagenius", yaitu penciptanya. Dalam tradisi sastra, pembaca akan mengabaikan karya sastra.

Karya sastra dianggap tidak penting, yang paling penting adalah pengarangnya. Sedangkan dalam tradisi keagamaan, manusia akan menyempurnakan hubungan transendental dengan mengesampingkan alam semesta. Yang terpenting adalah kebaktian yang transendental.

Jika hal ini terjadi, saya membayangkan efek terbesarnya adalah dunia akan terbengkalai. Di sini terlihat bahwa tradisi romantik adalah paradigma yang membuat hubungan "manusia dengan alam semesta" dan "pembaca dengan karya sastra" menjadi terdegradasi.

Dalam hal ini, saya menganggap alam semesta dan sastra sama seperti "teks" sebagai fenomena yang diciptakan Tuhan dan pengarang. Oleh sebab itu, dalam alam semesta dan sastra itu terdapat esensi suara "Aku Berada" yang keberadaannya hanya dapat diungkap dengan dialog yang intens antara "manusia dan alam semesta" atau "pembaca dan karya sastra". Hubungan dialogis ini yang menciptakan peluang manusia dan pembaca untuk mengembangkan diri.

Dalam dimensi agama, manusia sebagai khalifah mempunyai kewajiban menjaga hubungan yang harmoni dengan alam semesta. Dengan paradigma harmoni ini, manusia dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sedangkan dalam sastra, pembaca diberikan otoritas untuk membuka pemahaman (understanding) terhadap karya sastra dengan melakukan pendakuan terhadap karya sastra. Pembaca mempunyai otoritas memaknai karya sastra dari perspektifnya.

Dengan menekankan dialog antara "pembaca dengan karya sastra" dan "manusia dengan alam semesta", pembaca dan manusia menjadi objek sentralnya. Di sinilah terlihat semangat humanisme yang kuat dalam paradigma ini.

Dialog 'Aku Berada' dengan 'Mengada Saya'

Dengan kesadaran bahwa dalam alam semesta dan sastra adalah manifestasi "Aku Berada", dialog dan penaklukan yang terjadi "manusia dengan alam semesta" dan "pembaca dengan karya sastra" tetap dalam semangat nilai transendensi dan humanisasi. Manusia memaknai alam semesta dalam rangka untuk mengungkap kebesaran Tuhan.

Oleh sebab itu, saat manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya meneliti nyamuk, misalnya, ujung penelitiannya adalah untuk kemanfaatan umat dan mengungkap kesadaran pada kebesaran Tuhan. Misalnya, kesadaran betapa Tuhan Yang Mahasempurna menciptakan makhluk sekecil nyamuk yang ternyata mempunyai struktur rumit yang tidak bisa diciptakan manusia.

Inilah yang saya sebut dengan kesadaran transendensi yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi). Lewat eksistensi nyamuk kemudian manusia berpikir dan meningkatkan dirinya.

Pada wilayah sastra, pembaca memaknai karya sastra dalam rangka mengapresiasi diri dan pengarangnya. Pembaca mengungkap "Aku Berada" pengarang dengan berdasar pada otoritas persepsinya. Tidak ada objektifikasi di sini karena karya sastra dipandang sebagai dunia yang akan hidup jika bersentuhan dengan pembacanya. Tanpa pembaca, karya sastra menjadi dunia yang mati (artefak).

Maka menurut Paul Ricoeur, pada komunikasi seperti ini karya sastra menjadi dunia yang merepresentasikan dua kemungkinan, yaitu "mengacu pada dirinya sendiri" (sense) dan "mengacu pada dunia luarnya" (reference). Sense muncul sebagai penjelasan yang menerangkan karya sastra pada lingkup otonom. Sedangkan reference sebagai penjelasan yang menerangkan keterkaitan karya sastra dengan dunia luar yang diacu.

Pembukaan sekat penjelasan makna ini yang akhirnya mengarahkan pembaca untuk menemukan dirinya sampai pada titik pemahaman, yaitu pembiaran karya sastra dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman tentang diri sendiri.

Di sinilah terlihat bahwa pemaknaan karya sastra, selain untuk memaknai "Aku Berada" penulis juga untuk memaknai "Mengada Saya" pembaca. Komunikasi di antara keduanya ini yang menjadikan paradigma ini menjunjung tinggi semangat humanisasi. Pengarang dan pembaca ditempatkan pada posisi yang proporsional, yaitu diapresiasi sebagai individu yang memiliki pemikiran dan ditempatkan sebagai kodrat yang mencipta dan memberi makna.

Apa yang saya pahami dengan paradigma ini bahwa agama dan sastra telah memberikan pemahaman tentang hakikat "Aku Berada" dalam alam semesta dan sastra yang harus dieksplorasi berdasar "Mengada Saya" manusia dan pembaca. Oleh sebab itu, menurut saya, "Aku Berada" mewakili dunia transendensi; Tuhan dan pengarang, sedangkan "Mengada Saya" mewakili dunia yang humanis; pembaca sebagai manusia.

Perkawinan yang harmoni antara dimensi transendensi dan humanisme ini yang melahirkan pembebasan (liberasi), yaitu semangat manusia membebaskan diri dari sekat keprimitifannya yang dapat menciptakan disharmoni. Kuntowijoyo dalam konsep profetiknya memaknai liberasi sebagai semangat mencegah kemungkaran (nahi mungkar), suatu sikap ketika manusia menyadari keberadaannya untuk saling berbuat baik demi kelangsungan hidupnya.

Oleh sebab itu, pembaca sebagai manusia harus mempunyai pemahaman tentang eksistensinya sebagai individu yang harus terus belajar terhadap semua teks di alam semesta demi peningkatan taraf hidupnya yang diukur perilakunya yang transenden dan humanis. Dalam tradisi agama, konsep ini disebut sebagai hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Keberadaan ini bisa tercapai jika manusia terus melakukan eksplorasi terhadap alam semesta dan ilmu.

Semangat Pluralisme

Dengan penekanan pemahaman (understanding) alam semesta dan sastra pada dialog antara "Aku Berada" pencipta dan "Mengada Saya" pembaca sebagai manusia, efek terbesar yang tidak bisa dihindari tradisi ini adalah keanekaragaman (pluralitas). Ini terjadi karena kehakikatan pembaca sebagai manusia yang tidak seragam.

Fitrah yang telah terkodifikasi dalam sejarah pembentukan pengalaman menjadikan antara manusia yang satu dan lainnya berbeda. Oleh sebab itu, "Mengada Saya" lahir dengan wajah yang berbeda antara satu dan yang lain.

Tidak bisa dihindari kalau hasil pemahaman terhadap alam semesta dan teks pun menjadi beragam. Inilah kekayaan yang luar biasa. Pluralitas dunia, menurut saya, adalah kodrat yang indah, harus dihargai dalam semangat pluralisme.

Inilah paradigma semangat gerakan postmodern yang kembali mengkritik keseragaman dan kemapanan dari suatu narasi besar. Peletakan paradigma pada kekuatan pembaca sebagai manusia yang harus dihargai menjadikan semangat humanisasi sesungguhnya yang diletakkan atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang transenden.

Tidak mengherankan bila konsep kekuatan suatu negara kini bergeser pada pluralitas. Pluralitas yang pada awalnya menjadi "persoalan" kini telah menjadi "kekuatan". Tidak mengherankan bila keseragaman yang selalu diperjuangkan pemerintahan orde baru pada akhirnya menjadi bumerang karena pada kenyataannya masyarakat yang plural tentu tidak bisa diseragamkan.

Harus disadari bahwa pluralitas adalah kenyataan alamiah yang tak terhindarkan, demikian paradigma alam semesta dan sastra menempatkan pemahamannya pada manusia dan pembaca. Oleh sebab itu, keberbedaan yang menghiasi seluruh lingkup kehidupan haruslah dimaknai sebagai apresiasi atas nilai humanisme-transendental yang akan berujung pada pembebasan (liberasi).

*) Pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Kasak-Kusuk Problematika Kebudayaan Massa

Hardi Hamzah*
http://www.lampungpost.com/

ROMANTISME kebudayaan massa, kiranya masih bersikukuh pada lahan ide dan diskursus yang tidak implementatif.

Dua ribu delapan sebagai tahun tikus, kenyataannya musti menggererek pula di proses kebudayaan. Binatang yang biasa mengerat ini, hanya membuat gigitan spontan kemudian perlahan mengunyahnya, meski tikus perlambang dari kerakusan yang menahan diri.

Pusaran budaya dunia, kenyataannya demikian pula, maka ketika ribut ribut soal Golden Globe (semacam Piala Citra dari PWI) di Inggris, sesungguhnya kebudayaan masa yang telah merampok kebudayan sebagai suatu kemurnian.

Demikian pula ketika festival di Cile tentang akulturasi kultur Amerika Latin, Meksiko, dan Brazil lebih banyak menampilkan tanggo dan samba yang western alias bernafas kebudayaan massa.

Demikianlah, kebudayaan massa tidak terbendung. Sosok di belahan Eropa Utara, telah menjadikan kaum nudis punya maskot sendiri dari kemenangan perjuangan Eropa Utara. Dunia ketimuran juga memainkan peran ini. Siklusnya berputar pada pencurian kebudayaan oleh Malaysia, dan pencotekan lukisan di Asia Tengah (Kazakstan). Inilah suatu fenomena.

Lalu, apakah sebenarnya kebudayaan massa itu, apakah kebudayaan yang telah inheren, bahkan setidaknya telah "nikah siri" dengan proses- proses mental manusia, sehingga gugusannya bermain pada tingkatan kekuatan glamor, drug, dan berbagai dimensi maksiat lewat dunia maya dan dunia realitas?

Prinsipnya, kebudayaan massa identik disfungsional bagi idiom etik, moralitas agama dan aspek spiritual animisme lainnya. Kebudayaan massa mengeluarkan anyir yang baunya tak tertahankan. Padahal, dalam semangatnya, terutama yang ditulis oleh sejarawan politik George Mc Turnan Kahin dalam bukunya Revolution and Political Movement (1947), jelas dieksplanasikan, kebudayaan massa sebagai suatu ideal tipikal penataan strata dan pranata sosial masyarakat.

Kalau komunitas itu beragama melewati kebudayaan massa, ujar Kahin, akan terjadi perjuangan yang ketat dalam kehidupan. Persoalannya, barangkali tidak pada strata sosial yang benar, ini selalu terjadi di dunia ketiga. Kebudayaan massa dan religiositas berkutat di sarang penyamun kenyamnan dan kenikmatan sejenak. Kebudayaan massa, kini "kembar siam" dengan berbagai variabel pekat (penyakit masyarakat). Patologi adalah telah mentransformasikan politik kebudayaan menjadi muara dari seluruh variabel di luarnya, sehingga kalau kita bicara ekonomi, kata konsumtif yang ketemu, bicara politik identik kerakusan kekuasaan, bicara sosial identik kejahatan dengan berbagai dimensinya, dan ketika kita harus sungguh-sungguh bicara kebudayaan, yang ketemu sinetron, film seks, plastik seremoni tradisi, dan aspek-aspek ikutannya.

Dalam dinamika itu, kebudayaan massa berpilar pada siklus antara das sien dan das sollen. Kita tidak meninggalkan sesuatu yang tidak terjual. Kebudayaan massa, lalu buru-buru kita ingin "nikahkan" dengan semangat keagamaan. Inilah proses yang tidak pernah ketemu. Sebagai guru ngaji masak kita akan paksa berkawan dengan pencampur minuman keras (bartender). Artinya, kita selalu ingin mendesakkan sesuatu yang frontal di luar akar kebudayaan yang penuh perubahan. Ini, sesungguhnya "kejahatan kemanusiaan".

Kebudayaan massa sebagai "anak kandung" globalisasi yang menikah dengan kapitalisme dan liberalisme, mendasarkan dirinya pada human material, di mana kebudayaan ini memperkosa dan merampok serta meremas-remas puting kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional, sehingga anak-anak muda, mudah sekali orgasme dalam geliat kebudayaan ala teenager ini. Di sinilah sebenarnya, kecelakaan muncul dan bersandar pada wilayah paling hakiki dari perilaku generasi muda.

Kebudayaan massa menekuk-nekuk kerohanian, jati diri, dan berbagai aspek lainnya yang pada gilirannya mencerabut seluruh nilai-nilai. kehormatan kita. Kebudayaan massa, kalaulah kemudian ingin dipaksakan menikah dengan cagar budaya di ruang (wilayah) kebudayaan Timur, ia tak pelak hanya akan melahirkan "anak haram" tanpa wajah. Karena itu, anak ini sampai tua akan terus memakai topeng.

Paradigma apa yang dapat menjelaskan, bahwa kebudayaan massa bisa lebih terhormat di mata generasi yang selalu berperang dengan nafsu? Pada galibnya, ruang anasir kebudayaan massa lahir karena diberi asupan gizi yang cukup dari media massa, terutama ekslarasi teknologi informasi yang sedemikian pesat. Dengan asupan gizi berstandar instan, acapkali pula kebudayaan massa melakukan hubungan badan dengan reaksi reaksi psikologis irasionalnya kaum muda.

Dalam kaitan tersebut, kebudayaan massa dengan leluasa memamerkan tubuhnya di atas pentas kehidupan. Di atas tubuh kebudayaan massa, termuat banyak aksesori, seperti pearcing, tindik, rok mini, goyang Inul, dan seabrek lagi perilaku transseksual lainnya. Kebudayaan massa kemudian mengayuh biduk kebudayaan popo dan komersialisasi gaya hidup di tengah sungai dan lautan generasi muda. Samuderanya begitu besar, menggelembungkan semangat konsumerisme, elitisme, dan new midle class (kelas menengah baru) yang rentan inteligensi, ia terus mengayuh biduk dengan penumpang bervarian.

Kendati biduk tak pernah sampai ketepian, namun biduk kebudayaan massa, mampu menstimulasi instuisi generasi muda untuk sulit turun dari biduk itu untuk menjadi generasi yang sebenarnya. Barangkali Gramscy yang mampu mempetakan kebudayaan massa ke stratifikasi sosial secara faktual, sehingga dapat diidentifikasi mengapa kebudayaan (instan) massa ini dapat meraih tempat tersendiri di kalangan kaum muda dan kalangan jetset lainnya.

Penjelasan Gramscy, sekaligus memberikan solusi bagi kita yang berfondasi moralitas agama. Gramscy melihat kebudayan massa mudah berproses dan ditangkap di negara berkembang karena ketika akulturasi antara Utara (maksudnya negara maju) dan Selatan (negara dunia ketiga, negara-negara di Utara dengan serta merta mengambil pilar-pilar religiositas generasi muda, karena pranata generasi di Selatan rentan, di mana proses proses akulturasi selalu ditumpangi oleh miras, narkoba, pesona surga lewat aksesori seks bebas dan lainnya. Akibatnya, kebudayaan massa tidak hanya berada di titik akulturasi, tetapi justru mengambil sebagian dari roh dan kesenyawaan global.

Alternatifnya, kebudayaan massa di Indonesia tidak memiliki pilihan dalam akselerasinya. Dengan demikian, model-model sederhana yang signifikan untuk menguatkan generasi masa depan sesungguhnya harus berstandar pada dua nilai das sollen dan das sien meski ini memang tidak mudah.

*) Peneliti Madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Sciences (INSCISS)

Edward Said, Sastra, dan Politik

Dahta Gautama
http://www.lampungpost.com/

Perjalanan intelektual Edward Said, seorang kritisi sastra terkemuka dan pembela lantang hak asasi manusia, telah membawa dirinya berkeliling dunia dan melintasi beraneka disiplin. Memberikan sumbangan penting bagi terciptanya perdebatan kontemporer tentang orientalisme, analisis wacana, politik pembangkangan dan post-kolonialisme.

Dengan mengkaji kekuasaan-kekuasan yang mapan di seluruh dunia, Said telah menyingkap sejumlah isu penting mengenai imperialisme, keterbelakangan dan kebudayaan. Sebagai orang yang menganggap seluruh dunia sebagai tanah airnya, ia menaruh harapan pada budaya-budaya yang tersisih dan peran intelektual sebagai sarana untuk membebaskan pemikiran kritis manusia dan menekankan kembali pentingnya pelbagai bentuk budaya melalui penafsiran ulang atas sejarah.

Pemikiran ulang Said yang kritis tentang sejarah mengandung arti sangat penting, yang kebetulan ia ungkapkan seiring dengan maraknya beraneka tanggapan yang berpengaruh luas mengenai periode restrukturisasi global, di mana kekuatan-kekuatan imperialis yang culas terus melancarkan pengaruhnya terhadap politik dan kebudayaan dunia.

Dilahirkan di Palestina, kemudian menjadi pengungsi di Mesir sesudah kekalahan Palestina pada tahun 1947 dan kemudian menjadi imigran di Amerika Serikat. Said telah melewatkan sebagian besar hidupnya sebagai seorang yang terusir dari tanah airnya sendiri. Sebab itulah ia memiliki rasa simpati yang mendalam terhadap kebudayaan yang tersisih. Hidup di tengah meluapnya semangat kebencian rasis di AS, di mana orang-orang Amerika konservatif sayap kanan sempat membakar kantornya, Said telah belajar menghadapi oposisi dan menuliskan suasana ketidakadilan yang tengah berlangsung.

Dalam memoarnya yang terbaru, Out of Place, Edward Said menelusuri lokasinya yang ambivalen dan kontradiktoris, disertai perasaan yang kian menguat sebagai orang asing--seorang Palestina--yang Kristen, dengan nama Inggris di depan nama belakang Arab dan tinggal di Amerika.

Dalam tahun-tahun ketika ia menjadi mahasiswa di AS, Said berangsur-angsur mulai merasa terasing dari budaya Amerika yang pro-Israel. Dengan dikalahkannya bangsa Arab oleh orang-orang Israel pada perang tahun 1967, sebagian wilayah Palestina pun lenyap, dan ini mendorong Said untuk berpikir dan menulis secara ekstensif tentang masalah Palestina.

Pada tahun 1977 ia bergabung dengan Dewan Nasional Palestina yang merupakan parleman di pengasingan. Sejak saat itu ia mencoba dalam pengertian tertentu untuk mengombinasikan minatnya terhadap sastra, filsafat dan kebudayaan dengan minat terhadap politik kontemporer. Karya Said adalah upaya untuk menjembatani kesenjangan antara privat dan yang publik. Kritik sastranya senantiasa sejalan dengan pengalaman politik pribadinya serta pendiriannya yang radikal dan oposisional, yang berusaha menyuarakan kebenaran terhadap kekuasaan.

Perjalanan hidup Said adalah kisah tentang dunia yang pada dasarnya telah lenyap dan terlupakan. Kisah itu dinarasikan dengan latar belakang Perang Dunia II dan politik Timur Tengah, hingga tercapainya Perjanjian Oslo pada tahun 1993 yang menjadi saksi kesepakatan tentang Palestina. Namun, yang lebih penting dari peristiwa-peristiwa bersejarah itu, ia merupakan kisah tentang suatu bentuk yang tersingkir, yang bertutur tentang keberangkatan, kedatangan, perpisahan, pengasingan, nostalgia, kerinduan akan kampung halaman dan perjalanan itu sendiri.

Kesan keseluruhannya, tulis Said, senantiasa ketersingkiran. Ini menjelaskan hibriditas Said atau "ruang antara" yang ia tempati sebagai orang usiran, yang hidup pada batas-batas identitas antar-budaya. Said memandang posisinya ini sebagai posisi yang menguntungkan, di mana ia bisa menjadi seorang intelektual yang merupakan "orang usiran atau marginal".

Said merasakan kedekatan yang mendalam dengan Joseph Conrad, yang kegelandangannya sebanding dengan pengalamannya sendiri, berada dalam "ruang ketiga", yakni hampir selalu berada diluar kemapanan. Seperti Conrad, ia memanfaatkan tulisannya sebagai sarana untuk mencegah disintegrasi personal. Kesadaran sebagai orang usiran menjadi ilham dibalik eksplorasinya yang terus-menurus terhadap sastra dan politik. Hasil akhirnya adalah seorang usiran yang senantiasa bertarung dengan dunia "nyata", kepekaan migran yang berjuang untuk menemukan akomodasi dan perubahan. Proyek Said menjadi proyek pembebasan dan sejarah dan kebenaran resmi, dengan cara membangun kesadaran tentang sejarah pinggiran yang berisi kebenaran nyata yang kerap tertindas.

Intelektual dan Politik Lokasi
Pada 1968, sesudah terbentuknya Organisasi Pembebasan Palestina, Said memutuskan dengan tegas untuk tidak memisahkan antara yang personal dengan yang politik. Sudah tiba saatnya untuk menceburkan kebudayaan ke dalam lumpur politik. Hasil dari keputusan ini adalah menulis kupasan yang bersifat membangkang dan subversif tentang refresentasi Barat dan Timur.

Tahun 1970-an merupakan masa merembesnya teori tinggi Prancis ke dalam dunia Anglo-Saxon. Dalam konteks inilah kajian budaya post-kolonial terlembagakan. Proyek ini yang pertama kali dicetuskan oleh Frantz Fanon dan Aime Cesaire, lantas diperkuat oleh Edward Said lewat bukunya yang berpengaruh luas, Orientalism (1978), di mana ia, seperti kalangan Marxis Barat yang lain, menekankan pentingnya kebudayaan dan filsafat didalam paradigma Gramscian dan Foucaultdian mengenai strategi kekuasaan.

Luasnya tugas pembaruan di tengah konteks ekonomi transnasional dan keruntuhan proyek-proyek sosialis, dan terutama karena diproklamasikannya mazhab pemikiran borjuis Barat yang didominasi oleh Francis Fukuyama dan sindroma "Akhir Sejarah", jelas merupakan masalah yang harus dihadapi Said.

Karya Said mengekplorasi secara cermat isu-isu penting tentang representasi budaya dengan jalan membongkar perubahan epistemologis yang berlangsung dibalik lingkup kekuasaan kolonialisme, orientalisme, nasionalisme dan xenofobia.

Karya-karya besar Said bisa dibahas dalam konteks ini, dengan menggarisbawahi posisinya sebagai intelektual yang mempersoalkan sejarah, kebudayaan dan sastra sebagai sistem-sistem pemikiran yang merepresentasikan citra-citra penciptaannya sendiri. Demi alasan-alasan yang bertujuan melestraikan struktural pengetahuan dan kekuasaan yang hegemonik. Peran intelektual secara relevansi isu kebudayaan dan identitas ini mendasari komitmennya terhadap idiologi rekonstruksi sejarah, melalui keterlibatannya dalam sastra yang kritis dan politis.

Dahta Gautama. Penyair dan jurnalis. Direktur Lembaga Kajian Filsafat Lingkar Profetik (LKFLP) Lampung.

Genealogi Kecantikan Bidadari Dungu

(catatan buat Perempuan Suamiku)
A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Syahdan, saya mendaras cerpen Sirikit Syah, penulis cewek yang memiliki talenta di jagad literer, di koran Kompas, Perempuan Suamiku. Dalam cerpennya tersebut, Sirikit Syah lihai membesut cerita ihwal pasangan laki-laki dan perempuan ideal.

Konon kecantikan adalah anugerah terindah bagi wanita. Kecantikan memiliki kemampuan magnetik luar biasa yang mampu meruntuhkan dunia laki-laki. Dalam berbagai sejarah kemanusiaan dan mitologi kuno dilukiskan betapa dahsyatnya pengaruh kecantikan seorang perempuan terhadap jiwa laki-laki sehingga ia mau berkorban dan melakukan apa saja demi sang perempuan. Keagungan dan kekuasaan laki-laki dapat jatuh dan bertekuk lutut di bawah kakinya.

Beberapa ilustrasi misalnya, kisah Adam dan Hawa, Julius Cesar dan Cleopatra, Rama dan Shinta, dsb. Perebutan wanita cantik antara Qabil dan Habil, perselisihan antara Epimetheus dan Prometheus demi memperebutkan Pandora yang cantik, juga turut mewarnai sejarah tragedi kemanusiaan atas nama kecantikan perempuan.

***
Sirikit Syah, selain aktivis media, pun ia rajin menggarit tulisan soal seni sastra. Di setiap tulisan-tulisannya, Sirikit selalu menampakkan “kejagoannya” mengemas kerak ide dan menjadikan tulisannnya menarik disimak. Misalnya, dalam Perempuan Suamiku, Sirikit menanyakan kembali soal pasangan ideal bagi kita kelak.

Sebagai kaum perempuan Dunia Ketiga (istilah yang akrab dicitrakan bagi negara-negara berkembang, semisal Indonesia), Sirikit sangatlah lazim mengamalkan laku cemburu (cewek posesif) terhadap suaminya (sebagai pasangan hidupnya). Sirikit tampak tidak ikhlas bila mendapati suaminya berpoligami dan kepincut pada bidadari yang dungu. Hal itu Sirikit tampilkan pada tiap bangunan cerita dalam Perempuan Sumiku.

Sirikit seakan-akan berkhotbah kepada kita semua bahwa dalam hal mencari pasangan janganlah gampang melecutkan rasa kasih-sayang terhadap pasangan kita masing-masing. Sirikit tampak murka atas salah satu pasangan yang hanya mengutamakan hasrat libidinal, memilih pasangan yang melulu melihat tubuh seksis dari pasangan.

Tapi Sirikit pun tak menampik akan pentingnya pasangan yang pintar mengosmetika diri agar selalu cantik-menarik. Tapi jangan salah, Sirikit pula memiliki pandangan atas pasangan yang cantik, pintar merawat diri, namun ia lemah intelektual, akhirnya Sirikit tak ragu-ragu menyebutnya dengan ‘Bidadari Dungu’.

Bidadari Dungu menurut terang imajinasi Sirikit ialah perempuan cantik yang menyengaja menenggelamkan dirinya di arus deras modernitas. Ia hanya merayakan kesadaran palsunya dan menukarkan integritas diri dengan gaya-gaya hidup urban.

Di tengah kesumpekan hidup, berjubel bidadari yang kerapkali menangkringkan dirinya di mal-mal, atau pun di tempat-tempat lainnya pendompleng ikon modernisme. Bidadari model ini, sangatlah jelas bukan bidadari kiriman dari langit. Sebab, laku bidadari langit (tentu bidadari yang tak dungu) itu selalu mendandani dirinya tampak sahaja, dan memiliki kekhasan tersendiri dalam menertawakan proyek modernisme.

Menapaki geladak garitan cerpen Sirikit tersebut, pembaca digiring berada di atas angin dalam hal mencari pasangan. Kendati sebuah cerpen adalah kisah fiktif, tak jauh panggang dari api, cerpen Perempuan Suamiku pun bisa dijadikan cantelan dalam menelusuri labirin pencarian pasangan hidup di dunia nyata. Cerpen, kini, sudah tak hanya memotret alam angan. Bertolak dari itu, cerpen sudah amat menyehari berebut menangkap geliat kegiatan manusia yang kadang-kadang bikin ruwet. Bukankah mencari pasangan itu juga hal ruwet? He he

27/11/08

KEMISKINAN DAN GURITA ROKOK

S Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

Jawa Timur sebagai penerima terbesar Dana Bagi Hasil (DBH) cukai hasil tembakau, mungkin bukan rahasia. Tapi Jawa Timur juga gudang angka kemiskinan mungkin banyak yang tidak percaya. Bagi pembaca awam dua-duanya bisa dipertukarkan, atau diputarbalikkan. Antara yang bukan rahasia dan yang tidak percaya. Itu sekadar gambaran saja.

TAHUN ini, sesuai penyampaian Menteri Keuangan, Jawa Timur memperoleh Dana Bagi Hasil (Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau) sebesar Rp 135,849 miliar dari seluruh dana Rp 200 miliar teruntuk lima daerah di negeri ini. Sebagaimana dipersyaratkan UU No 39 tahun 2007 pasal 66A (1) bahwa bagian hasil cukai dan hasil tembakau untuk ongkos lima jenis kegiatan: peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri rokok, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberangusan cukai palsu.

Besarannya, 30 persen diberikan kepada pemerintah provinsi, 40 persen kepada daerah penghasil, dan sisanya 30 persen dibagikan kepada seluruh kabupaten atau kota (pasal 66A 4) yang ada di Jawa Timur yang tentu saja bukan daerah penghasil. Tentu saja angka itu di luar dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang tiap tahun diterima daerah juga terlepas dari upeti cukai daerah-daerah yang angkanya mencapai Rp 43,8 triliun pada tahun 2007.

Tapi benarkah, angka-angka itu kemudian terlepas dari masalah-masalah kesehatan dan kemiskinan? Kita bisa menguraikan dengan logika yang sederhana dan dengan sedikit data. Saat ini, orang miskin boleh berbangga karena ternyata penyumbang cukai rokok terbesar adalah mereka yang disebut Rumah Tangga Miskin (RTM) mencapai 73,8 persen. Dapat diartikan sebagian besar rumah tangga miskin mengalokasikan penghasilannya untuk membeli rokok.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 menyebutkan, bahwa konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau di baris kedua (12,43 persen), setelah konsumsi padi-padian (19,30 persen). RTM lebih senang membelanjakan penghasilannya untuk membeli rokok daripada untuk membeli daging atau susu. Di beberapa keluarga yang anaknya mengalami gisi buruk, sebagian besar orangtuanya adalah perokok.

Menurut survei Indonesia Forum on Parlianmentarians for Population and Development (IFPPD), dari 19 juta keluarga miskin di Indonesia 12 juta ayah dari keluarga miskin ini adalah perokok. Jika sehari rata-rata 10 batang rokok dihisap maka mereka telah membelanjakan Rp 23 triliun pertahunnya untuk rokok.

Seharusnya, orang miskin tak selamanya berbangga melihat kenyataan seperti ini. Orang miskin memasok uang ke negara tapi justru makin membuatnya miskin karena tak bisa menutup alias tak sebanding biaya kesehatan yang ditanggung warga dan pemerintah.

Bukan Orang Miskin
Pemerintah daerah seyogyanya segera bersiap diri merespons upaya pusat. Dari keterangan Ketua Pansus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Harry Azhar Aziz, memungkinkan kelak dipetakan kembali gurita rokok sejak dari konsumen, pengecer, pabrik dan pemerintah sebagai penerima cukai.

Bila mulus, RUU PDRD yang kini digodok dana prosentase 2 persen DBH bisa mencapai 25 persen dari nominal total cukai yang dihasilkan daerah. Suatu hal yang bukan mustahil terjadi dalam waktu dekat. Terang saja, ini angin segar bagi pengaturan dan pembatasan rokok, meski langsung terkait cukai. Poin pentingnya, tak lain salah satunya karena rendahnya cukai rokok.

Memang sudah seharusnya, sebagai salah satu konsumen dan produsen rokok terbesar di dunia, pengaturan terhadap penjualan rokok di negeri ini diperketat. Perlindungan terhadap perokok pasif dan mereka yang berpotensi merokok seharusnya menjadi perhatian yang lebih serius dari pemerintah, sekalipun nyata-nyata hingga saat ini Indonesia satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FTCT).

Tampaknya, pemerintah sangat sadar bakal menuai habis-habisan konsekuensi dari “hukum internasional” rokok--terkait industri rokok, cukai rokok, pembatasan iklan, promosi, sponsor rokok, distribusi ilegal dansebagainya. Hampir pasti, pemerintah setidaknya terlihat menebar ketidakpesonaannya karena tidak mampu melakukan itu semua. Apalagi, mumpung masih banyak yang sudi, bersedia sadar maupun tidak untuk dikorbankan yaitu orang miskin dan perokok.

Boleh jadi kini yang muncul adalah jalan tengah, kompromi dan tetek mbengek usaha ketimbang tidak sama sekali. Salah satunya RUU PDRD. Ada dua opsi yang dilempar Ketua Pansus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Harry Azhar Aziz, pertama daerah diberi kewenangan menaikkan 25 persen cukai rokok atau yang kedua, mendongkrak pajak melalui kenaikan harga di tingkat pengecer, pedagang, toko atau supermarket dengan prosentase yang sama.

Harus diakui, rendahnya cukai rokok di Indonesia dan ditunjang murahnya biaya produksi menyebabkan harga rokok yang sangat murah. Ketika harga rokok bisa terjangkau oleh semua kalangan termasuk yang paling miskinpun, maka jumlah perokok akan sangat besar begitu pula jumlah penderita penyakit yang disebabkan oleh rokok.

*) Penulis adalah pengarang, anggota tim advokasi pada Center for Religious and Community Studies (CRCS) Surabaya

25/11/08

Tulah

Ratih Kumala
http://jawabali.com/

Darah Domba di Pintu Budak.

Masuk, Joshua. Jangan kau tonton kematian itu. Biarkan malaikat maut tunaikan tugasnya. Itu sudah menjadi titah embannya. Menyedihkan bukan? Andai terkaruniai akal, tentu malaikat maut akan menangisi nasibnya. Beremban tugas yang paling tidak menyenangkan di dunia: mencabut nyawa. Ah, tentu dia akan berpikir sama dengan kita, bahwa dunia ini tak adil dan keadilan harus diperjuangkan. Seperti kita. Dan seperti aku, mungkin dia akan jadi pemberontak. Setidaknya mempertanyakan ulang cara kerja segala sistem aturan. Seperti kita.

Ayo, lekas tutup pintu, Joshua. Biarkan kematian lewat dan kita dengarkan jeritan-jeritan para ibu demi malam yang dikutuk ini, sekaligus malam pembebasan bagi kita sebab anak laki-laki sulung mereka akan mati. Mulai dari anak sulung domba, sapi milik mereka, para pengikut hingga anak sulung Firaun. Lalu mereka akan melihat kebenaran yang sudah lama kugembar-gemborkan namun tak hendak didengarkan.

Bithiah sudah datang pula. Ia kini menjadi salah satu dari kita. Ramses tak sudi lagi melihat wajahnya karena lebih dari tiga puluh tahun lalu perempuan itu berbohong pada Raja Mesir, memungutku dari sungai dan menenggelamkan kotak anyaman jerami yang mengapungkanku ke dalamnya padahal perca tua yang membungkusku adalah kain budak. Dan aku tak hendak melepaskannya sebagai jubahku kini. Sekarang dan nanti. Kau sudah mengoleskan darah domba itu di pintu-pintu kediaman budak, Joshua? Telah Tuhan titahkan padaku, dan kuwartakan padamu untuk mencelupkan seikat hisop dalam darah yang ada pada sebuah pasu. Darah dari anak domba saat Paskah. Darah itu harus kamu sapukan pada ambang atas dan pada kedua tiang pintu; seorang pun dari kamu tidak boleh keluar pintu rumahnya sampai pagi.

Aku tahu, kau pasti tak kan melewatkan satu pintu budak pun. Kau juga telah memberi tahu para orang tua keturunan budak untuk mengoleskan darah domba, bukan? Kau pasti telah memagari rumah-rumah budak dari kedatangan malaikat maut. Ini akan jadi malam yang sibuk bagi malaikat maut. Apabila ia melihat darah pada ambang pintumu, maka akan dilewati pintu itu. Pemusnah tak akan masuk ke dalam pintumu dan menulahi.

Kita harus menunggu dengan cemas sambil mencicip makan malam ini. Mencoba berpura-pura menikmati daging dan roti tak berragi, padahal malam ini tak lain adalah cekam. Tuhan tengah merayakan Paskah bagi dirinya sendiri malam ini. Lihat, kita bahkan berbondong-bondong menghadiri pesta-Nya, dengan pinggang berikat, kasut di kaki serta tongkat di tangan. Habiskan danging ini malam ini juga, yang dibakar dan dihidang dengan sayur pahit.

Tak kita rebus pula sayur ini. Dan jika pagi tiba namun sajian masih bersisa, haruslah kita tak meninggalkan apa-apa dari daging ini. Maka kita bakar dengan api hingga habis. Dengar, jeritan para perempuan lamat-lamat melengking mendapati anak laki-lakinya tiba-tiba terkulai tanpa nyawa. Malaikat maut menyisakan hanya raga nan alpa.

Ingatlah, Joshua! Malam ini seluruh raya akan mencatat hingga tak terhingga waktunya. Bahwa Firaun sendirilah yang telah menjatuhkan kutuk untuk pengikutnya. Duhai, Tuhan tak jua kunjung membuka hatinya. Lihatlah, ia akan mati dalam kesia-siaan. Dia tak lain adalah makhluk alpa. Tak berhenti ia mengaku bahwa dirinya adalah Ia. Padahal tak lain dirinya adalah sama dengan kita. Hayati. Dan tak ada hayati yang cukup tinggi untuk mengaku bahwa dirinya adalah jauh di atas orang lain apalagi sebagai penentu sebuah kematian. Tak ada.

Dan, kau lihat Joshua, apa yang terjadi kini? Kesombongan telah membawa seluruh putra sulung pengikutnya menjadi tak lebih dari mayat. Kita akan memegang ini sebagai ketetapan sampai selama-lamanya bagi kita dan bagi anak-anak kita.

Ketika Firaun terpuruk dalam kesendirian dan kesedihan kehilangan putra mahkotanya, saat itulah kita semua pergi. Para perempuan berjalan mendekap adonan-adonan, yang tak sempat diragi. Itulah bekal kita menuju negeri bernama Kanaan.

Di perjalanan para perempuan membakar adonan-adonan itu menjadi roti bundar. Roti yang keras, namun Tuhan menjadikan roti-roti tak beragi itu suci. Pun menjanjikan pada kita tiba di suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madu. Aku sendiri bertanya-tanya; apakah itu untuk menghibur lelah perjalanan kita, atau memang Ia sudah berrencana.

Kuberitahu sesuatu, Joshua. Kita takkan melewati Filistin, meski jalan itu yang paling dekat, melainkan berputar melalui jalan di padang gurun menuju Laut Teberau. Percayalah, Tuhan berjalan bersama kita; siang hari dalam tiang awan untuk menuntun perjalanan dan malam hari dalam tiang api untuk menerangi pandangan kita.

Aku, Laut Belah.
Namanya Miryam. Aku mengenalnya saat ia mengambil rebana dan semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Mereka bernyanyi, sebuah lagu panjang yang syairnya tak putus seperti lingkar. Ombakku bernyanyi di kunci F, saat Miryam dan para perempuan itu bernyanyi di kunci G. Aku ikut girang hingga tubuhku penuh gelombang. Orang-orang menyebutku Teberau. Tapi aku memanggil diriku sendiri Si Laut Belah. Kuceritakan padamu, kenapa aku memberi julukan itu pada diriku sendiri. Masih segar dalam ingatanku, hari itulah aku mengenal Miryam, perempuan yang mendekap buntalan berisi roti tak berragi dan selingkar rebana.

Ketika itu hari tenang. Tak ada Badai, temanku yang kadang berkunjung. Langitpun cerah, yang ada hanya langit terang kehijauan, saat sekelompak orang berbondong-bondong eksodus. Wajah mereka kebingungan dan salah satu dari mereka berteriak dengan marah, "Apakah kamu akan menjadikan lelaut ini sebagai kubur kami, Musa?"

"Musa, bagaimana kita akan melewati laut? Sementara Firaun menyusul kita?" bisik perempuan cantik dengan mata kehijauan. Wajahnya ketakutan. Lelaki yang dipanggil Musa itu berbisik pada perempuan bermata kehijauan, "Jangan takut Miryam,"

Ooo, Miryam nama perempuan itu. Lalu Musa berteriak, "Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja."

Saat itulah aku mendengar gemuruh yang lain, berbondong-bondong dengan kuda-kuda gagah dan kereta-kereta perang indah menyusul kelompok eksodus yang berada di bibirku. Lantas, ehm, sebelumnya aku akan memperingatimu, bahwa cerita yang akan kukatakan berikut mungkin tak bisa kau percaya. Tetapi aku bersumpah atas nama seluruh ikan di yang hidup dalam tubuhku, bahwa aku berkata jujur. Sampai di mana aku tadi cerita? Oya. Lantas, lelaki yang disebut Musa itu mengangkat tongkatnya dan menepuk tongkat itu keras-keras ke tubuhku.

(Sungguh, aku kerap dilempari batu-batu oleh anak-anak yang piknik di bibir pantaiku, kerap pula digilas kapal-kapal yang begitu besar, hingga disambangi temanku Badai yang kurangajar berputar-putar, tapi tak pernah kurasakan tubuhku sesakit kali itu).

Kali ketika Musa memukul tongkatnya ke tubuhku, Aku bergidik, ngeri. Kupandangi wajahnya, ada pancaran kharisma yang tak pernah kulihat sebelumnya pada orang-orang yang pernah mengunjungiku. Lalu kuputuskan untuk memberinya ruang untuk berjalan. Ia dan Miryam, dan orang-orang rombongannya.

Itu adalah kali pertama aku memberi jalan bagi orang. Dan kukatakan padamu, jika kau mau coba-coba mengacungkan sebilah tongkat lalu memukulkannya ke tubuhku, takkan aku beri jalan. Lagipula, jika terus kuberi jalan, apa guna kapal-kapal yang berlayar di tubuhku? Kecuali jika kau bisa memukul tongkat itu sekeras Musa memukulnya padaku waktu itu.

Ketika rombongan eksodus itu telah sampai di seberang, Musa kembali memukul tongkatnya dengan keras. Aku kembali gentar, pukulan itu seperti hipnotis buatku. Seakan aku diperintah untuk menutup ruang jalan yang tadi kubuka, kupenuhi kembali dengan air. Tak peduli sekelompok pasukan berkuda gagah masih di tengah-tengah tubuhku. Kulahap mereka hingga ke pecut-pecutnya.

Jika kau tak percaya, selami aku dan carilah bangkai kuda-kuda, juga orang-orang, yang masih menyatu dengan kereta-kereta tempur yang mahal. Itu adalah harta karun yang tak hanya dicarai para bajak laut, tetapi juga para arkeolog dan sejarawan!

Tepat ketika aku menutup tubuhku itulah, kelompok eksodus yang sudah berada di seberang bersorak-sorai. Dan perempuan itu, Miryam, mengambil rebana lalu menyanyikan sebuah lagu panjang yang syairnya tak putus seperti lingkar. Ombakku bernyanyi di kunci F, saat Miryam dan para perempuan itu bernyanyi di kunci G. Matanya, aku tak akan lupa, warnanya cerah kehijauan seperti langit hari itu.

Sumber: Republika Online

Sajak-Sajak Ulfatin Ch

http://www.republika.co.id/
DARI HUJAN

Yang tersisa dari hujan
basah aroma tanah.
Yang menggelitik pada setiap dada
ketika angin mulai meliuk
tanpa doa

Dan siapa tergesa
mengurai dosa

2006



BERLAYAR KE LAUT

Berlayar ke laut
dan terus ke laut lebih jauh
lebih dalam dari yang kita bayangkan.
Kita semakin jauh
terbawa permainan gelombang
angin pun terus bersendau
melajukan perahu.
Menghantam karang
dihempas badai, mengaduh.

Tapi, kita mesti berlayar
mendayung menghalau angin
entah, mungkin sampai
entah kapan
hingga pantai

2006



LAUT YANG RETAK

Dan kita saksikan laut-laut yang retak
dan kau simpan dalam
Dan kita saksikan laut membadai
dan kau simpan dalam
Dan kita saksikan seribu camar
tergolek tanpa sayap
mengapung di atas laut.

Kau diam
Tapi, aku ingin terus berlayar
Tapi aku ingin tanpa menoleh
hingga sebelum matahari mengejarku
sampai aku hilang
mungkin di balik bukit
mungkin di ujung langit
mungkin

Dan kau

2006



DALAM BERLAYAR

Setelah laut
pasti kutemukan pantai.
Di tengah laut ada karang
biarkan. Seekor camar
dan ikan yang berlompatan
bagai menghalau resah
telah mendulang seribu mimpi.

Dan angin pun menghembus
dan awan pun berselimut
di wajah kita yang di sengat
matahari. Biarkan
jangan berhenti berlayar
dan kita simpan galau
Agar kehidupan berjalan
agar kedamaian tertanam
Dan lihatlah mata kanak-kanak kita
yang memancarkan kejora
menatap dunia

2006



JIKA MENATAP LAUT

Jika kau menatap laut
tataplah juga mata anakku
yang bersinar bagai matahari pagi.
Wajahnya yang polos
seolah mampu meraih purnama
tanpa menoleh.

Ia bidik bintang
yang ketika hujan menghilang
Ia raih bulan
yang ketika siang menjadi samar
Maka, ini kupersembahkan sungai
yang mengalir
dari bukit Tursina hingga malam
dan doa
yang kulantunkan
buat anakku

2006

24/11/08

ESTETIKA WAYANG CERPEN AHMADUN Y HERFANDA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika berbagai saluran komunikasi terhalang tembok besi kekuasaan, sementara segala aspirasi dan harapan mampat di tengah jalan, kesenian –khasnya sastra— kerap digunakan sebagai alternatif. Di sana, dalam balutan estetika, sastra coba bermain dan mempermainkan saluran yang mampat itu. Tembok besi kekuasaan dan pandangan orang terhadapnya, dapat disulap menjadi lelucon atau kisah-kisah yang terjadi di dunia entah-berantah. Jadi, sastra berpeluang memasuki wilayah apa saja, tanpa harus dibayangi kecemasan menghadapi kegagalan mencapai sasaran.

Sastra tak berpretensi mengubah tatanan sosial secara revolusioner. Ia dihadirkan dengan kesadaran menggoda rasa kemanusiaan, menyentuh secara halus, dan diam-diam menggerayangi hati nurani kita. Sastra coba menguak dan kemudian menyodorkannya kepada kita dengan cara yang khas. Dalam hal ini, sastra mencoba menyajikan dan memaknainya dengan caranya sendiri. Ia mungkin berbentuk kisah tentang kehidupan di dunia entah-berantah atau menyerupai potret sosial.

Dalam pada itu, jangan lupa. Di sana ada sesuatu yang berkaitan dengan nilai estetik. Tanpa itu, ia sangat mungkin akan menjadi sebuah dakwah agama, pamflet propaganda, atau serangkaian nasihat nenek nyinyir. Nilai-nilai estetik itulah yang menjadikan sastra dapat menyelusup jauh lebih dalam sampai ke ujung hati nurani; sampai ke dasar rasa kemanusiaan. Maka, ketika kita berhadapan dengan karya sastra, ada sebuah kenikmatan estetik yang bisa tiba-tiba menyergap kita. Ada sesuatu yang terasa menyenangkan—menikmatkan. Tanpa sadar, sesuatu itu secara diam-diam melepaskan kepedihan, keprihatinan, dan kedongkolan dalam memandang realitas sosial yang ngawur dan brengsek, dan kemudian membentuk sikap untuk juga terlibat dalam perlawanan terhadap kengawuran dan kebrengsekan itu.

Dalam tataran itu, sastra menempatkan fungsinya untuk menyentuh kepekaan kita atas problem kemanusiaan, atau bahkan menggugat apa pun yang tidak sejalan dengan jiwa dan hakikat keberadaan manusia.
***

Antologi cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Jakarta: Bening Publishing, 2004, 233 halaman) karya Ahmadun Yosi Herfanda ini pun tentu saja tidak terlepas dari persoalan itu. Antologi ini memperlihatkan kesadaran pengarangnya dalam menyikapi fenomena sosial yang terjadi di negeri ini. Dan Ahmadun dengan caranya sendiri menyampaikan pesan-pesan kemanusiaannya melalui kemasan estetika wayang. Sebuah cara yang mungkin lahir dari kesadaran atau ketidaksadaran kultur yang membentuknya. Ia menjadi tata nilai yang telah lama mengendap dalam ingatan individual atau ingatan kolektif masyarakatnya.

Dengan cara itu, Ahmadun telah melakukan pilihan yang aman—terkendali, sebagaimana yang juga dilakukan Putu Wijaya atau Danarto, meski dengan gaya dan style tang berbeda. Kritik social dan pesan kemanusiaan yang disampaikannya pada akhirnya tetap tersembunyi berada di balik peristiwa yang digambarkannya, meski ia berhadapan dengan tembok besi kekuasaan Orde Baru atau dengan kebebasan yang banyak dimanfaatkan sastrawan kontemporer kita dewasa ini. Lihatlah, dari 15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, hanya dua yang dihasilkannya pasca-Orde Baru, yaitu cerpen “Perempuan yang Menghunus Pisau” dan “Masjid Terakhir”. Jadi, dalam hal ini, tarikh penulisan dapat kita gunakan sebagai salah satu sarana mencermati potret yang hendak ditampilkannya berikut caranya memasang potret itu. Secara sosiologis ia penting untuk melihat fenomena sosial masyarakat dan semangat zaman. Tarikh menjadi signifikan dalam membangun potret zaman dan fenomena sosial.

Dari sudut itu, Ahmadun menyajikan potret itu dalam dua warna yang secara laten terkesan paradoksal. Ia menampilkan dua sisi karakter manusia yang saling berlawanan, dan keduanya bersemayam dalam satu jiwa. Maka, kita akan berhadapan dengan tokoh-tokoh yang mengeluarkan dan sekaligus juga menyembunyikan sesuatu. Bagaimana dalam satu jiwa muncul dua karakter yang saling menentang, kontradiktif, dan paradoksal. Uniknya, bipolarisasi itu tak hadir dalam konteks saling melengkapi dan komplementer, melainkan saling menyembunyikan. Keberpihakan pada tokoh tertentu, misalnya, sekaligus berarti ketidakberpihakan; sebagai bentuk perlawanan atau penentangan.

Contoh lain dapat pula dikemukakan. Bagaimana misalnya, kesucian berselimut kekotoran atau sebaliknya (“Pertobatan Aryati”). Bagaimana pula nilai-nilai kepahlawanan memendam pengkhianatan (“Ombak Berdansa di Liquisa”), solidaritas menyatu dengan egoisitas (“Perempuan yang Menghunus Pisau”). Selalu ada dua sisi; positif—negatif, kekayaan—kemiskinan, atau kelemahan—keunggulan. Semuanya menyatu dalam satu jiwa. Yang dihadirkan bukanlah tokoh hitam—putih, melainkan hitam dan putih sekaligus.

Bagaimana pula harapan—kecemasan, teror dan pengayoman dapat hadir secara bersamaan, serempak—sekaligus. Seperti sebuah senyum ketika tertimpa derita atau tertawa saat menghadap maut. Hampir semua tokoh yang digambarkan Ahmadun dalam antologi cerpen ini memperlihatkan karakter yang bipolar seperti itu. Niscaya penghadiran dua kutub karakter yang berlawanan yang mendiami satu tokoh itu, tidak berarti inkonsistensi dalam membangun karakter tokoh. Justru lewat cara itulah, ia telah menyerap estetika wayang dan coba mengangkatnya dalam bentuk cerpen.

Bipolarisasi itu tentu saja menuntut kita menyediakan perangkatnya yang sesuai dan tepat. Tanpa itu, sangat mungkin kita akan menuju pemaknaan yang sesat. Oleh karena itu, tidak dapat lain, antologi ini mesti didekati melalui perspektif estetika wayang. Lihatlah tokoh-tokoh wayang yang mencitrakan prototipe karakter tertentu. Tokoh Bima, misalnya, selalu akan tampil dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar, gagah, dan berangasan. Menghadapi musuh-musuhnya, Bima akan bertindak telengas dan cenderung kejam. Tetapi, ia juga bisa menjadi tokoh yang penurut, loyal, setia, jujur, dan lemah manakala ia menghadapi siapa pun yang tindakan dan tutur sapanya halus, penuh dengan tipu muslihat, dan bujuk rayu. Bima bisa menjadi sosok yang menjunjung tinggi solidaritas dan kesetiakawanan yang kadangkala berlebihan, tetapi juga bisa menjadi tokoh yang sangat pragmatis dan tidak taktis.

Demikian juga tokoh Durna, misalnya, yang kerap dicitrakan sebagai sosok pengadu domba, licik, dan culas, pada saat yang sama, bisa pula menjadi tokoh yang arif bijaksana dan berjiwa besar ketika tokoh lain tak mampu melahirkan gagasan-gagasan cemerlang dan tidak ada yang mau berkorban. Lihat juga para tokoh punakawan yang muncul dalam goro-goro. Mereka menghadapi dan menyikapi apa pun dengan cara santai, guyon, banyol, dan penuh kelakar. Seolah-olah hidup ini tidak perlu disikapi dengan cara berkerut kening, kaku, dan penuh perhitungan kalkulasi untung—rugi. Sesungguhnya, di balik itu, ketika negara dipandang berada dalam bahaya, mereka akan tampil dengan berbagai taktiknya yang cerdas, serius, dan penuh perhitungan yang matang. Bentuk fisik para punakawan yang jelek dan lucu itu, sama sekali tidak mencerminkan jiwanya. Dalam hal ini, tubuh tidak identik dengan jiwa atau sebaliknya, mereka yang gagah-ganteng, belum tentu berjiwa gagah dan ksatria.

Begitulah, karakter tokoh-tokoh dalam antologi cerpen ini tidak dapat dengan mudah dipilah-pilah secara tegas sebagai tokoh baik atau buruk, putih atau hitam. Selalu ada dimensi lain yang melatarbelakangi atau yang melatardepaninya. Pola ini jelas menyerupai tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Periksa misalnya para tokoh yang berperang dalam epos Mahabharata. Perang Baratayudha sebagai puncak epos Mahabharata itu menampilkan begitu banyak tokoh yang baik—jahat, benar—salah, bersemayam dalam satu jiwa. Lihatlah tokoh Karna, misalnya. Ia kakak seibu dengan Arjuna. Namun, karena Suyudana, Raja Kurawa, memberi kerajaan Awangga, Karna merasa berutang budi. Salahkah kemudian jika Karna membela Kurawa sebagai bentuk balas budi kepada Suyudana yang telah memberinya kerajaan? Salahkah loyalitas dan kesetiaan Karna yang ingin membalas budi?

Di samping itu, dilihat dari cara penyajian struktur ceritanya, Ahmadun seperti mengambil salah satu bagian dari struktur cerita wayang. Dalam hal ini, sindiran yang diangkat, kritik yang disampaikan, dan tokoh-tokoh yang dimainkannya mengingatkan kita pada apa yang disebut sebagai goro-goro. Salah satu bagian dalam struktur cerita wayang yang sering dimanfaatkan dalang untuk mengangkat berbagai persoalan aktual.

Kadangkala, dialog-dialog dalam goro-goro tak ada kaitannya dengan struktur utama cerita wayang yang bersangkutan. Tetapi justru pada bagian inilah seorang dalang akan menunjukkan kualitas dan kompetensinya. Oleh karena itu, bagian ini sering dimanfaatkan dalang untuk menyampaikan apa saja, mengkritik siapa saja atau ikut masuk dan mencoba terlibat memberi solusi atas berbagai persoalan aktual yang berkembang di masyarakat. Di dalam goro-goro, semua tokoh yang muncul di sana bisa dengan bebas menanggalkan karakter aslinya. Maka, seorang Bima, Arjuna, Yudistira, Cakil, atau Rahwana sekalipun, bisa menjadi bahan ledekan dan bisa pula saling membanyol. Mengingat dalam goro-goro, peranan para punakawan diberi ruang yang begitu bebas, maka mereka bisa saling mengejek, berkelakar, berbantah, atau berbuat apa saja –termasuk mengkritik siapa saja—dengan maksud memancing penonton untuk bersenang-senang dan tertawa. Di belakang tawa itulah sesungguhnya tersimpan pesan ideologis si dalang.

Sebagian besar cerpen dalam antologi ini, cenderung menyerupai bentuk goro-goro dengan tokoh-tokohnya yang menampilkan karakter tokoh dunia pewayangan. Cermati semua cerpen dalam antologi ini. Nyaris tak ada deskripsi awal. Ahmadun kerap memulainya langsung dengan pokok persoalan. Tiba-tiba saja, pembaca dihadapkan pada persoalan inti. Dari situlah kemudian rangkaian peristiwa dikembangkan, konflik-konflik antartokoh dihadirkan, dan tegangan demi tegangan dikelindankan silih berganti. Sebuah teknik yang banyak digunakan dalam cerita-cerita detektif, tetapi Ahmadun cenderung mengambil pola goro-goro yang mungkin, tanpa sadar, telah mengendap lama dalam ingatan individualnya. Oleh karena itu, perbincangannya juga mesti melalui perspektif itu: estetika wayang!

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok)

Puisi-Puisi Leo Kelana

http://www.kompas.com/
Sajak di Malam Hari

Angin berjelaga
Gelas yang kosong
tiba-tiba terisi cinta.

Hati bicara pada batu dan debu.
Langit selamanya biru,
tapi getar kasih membuatnya kelabu.

Seperti ada kupu-kupu hinggap di mataku
Kupu-kupu ungu membawa nektar madu
Adakah sepi yang paling niscaya selain cinta?
Adakah gelisah yang paling misteri kecuali kasih?

Kita sama! Saling bertanya
pada kembang sepatu.
Kita sama! Saling bersembunyi
di sebalik sayap rahasia.

Kita; aku dan kamu-kah itu
yang membacakan sajak
pada sunyi di malam hari?

Kairo:2008



Sepi

Lagu apa pula menyanyi
di tengah malam
pintu bercakap pada dirinya;
yang lelah
yang pasrah
seperti ada malaikat turun perlahan
mengantar subuh yang hangat
tapi diri memagut
pada sepi tak tertahan
terasa matahari pun
enggan menjumpai pagi

Kairo 30 April '06



Sudahlah
-Untuk Aya-

Aku bertanya padamu
angin apakah mengantar pesan
dan kau mulai peduli diriku;
pejalan tak selesai berangan
Sudahlah!
di Kairo ini hatiku semakin pekat
membaca berita dari negeri laknat
lalu sekarat
lalu kiamat
dan di atas segala itu;
perasaanku padamu telah tamat

Kairo April '06



Pejam, pejamlah
-Untuk Putri Amanda-

Pejam
Pejamlah
lalu hati
lalu jiwa
dalam hidupmu yang aroma bunga
di Nil ini kucoba menepi
bersandar pada piramid
tegak diri
berdiri sendiri
dan kau di sana bernyanyi-nyanyi
mencumbu pagi
menimang bayi
ah...hidupmu pun sempurna
menjadi perempuan
sementara aku berkelana
tenggelam lalu tertawan

Kairo April '06



Selepas Magrib

Selepas magrib kala itu
kudatang padamu
membawa segelas doa
untukmu adinda

Adalah ibu yang rajin mengirim salam
menitip nakalku padamu
tuk bermanja pada senyum
yang kau pilin setiap bertemu

Kairo April 2006



Terima Kasih, Istriku

Terima kasih
atas sejuk binar matamu
tempat istirah
dari musafirku yang lelah.

Terima kasih
atas teduh senyummu
tempat bernaung
dari hidupku yang garang.

Terima kasih
atas sebentuk cinta putih
hatimu yang lapang
tempatku bermain layang.

Kau pulangkan aku
pada pangkuan ibuku
setelah kau kenalkan aku
pada bunga-bunga di taman hatimu

Di pelukanmu aku merasa
menjadi kanak kembali
yang manja minta cerita
tentang bidadari di surga

CALCUTTA VAN JAVA

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

SINOPSIS

KASIYATI, seorang penghibur di gang mesum memutuskan melayani seorang saja tamunya. Seorang berkebangsaan Belanda, Gerritsen. Pria itu bekerja sebagai ahli mesin di perusahaan yang terancam diswastanisasi oleh negara.

Di Jawa, Gerritsen punya misi lain selain tentu saja mencukupi kebutuhan hidup Kasiyati dengan seorang putranya. Pria itu bertugas memuluskan jalan agar perusahaan itu kembali dikuasai orang Belanda.

Kenyataannya, di Jawa Gerritsen malah melunasi kebebasannya menjalin hubungan asmara dengan mahasiswi ilmu budaya, seorang putri induk semangnya. Namanya Umi Khalsum. Di luar dugaan, gadis itu ternyata punya sederet nama lain karena ia pencari jati diri.
Tepatnya gadis itu seorang pemburu masa lalu.

Ia menemukan diri dan kejayaan Jawa di masa silam. Juga cinta yang membebaskan pada diri Gerritsen berawal dari sihir tarian bulu ayam di lubang kuping pria itu.
Hal yang sama terjadi pada Kasiyati, seorang pendamba masa depan, terhadap Gerritsen. Hebatnya keduanya adalah perempuan pemuja cinta yang merindukan tersingkapnya rahasia keindahannya, keagungannya.

Lantas bagaimana misteri hubungan keduanya, Kasiyati dan Umi Khalsum? Jiwa dan raga? Juga masa lalu dan masa depan?[]

MULA-MULA adalah kata. Jagad tersusun dari kata. Demikian menurut penyair Subagio Sastrowardoyo.
Namun saya percaya da menyakini bahwa nenek moyang segala ilmu, juga tentu saja kata adalah mitos. Bahkan jauh sebelum kata-kata itu peras sampai apuh beban artinya, mitos telah lebih dulu menyingkap makna sampai akarnya yang purba, murni, asali. Mitoslah yang mengembalikan kepastian, kebenaran tak terbantahkan dan suci.

Saya percaya dan menyakini amanah pengarang itu terletak pada kemuliaannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu semulia kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia di semesta. Seperti laiknya partikel atau gelombang abstrak selaput jagad.

Jadi kata itu seperti manusia juga. Seperti juga manusia, ia tahu bagaimana harus hidup, bercinta dan menyusun pikiran besar melunasi hasratnya pada alam cita. Tentu saja laiknya pengalaman batin, hasrat yang demikian sangatlah subjektif. Bagai sajak dalam aku lirik.

Saya meneropong sedekat mungkin manusia dengan sudut pandang aku yang merdeka tanpa niat untuk menganiaya. Biarlah mereka bicara dengan bahasa mereka sendiri. Saya hanya menghormati sebagaimana saya angkat topi pada kejujuran dan kemurnian kata.

Tentang cinta, saya menyakini cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan apalagi kehilangan hak milik saya sebagai individu yang kreatif. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Justru saya menangkap bayang keindahan cinta itu dari salah satu versi mitos Cerita Panji—sebentuk foklor, cerita rakyat yang dihargai murah karena dinilai tidak bermutu dan rendah.



PROLOG: Candra Kirana

BIAS binar keajaiban cinta tetap nyala. Bagai lazuardi api yang berkobar tertiup angina. Semesta dibasuhnya, meski sang kekasih telah tiada. Atas nama cinta Dewi Anggraeni, yang terbang menghadap sang pencipta, Raden Panji Yudarawisrengga menolak kawin dengan saudara sepupunya, putrid Prabu Lembu Merdhadhu di Kediri. Pewaris tahta kerajaan Jenggala itu memilih menyingkir ke Ngurawan—tempat Prabu Lembu Pangarang, pamannya, bertahta. Raden Panji yang juga punya nama Jayakusuma itu pun berpetualang cinta dengan menikahi putri pamannya, Dewi Surengrana.

Sang pangeran muda itu pun telah melunasi takdir keajaiban cintanya, tatkala ruang waktu peristiwa berkubang pada peperangan. Ketika itu pecah pertempuran antara kediri dan Hindustan. Pemantiknya, harga diri yang terbeli lantaran lamaran raja Hindustan, Kelana Sewandana ditampik Dewi Candra Kirana. Perang berakhir dengan Prabu Kelana berkalang tanah bersimbah darah. Segera, sang pangeran muda memetik kesempurnaan bulan pada diri Kirana yang jelita.

Nun jauh di sana, selembar jiwa bernyanyi dalam duka. Surengrana musti mengisi hari-harinya yang dirobek senandung cemburu. Tangisnya seperti tembang. Perempuan itu membunuh sepi dengan menderak-derakkan jeruji giginya. Dia memarut geram sendiri. Ia pun menuai badai. Badai langu membungkus namanya, Dewi Thotok Kerot.


1. Pitutur Pengantar Tidur

DUHAI anakku tersayang,
Entah sudah berapa dongeng kuceritakan padamu. Kini sampailah pada kisah penghujung di usiamu. Sejenak lagi kau tumbuh remaja. Bila sebelumnya telah kukisahkan tentang dongeng binatang, cerita berikutnya adalah perihal manusia. Bukan maksud ibumu hendak menghentikan tradisi bercerita kita. Tapi semata-mata agar engkau belajar mencari, menemukan dan menyelami cerita-ceritamu sendiri. Sesukamu. Sekehendakmu. Sebebas merpati yang terbang dan kemudian kembali pulang.

Engkau punya rumah, anakku. Hanya inilah pesanku. Engkau juga punya ibu. Seburuk apapun ibumu. Sebrengsek dan senaif apapun dia.

Sekalipun orang lain menilai kehidupan kita tak bermutu, belajarlah mencari arti dari keadaan itu sesungguhnya. Karena dengan demikian kau tak terbiasa dalam kepalsuan, sebelum selanjutnya menolak kepalsuan itu. Sebab itulah sebagai anak yang hendak menginjak remaja, saatnya kini kukisahkan padamu dongeng tentang sesuatu yang dianggap orang tidak bermutu. Manusia yang kukuh sungguh melawawan kepalsuan itu.

Ibumu ini telah cukup melihat cerita ini banyak yang tidak masuk akal, hilang ingatan atau antara mimpi dan kenyataan. Ibumu hanyalah seorang tukang cerita bagi anak-anaknya seperti engkau, anakku. Agar tumbuh kuat dan hidupmu bermutu. Sekalipun kita dilahirkan di dekat air comberan dengan kondom beterbangan dikendarai busa sabun wangi dan sampah shampoo di komplek pelacuran berbau minyak srimpi ini.

Wahai putraku tercinta,
Ibumu memang seorang pelacur, tapi kisah ini adalah cinta yang besar bagimu, bagi hidupmu, dan bagi harapan-harapan kehidupan di masa mendatang. Agar engkau jadi tahu tak semuanya yang besar musti berawal dari kemewahan, kemegahan. Inilah misteri dari cinta, anakku. Tumbuh dimana ia suka. Sekarang, tiba saatnya kau perlu tahu gairah hidup ibumu yang demikian juga disemangati oleh dongeng yang abai. Tentang seorang wanita yang dikutuk karena kebiasaan buruk. Seorang pencemburu yang senantiasa menderak-derakkan giginya. Kerot-kerot mengunyah dendam dan benci. Mungkin semacam cinta juga. Bahkan dendam itu pun diabadikan dalam sebuah arca Dewi Thotgok Kerot. Luar biasa tinggi arca perempuan yang sedang sial itu.¬1)¬

Tentu saja ibu menyimpan banyak tanya, gugatan. Sedemikian buruk nasib sang dewi. Sementara pria punya selera, sang pujaan Panji Jayakusuma malah kian memprimadona justru karena sering berganti nama dan cintanya. Terlebih terhadap Dewi Candra Kirana. Seolah mereka sejoli penyelamat dunia.

Aku protes keras, anakku. Cinta itu misteri yang bukan cuma milik orang istana, putera raja-raja yang sempurna hanya dalam cerita. Kita tidak akan pernah sesempurna cerita itu, anakku. Tapi cinta itu tumbuh tidak pernah pilih kasih. Ia hadir pula bersama kita, di sini. Di dunia nyata maupun mimpi kita, cerita kita ini.



2. Senja Seorang Delicata2)

TAKUT? Ah, aku telah tak punya rasa itu lagi. Garis hidupku yang melabuhkan aku di gang mesum ini, telah suntuk bagiku. Menjadi orang buangan, tapi dibutuhkan. Jadi yang terhina tapi dipuja lelaki hidung belang, telah mendamparkan takdir kehidupanku yang sama sekali lain. Meski aku tak tahu persis apakah takdir itu kurebut atau hanya terseret arus yang menyebabkan aku demikian tak punya takut.

Katakanlah sesuatu kekuatan tumbuh dari bawah kesadaran jiwaku, bahwa hidupku kini yang sebenarnya, telah ada di ruang rongga tubuhku. Sedang jasad ini ternyata tak cukup berguna kecuali bagi lelaki yang perlu menenggelamkan batang tubuhnya.

Karena itu, aku tidak takut dengan garis keriput di raut mukaku. Aku tak gentar dengan usia senja yang bakal menyerang tubuhku. Apalagi hanya untuk hilang nyali bila mulai sepi dari penjaja tubuhku. Aku merasa punya hidup baru sebagai seorang wanita berjiwa pengembara yang meninggalkan jasadnya. Agar menikmati keluasan samudera alam cita, merasuk ke dalamnya, mendaki puncak-puncak gunung es di dasar lautan terdalam, terjauh. Aku tak peduli tubuh semenjak lelaki sedang butuh.

Meski aku tetap setia tinggal di gang sempit ini, kendati tak masuk dalam kamus pilihanku. Aku memang tak punya pilihan, seperti halnya aku setia pada jasadku yang tak tersisih sekalipun merepih. Pilihanku hanyalah aku punya obsesi yang besar pada kehidupan yang sederhana di gang sempit dan mesum ini. Gang yang cuma kenal ditindih atau menindih.

Ya, keberanianlah yang menggurat di nadi leherku. Keberanian untuk kembali lahir lagi, hidup lagi, tidak sekadar sebagai seorang pelacur miskin yang sentimental pada isi kantong lelaki. Aku ingin bernyali besar tumbuh sebagaimana jiwa seorang wanita, seorang ibu bagi anakku dan seorang manusia yang mengendarai sendiri mimpi-mimpinya. Bahwa menjadi manusia, menjadi wanita tidaklah sesederhana di gang mesum ini.

Ketika perempuan-perempuan sibuk menjemur kasur, mencuci sprei, atau upacara menelan pil anti hamil, aku berkelana selaku wanita tukang cerita bagi anakku. Aku memperkenalkan negeri asing yang entah itu dongeng, mimpi atau dunia nyata keadaannya. Aku tak peduli. Karena bagiku yang terpenting adalah aku sedang menciptakan suatu dunia baru yang sanggup melepaskan seluruh krisis yang mendera tubuhku. Bagaimana rupanya? Seperti apa wujudnya? Percaya atau tidak? Itu hanya semata urusan orang yang mencari-cari pekerjaan yang sia-sia. Paling-paling aku cuma dicap perempuan yang mati rasa, yang sakit jiwa atau putus asa akibat dagangannya nganggur percuma.

Tapi kalianlah sebetulnya yang sakit
“Satu-satunya kebusukanku, aku adalah seorang pelacur. Itu semata-mata urusan tubuhku sendiri. Aku sudah bermaksud menghentikannya dengan cara hanya menerima seorang tamu saja. Seorang saja. Selebihnya, jiwaku sehat walafiat. Bahkan belum pernah aku merasa sesehat ini. Aku punya anak, punya hidup, punya cinta, cita dan punya hak dan kuasa. Apa yang salah? Aku juga punya misteri yang kukejar, punya gairah yang memabukkan untuk kuburu. Apalagi? Salah satu kebrengsekanku hanya urusan jasadku.”

Setiap lelaki yang kuhardik dengan kasar seperti itu tak cukup pintar untuk mengerti. Lelaki paling cerdas hanya bersikap mundur teratur. Tapi yang bodoh biasanya mengajak bertempur. Sedang pria yang setengah-setengah seringkali berucap, “astagfirrullah.” Kata yang di gang mesum ini terbilang sangat kejam menggantikan kalimat, ”Tuhan menyembuhkan penyakit sosialmu dengan mengutuk jadi gila.”

Dengan makhluk pria, aku tak pernah berdebat. Cukup jelas bagi yang datang di gang ini, juga yang ke rumahku bukan lelaki yang punya jiwa petualang soal-soal kegilaan atau kemabukan. Yang datang Cuma sepenggal nafsu dengan bumbu perasaannya. Atau seonggok hati yang berekor birahi. Dan tentu saja uang atau perjanjian utang.

Selain itu, juga lantaran di pintu rumahku dan pintu jiwaku seakan tertulis pesan, “Tak ada tempat untuk berdebat,” atau, “Ceritaku tidak untuk digugat.”
Namaku Kasiyati. Ejaan yang benar Kasih Hati. Tapi penghuni gang mesum ini akrab memanggilku Mening. Bila ada lelaki yang senang dengan nama Kasiyati, sudah barangtentu dia bukan pria biasa. Dulu aku tersiksa dengan nama Mening. Kini tidak lagi. Aku punya seorang putra tanpa bapak, Jauhari. Panggilannya Jauhar. Aku sendiri yang memberinya nama. Seperti juga aku yang menentukan jalan hidupnya, juga jalan ceritanya.

Aku menjalin kasih dengan pria berkebangsaan Belanda, Edeleer L Gerritsen. Aku berharap dia bisa menjadi ayah yang baik bagi Jauhar. Karena keinginanku itu, aku sendiri yang menambahkan Edeleer di depan namanya itu. Artinya, tuan yang terhormat.



3. Kupunya Nama, Maka Aku Ada

ENTAH bagaimana mulanya, keberadaanku, kehadiranku begitu tiba-tiba saja ada. Aku lahir, hidup, punya masa silam, masa kini dan masa depan, maka aku ada. Aku sering berganti-ganti nama, tapi tak mengubah garis hidupku.
Dan yang kutulis ini kuyakin adalah perjalanan hidupku terlepas dari siapa pun namaku.

Semula aku punya nama Kiyato, agar tumbuh sebagai gadis yang tegar. Mbah Puteri yang memberi nama itu. Selain berbau Japanese, juga mencontoh kekuatan batin Mbah Puteri yang dulu sebagai jugun ianfu3) sebagai pemuas nafsu serdadu Jepang. Namun selang beberapa tahun, ibuku yang memang berdarah Jepang itu protes.

“Harusnya aku yang punya nama itu, karena akulah keturunan langsung serdadu Jepang,” sergah ibu suatu saat seperti dikenangkan Mbah Puteri.
“Nggak perlu. Justru karena kamu memang berdarah Jepang kamu kuberi nama Jawa—Jumanah. Akulah yang tahu ayahmu orang brengsek,” tepis Mbah Puteri yang masih menyimpan kekerasan hati buah dari dendam. “Kamu tak akan kuat. Tapi puterimu bisa jadi yang berani berhadapan dengan orang Jepang.”

Ucapan Mbah Putri memang terbukti. Bertahun lalu aku turut andil mendaftarkan nenekku sebagai penerima santunan korban kekejaman fasisme Jepang.
Ibuku sempat mengganti namaku dengan Maharani. Tapi keseharianku yang rusuh, liar dan tak pernah makan kitab suci agama, membuat ayahku Kiai Sholeh Mansyur jadi risih. Aku berganti nama Islam dari kitabnya, Umi Khalsum.

Aku bersikukuh menjadi diriku sendiri, keadaanku.
Tingkahku kian menghebat, kebat kliwat4) tatkala duduk sebagai mahasiswa Ilmu Budaya di Universitas Pawiyatan Dhaha. Aku makin merasa tangguh merekam di otakku konsepsi-konsepsi kebudayaan sebuah kota yang telah lama terkubur. Aku punya kepercayaan demi melukis gambaran bakal lahirnya kembali kejayaan kota ini.

Aku menciptakan kota Calcutta van Jawa, menjadi kota besar, kaya, megah yang terbelah peradabannya oleh sungai laiknya ular melingkar, Gangga. Dengan sisik-sisik berkilau di sisinya. Rumah abu, mantra dan doa peziarah yang hendak menghormat leluhurnya.

Bila matahari pagi menyusup, percikan kilau dari ombak kali menjadi kanvas emas perahu-perahu gethek5) penambang pasir. Di sisi timur bibir kali berdiri Klenteng terjepit pusat kota dagang, Dhaha. Di pinggir sebelah barat gereja yang lapang menghadap kubah masjid agung. Berdiri menjulang di atas pasar bandar kali.

“Ini sebuah kota pujaanku, impianku,” gumamku. “Betapa sejak dari sudut arteri hingga jantungnya membuat pikiran, perasaanku melesat ke peradaban dengan pelbagai kepahitannya, keangkuhannya bahkan keluguannya.”

Petang datang diintip mata dewa yang berbinar keemasan. Di sudut timur laut kota, petilasan Yang Mulia Maharaja Prabu Jayabaya tak pernah henti menghembuskan nafas kota. Sebuah spirit dan jiwa dari raga kota. Sebiji mata batin bagi seluruh warga yang memujanya.

Di sana tertanam rahasia masa silam, masa kini dan masa depan. Kami berlomba menangkap sumber dari segala sumber alamat, sasmita.

“Tentu engkau pun tahu aku memahatkan doa atas nama Gerritsen juga di sana. Aku ingin dengan segala cinta dan birahi menjadi satu-satunya kekasihnya. Aku mau dia menjadi pendamping hidupku. Dan aku baru kali ini mengucapkan doa yang begini simple, meski aku orang pintar. Bukankah cirri orang pintar itu berdoa dengan bahasa yang melayang tinggi melambung ke angkasa? Tapi tidak bagiku kali ini,” aku mencurahkan isi hati selaku wanita normal kepada kawan sebangku, Endang Pergiwati.

“Eh, kamu juga minta supaya kekasihmu itu tak sering bertandang ke gang mesum Proborini?” pinta Endang.
“Tidak. Kenapa? Mungkin jawabnya belum. Karena bule itu biasanya liberal. Ia tidak suka dilarang dari sesuatu yang memang haknya.”
“Hei..jadi kau pendamba cowok liberal? Penganut freesexs, sering gonta-ganti pasangan?? Ingat AIDS, sayang!”
“Huh! Aku tidak berkata begitu.”
“Lantas?”
“Karena aku tahu Gerritsen hanya bergaul dengan seorang pasangan saja yang aman di gang itu. Dia sendiri cerita padaku. Sebegitu terbukanya cowok liberal itu.”
“Kau akan menikahi pria yang menceritakan affair-nya dengan seorang pelacur?”
“Why not?”



4. Sepotong Rahasia

BUKAN maksudku tampil selaku diri yang gila misteri.
Kedatanganku memang membawa misi rahasia. Secara professional tak seorang pun boleh menyingkap tabirnya. Tapi secara pribadi tidak satu pun bagiku perlu menyimpan misteri hidup. Sepanjang berbatasan tipis dengan rahasia tertinggi dari Sang Khaliq, tidak pernah aku menutup-nutupi suatu soal. Apalagi menyangkut kehidupan pribadiku.
Seperti yang kututurkan ini adalah keberadaanku yang sebenar-benarnya. Bahkan yang tersimpan di bilik ruang dalam jiwaku. Menjadi rahasia bila berhadapan dengan orang lain, bagiku cuma terhalang selembar tirai. Tentang hidupku, cintaku, petualanganku, juga tentang kehidupan spiritualku. Terlebih pengembaraanku menembus keleluasaan padang alam citaku.

Sebelum terpaku di kamar kos milik keluarga Nyonya Jumanah dan Kiai Mansyur, aku punya latar belakang pekerjaan yang sama sekali tak menyenangkan untuk kuceritakan kendati itu terjadi di negeri sememikat itu, India. Aku diminta mempelajari seluk-beluk sukses berabad-abad maskapai perkebunan peninggalan Inggris. Dua tahun aku di negeri persemakmuran itu tapi tanpa hasil. Pikiranku terus melayang pada perempuan. Karena kukira penyebabnya lantaran tak ada wanita yang menyeretku jadi betah dan pintar di sana.

Kini sesuatu yang luar biasa mulai terjadi di sini. Aku merasa takjub, benar-benar tersihir keindahan India justru di wilayah peta ini. Sepenggal negeri yang dahulu bernama Hindia Belanda. Ketika aku menjadi seorang yang terhormat lebih dari sekadar anugerah Edeleer dilayani wanita tengadah pasrah di gang mesum bernama Kasiyati. Saat di lembaran hidupku yang lain aku dipuja gadis penuh gairah putrid nyonya rumah, Umi Khalsum.

Aku lahir di Wageningen, Nederland 28 tahun lalu. Aku tak punya nama kecil. Aku menyelesaikan pendidikan teknik di Technische Hogeschool Delf dengan spesialisasi mesin produksi Ketel Uap dan Boiler, menurut anjuran ayahku yang berharap aku bisa bekerja di maskapai perkebunan yang dirintis leluhurku, Deli-Batavia Maattschappij di anak cucu perusahaannya. Entah di turunan yang ke berapa.

Sampai kemudian oleh suatu sebab aku bekerja di PT Perkebunan Nusantara X Pabrik Gula Ngadirejo, di Jawa ini. Sebelum dipersiapkan mengemban misi rahasia ini, aku harus terlebih dulu mendalami Bahasa Indonesia selama beberapa bulan di Universitas Leiden. Mengambil kursus singkat spionase di salah satu rekanan Akademi Militer Kerajaan di Breda.

Tapi baiklah untuk sementara aku belum perlu mengungkap misi rahasia apakah itu. Demi menjaga profesionalisme kerjaku sebagai seorang ingenier, ahli mesin. Aku perlu tunjukkan bahwa bule yang semenjak kecil dicap pemalas ini, karena kebiasaanku membersihkan lubang kuping dengan bulu ayam atau cottonbuds, berkelejatan lantaran geli keasyikan ke sekujur syaraf tubuhku ini, seorang pekerja yang beres,
Di pabrik tak ada ayam. Hanya kulit tebu atau paku. Kunci atau besi.

***

MESKI aku tak tahu jawaban persisnya, sayang dugaanku keliru ketika mengira wanita itu tak menyukai tetek mbengek soal mesin, oli dan rancang bangun pabrik.
Setidaknya itu kutahu dari gairah sorot mata Umi Khalsum bila mendengar paparanku. Gadis itu jadi paling kritis mengajukan Tanya seolah dialah insinyurnya, bukan aku.
Entahlah, semakin aku cuma merasa ada yang aneh saja. Selanjutnya terserah padaku. Biarpun tumbuh kecurigaanku mengapa Umi Khalsum gelisah sibuk mengatur duduk bila menyaksikan bulu ayam menari di cuping kupingku. Seakan aku yang menikmati tapi dia yang menggelinjang malang.

“Jadi Mr Gerritsen didatangkan khusu untuk menangani ketel pabrik yang meledak itu?” kedengarannya Umi bertanya sesuatu yang telah tahu jawabnya.
“Ya, begitulah kurang lebihnya.”
“Wah, hebat dong.”
“Kebetulan saja, aku yang ditunjuk mendampingi logi mendatangkan konstruksi pipa-pipa ketel uap dari Jerman atau Jepang atas rekomendasi banyak pihak yang tak perlu kusebut.”
“Sebegitu pentingnya bule ini?”
”Jangan kamu kira aku nggak ngerti kata bule, gadis Jawa yang nggak Jawa.”
Kami pun tertawa cekikikan. Desah angina penjambak bau sedap malam menerobos kehangatan canda kami.
“Huh, apa sampean ngerti orang Jawa yang Jawa?”
“Untuk mengerti Jawa tidak harus belajar pada orang Jawa. Nederland itu gudangnya pakar Jawa. Kamu mungkin nggak percaya orang Jawa sekarang justru belajar Jawa di Nederland. Lebih banyak professor ahli kebudayaan Jawa di Nederland ketimbang dari Jawa. Universitas Leiden itu istananya budaya Jawa. Paling yang kamu kenal cuma Neil Murder, Zoetmulder.”
“Aku percaya. Aku sudah tahu kenyataannya seperti itu. Jadi kata-katamu percuma. Lebih baik ceritakan yang tak aku tahu perihal pabrik,” pinta Umi Khalsum.

***

PABRIK itu dibangun pada menjelang akhir masa kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr ACD de Graeff sekitar tahun 1930. Jerih payah dari revolusi industri paling modern di zamannya, 40 tahun sesudah berakhirnya system tanam paksa tanaman tebu. Benarkah sungguh-sungguh berakhir?

Yang menakjubkan ketel uap pabrik sebagai dapur meski lebih setengah abad umurnya tetap berfungsi baik. Juga lokomotifnya penarik lori-lori baru belakangan saja diafkir. Justru ketel kedua yang baru dibangun lima tahun terakhir sering ngadat. Puncaknya bulan April 2007 pipa-pipa arus produksi meledak dan kebocoran tak bisa dihindari. Produksi mangkir total.

Setelah tender perbaikan digelar, biaya perbaikan nyaris menyentuh angka 10 miliar. Kerusakan ketel jelas berdampak pada ruginya petani tebu yang harus antri tebang jika pun beruntung tebunya tak mengering. Waktu tercepat yang dibutuhkan perbaikan ketel dua bulan.

Peristwa inilah yang mengantar percepatan insinyur Gerritsen dikirim ke Jawa. Meski sebetulnya ia hendak ditugaskan menyelidiki kebocoran-kebocoran lain terkait keuangan perusahaan. Kapasitas produksi sangat memadai, bahkan peringkat terbaik. Tapi kredibilitas perusahaan harus diselamatkan sampai tercium rencana swastanisasi dari pihak BUMN.

Sudah dapat diduga apa yang terjadi di dalam. Nenek moyang di Nederland hanya butuh kirim orang untuk menyiapkan laporan konkret dari Gerritsen. Tapi kini rencana sedikit berubah. Dia punya tambahan waktu untuk menggoda perempuan-perempuan Jawa.



5. Pengakuan Kasiyati

EDELEER, aku harus katakana tak cukup berucap terimakasih padamu. Kaulah pria yang membuka matapandangku, matahatiku, matabatinku tentang keindahan cinta di lembah nista ini. Kau seperti sengaja dikirim hanya untukku, untuk hidupku. Tidak untuk yang lain, tidak untuk kepentingan lain.

Bagiku engkau sesosok dewa yang terjun ke rawa-rawa, sesuatu yang tak pernah terbayang sebelumnya olehku.

Kau sungguh nyata, Edeleer. Kau menembus lebih jauh dari hidupku selama ini yang cuma berkubang pada Lumpur, dan rumput basah di rawa-rawa ini. Hidup sederhana yang berkutat soal dapur, kasur dan sumur atau sandang, pangan dan papan. Hidup yang bahkan untuk menyentuh belahan jiwaku, anakku saja aku tak mampu. Aku tak kuasa dan tak sampai terjemah hatinya. Bagaimana bisa aku mencuri arti yang demikian ini?
Bahkan, jikapun itu suatu ujian, aku merasa tidak pernah lulus. Untuk pasrah saja aku tak rela. Apalagi harus memberontak keadaan. Apalagi harus bersyukur, betapa aku makhluk paling nista, bila itu terjadi: Bersyukur dianugerahi kebebasan menikmati gerak riuh gemuruh gang mesum ini. Lebih kejam dari rajam hujatan makhluk yang disucikan moral dan kitab agama atas nama dendamnya pada gang mesum ini.

Apakah itu pertanda puncak dari kematianku? Tujuan hidupku? Atau semacam tetenger bahwa aku telah tak memiliki apapun? Apalagi hak? Sebaliknya bahwa akulah yang sesungguhnya telah dimiliki belahan jiwaku, anakku. Begitulah aku sebagai perempuan sebagai ibu yang terampas, terenggut.

Pada titik tertentu, aku merasa diselamatkan putraku.
Kini aku berdiri di titik balik yang serupa garis cakrawala di tepi samudera. Kaulah samudera itu, Edeleer, dengan alunan ombak, angin dan kicau beburung di angkasa. Juga di balik pelipis laut yang terendam ada karang, palung terdalam sampai ruang gelap di dasarnya. Kekayaan yang tak ternilai harganya.

Jiwa yang membangkitkanku kembali dari matisuri pikiran, indera, imajinasi, perasaanku dan intuisi hati dan batinku.

Ah, mengapa aku demikian memuja dengan kata-kata begitu seolah-olah hidup seperti rumput—hijau segar tapi kerap dianggap pengganggu. Kutahu jawabnya demi hidup itu sendiri yang seringkali dicap tidak bermutu, meski sama-sama susah dimengerti, kejujurannya, keluguannya, keindahannya, apalagi rahasianya.

Padahal ini adalah sesuatu yang sederhana. Cinta, birahi, uang dan harapan. Atau sejenis belaskasih, nafsu, hiburan dan uang makan.

Kekasihku, Gerritsen, aku memujamu sebagai orang asing dari belantara jiwa yang perawan, suci dengan sinar gairah purba yang lugu dan murni yang kubutuhkan. Andaikata aku lelaki pengembara, kaulah Dewi Anggreini yang memikat hati sang Panji. Tapi kaulah pria itu dan aku bukanlah Dewi Anggreini, perawan lugu sesempurna cahaya rembulan, purnama yang bertengger di jarum-jarum cemara dan puncak rerimbunan bambu yang membayang diserpih air sungai.

Kau yang berkuasa atas kelelakianmu. Aku tidak punya kekuatan untuk menaklukkan cintamu, merebut rahasia jiwamu menjadi milikku. Aku hanya menunggu keajaiban berpihak padaku mendapatkan cintamu, kasihmu, birahimu, hidupmu.



6. Aku Berontak, Maka Aku Ada

“UMI, kamu seperti perempuan liar, tak bermoral. Kau perempuan penggoda yang tak tahu agama,” dingin, kebiasaan marah Abahnya, Kiai Mansyur. “Melihatmu, aku merasa telah menanggung beban dosa yang luput kumintakan ampun pada Allah. Kau berbeda dari tiga kakakmu yang selamat menempuh hidup bahagia. Tinggal kamu satu-satunya slilit di sela gigi Abah dan Ibumu.”

Biasanya, Umi diam. Dalam diam pikirannya bergolak. Sampai batas ujung tertentu, ia memberontak oleh arus darah yang menggelegak.

“Jangan salahkan terus aku, Abah. Aku punya pribadi dan Abah punya andil membuatku berbeda seperti ini. Bagaimana Abah terus membedakan aku dari saudaraku dengan sekeji ini. Aku memang harus beda, tanpa atau dengan campur tangan Abah,” Umi tersirap darahnya saat ia anggap selesai soal-soal pribadinya di usianya dewasa. “Persoalanku sudah sangat lain Abah. Masalah keilmuan. Kenapa Abah begitu bernafsu ingin aku seperti anak-anak lagi?”

“Anakku, Abah sekadar memantik hatimu akan moral dan agama.”
“Bagaimana bisa Abah punya hak menentukan seolah satu-satunya orang yang tahu moral, dan kukuh beragama? Hanya karena Abah punya mushala dan pernah nyantrik di pesantren paling mujarab menyembuhkan luka aklaq. Seoalah aku adalah dosa Abah dan harus mohon ampun bertobat padamu,” kata yang pengap sesumuk cuaca siang yang bimbang.

“Karena itu sebaik-baik jalan, anakku. Agama.”
“Anakmu memang tak bisa membaca huruf Arab apalagi kitab. Tapi bukan berarti aku terkutuk.”
“Tak ada orangtua yang tega mengatai anaknya demikian.”
Umi hampir saja menangis bila ayahnya tak mulai menyoal hubungan asmaranya dengan pria dari negeri kincir angina itu. Bahwa seorang ayah kini sedang khawatir dengan kehidupan pribadi putrinya.

“Mustinya kamu berlaku sopan sekalipun kepada pria yang kurang tinggi aklaqnya, Umi,” satir tapi telah biasa getir.
“Jadi Abah menempatkan Umi dan Tuan Gerritsen tak beradab?”
“Tidak. Abah hanya melihat kamu sedang terancam, mendekati bahaya perbuatan setan.”
“Sudah kusangka, Abah sangat kejam.”
“Abah cuma tidak ingin apa yang kubangun sebagai keyakinan lalu runtuh kembali.

Sesuatu yang berat. Sakit. Pengorbanan itu sangat pedih, Umi. Kecuali bagi orang yang ikhlas. Tapi ada yang lebih pedih dari itu, takdir yang tak sempat kita rebut. Bapakmu ini belum cukup ilmu ketika tidak sungguh-sungguh menyakini jalannya benar-benar ikhlas atau meragukannya. Dulu ketika Abah memilih menikahi ibumu, aku sedang berperang menaklukkan diri. Bagaimana aku bisa menjamin hidup seorang wanita yang tidak henti-hentinya merasa diri sebagai anak haram keberadaannya di dunia ini.

Ia menyebut diri putera setan. Abah bertarung waktu itu dengan batin sendiri. Lebih meradang ketimbang pergulatanku dengan keadaan zaman. Abah tak bisa berpaling karena kuanggap ini takdirku yang bisa kurebut. Aku memenangkan pertarungan itu, meski semuanya itu ternyata bukan semata-mata hasil jerih payahku. Seiring berlalunya waktu, lambat laun darah setan yang mengalir di tubuh ibumu terbuang. Anak. Ya, anak-anak telah lahir dan membersihkan kotoran yang bersarang pada tubuh ibumu. Aku bersyukur karena semua anak yang lahir dari rahim ibumu, perempuan. Siti Rodiyah, Siti Rofiah, Siti Fatimah dan kau ragilku, Umi Khalsum. Aku tak habis piker bagaimana Mbah Putrimu, ibumu dan aku punya nama sendiri-sendiri untukmu. Seolah-olah kamu hendak dibentuk demi untuk memenuhi perasaan-perasaannya sendiri. Ah, tapi sudahlah, kau juga tak akan mengerti perasaan Abah. Kau belum pernah dihujani panah takdirmu ke ulu hati antara yang tak bisa kau tekuk dan yang bisa kamu buat remuk. Sepenuhnya itu hakmu Umi, milikmu. Abah hanya tunjukkan batas-batas diriku, bahwa kuakui terkadang aku sangat ingin kau kembali seperti anak-anak lagi. Bukan. Jangan. Jangan artikan ini penyesalan. Ini cuma gambaran ayah yang tak mau hilang kekuasaannya.”
Beberapa butir air bergulir dari sudut mata Abah. Seperti halnya dia, aku tidak berduka. Dia kukira hanya sedang tidak mengenali puterinya lagi. Seorang wanita berdarah muda yang tengah menggugat hidupnya karena merasa ibarat di sarang laba-laba. Bahkan untuk menangkap gairah yang menggelegar dari binary matanya saja dia tak bisa. Kiranya, ia melihat puterinya terjebak permainan cintanya sendiri.

“Umi, kau sedang dikuasai nafsumu, anakku.”
“Tapi aku punya otak, Abah.”
“Hanya itu yang mengendalikanmu? Tidak cukup. Tidak adil. Kamu hanya akan jadi kekonyolan yang kau tertawakan sendiri kelak. Pergaulanmu dengan Gerritsen akan meruntuhkan spirit hidup ibumu bila kau tak hati-hati, Umi. Abah sedang mengingatkan. Jangan kau buat ayah ibumu punya hutang pertobatan yang belum lunas.”
Umi Khalsum tercenung. Berdiam diri. Berdamai diri.



7. Takdir Ibu

MEMANDANG Abah menuntun ibu ke kamar mandi saban pagi, telingaku serasa dibisiki sepenggal kata yang menggetarkan hati. Ibu lebih sepuluh tahun usia Abah tapi di tubuhnya sama-sama mengalirkan darah sejarah.

Lukisan itu bukan suatu alas an bagiku membenarkan atau menyalahkan argument Abah. Aku sebatas memahami serentetan bunyi yang ditembakkan dari rongga mulut Abah melalui sudut pandang sorot mata ibu. Kukira itulah satu-satunya usahaku menjangkau hati ibu. Perihalo takdir ibu aku tak sampai hati mengumbarnya.

Ibu tetaplah seorang ibu.
Bila menelan sesuap makanan, terlebih dulu ibu musti menjulurkan lidahnya ke depan, mengangkat dagu tinggi-tinggi, lalu memaksanya meluncur di batang tenggorokan. Kebiasaan itu abadi hingga kini, yang menurut Mbah Puteri sebuah gambaran dari semangat hidupnya yang melayu, memberat dan menyiksa diri.

Berbeda dengan Abah, ibu puasa bicara. Satu-satunya jendela yang menembus kalbunya cuma sorot matanya. Orang pertama yang sanggup mengintip ruang jiwa dari jendela itu adalah Abah. Dari sanalah tidak ibu punya garis-garis warna yang berbeda. Abah senantiasa menanamkan benih cinta dengan kata, “Kau bisa mengendalikan takdirmu, berawal dari matamu.” Mantra Abah ini ternyata mujarab. Syarat berat agar Abah menyembuhkan sakit jiwa ibu sebagai anak setan terlampaui. Setelah berkat doa, cinta, juga tatapan mata. Maafkan bila untuk yang satu ini aku susah menterjemahkan: Bagaimana mula pertama percumbuan ibu, percintaannya di ranjang saat saling memasuki dari jendela dua pasang matanya. Hampir pasti, Abah harus terlebih dulu main paksa.
Lantas, betapa hidup ibu jadi berubah semenjak awal mula menjatuhkan mata pandang ke dalam bayang terdalam bening mata bayi-bayi puteri buah kasih keduanya. Ibu mendapati cermin diri pada sebentuk nyala redup yang berkelebat menyusup di rongga mata anak-anaknya.

Untuk pertama kalinya ibu tersenyum, saat itu. Untuk kali pertama ibu memperkenalkan kepada kami, bayi-bayi ini, kebebasan seperti arus air mengalir. Lalu apa bedanya aku dengan saudara-saudaraku? Mengapa di mata Abah, aku pembawa sial? Jika Abah memintaku membaca ayat-ayat berbahasa Arab, mengapa kemudian kujawab dengan pertanyaan serupa agar Abah duduk di bangku kuliar mengambil filsafat, sejarah, sastra atau budaya? Mengapa engkau tidak menemukan jawabnya pada mata ibu, bahwa takdirku berbeda dengan takdirmu, Abah, yang berkawan maupun yang bergelut denganku?

Aku tidak mendapat alas an yang cukup untuk menyiksa Abah. Ibu mengikat kami. Tidak saja perasaan dan batin kami. Tapi juga hati yang tak terbantahkan kejujurannya, kebenarannya, kemurniannya.
Siapa berani berbantah, mengunyah, apalagi muntah?

Kenyataan bahwa kecurigaan Abah kelak aku akan merobohkan bangun spirit hidupnya, hanya dengan menjalin asmara pria asing itu kukira sangat berlebihan. Itu sama artinya,

Abah yang putera seorang terpandang, kukuh memegang ajaran agama, menganggap semua pria bule itu Yahudi atau kafir. Sungguh keji.

Kuakui, sadar atau tidak, sisi terdalam jiwaku yang sempat terlupakan terbias bayang bening sorot mata ibu. Jendela hati yang menghamparkan pandang segala keindahan hijau belantara cinta yang purba.



8. Bercumbu dengan Cemburu

“TAHUKAH kamu perihal cemburu, Edeleer Gerritsen? Pernahkah kau menyelami perasaan perempuan yang dikurung dalam diri seperti itu, seorang pelacur yang hanya mendamba cinta seorang lelaki saja?” pertanyaan ini bergemuruh di dada Kasiyati yang hampir pasti tak terjawab oleh kekasih hati.

Di depan pria pujaannya, hati Kasiyati seringkali rusuh—keadaan yang pernah dibayangkannya dan ia takuti, mula pertamanya, mencari makna dari keterasingannya, keganjilannya. Sama sekali tidak popular di gang mesum ini, ketika halaman rumah para wanita penghibur bisa dihitung berapa jumlah tamunya dalam sehari, sehari semalam atau seminggu.

Hebatnya, Kasiyati kian merasa dikuasai gila-gilaan olehnya. Hingga dia menggapai kenikmatan rasa buah dari emosinya itu. Kasiyati bercumbu dengan cemburunya pada pejantan asing berkulit roti merah yang matang. Puncak rasa itu nyaris membuatnya melenyapkan otaknya. Dia hampir hilang akal.

“Aku belum pernah punya rasa ini sebelumnya, Edeleer,” Kasiyati mengulang tanya, juga mungkin kepada dirinya sendiri.
“Aku menyukai tempat ini, menyukai kamu, memberiku daya hidup.”
Terang kata-kata Gerritsen tak menghunjam sampai ulu hati. Seperti roti tawar dengan mentega tanpa selai.

“Aku ingin mengatakan sesuatu yang semenjak engkau jadi tamuku, telah menyiksaku, Edeleer.”
“Ceritakanlah. Senang sekali aku mendengarmu, Kasiyati.”
“Aku kini dihinggapi perasaan yang sebetulnya tak dimiliki wanita penghibur. Kau yang memulai, Edeleer, kuharap kamu juga yang mengakhiri. Jika aku menjadi pelacur karena semata-mata demi uang, demi kehidupanku, aku sudah cukup mendapatkan hampir seluruh gajimu dari perusahaan. Jumlah besar yang mungkin tak seberapa dibanding kiriman komisi jasa baikmu dari negerimu sendiri. Aku sudah harus memenggal masa laluku yang menyerahkan keperawanan karena kemiskinan. Aku mesti mengakhiri dongeng Bombay6) ala India tentang seorang gadis yang menjual keperawanannya di atas alas kardus demi biaya pembakaran jenazah bapaknya. Barangkali ini serupa daya hidup dalam pikiranmu.

Hanya saja aku mendapati suatu kenyataan yang lain, Edeleer. Aku sudah harus meninggalkan lembah ini tanpa harus dibayangi ketakutannya merenggut kebebasan hidup seseorang. Bukankah kau datang ke gang ini didorong keinginan melunasi kebebasanmu? Ah, bagaimana mungkin aku mulai bisa mengutuk dan mengingkari kenyataan lembah nista yang telah jadi bagian hidupku. Edeleer, bertahun-tahun aku hendak melenyapkan akalku, tapi terbukti hari ini aku tak bisa. Agar tidak banyak mempertimbangkan seabrek perangkat pikiran, perasaan, nasib. Betapa hari ini ternyata aku masih hidup dan sanggup jatuh cinta kepadamu, Edeleer. Aku mencemburui kebebasanmu, cintamu.

Sementara aku masih terpaku pada keseharian hidup yang mengurungku di sini. Apakah aku salah? Aku tidak sampai hati menyalahkan diri sendiri atau menyesali diri karena jujur harus kuakui satu-satunya terjemah dari kebebasan yang kudapatkan terbaik ternyata ada di tempat ini. Ialah tatkala aku tidak punya perasaan apa-apa terhadap beban tubuhku. Juga simpul yang tidak asing bagi kebutuhan tubuh: Uang yang kudapat dengan gampang. Terlentang di atas ranjang, melayang dan akhirnya dibuang. Edeleer, tentu kau tak bisa membayangkan dari anti klimak keadaanku yang telah terlupakan.”

Kasiyati mengapuh perasaannya, pikirannya, inderanya, sampai dengus nafasnya pun ia minta menyingkap isi hatinya. Sulit dibayangkan tidak menguap, bila itu ia ungkap kepada pria yang memuja pikiran, apalagi harus berkendara bahasa Indonesia dari hasil kursus tiga bulan. Sebab itu, Kasiyati lebih banyak bersandar pada hal-hal yang irrasional, yang tak terucapkan, dan yang asali, murni tak terbantahkan. Inilah yang ia percaya sebagai nenek moyang bahasa yang ia ucapkan.

Seorang Edeleer Gerritsen hanyalah manusia biasa. Ia berbicara dengan banyak sekali bahasa. Satu-satunya kamus mutakhir yang komplet menyerap makna adalah ketika kami sedang bercinta, bercumbu rayu dan bertubuh utuh memerah sperma menghisap darah, peluh dan melemparkan raga. Nafas kami yang hangat kaya nuansa, bahkan puisi. Juga aroma tembakau yang dihisap Edeleer, bau parfum murah hadiah pria-pria yang mencoba merayuku, minta diri tak mau dikebiri dari arti.

“Jika pun benar kamu sedang tersiksa, aku tak suka kamu menyiksa diri seperti ini, Kasiyati,” itu kata pertama yang Edeleer mengerti saat jasadku kembali. “Di tempat ini, di ruang dan pada orang yang kupilih sebagai pelabuhan hasrat cintaku.”
“Hei.. Bagaimana kamu bisa ucapkan kata-kata seindah itu, Edeleer?”
“Kamu yang mengajari aku, Kasiyati.”
“Ah, Tuan hanya memuji.”
“Tidak, perempuanku. Dari seluruh permukaan bumi paling tepi, ranjangmulah, kamarmulah pasak bumi yang memusat ujung temaliku. Lalu, kamulah titik dengan bilik-bilik kamar tempat istirahku. Pengelanaanku berpusar padamu, berkumpar di pusarmu.”
“Edan! Jangan-jangan ini rahasia terhebat dari ketangguhanmu di tempat tidur. Karena Tuan minum pasak bumi Kalimantan, ya?”
“Nggaaakk!!!” konyol sekali bila ia pertontonkan kepolosannya. “Aku cuma sedang belajar bahasa Indonesia saja. Dari tubuhmu.”



9. Voorloopig Verslag7)

NGADIREJO, suiker fabriek8), April-Mei 2007
Perbaikan ketel pipa air berkali-kali bongkar pasang. Kerusakan parah akibat ledakan pipa mungkin bisa diatasi. Tapi mencari kebocoran dalam jumlah besar seperti upaya menemukan jarum di tumpukan jerami. Jerami yang terbakar. Kebocoran masih terus terjadi.

Desas-desus dari luar berhembus pabrik bakal berhenti total beroperasi. Tapi kamu para inginier berkejaran dengan waktu memulihkan peralatan jantung pabrik. Ketel buatan Japan, merk yoshimine berkapasitas 75T/h itu, kerusakan boleh dikata total dari kedua jenis arus: pipa air downcomer maupun riser. Kontraktor yang memenangkan tender dan sanggup mendatangkan pipa khusus dari Japan berjenis searless carbon steel tube boiler 33. s-jis.6-3461-1978 (Ike tak yakin angka-angka ini berguna bagi anda, hei para bestuursleder9) ). Sanggup bekerja 24 jam. Sebab bila dalam sehari perusahaan untung bersih 2 miliar rupiah, berapa musti rogoh kocek dalam sebulan atau bahkan dua bulan?

Rupanya ini krisis paling hebat sepanjang sejarah pabrik. Melihat geliat kerja mandor perusahaan, karyawan pastel dan kampanye apalagi yang kontrak harian, seperti kucing kebanyakan makan. Krisis ini memudahkan bagiku menangkap isu praduga bersalah demi memuluskan project atasanku: Menguasai kembali maskapai melalui swastanisasi. Tentu saja sambil di sana-sini berteori. “Jelas ini akibat human error yang menumpuk. Standar perawatan ketel di luar dan dalam masa giling tidak diterapkan. Jelaga yang berlapis-lapis penyebab korosi berlebihan.”

Beragam tuduhan pun mulai melayang. Rasional maupun berbau supranatural. Krisis ini konon ibarat pecahan gunung es dari akumulasi pelbagai kejahatan misdrijf10) berwajah kolusi, korupsi dan nepotisme meski masih desas-desus perlu dibuktikan lebih dalam.

Kebocoran dana di sejumlah pos atau mark up pelbagai tender sonder pertimbangan biaya perawatan dan nilai penyusutan. Tuan pasti paling suka fakta ini agar “ayam jantan” segera lepas dari kurungan bolong BUMN ini. Ini sandi operasi yang tak boleh bocor kepada pers. Untuk masalah ini akan terus saya kejar sampai mendekati kebenaran.

Info lain: Mulai muncul gerakan protes petani akibat kerugian yang diderita tanpa kompensasi. Harga tebu jatuh tanpa kepastian kapan waktu tebang. Sebagian malah mulai menuding telah terjadi permainan atas rendahnya rendemen tebu. Pada saat kisruh, dari sisi kepercayaan gaib,itu semata-mata kesalahan administratur pabrik yang tak menghormati danyang-danyang penunggu desa. Upacara-upacara ritual dituding sengaja ditebas. Tak ada pertunjukan wayang, jaranan, apalagi ritual penyerahan binatang atau boneka korban.

Kelihatannya mulai banyak kepentingan yang bermain. Lebih banyak pula yang sibuk mencuci tangan. Soal yang ini, kiranya kawan yang bertugas nguping di jajaran direksi di kantor Jembatan Merah Surabaya banyak mengumpulkan data. Laporan untuk sementara sampai di sini. Kiriman komisi jangan sampai telat lagi. NB: Email baruku pasakbumi@mailcity.com. Daftar dugaan departemen-departemen yang potensi korup belum bisa kulaporkan. Aku masih melayani perempuan-perempuan di sini. Kau tahu bukan, aku seorang javanenliefde11) terutama kepada gadis-gadisnya.

Aku cuma berbekal sepotong sajak Tagore:
O, perempuan, kau bukan buah karya Tuhan semata, tetapi
buah karya lelaki juga12).



10. Klandestain13)

AKU benar-benar tak bisa sembunyi dari bayangan Mr Gerritsen. Ia menjadi semacam hantu yang mengikuti terus kemana aku pergi. Bahkan ia merasukiku.
Hanya dalam keadaan kosongku, ia menyisakan bayangan yang tak pernah pergi. Geliat tubuh, desis bibir tipisnya dan geli yang angslup di jurang birahi, bertempias melalui pori-pori kulitnya. Merinding ngeri. Saat ujung lembut bulu ayam menari melemparkan ribuan syaraf telinganya seperti bola bekel.

Tidak ada yang aneh bila aku merasa tak ada bedanya aku bersamanya atau tidak. Perasaan ini rupanya buah dari kecamuk ketakutan Abah dan keindahan mata ibu yang kini sebagian menjadi milikku.

Aku merasa telah hilang tubuh, bentuk dan remuk. Sebaliknya, aku menemukan keutuhan dari serpih ruh jiwaku yang tak terlacak sampai ujung terjauh mimpiku, igauku, alam bawah sadarku.

Batasnya cukup jelas: Jutaan syaraf kuping kekasihku yang seolah milikku. Seoalah punyaku. Juga tarian itu selain sepotong sajak Tagore yang telanjur dibenamkan padaku tentang kecantikan seorang perempuan. Sajak yang ditulis pengarang kelahiran Calcutta dan menetap di sana hingga senja usianya. Lalu tentang Jalan Niaga, kuil, laut, dermaga, sawah, hutan, bukit. Tidak sulit bagiku memindahkan itu ke wilayah peta kotaku. Menjadi semacam perpustakaan dengan rak-rak berderet tempat berdiamnya gemuruh ruh. Apalagi cuma soal sepele semacam kemiskinan, pelacuran.

Aku cukup tahu diri dimana tersembunyi kecantikanku, di lipatan segala peta itu. Siapapun namaku, apapun profesiku.



11. Fantasi Negeri Birahi

“AKU suka sama kamu karena kau gadis yang sangat bergairah, Umi. Kau gadis Jawa model terbaru. Pintar, terbuka, pemberontak, punya karakter dan yang lebih penting kamu kaya obsesi. Juga fantasi.”

“Ada lagi pujianmu yang tertinggal, Tuan Gerritsen?”
“Oya, ada. Kau sangat cantik. Maksudku, itulah segala kecantikanmu, Umi.”
Bagi Umi Khalsum yang terakhir ini tak sanggup menusuk ke dalam kalbunya. Betapa, meski ia cantik, ia telah meninggalkan jagad kecantikannya dari sisi jasmaniahnya. Ia tak mau undur ke belakang dari pencapaian dunia dalamnya. Tapi ia percaya rayuan Gerritsen bahwa kecantikan itu bias dari gelora cintanya pada ruh hidupnya yang sejati. Bahwa dirinya adalah misteri tersembunyi dan kini ia berenang di lautan bawah sadarnya itu demi dia sendiri.

Umi cukup memahami ajaran manunggaling kawula Gusti.14) Bahwa dirinya hanyalah gambaran mengenai Tuhan saja. Ia semata-mata tampil sebaik samarannya, nama-nama yang pernah dia punya. Termasuk gambaran cintanya kepada pria itu. Ia juga percaya pada seorang pria yang kelak akan menyingkap sisi terahasia hidupnya, mengenali cintanya dan tentu saja membuka tudung samarannya.

Ia yakin Gerritsenlah pria itu. Pria intelek didikan Eropa. Ahli mesin yang jatuh cinta pada puisi, tahu mistik, mengagumi Jawa dan tentu saja seorang petualang yang haus akan sesuatu fantasi baru, obsesi segar yang kira-kira simpulnya jatuh pada perempuan Jawa bernama Umi Khalsum.

“Bila aku bersamamu, aku seperti menziarahi hidup yang purba, yang primitive dan tanpa kepalsuan, Tuan Gerritsen.”

“Andai negeri ini dipenuhi sesak manusia berjiwa sepertimu, Umi. Setidaknya orang-orang pintar yang bebas punya kehendak seperti kau banyak hidup di kota ini. Apalagi jika para penguasa negeri ini punya jiwa sebebas kau, terlebih dengan spirit ibu yang ada padamu. Oh, kejayaan akan datang dan kehormatan kembali, enggan untuk pergi lagi, Umi,” mata Gerritsen menerawang dalam.

“Wow.. jadi kau tahu juga riwayat Jawa di masa tempo dulu, Gerritsen?”
“Aku hanya sedikit membaca permukaannya saja. Dari Lombard, Geertz, atau Magniz Suseno selain pakar-pakar Jawa dari negeriku sendiri waktu di perpustakaan Leiden.”
“Tapi kau sangat menukik dalam kalbumu perihal kejawaan. Seolah kau tahu banyak jiwa ksatria dan kesetiaan seorang perempuan pada diri Dewi Shinta atau pada Kunti yang dari rahimnya lahir Arjuna. Kau juga pemuja percintaan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih, bukan?” tiba-tiba Umi bicara wilayah jiwa yang antara hidup inheren di negeri kahyangan dan bumi pertiwi.

“Tentu Mahabarata dan Ramayana juga kubaca. Meski cuma sepenggal-sepenggal. Bagaimana bisa kamu puji aku luar biasa dalam kejawaan? Kau yang bertahun-tahun mendalami Jawa, tinggal di Jawa, berbahasa ibu Jawa. Pujian itu tepat untukmu.”
“Buktinya aku masih juga belum paham benar. Sebaliknya, aku mengerti justru dari uraianmu.”

“Semoga kau tidak sedang berfilosofi mikul dhuwur mendhem jero15) yang terjemahannya, memendam rasa sakit sambil mendorong orang lain celaka itu.”
“Tidak. Apalagi terjemahanmu itu salah kaprah,” Umi seperti melempar bola pingpong saja.

Sepanjang siang Umi menghabiskan hari bersama kekasihnya, Gerritsen. Keduanya saling menjelajah wilayah tak berpeta. Kota dan juga cinta. Kota yang bagi Umi persis rak-rak perpustakaan pribadinya, arsitektur, maupun tata letak rancang bangunnya. Sementara penduduknya adalah buku-buku budaya, agama, kepercayaan, sastra, ilmu jiwa dan sebagainya dalam deretan katalog secuil kertas.

Lalu tentang cinta, kami saling memasuki ruang-ruang jiwa yang belum terjamah, hutan-hutan perawan, saling menjadi tamu sekaligus tuan rumah di negeri fantasi kami sendiri tempat segala keindahan juga misteri kegaibannya. Kami sedang merasuk melalui pintu bahasa, bercengkerama, berkencan menciptakan sekaligus memecahkan mitos-mitos baru kami perihal cinta.

Bahwa cinta tak pernah tuntas bila dinalar sekalipun murni dari otak homo sapiens paling cerdas, intelektual suma cumlaude dari universitas terkemuka.

Ternyata cinta berdiam di sisi tersembunyi dari bilik bernama hati. Semacam institusi yang bersih, murni, suci tanpa kepalsuan dan kebenarannya tak diragukan. Ia merangkum seluruh gemuruh gairah pikiran, perasaan, inderawi juga intuisi batin kami.

“Pikiran akan gagal menerangkan cinta. Seperti keledai di lumpur. Cinta sendirilah pengurai cinta16),” tiba-tiba Umi ingat saja sepotong sajak penyair Rumi dari Afganistan.
“Huih…kau pengagum Rumi rupanya.”
“Ah, hanya membaca. Tapi itu tak akan membantuku jadi orang. Aku punya spirit sendiri tantang bulan. Aku berjanji kelak akan kuceritakan padamu bagaimana lelaki memuja cinta perempuan karena perempuan adalah kesempurnaan, kecantikan purnama. Kukira tak hanya perempuan yang mendamba purnama tapi juga kaum pria yang mabuk kemilaunya.”
“Candra Kirana?”
“Diancuk! Tuan tahu juga?”
“Kan sudah kubilang, aku diberitahu Romo Zoetmulder.”

Kami sama-sama pecinta. Kami sama-sama pemabuk tak peduli mata yang berpandangan, raga yang bergandengan, berpelukan, bahkan berciuman di dekat kuil bersebelahan dengan Jalan Niaga tengah kota. Diapit dua buah bukit ranum di sisi barat kota. Juga pelukan kali di tebing kuil menuju pasar bekas dermaga kapal masa silam.

Umi menghabiskan waktu belanja buku-buku dan sedikit keperluan wanita, parfum, snack, sofftex, susu pembersih, juga pembersih lubang kuping cottonbuds untuk kekasih agar tak perlu repot mencari bulu ayam, kendati dengan alas an khusus Umi tetap setia menyediakannya.
***

AROMA kecap merasuk ketika kami melenggang di gang kampong yang sebagian besar dihuni orang Tionghoa. Sebuah pabrik berdiri gugup di situ karena kedelai seperti lari sembunyi dari ladang. Lalu restoran cepat saji menyediakan aneka makanan murah rakyat seperti warung. Kami menyantap rupa-rupa masakan tauhu dibumbu tauge, taokwah manis hangat semangkuk. Kamu juga memesan taoco dan menyeruput segelas teh. Beberapa gethuk pisang kumasukkan kantung plastic. Bentuknya menyerupai jung-jung yang membawa pasukan Kublai Khan di masa akhir kejayaan Kediri lampau, mengangkut senjata api atau juru masak tentara yang kocar-kacir oleh tipudaya Widjaya. Kukira orang-orang ini musti berterimakasih pada Airlangga yang memuluskan jalan sejak Tuban, Ujung Galuh hingga pusat kota lepas dari nasib kelam sejarah di kemudian hari.

***

GERRITSEN bersikukuh menggiringku ke Poh Sarang. Tempat paling masyhur bagi arsitektur gereja Katolik bergaya Majapahit di dekat kaki bukit. Buah tangan Maclaine Pont.

“Bertahun-tahun aku ingin berkunjung ke tempat ini, Umi.”
“Bagaimana perasaanmu kini?”
“Luar biasa. Apalagi di sisi seorang perempuan sepertimu. Mudah bagiku membayangkan lekuk liku gerbang gereja dan menara kapel seperti tubuhmu.”
“Overdomme!17) rayuanmu maut juga.”

Sebuah ciuman mendarat mulus di emperan paras Umi.
Di muka bukit itu, tempat yang tepat bagi Umi Khalsum mengenalkan pada Gerritsen sosok pertapa Kilisuci. Konon tak jauh dari gereja itu pula tempat pertapaan putrid Airlangga menjadi orang suci yang menolak singgasana. Dialah penjaga negeri ayahandanya dan keturunannya sebagai titisan Wisnu di samping pendeta Hindu terkenal Mpu Baradah. Kesucian orang-orang ini tergambar dari cerita Panji dan dongeng Calon Arang, ketika Kediri diserbu wabah penyakit akibat ulah dukun teluh yang dendam lantaran putrinya, Ratna Manggalih tak juga berjodoh.

“Aku merasa dibesarkan spirit mitos itu. Cinta, nafsu, kuasa, juga pengembaraan batin sebagai pemberontak yang oleh orangtuaku telanjur dicap pembangkang,” tandas Umi yang menyerupai keluh kesah.

“Ceritakanlah padaku, Umi. Tentang dirimu sendiri. Hidupmu.”
“Aku kehilangan akar. Aku tak punya tokoh panutan. Aku hanya menangkap binary mata ibuku, satu-satunya yang masih terjaga berkat sepotong dongeng, selain tentu saja gairahku waktu aku selagi bayi yang menyusu. Selain itu aku bukan siapa-siapa. Karena itu hidupku kuhabiskan hanya untuk mencari masa silam semata-mata memberi arti masa kini sembari mempertimbangkan masa depan. Tentu ini sebuah kecelakaan. Ya, mungkin sebagian telah menjadi takdirku. Tapi sisa takdirku berkata lain. Aku beruntung sebagai perempuan dan hidup dari kekayaan hasil bumi warisan kakek yang tuan tanah dan kini giliran dikelola ayahku, Kiai Mansyur. Dua hal yang akhirnya memicu diriku menjadi pembangkang yang gampang tersulut api emosi masalah keluarga. Aku membabtiskan diri sebagai peziarah masa lalu semenjak di bangku Universitas Pawiyatan Dhaha. Harus jujur kuakui, belakangan hari, sehabis memerah otak memeras hati, kutemukan ujung simpul dari pencarianku selama ini. Yaitu cinta. Juga kau yang menjadi saksi hidupku tentang cinta yang kumaksudkan, hidup yang kumiliki,” Umi menghabiskan kata seperti hendak menyusutkan jiwanya sampai seolah ingin mencairkan tubuhnya.

“Ah, lagi-lagi kau melebihkan kehadiranku, Umi.”
“Tidak, kekasihku. Kau adalah sisi kedua mata uang emas yang terbakar gelora api cinta yang berkobar. Sementara sisi lainnya adalah sesuatu keindahan cinta yang universal pada tubuh mitos-mitos penjaga hatio dan batinku. Juga jiwaku. Sampai aku sulit mengenali lagi mana bagian tubuh dan mana jiwa mitos-mitos itu. Cinta yang selama ini tidak kutemukan dari kitab-kitab pelbagai agama, aliran, sekte-sekte yang luar biasa subur di sini laiknya dalam satu rak khusus. Aku tak bisa membaca kitab, tapi sekarang aku tidak buta. Bahkan aku mampu mengembalikan cinta itu kepada yang murni dan asali. Pengalaman batinku yang gaib hingga merasa hilang raga jadi kunci pembuka rahasia cinta. Juga kepercayaanku pada negeri dongeng sebagai kenyataan tinggi sangat membantuku menterjemahkan perihal cinta yang universal. Oya, hampir lupa kuceritakan, perihal cinta sesame manusia, alam, demi keseimbangan semesta, aku terilhami biografi Mahatma Gandhi yang ternyata seorang penganut Jainisme Mahavira.

Lihat cara berbusana Gandhi yang nyaris tak cukup disebut selembar kain adalah simbol kepapaan hidup di dunia, seorang vegetarian yang menghapus kasta lebih dari sekadar derajat arus dan warna darah. Andai dia bukan lelaki, tentu lain ceritanya bagiku. Dialah yang mengilhami aku sekaranga agar menjadi seorang pecinta sejati, sebebas burung terbang rendah atau menjulang tinggi. Cinta sebagai suatu pengalaman religius di louar batas-batas agama, kepercayaan atau sekte.”

“Kau tidak sedang mengenalkan diri sebagai seorang penganut penghayat kepercayaan kepada Tuhan, bukan?” ada nada gugatan pada diri Gerritsen.
“Pertanyaan itu tak perlu kujawab. Pertanyaan yang kurasa serupa dengan apakah seorang pelacur itu punya Tuhan. Kalau Sidharta tak malu berguru pada seorang pelacur seperti dalam novel pemenang Nobel Herman Hesse, lalu jawaban apa yang memuaskan bagimu?”

Tiadanya jawaban atau pertanyaan lagi membuat dialog kami terhenti. Ada yang mengeras atau mencair di dalam hati. Apapun itu, barangkali itu suatu cinta atau cinta yang sedang mencari bentuk.

Umi mulai diserbu rasa takut kehilangan ruang waktu bercerita. Hari menjelang sore saat Umi ragu Gerritsen bakal tersinggung bila diseret ke tempat Dewi Surengrana. Prasasti bagi kaum Hawa pencemburu buta yang menderak-derakkan dendam dengan giginya. Sedang pria itu punya kebiasaan nyleneh pula menikmati bulu ayam dari lubang kupingnya.

Boleh jadi ini cuma perasaan Umi saja.
Ternyata, lebih dari itu Umi juga tak punya cukup keberanian menceritakan kehebatan suluk asli Kediri, Gatoloco yang bernas beringas ketimbang teori cinta Kamasutra.
Bukti bahwa Umi masih wanita biasa.



12. Menabur Angin Menuai Badai

KASIYATI, bergegaslah mencari pengganti nama baru buat putramu. Bila kau tak ingin hendak mewarisi pemantik perpecahan antar umat. Jauhar, dalam tradisi Hindu berarti jalan bakar diri ketimbang duduk tunduk pada kekuasaan musuh. Dan musuh Hindu waktu tempo dulu adalah Islam, sesudah membinasakan Budha Hinayana maupun Mahayana. Namun Jauhar bagi dunia Arab berarti permata, yang kemudian biasa digunakan dalam sajak mistik Islam, Hamzah Fansuri.



13. Grihajuddha18)

BAGIKU, Jawa adalah persimpangan dua perempuan.
Ketika di India, aku pernah menonton film dari stasiun televise lokal. Sebuah film lama, Grihajuddha, garapan sutradara Busdhadeb Dasgupta, yang juga seorang penyair asal Calcutta. Aku sangat terkenang kisah persimpangan jalan tokoh-tokohnya saat negerinya sedang dilanda krisis moral dan politik kelas menengah.

Aku menggambarkan diriku berada pada situasi itu ketika berhadapan dengan Umi Khalsum dan Kasiyati. Bahkan lebih banyak lagi persimpangan menghantui terkait krisis suiker fabriek. Saat begitu rupa warna pilihan, aku musti menjatuhkan satu pilihan tanpa harus menafikan pilihan lainnya.

Aku resmi menikahi Umi Khalsum dengan cara Islam. Tapi aku menemukan kebebasan dan tanggungjawab tanpa embel-embel moral justru pada diri Kasiyati. Kukira barangkali karena Umi Khalsum terlampau dewasa karena pengembaraannya. Sementara pada diri Kasiyati justru kebebasan itu kuraih dari kekanak-kanakannya, yang tanpa aturan. Akulah baginya yang melengkapi fantasi kekanak-kanakannya, karena ia tak pernah lagi merasa terkurung satu-satunya jerat kelam hidupnya, kemiskinan dan lembah hitam. Bersamanya, aku menemukan seluruh sisi kemanusiaanku tanpa selembar kertas pun yang menyederhanakan hubungan cinta kami. Apalagi rupa-rupa surat nikah maupun Kartu Keluarga atau KTP.

Suatu ketika aku menangkap situasi jiwaku dari pantulan keinginan hasrat birahi Umi yang tak bisa kululuskan lantaran terbentur sebingkai dinding. Saat Umi mengungkap hasratnya yang kuat ingin bercumbu rayu di kebun tebu. Aku tak tahu persis alasannya meski kukira hendak melepas bebas suatu beban. Baru setelah kudesak karena aku menolak, ia mengurai latar belakangnya. Katanya, demi membantai ngeri gelitik gemerisik daun tebu. Angin berbisik tapi serbuk daun tebu bagi Umi membuat nyeri hati. Pobhia yang tak bisa kujelajahi. Aku hanya menebar janji bakal menutup kembali goresan luka hatinya itu. Kendati aku menyimpan bayangan gersang bila kami berkelejatan di kebun tebu.

Kukira hanya orang yang benar-benar sehatlah, atau yang berbatasan tipis dengan keadaan jiwa yang pathologis yang memahami situasi keindahan semacam ini. Lalu tidak keliru bila kemudian tumbuh benih kecurigaan pada diriku bahwa sekarang hubungan kami bertiga adalah hubungan orang-orang yang terjangkit psikopat dan mabuk oleh keindahan cinta.

Andaikata aku punya kemampuan bahasa Indonesia yang hebat, mungkin keadaanya akan lain pencerahannya. Beruntung aku memiliki dua perempuan yang kecerdasannya tak kutemukan pada diri orang lain, wanita lain. Meski tak pernah mengajukan tanya, Umi kukira memahami hubunganku dengan Kasiyati. Sebaliknya, demikian halnya pada diri Kasiyati.

Kami rupanya telah menjamah sedikit dari misteri tingkat tinggi perihal cinta.
Sebab itulah sebagai sebuah persimpangan, akhirnya dalam catatan harianku pun kujatuhkan pilihan pada Umi Khalsum, dalam selembar kertas hijau muda. Ini hal yang tak kuasa kulakukan pada Kasiyati. Catatan harian itu sebagai berikut:

Umi Khalsum. Nama ketiga ini pun sesungguhnya masih tidaklah tepat. Ia bukanlah pemeluk Islam teguh. Dia juga bukan pemilik suara indah. Keindahannya terletak pada kecantikannya. Kecantikannya tercium dari imajinya tentang sebuah kota.

Kepercayaannya, keyakinannya, obsesinya membangun pusat kota budaya di atas agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, Konghucu, dan agama lain penganut kepercayaan, dengan megah. Ia menemukan diri di tengah carut-marut kegaguan zaman.

Berkat pengembaraan terhadap diri, berpihak pada spiritualitas yang aneh, ganjil, liar bahkan cenderung subversif dan anarkhis, ke dalam semangat baru, arus baru juga kebangkitan baru. Ia pemburu masa lalu sebelum akhirnya menemukan ruh cinta dari salah satu versi cerita Panji dalam Babad Kediri.
Engkau tak perlu lagi ganti nama keempat, Umi Khalsum.



14. A m a r a h

MASIH tiada sehelai pun catatan harian Gerritsen tentang Kasiyati. Suatu misteri terdalam yang belum terpecahkan. Namun Kasiyati sungguh manusia biasa yang bisa terbakar amarah, kecewa atau duka ketika kekasihnya memilih menikahi Umi Khalsum.
Emosi Kasiyati pecah membuncah. Ia menangis meski lupa bagaimana mula caranya, karena tak pernah ia lakukan semenjak bertahun-tahun lalu. Sungguh pantangan baginya menangis apalagi di depan putranya. Tapi kali ini benar-benar terjadi dengan sedu-sedan menyayat yang sangat aneh.

Sebuah tangis dengan irama seronen19) mengiris. Ia menangis dengan begitu indahnya. Seolah memperjelas itulah hidupnya yang sebenar-benarnya. Sebuah tangis yang membuatnya menarikan ruh jiwanya sebagai seorang manusia kukuh tak mau menanggung beban badaniyahnya. Sepertinya ia sedang mengalunkan nyanyian-nyanyian kerinduan pada hidup yang abadi di alam cita.

Sayang, mata ini sering menipu diri. Geliat tubuh Kasiyati yang meronta, berkelejatan seperti cacing terpanggang terik, mengesankan ia sedang mendendam pada hidup, mengumpat pada Tuhan. Kasiyati membanting-banting pintu, memukul-mukul meja, membentur-benturkan kepalanya pada dindinya kayu.

Sungguh, betapa amarah Kasiyati sebetulnya tertuju pada dirinya sendiri, keadaanya dirinya. Atau lebih tepatnya keterbatasan diri atas penjara tubuhnya. Tubuh yang bahkan telah sejak lama ia jual atau gadai pun tidak ia lakukan.

Kelelahanlah, juga perasaannya yang menyendiri membuat tangisnya terhenti. Pagi masih cerah ketika ia mulai lagi menyenandungkan irama seronen yang mengiris, lalu menari, juga nyanyian kerinduan yang mengukuhkan keinginannya tak mengakui tubuhnya. Ia ingin melenyapkan tubuhnyta, sebab tahu diri percobaannya memberi arti padanya telah gagal. Bahkan tak cukup berarti bagi lelaki kekasihnya. Tiada suasana paling nestapa selain seperti ini. Tak ada keindahan paling menakjubkan dan tak bisa diceritakan kecuali terjadi pada pengalaman diri Kasiyati.

Kindahan dari pencerahan keadaan diri yang mirip supreme de gout de moi,20) –perasaan mual luar biasa terhadap dirinya.



15. Kecamuk Amuk

NGADIREJO, akhir Mei 2007
Pers makin sibuk memberitakan perbaikan ketel pipa air yang tak kunjung kelar. Sampai hal yang sulit diterima akal telah terjadi. Tekanan dari jajaran direksi tak henti-hentinya melumrahkan gebrakan meja. Bahkan Administratur pabrik mempertontonkan drama paling tragis sepanjang kepemimpinannya. Ia menangis seperti perempuan muda dijamah tubuhnya oleh lelaki. Ia tersedu di depan para staff. Sesuatu yang sama sekali tak berarti kecuali bagi dirinya sendiri.

Keadaan ini tak bisa dibiarkan terus berlarut. Aku khawatir pers beralih isu mengarah pada merajalelanya tindak korupsi. Hal yang tak boleh terjadi sebelum aku melaporkan detil kejahatannya pada atasanku. Secara pribadi aku suka bila pers mencium ini. Proses swastanisasi tentu lebih cepat. Cuma justru di sinilah pekerjaanku, memotong kecepatan waktu sampai atasanku di Nederland benar-benar siap.

Maka rumus BUMN sarang koruptor itu benar. Aku berhasil mengumpulkan beberapa data tender proyek yang di-markup, pencurian besi tua secara besar-besaran, keterlibatan aparat keamanan, permainan rendemen yang melibatkan ketua paguyupan kelompok tani dengan orang dalam dan yang paling terbuka adalah suap dalam rekruitmen tenaga kerja.
Memang beberapa palaku yang sempat tercium aroma korup, jadi pelanggan pergeseran gerbong. Sayang, ini tampaknya hanyalah upaya arisan saja.

Ketika laporan ini ditulis, petani tebu protes keras karena tanamannya tak terurus. Sebagian yang lain mengamuk dengan membakar tebu-tebunya yang melinting kering.

Info terkini: Dikabarkan rencana pembelian vaporator, pemasak gula dari Jerman. Total anggaran mencapai 36 miliar rupiah. Silakan cek ulang kawan di Jerman, karena di sini diisukan cuma seharga 18 miliar.



16. Z i a r a h

JELANG petang. Aku datang ke dusun Menang bermaksud menjemput masa depan. Kubawa serta putraku, benih yang kutanam agar panen di hari belakang.

Aku tak hanya ziarah ke petilasan Eyang Jayabaya, tapi juga menziarahi seluruh gemuruh tubuhku yang menyimpan perasaan mual ini dengan sedikit melonggarkan kepercayaan pada akan datangnya masa depan. Aku menziarahi kembali mimpiku, tenaga gaibku, alam mistis yang diantar kembang kanthil dan aroma kemenyan juga japamantra juru kunci petilasan.

Menaiki tangga pamoksan aku melepas alas kaki. Menyerahkan doa pada juru kunci yang berlaku sebagai pintu menuju hari yang lebih menjanjikan. Ini tempat samadi yang tak pernah sepi dari dengung doa minta rezeki, jodoh, jabatan, pangkat bahkan keberuntungan hasil perjudian.

Entah bagaimana mulanya, aku menyakini tempat ini sebagai semacam gerbang melihat hari depan. Atau daun jendela yang setiap saat bisa terbuka bagi yang hendak ingin menatap riwayat dan semangat untuk membuka hari.

Anakku banyak bertanya, tempat apa ini dan untuk apa kemari. Aku pun menjelaskan dan menabur benih pengetahuan gaib dan penglihatan mistik padanya. Bahwa tempat pemujaan ini dibangun di atas mimpi seorang bernama Warsodikromo yang menyingkap sebagai petilasan Eyang Jayabaya. Mata air Mbah Sumber Buntung dijelmakan sebagai Sendang Tirtokamandhanu, tempat pemandian puteri kraton Kediri. Pesarean Mbah Ageng disebut-sebut sebagai loka muksa, pintu menuju surga bagi sang Prabu. Lalu makam ki Salepuk dijadikan loka busana, tempat busana sang raja semula ditanggalkan sebelum muksa. Kemudian makan Eyang Samsujen menjadi loka makuta, tempat Sri Aji Jayabaya meletakkan mahkotanya sebelum muksa.

Suatu keajaiban terjadi ketika aku merasa tak cuma masa depan yang datang, tetapi aku juga bertemu dengan masa lalu. Aku bertemu dengan sesosok perempuan yang entah kapan waktunya tiba-tiba saja datang petang itu. Aku serasa sangat mengenal perempuan itu.

“Bagaimana bisa kamu juga datang kemari? Sepertinya kau juga telah terbiasa. Untuk apa?” aku menegur sapa lebih dulu seakan-akan ini caraku menaklukkannya.
“Sama sepertimu. Aku mau menjemput masa depan.”
“Pasti urusan cinta, bukan?”
“Ya. Salah satunya. Kamu?” perempuan itu balik menyergap.
“Begitulah.”

Kami seperti sama-sama sangat mengenal kepribadian kami. Tapi kami tak pernah menyebut sepotong nama pun untuk dilekatkan di badan.

Aku pulang dengan kesegaran yang belum pernah terasa sebelumnya. Sekaligus dibalut mendung rasa takut, was-was menatap hari esok. Barangkali aku memang sedang menerima sasmita, tapi beban hidup yang menumpuk di badan ternyata masih cukup kuat menghalang.

Entah mengapaaku ingat ajaran leluhurku tentang sedulur papat, lima pancer. Kakang kawah, adi ari-ari, welat, kunir dan getih puser.



EPILOG:

Rahasia Waktu Peristiwa

SEBAGAIMANA setiap pertemuan, acapkali menyegarkan ingatan. Juga menyisakan gumpalan rahasia terpendam. Kuburannya adalah waktu. Kini aku jadi mengerti mengapa pertemuan kita yang ternyata bukan hanya sekali terjadi ini, senantiasa menggairahkan. Jawabnya karena kita punya cinta yang menyemangati hidup. Aku rindu pertemuan-pertemuan berikutnya denganmu, tempat kekinian memberi makna bagi waktu yang tepat menjadi suatu peristiwa.

Bagiku, perjumpaan denganmu yang menggendong masa lalu, juga kepingan masa silam, adalah peristiwa yang menakjubkan. Kukira demikian halnya bagimu bertemu seorang yang memburu masa depan sepertiku. Jadi satu-satunya kesamaan kita pada hari ini adalah sama-sama menciptakan peristiwa, menyingkap maknanya sambil mengubur usia atau mengejar alam cita.

Sebab itu, maafkan aku bila aku merasuki hari-harimu dengan beban yang kufetakompli sama denganku seperti itu. Aku tak bisa menilai diriku sendiri, apalagi ketika menjalani peristiwamu dengan sorot mata dari jendela hari depan. Harus jujur kuakui, bagiku, pencerita, penulis atau pendongeng dari jendela waktu itu, bahwa seluruh nama-nama dari peristiwa atau cerita ini memang pernah ada. Akan tetapi segala peristiwa di dalam cerita ini tidak pernah ada. Atau tepatnya mungkin belum sempat ada.

Satu-satunya peristiwa yang kita sadari ada, adalah upacara kematian insinyur Edeleer L Gerritsen. Lagi, aku memfetakompli peristiwamu, yang kuyakin benar lantaran kita memang sedang ada di sana saat itu, pertemuan itu. Gerritsen meninggal setelah menjalani perawatan intensif di RS Baptis akibat komplikasi dari bahaya tetanus di lubang kupingnya. Lagi, satu hal yang di luar pengetahuan kita, ternyata Edeleer L Gerritsen punya kebiasaan buruk selain menarikan bulu ayam, ia juga tak jarang menenggelamkan batang kunci atau paku ke kupingnya.

Semenjak itu aku mulai punya masa lalu, sehingga bisa kuceritakan seperti ini. Termasuk mengulang peristiwa keherananmu saat aku membawa surat wasiat Edeleer L Gerritsen agar jenazahnya dibakar bila ia meninggal dan ia minta abunya dilarung di kali Brantas. Ah, rupanya inilah terminal kita berikutnya bisa saling bertemu bukan? Aku sendiri terkesima ia berwasiat seperti itu. Tapi kesima yang tak menyurutkan sadarku dengan berusaha mencari jawab dugaanku sendiri. Bahwa kau akan melakukan satti21) karena cintamu yang luar biasa padanya. Semestinya, akulah yang melakukan itu karena telah mual dengan beban raga yang menyiksa.
Sampai sekarang aku tidak tahu, mengapa tidak juga kulakukan itu padanya, Saudaraku.

2008

---------------
CATATAN

1) Arca itu hingga kini masih berdiri kukuh di Desa Pulu Pasar, Kecamatan Pagu, Kediri. Tingginya mencapai 4 meter.
2) Sebutan untuk pelacur rendahan pada masa imperium Romawi yang sering dikenal dengan nama kuno Byzantium. Diambil dari novel Paul I Wellman, Wanita, Gramedia 1976, cetakan kedua.
3) Wanita pribumi yang dijual untuk menjadi budak nafsu serdadu pada masa pendudukan Jepang 1942-1945.
4) Melampaui batas tata kewajaran atau norma masyarakat umum.
5) Perahu tradisional yang hanya dijalankan dengan sebatang gala. Biasanya perahu ini terbuat dari bambu-bambu yang diikat.
6) Judul cerpen yang ditulis seorang pengarang terbaik Indonesia, Gerson Poyk. Mengisahkan seorang pelaut Indonesia yang membeli perawan gadis remaja Bombay. Saya membaca cerpen ini dari majalah sastra Horison beberapa tahun lalu.
7) Dari bahasa Belanda. Artinya, laporan sementara.
8) Pabrik Gula (Bld)
9) Para anggota pimpinan (Bld)
10) Kejahatan berat yang di sini dikanal dengan KKN.
11) Pecinta Jawa
12) Dipetik dari kumpulan sajak Tukang Kebun, Rabindranath Tagore, Pustaka Jaya, 1996 hal 94.
13 )Gerakan bawah tanah. Pengarang mengasosiasikan jiwa yang terlupakan dengan idiom ini.
14) Paham mistik Jawa yang terjemahan harfiahnya, menyatunya Tuhan dalam diri manusia.
15) Ajaran moral orang Jawa tentang etika tenggang rasa. Kuranglebih terjemahannya, menjunjung tinggi harkat martabat dan menutup rapat aib yang merendahkan.
16) Dari salah sebuah sajak sufi Jalludin Rumi, dalam Mastnawi.
17) Sejenis kata umpatan. Artinya, terkutuklah kau (Bld).
18) Artinya jalan persimpangan. Selain film yang ditontonnya waktu di India ini, tokoh Gerritsen juga terinspirasi kunjungannya ke Calcutta. Di sana ia mendengar cerita bahwa sebuah prasasti Airlangga ditemukan di sana oleh Raffles. Prasasti itu kemudian disebut Batu Calcutta berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Juga disebut-sebut sebagai batu perismian Biara Pucangan. Cerita ini juga diilhami oleh pesona penyair Rabindranath Tagore yang jatuh hati untuk menulis sajak tentang Jawa. Sayang, penulis belum menemukan sajak yang dimaksud.
19) Seruling khas gamelan Madura
20) Istilah ini digunakan pengarang Budi Darma untuk melukiskan kondisi kejiwaan tokohnya dalam Olenka. Sumber utamanya dari ungkapan Albert Camus pada novel La Nausee.
21) Tradisi Hindu kuno yang berlaku untuk perempuan-perempuan istri demi membuktikan pengabdian dan cinta pada suaminya. Caranya dengan ikut membakar diri bersama jasad suami bila telah mati.[]

Surabaya Pagi 22 November 2008

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita