31/10/08

Orang-Orang Berdosa

Hudan Hidayat
http://jawabali.com/

PEMBUNUHAN-pembunuhan itu membuatku menjadi dingin. Aku jadi orang apatis. Aku tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan salah. Sama saja bukan? Salah atau benar semuanya ada dalam tatanan Tuhan. Direncanakan atau kebetulan, tetap saja ia adalah karya Tuhan, yang tidak bisa kita tolak. Beruntunglah orang yang ada di dalam garis Tuhan, hidup enak dan tidak berliku. Pada orang-orang seperti itu, aku tidak cemburu. Biasa saja. Tidak merendahkan atau meninggikan. Aku justru simpati dengan orang-orang yang kalah, orang-orang berdosa, yang dari awalnya sudah menempuh jalan berbeda.

Untuk menunjukkan rasa simpati itu, aku keluar dari sekolah. Kepada guru kelas SMA, yang dengan segala daya merayuku agar tidak keluar, aku hanya tersenyum. Kukatakan keputusanku tidak bisa ditawar. Ia berkata, "Mengapa? Apa yang terjadi? Tiga bulan lagi kamu ujian. Habis itu jalan terbentang. Kau bisa masuk filsafat seperti yang kau kehendaki. Atau psikologi, hukum, atau ekonomi. Pendeknya apa saja. Asal kau jangan keluar. Please, Dani sayang!" Katanya sambil menjenguk ke dalam mataku. Dapatkah kau sesuatu dari sana, Ibu? Tidak, kau tidak akan mendapatkan sesuatu. Sebab aku telah menguncinya. Aku memang punya rasa cinta. Bahkan sejak aku berpikir aku punya rasa cinta. Kadang aku begitu sayu dengan rasa cintaku. Kukenang dengan segala jiwa dan ragaku. Aku meloncat dari satu cinta ke cinta yang lain. Mula-mula aku tidak menyadari ini. Kukira cuma perasaan biasa. Aku tertarik karena wanita yang kutemui memang mengesankan. Tapi kemudian aku tahu bahwa aku memang gampang terbuai cinta. Aku tidak tahu siapa yang sesungguhnya kucinta. Mungkin seluruh perempuan-perempuan itu. Yang kukenal ketika aku masih kecil. Kelak setelah dewasa, perasaan cinta model itulah yang menjerumuskanku pada banyak wanita.

Waktu umurku 4 tahun, aku pernah melamunkan seorang yang usianya jauh dari diriku, sekitar 13 tahun. Seorang perempuan yang cantik dan lembut. Siang malam aku memikirkan perempuan itu. Kadang aku membayangkan hal-hal yang besar untuknya, yang bisa dibanggakan. Dia begitu dekat denganku. Ketika aku sakit, perempuan itu membelaiku dengan senyumnya. Aku menerima segala belaian itu, bergerak manja seperti kucing hitamku. Tapi aku tahu, bersama itu aku mempunyai geliat lain: nafsu, yang belakangan aku mengerti, adalah hasrat untuk membunuh. Kubayangkan perempuan itu membelaiku, sementara aku menusukkan belati padanya. Rasa cinta sama besar dengan rasa membunuh. Itulah hatiku. Dan kamu tidak akan tahu itu, Maya-ku. Kamu tidak akan mendapatkannya. Percuma bola matamu yang lembut itu menjenguk ke dasar jiwaku. Tak ada apa-apa di sana. Perempuan yang menjadi guruku masih sangat muda. Paling 21 tahun. Dan ia tidak hanya cantik, tapi lembut dan selalu memberi simpati. Apapun juga, aku akan tetap bergerak ke arah lain, Maya.

Aku tetap ingin keluar. Dia, dengan segala kelembutan dan rasa sayangnya, berlinang air mata. Tiba-tiba ia memeluk dan menyandarkan kepalanya ke dadaku. Ia terisak dan tetap memintaku jangan keluar. Aku melihat ke sekitar, sekolah kami sepi. Hari sudah menjelang senja. Kawan-kawanku sudah pulang. Kami ada di sudut gedung yang tak terlihat siapa pun. Entah mengapa aku membelainya. Aku cium kening wanita yang sangat baik kepadaku itu. Rambut dan tubuhnya mengeluarkan bau harum. Aku jadi terangsang. Birahiku bangkit. Kutatap wajahnya. Pelan-pelan bibirku mencium bibirnya. Ada sesuatu yang bergerak dalam hatiku, tapi aku cepat-cepat membunuhnya. Aku tidak ingin terlibat emosi. Aku memang tidak menempatkan dirinya dalam posisi pelacur-pelacur yang kusetubuhi, tapi aku tidak mau hatiku tercuri dan akhirnya berhenti. Kami keluar dari halaman sekolah seperti sepasang kekasih. Berjalan kaki menuju jalan raya. Sengaja kupilih jalan-jalan yang banyak gembelnya. Tidak sukar di Jakarta untuk mencari jalan-jalan seperti itu.

Di depan Megaria kami berhenti. Perempuan cantik anak orang kaya ini memperhatikanku, seakan-akan aku adalah makhluk asing baginya. Aku diam saja. Aku tetap memerhatikan orang-orang yang bergeletakan di stasiun kereta api. Ada loper koran yang termenung-menung sendiri. Lampu jalanan dan suasana malam membuat ia seperti mati, duduk dengan koran di tangannya. Mungkin ia terkenang kampung halamannya. Ayah yang mengusirnya. Ibu yang menyuruhnya mencari uang untuk membantu keluarga. Banyak alasan mengapa anak usia 6 tahun itu duduk di tempatnya. Aku juga memandang seorang bapak tua dengan pakaian kumal di tubuhnya. Ia seorang lelaki 60 tahunan. Wajahnya tua dan keriput. Matanya sayu tanpa harapan. Ke manakah keluarganya? Mungkin ia sendiri saja di dunia. Seperti aku. Aku juga sendiri saja. Setelah ayah dan kakek meninggal, aku tidak punya seorang pun lagi. Bebas merdeka seperti burung, terbang tinggi. Terbanglah sesuka hati. Ya, tapi ke mana? Ke mana saja. Kau dapat terbang dari sebuah pengalaman ke pengalaman lain. Dari sebuah pembunuhan ke pembunuhan lain. Ah, kalau itu bukan mauku. Benar aku mempunyai impuls-impuls ke arah situ. Tapi itu bukan segala-galanya. Setidaknya ia bukan suara yang dominan. Ia lebih disebabkan keadaan, yang membuatku harus mengerjakannya. Bagaimana kalau wanita di sampingmu? Ia jelas sungguh-sungguh mengharapkanmu. Bukan harapan seorang guru kepada muridnya lagi. Tapi penantian seorang perempuan terhadap lelaki. Mengapa kau tolak dia? Bukankah itu juga suara hatimu, meski kecil dan selalu kau ingkari. Aku tak tahu.

Kukira ada yang bergerak dalam hatiku. Entah apa. Semacam usia muda yang ingin mengelana. Fase di mana suatu saat akan berhenti. Tapi yang jelas tidak sekarang ini. Rasa-rasanya aku lebih enak sendiri. Mungkin aku inginkan ibu, tapi ibu telah lama mati. Dan aku tidak akan pernah lagi berjumpa dengannya. Mungkin perempuan ini mirip ibuku, sehingga kau tak bisa mencampakkannya. Mungkin juga. Lihat dia tersenyum mengerti dengan apa yang kau pikirkan, dan memegang tanganmu seperti ibumu yang kau rindu. Pokoknya cobalah dulu. Kalau tidak bisa baru kau tolak. Apa susahnya mengatakan tidak. Toh membunuh pun kau sanggup. Bayangan pembunuhan itu membuyarkan lamunanku. Segalanya terasa tawar kembali. Juga malam dan orang-orang yang bergeletakan. Aku mulai lagi dikuasai rasa marah pada Tuhan. Juga putus asa. Apa salahnya kami-kami ini, sampai Kau hukum dengan jalan kelam seperti ini. Mengapa tidak semua manusia Kau buat bahagia? Bukankah Kau punya kekuasaan untuk itu? Apa yang Kau sembunyikan? Mengapa?

Sebuah tangan yang hangat mendekapku. Ibu Maya berkata dengan lembut, "Kita pulang, sayang?" Aku mengangguk. Kami menyetop taksi pulang.

Aku sudah keluar dari sekolah, dan beberapa orang tetanggaku menanyakan keberadaan ayah dan kakekku. Aku berkata ayah dan kakek pergi jauh, mereka mengerti dan tidak pernah bertanya lagi. Ayah dan kakek memang suka pergi lama. Meninggalkanku sendirian. Pernah mereka pergi hampir dua tahun. Berburu ke Afrika. Dan aku mengerjakan semuanya sendirian. Menyapu, memasak, mengepel, semua kulakukan sendiri. Rumah ayah cukup besar. Dua tingkat dengan 4 kamar. Belum lagi ruang-ruang lain dan halaman. Jadi cukup memerlukan waktu untuk membersihkan rumah. Sehingga aku sering terkenang dengan ibu, saat ia sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Kukira kalau ibu ada, ibu pasti mengerjakan pekerjaan yang kulakukan. Menarik juga rasanya melihat ibu memasak nasi, memotong dan menggoreng ayam untuk kami. Atau menyapu halaman rumah saat sore. Ibu pasti senang mengerjakan pekerjaan itu. Dia seorang perempuan periang.

Dari catatan ayah aku tahu bahwa ibu sangat mencintai ayah dan aku. Ia seorang perempuan yang lembut. Ayah menulis, istri saya sangat mencintai anaknya yang baru berusia 3 tahun, sedang lucu-lucunya. Sering saya lihat ia mengajak anaknya bicara, dan selalu saya mendengar kata-kata ini: Ibu sayang kamu Nak, Ibu sayang kamu Nak. Nanti kalau sudah besar kamu mau jadi apa? Kamu harus jadi anak yang saleh. Pintar. Dan sayang sama kedua orang tuamu ya. Jangan sekali-sekali kamu membangkang. Apa artinya hidup kalau kamu keluar dari jalan Tuhan. Dan ibu selalu mengakhiri kata-katanya sendiri, dengan menciumiku sejadi-jadinya. Kadang air matanya berlinang melihat kebahagiaan yang didapatnya. Sebab ia orang miskin dan berasal dari keluarga miskin. Tapi memperoleh suami yang sangat sayang sama dirinya, dan anak yang sedang lucu-lucunya. Ayah selalu mengakhiri catatannya dengan perasaan menyesal. Saya menyesal sekali. Mungkin ini satu-satunya kekeliruan yang terbesar dalam hidupku. Mungkin waktu itu aku harus melawan kemauan ayah. Sebab bukankah kita bisa menjadi atheis tanpa harus menghabisi keluarga? Tapi mungkin juga ini hukum karma: sebab hampir sepanjang hidup saya, ibu yang kubunuh datang dalam mimpi, membawa tanda bahwa saya juga akan membunuh istri sendiri, sebelum terbunuh oleh anak sendiri. Saya menyesal. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya bisa melakukan agar anak saya tidak menjadi atheis seperti kakek dan ayahnya. Agar ia menjadi orang baik-baik. Dapatkah keinginan saya ini terkabul? Mengapa pertanda itu selalu berulang dalam mimpi-mimpiku? Apakah aku dikejar perasaan berdosa? Tapi aku tidak percaya Tuhan? Saya tidak pernah mengakui kekuasaan-Nya. Saya juga sudah tidak memedulikan-Nya. Bagaimana orang yang tidak percaya dapat diburu dosa?

Esoknya aku kembali lagi ke Megaria. Aku ingin bertanya kepada anak kecil dan kakek itu, apa yang terjadi dengan hidup mereka. Apakah seperti yang kupikirkan kemarin, atau ada hal lain. Kukira ini penting. Setidaknya aku dapat membanding. Perbandingan apa pun, aku tahu tidak akan berguna untukku. Aku sudah mengambil sikap yang jelas. Tapi entah mengapa aku tetap melakukannya. Mungkin karena aku melihat diriku dalam diri anak kecil itu: ketika ia termenung seperti orang mati, dan aku juga melihat diriku dalam diri orang tua itu, ketika keriput wajahnya dan hampa matanya, kubayangkan sebagai keriput dan hampa mataku di hari tua. Ya, barangkali hari tuaku akan berakhir seperti anak dan orang tua itu: sendirian. Bila itu terjadi, aku berharap aku tetap saja di kota ini. Tidak pergi ke mana-mana. Sebab aku sudah merasa nyaman di sini: kota ini seperti bayanganku sendiri. Aku suka kesibukannya yang tak habis-habis. Orang-orangnya yang tak sabar dan segala-galanya centang-perenang. Aku suka karena di dalam ketidakberesannya itulah aku dapat hidup: ia seakan memberikan benteng padaku, seolah apa yang terjadi pada diriku mendapat pembenarannya, dalam kota yang keras dan tak manusiawi ini.

Aku menunggu tiga jam, tapi kakek dan anak itu tetap tidak kelihatan. Seakan mereka ditelan bumi. Beberapa orang datang dan beberapa orang pergi. Stasiun itu mulai sepi. Aku duduk mencangkung di salah satu pojoknya yang menghadap ke sebuah hotel. Aku sudah tiga jam mengamati orang-orang yang turun dan pergi dari hotel itu. Sambil menunggu satu jam lagi, aku tetap mengamati kegiatan di lobi hotel itu. Siang tadi matahari demikian panas. Tapi malam panasnya berkurang. Angin malam dan lampu-lampu jalanan membuat kota ini menjadi lain bagiku. Aku selalu terpukau dengan kota di malam hari. Sesuatu tak terkatakan ada di sini, di malam hari ini. Seakan suara orang minta ditunggu dalam sebuah perjalanan jauh dan tak pernah kembali. Seakan sebuah dunia yang damai dalam diam. Atau perang dalam keheningan. Entahlah. Semuanya mengabur. Inilah saatnya aku suka lepas kendali. Kontrolku hilang. Sudah dua jam yang lalu aku melupakan anak dan kakek itu. Perhatianku tercurah kepada mobil-mobil bagus yang memuntahkan penumpang ke hotel di depanku. Ada lima puluh perempuan, kalau aku tidak salah hitung, terserap dan keluar dari hotel itu. Siapakah mereka? Apa yang terjadi di balik bangunan megah bernama hotel ini? Saat Adam memakan buah yang kemudian disebut buah kuldi, karena terbujuk oleh ular, konon yang terjadi adalah aurat mereka terbuka. Sehingga mereka malu dan menutup auratnya dengan daun-daun surga. Jadi ini simbol perzinaan pertama. Dan simbol inilah yang melemparkan mereka ke dunia. Aku menambahkan versiku sendiri: setelah auratnya terbuka, mereka jadi bernafsu. Lalu kedua Bapa kita itu bersetubuh.

Berapa banyak orang-orang di hotel ini telah memakan buah kuldi? Sebanyak tamu-tamu yang terserap dan dilemparkannya kembali. Mereka telah memakan buah kuldi dari hari ke hari. Dilindungi tembok dan aturan. Dan ada sebuah 'kuldi' lain ketika jam ke empat aku di sana: saat aku hendak pulang, aku melihat dua bayangan berkelebat. Aku merasa itulah bayangan orang yang kucari-cari. Maka aku mengikuti ke mana mereka pergi. Mereka masuk ke dalam lorong-lorong di bawah stasiun yang gelap, karena lampu tak ada. Hanya mengandalkan bias penerangan jalan. Aku terus mengikuti mereka. Mereka terus masuk dan berkelok, sampai ke tempat yang paling tersembunyi dari stasiun itu. Aku menahan napas ketika kedua orang yang kucari mulai membuka pakaian, dan kakek itu dengan bersemangat mulai menusukkan penisnya ke pantat anak itu, lalu kudengar napas mereka memburu, sebelum terhempas ke dalam erangan yang terasa sangat menyesakkan.

Sumber : Media Indonesia Online

Lu Xun sebagai ikon sastra global

Sumber; http://community.siutao.com/

LU Xun telah berpulang 65 tahun lalu, namun demikian karya sastra dan buah pikirannya masih mendapat perhatian dan popularitas yang tak kunjung padam. Karyanya tidak hanya dimiliki oleh satu bangsa saja melainkan memiliki nilai global, ujar Feng Tie, seorang cendekiawan asal Cina yang sekarang berada di Jerman dalam symposium internasional berjudul The World of Luxun and the Lu Xun of the World.

Lu Xun yang dilahirkan di Shaoxing, Zhejiang pada tanggal 25 September 1881 dan meninggal 9 Oktober 1936 disebut sebagai pemikir besar Cina dan sastrawan pada abad ke-20. Ia banyak menulis karya sastra seperti The True Story of Ah Q (A Q Zhengzhuan), A Madmans Diary, Kong Yiji dan Medicine yang mengekspos sisi hitam sifat manusia.

Semasa hidupnya karya Lu Xun bagaikan menara mercusuar yang menyediakan cahaya peneranga bagi orang muda Cina yang bersemangat menyambut masa depan Cina. Setelah meninggal orang Jepang menganggap karyanya sebagai kekuatan untuk membangkitkan semangat negara Jepang yang hancur setelah Perang Dunia II

Di awal abad 20 Lu Xun masuk dalam nominasi penerima Nobel namun ia menolak menerima penghargaan kehormatan ini. RRC pada tahun 2001 ini merayakan ulang tahunnya ke 120.

Selama 10 dekade terakhir, 10 ribu ahli dan cendekiawan di seluruh dunia telah terlibat dalam stuid mengenai karya Lu Xun yang ditinjau dari berbagai aspek seperti budaya, psikologi, seni, linguistik, pandangan tentang cinta, serta sikap dalam menghadapi kehidupan.

Pada tahun1909 artikel pendek tentang Lu Xu dan saudaranya Zhou Jianren ditulis ketika mereka berada di Jepang. Setelah dipublikasikan keterpikatan orang terhadap karya Lu Xun semakin mendunia.

Tak ada penulis lain di Cina yang sangat terlibat dalam pengembangan sejarah Cina, terang Agnes Smedley, jurnalis sohor dari Amerika dalam bukunya On Lu Xun.

Kitaoka Masako, pelopor lembaga penelitian kesusastraan Cina modern di Jepang mengatakan sangatlah mustahil bagi seseorang untuk memahami Cina tanpa memahami Lu Xun.

Karya Lu Xun telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa dunia seperti Inggris, Rusia, Jerman dan Korea. Sedang di Indonesia pernah diterbitkan oleh Yayasan Obor. Sekarang ini karya Lu Xun telah diterjemahkan di lebih 30 negara dalam 50 jenis bahasa.

Banyak ahli berpendapat pemikiran LU Xun masih relevan untuk abad 21 sebuah era dimana materi lebih penting daripada kebajikan.

30/10/08

LUDRUK; KESENIAN DAN PERLAWANAN KAUM MARGINAL

Gugun el-Guyanie
Jurnal The Sandour, Edisi 2008

Kemarin rakyat digemparkan dengan isu “reog Ponorogo” yang diklaim oleh Malasyia. Sekarang kita munculkan wacana seni ludruk yang sama-sama dari Jawa Timur sebagaimana Reog dilahirkan. Ini kita maknai sebagai suatu sikap kultural-apresiatif terhadap kekayaan warisan seni lokal di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi marilah mengangkat dengan hormat produk seni nenek moyang yang diinjak-injak anak cucunya sendiri. Juga mencintai dan merasa memiliki (sense of belonging) karya-karya tradisional yang dianggap kampungan (subaltern).

Masih adakah generasi sekarang ini yang mengenal kesenian khas Jawa Timur yang bernama Ludruk? Sungguh nasionalisme generasi muda abad 21, diuji bukan karena tidak mengenal bahasa persatuan, tidak hormat pada merah putih atau tentang pancasila. Tetapi karena mereka sudah kehilangan kesadaran historis untuk sekedar ingat pada karya-karya tradisional khas daerah masing-masing. Kaum muda Indonesia saat ini sudah tercerabut dari akar-akar kearifan budaya lokal yang menyimpan khazanah eksotisme dan heroisme kaum tradisionalis marginal. Salah satu khazanah penting yang sedang meredup dan dilupakan oleh para pewarisnya adalah ludruk. Ludruk bagi penulis semenjak berkenalan dengannya bukan saja memiliki nilai kesenian khas rakyat, namun juga menanamkan spirit perlawanan dan kritik sosial khas orang pinggiran yang tertindas dan terhisap.

Untuk melacak akar historis seni ludruk sebenarnya tidak sulit. Walaupun banyak terjadi perbedaan tentang asal muasalnya, pada prinsipnya memiliki substansi yang sama. Salah satunya adalah hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus “Javanansch Nederduitssch Woordenboek” karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, BPE Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 M di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan rajanya Gajayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.

Ada yang menyatakan bahwa embrio kesenian ludruk menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar sebagai fenomena lucu dan menarik, sehingga dia bertanya mengapa laki-laki kok mengenakan busana perempuan. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut nara sumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk. Narasumber lain menyatakan bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.

Dari berbagai narasumber, pada kesimpulannya bahwa Jombang sebagai tanah air yang melahirkan kesenian ludruk yang benih-benihnya sudah tertanam di akhir abad 19. Hingga tumbuh berkembang dengan subur dari periode pemerintahan ke periode pemerintahan selanjutnya. Dari zaman kolonialisme Belanda sampai zaman Jepang, dan berlanjut hingga zaman pembangunanisme Orde Baru. Secara kultural geografis, ludruk melakukan ekspansi dari Jombang ke daerah lain di wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Madiun, Madura dsb. Dengan tetap lahir dari rahim kesenian masyarakat kelas marginal yang kurang terpelajar, kelompok ekonomi miskin dan kelas sosial terpinggirkan.

Cak Durasim dan Ludruk
Menyebut-nyebut ludruk tanpa nama Cak Durasim ibarat berbicara Proklamasi tanpa menyebut nama Soekarno, atau sama halnya berbicara Reog dengan meninggalkan nama kota Ponorogo. Cak Durasim hidup sezaman dengan dr. Sutomo, tokoh politik pada zaman itu yang populer dengan peristiwa 10 November Surabaya atau kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan. Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO), merintis pementasan ludruk berlakon, yang kemudian amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang.

Ludruk pada masa itu memiliki multifungsi. Pertama, berfungsi sebagai hiburan dan kesenian rakyat. Kedua, sebagai alat penerangan atau pencerahan rakyat pinggiran yang jauh dari informasi. Ketiga, fungsi politis yaitu sebagai media menumbuhkan nasionalisme daan provokasi perlawanan terhadap penjajah. Peristiwa puncaknya akibat kidungan “Jula Juli” yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro. Tuku klepon ndhu stasiun, Melok Nippon gak oleh pensiun”. Akibatnya cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang hingga wafat setelah sekian lama keluar dari penjara.

Kemudian menginjak masa Kemerdekaan (1945-1965), ludruk berperan informatif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Ludruk yang terkenal pada zaman tersebut adalah ludruk Marhaen milik Partai Komunis Indonesia yang juga sekaligus digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pemberontakan. Terbukti ludruk benar-benar dekat di hati rakyat atau wong cilik di wilayah Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk Tresna Enggal.

Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk Marhein lebih condong ke kiri sehingga ketika terjadi peristiwa G30S/PKI Ludruk ini bubar. Peristiwa G30S/PKI benar-benar memporak porandakan grup-grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Hingga terjadi kevakuman antara 1965-1968, dan sesudah itu muncullah kebijakan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1968-1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Dan setelah tahun 1975, ludruk kembali menjadi milik rakyat yang independen.

Ternyata Indonesia mengenal Jombang bukan hanya karena menjadi ibu kota pesantren yang memiliki ratusan ribu santri yang mendalami ilmu agama. Atau juga bukan hanya ada intelektual Islam Nurcholis Madjid, tokoh sekaliber Gusdur sampai ke bapaknya (A Wahid Hasyim), bahkan ke kakeknya sang pendiri Nahdlatul Ulama (KH Hasyim Asy¢arie). Dan juga bukan hanya ketenaran budayawan kondang Emha Ainun Nadjib sampai spirit jihadnya Abu Bakar Ba¢asyir, yang semua tokoh tadi dilahirkan dari Jombang. Indonesia dan kita semua harus melihat Jombang dari satu pintu lagi, yaitu pintu seni kerakyatan yang bernama ludruk. Karena di dalamnya kita temukan local wisdom, nasionalisme, heroisme, eksotisme estetis dan nilai-nilai kerakyatan yang dalam.

Kita menghidupkan kesenian rakyat daerah bukan untuk tujuan primordialisme-etnosentrisme yang sempit. Tetapi memasuki samudera NKRI melalui pintu-pintu kerakyatan yang termarginalkan, mencintai tanah air dengan menengok kampung halaman tempat kita dilahirkan. Karena seni yang diciptakan nenek moyang kita, memiliki nilai sakral untuk menuju Tuhan dan menyelamatkan bangsa yang sedang tenggelam dalam kemurkaan-Nya.

SEBUAH SUGESTI PEMBODOHAN

Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Sudah barang tentu kita mengenal istilah ini. Tidak hanya itu, jangankan dalam dunia kesusastraan (fiksi), bahkan kita sendiri kerap mengalaminya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Ya, benar! Istilah itu adalah konflik.

Tidak dapat dielak lagi, jika kita mengatakan bahwa karya sastra merupakan mimesis. Karya sastra adalah gambaran realitas yang diusung oleh pengarang ke dalam bentuk teks tulis. Karya sastra adalah miniatur kehidupan. Jadi ini sudah tidak hal yang baru lagi jika di dalam sebuah karya sastra mengandung rekaman kejadian-kejadian yang melingkupi diri pribadi seseorang dengan realitas sosialnya. Ini bisa dibuktikan!

Mengapa demikian? Hal itu disebabkan oleh eksistensi karya sastra itu sendiri. Yaitu sebuah kreatifitas manusia. Yang dinamakan kratifitas sastra itu bersumber pada pengalaman pribadi seseorang yang telah diendapkan dalam pikiranya. Yang mengalami proses imajinatif, penilaian, serta perenungan. Entah itu murni dari pengalaman pribadinya. Atau bersumber pada pengalaman orang lain yang telah dikonsumsi menjadi pengalaman pribadi oleh seorang kreator (pengarang).

Dalam realitas ada tokoh. Dalam karya sastra (fiksi) juga ada tokoh. Kedua-duanya sama-sama memiliki karakter sebagi cermin lakuannya. Dalam realitas, seorang tokoh memiliki perjalanan hidup. Dalam karya sastra (fiksi) juga sama. Dalam realitas terjadi konflik dan pemecahan konflik. Dalam karya sastra (fiksi) juga terdapat hal yang sama. Peristiwa-peristiwa sosial juga terdapat dalam realitas masyarakat dan karya sastra (fiksi). Hal itulah yang kiranya menjadi pondasi dasar bahwa karya sastra (fiksi) adalah mimesis.

Agar tidak terlalu jauh pembahasannya, maka perlu dibatasi. Kita coba batasi pada wilayah konflik dalam karya sastra. Ini bukan konflik antar pengarang atau kritikus sastra perihal kehadiran karya sastra (fiksi) di tengah-tengah publik sastra. Melainkan konflik yang terbangun di dalam unsur intrinsi karya sastra. Yaitu unsur yang membangun karya sastra dari dalam yang terkandung pada alur cerita. Ya benar! Konflik yang ada dalam alur cerita.

Munculnya konflik dalam karya sastra sama persis dengan munculnya konflik dalam realitas kehidupan yang melingkupi diri pribadi seorang individu. Sama-sama bertumpu pada adanya problematika hidup. Entah itu problem pribadi dengan realitas sosial yang ada. Atau problem antarmanusia (antartokoh dalam fiksi). Ada konflik kecil. Ada pula konflik besar. Konflik besar biasanya hadir disebabkan oleh eksistensi konflik kecil. Konflik besar pada dasarnya akan mengarah pada klimaks dan peleraian. Namun perlu dicatat, bahwa tidak semua konflik sampai pada klimaks dan membutuhkan peleraian. Hanya konflik besar lah dapat mencapainya. Yaitu konflik yang menandai bahwa cerita itu akan segera usai.

Adanya konflik dalam alur cerita merupakan salah satu elemen inti yang mampu menggugah hati penikmat karya sastra (fiksi) untuk larut dalam alur cerita. Pembaca seolah-olah hadir sendiri sebagai pelaku cerita. Disinilah letak kejeniusan seorang pengarang. Dengan membubuhkan konflik, pembaca akan merasa tidak sadar bahwa dia sedang dibodohi oleh pengarang. Ia tidak sadar kalau sedang digeret masuk ke dalam alur cerita. Sehingga ia secara sepontanitas akan menunjukkan ekspresi marah, geram, benci, merenung, sedih, dan bahkan ada juga yang sampai meneteskan air mata. Namun semua itu tinggal kekuatan pengarang dalam menghadirkan konflik tersebut. Mampukah pengarang mempengaruhi pembaca?

Untuk memicu hadirnya konflik yang sanggup menyugesti pembaca, ada hal-hal yang patut diperhatikan sebelumnya. Salah satunya adalah penyematan falsafah hidup dalam konflik tersebut. Dengan adanya hal itu, pembaca akan larut untuk menyelami sekaligus merenungi ungkapan-ungkapan yang terujar oleh tokoh-tokohnya. Secara pribadi, pembaca akan mencoba membentur-benturkan ujaran-ujaran itu dengan realitas yang ada. Entah pembaca sepakat dengan ujaran itu. Atau tidak sepakat dan berontak hingga menggugah pemikiran serta penilaian yang baru. Ini sudah dapat dikatakan sebagai keberhasilan pengarang dalam melarutkan pribadi pembaca kedalam karyanya.

Selain itu, biasanya keterlarutan pembaca ke dalam cerita juga dapat ditempuh dengan jalan penajaman perilaku antartokoh serta pengembangan dan lama penceritaan saat terjadi konflik. Entah konflik yang terjadi antara tokoh antagonis dengan tokoh utama maupun tokoh protagonisnya dalam realitas cerita. Atau sebaliknya. Bisa juga penajaman perilaku tokoh utama dengan tokoh protagonis saat terjadi konflik. Penajaman serta pengembangan dan lama penceritaan konflik pribadi seorang tokoh juga termasuk di dalamnya. Missal: tokoh utama ada konflik dengan tokoh antagonis. Tokoh utama difitnah, diculik dan diadakan penyiksaan yang begitu sadis oleh tokoh antagonis. Peristiwa ini tidak sertamerta disajikan dengan bahasa leterleg seperti ungkapan di atas. Namun harus diperluas. Baik diungkapkan dengan dialog-dialog atau pengejawantahan kesadisan tersebut.

Hal itulah yang kiranya menjadi pemicu timbulnya ketertarikan dan keterlarutan pembaca akan sebuah karya sastra (fiksi) melalui konflik yang ada. Perlu dicatat juga bahwa dengan adanya konflik, secara alamiah akan memantik hadirnya pesan moral sekaligus nilai-nilai yang berharga baik secara implisit maupun eksplisit. Namun besar tidaknya pengaruhnya dalam pribadi penikmat karya sastra (fiksi) masih ditentukan oleh penajaman dan pengembangan cerita.

Sungguh, kekuatan inti dalam menyugesti penikmat karya sastra (fiksi) agar tertarik dan larut dalam sebuah karya terletak pada kekuatan pengarang dalam membangun konfliknya. Akan tetapi masih ada cara lain untuk menarik minat baca publik sastra terhadap sebuah karya, yaitu dengan menghadirkan suspene, surprise, plausubilitas, foreshadowing, dan backtracking. Agar penikmat karya sastra (fiksi) benar-benar menyelami dan larut ke dalam sebuah karya tersebut, maka buat saja konflik yang banyak. Tentunya semua itu juga harus disesuaikan dengan panjang karya yang dibuat oleh seorang pengarang. Banyak konflik namun kurang pengembangan juga mampu mengacaukan kekhusukkan penikmat saat melakukan proses pembacaan. Sekali lagi, konflik mampu menjadikan penikmat karya sastra (fiksi) secara sepontanitas akan menunjukkan ekspresi marah, geram, benci, merenung, sedih, dan bahkan menangis tersedu-sedu. Dan itulah kekuatan dahsyat yang terpancar lewat konflik dalam alur cerita. Yang kadang dirasa membodohi penikmatnya.

Kendalkemlagi, 01 Maret 2008

Tepi

Mardi Luhung*

Aku berada di lautan puisiku. Lautan itu tak bertepi. Aku ingin
menangkap ikan tambun kuning. Tapi, aku malah dapat yang hitam:
“Ikan tambun hitam!" Dari ikan tambun hitam aku menyuling cat.
Cat yang berliter-liter. Aku ingin mengecat semuanya. Agar
menjadi hitam seperti dekor tonil. Tonil tentang bapak
yang selalu berganti kulit.
Di dalam tonil aku mengelem rambutku. Memasang sayap dan
tengkurap di atas meja. Di depanku telah masuk tokoh. Tokoh garang
bunting 9 bulan. Kata tokoh itu: “Mainkan aku dengan yang selalu
merapikan celana dalamnya. Yang persis di depannya ada
gambar mawar disilang tengah!"
Aku buru-buru melengos. Lalu aku memberinya tikus:
“Jangan masukkan tikus ini ke pikiranmu!" sergahku. Terus
terbang ke bulan. Terbang di atas kepala para pengendus yang
berseloroh aku telah menemukan! Di bulan aku merasa rindu rumput.
Tapi rumput telah menjelma jumput. Aku ingin digambar.
Tapi siapa yang akan menggambar.
Dan aku juga merasa rindu sepedaku. Rindu pada bannya.
Rindu pada tanah yang menempel di bannya. Tanah yang telah
menumbuhkan mambang dan yang rajin menggali kuburan.
“Tapi, setiap ada yang dikubur, mengapa wajahku yang selalu tampak?"
Aku pun berbicara pada diriku sendiri. Dan aku teringat pada
sahabatku yang telah menjual ginjalnya.
Sahabatku yang pusing ketika mendengar pidato begini:
“Aduh, jangan ribut, ini negara, bukan pasar!" Dan kata sahabatku itu:
“Om, Om, itu tadi dengus kerbau kan?" Aku pun jadi tersenyum.
Senyumku demikian datar. Sedatar kaki ibu yang melayang. Kaki ibu
yang keluar dari malam. Kaki ibu yang cemerlang. Dan kaki ibu yang
mengajari aku agar berdandan:
“Oh, tanyakan apa aku mau ke pesta?" Sayangnya, di bulan tak ada
pesta. Sedangkan, di bumi, lihatlah, lautan puisiku semakin tak bertepi.

(Gresik, 2008)

*)Salah satu buku puisinya berjudul Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007).

POTRET MANUSIA MARJINAL DALAM CERPEN-CERPEN JONI ARIADINATA*

Maman S. Mahayana**)
http://mahayana-mahadewa.com/

00. Sastra adalah dunia yang serba mungkin; apapun bisa jadi mungkin (probability), termasuk di dalamnya, yang mustahil pun bisa saja menjadi mungkin. Jadi, dalam keser-bamungkinan atau kemustahilan itu, berbagai peristiwa yang mungkin dan yang mustahil, bisa saja terjadi sekali-sekali, gonta-ganti atau serempak secara tumpang-tindih. Oleh karena itu, salah satu kekhasan karya sastra (fiksi) yang sering dimanfaatkan untuk mem-bedakannya dengan karya nonfiksi adalah adanya kebolehjadian (plausibility) itu. Itulah sastra! Ia bisa menampilkan dunia yang realistik dan masuk akal secara meyakinkan. Na-mun, ia juga dapat menampilkan hal yang sebaliknya. Di sana, mungkin ada dunia jung-kir-balik, irasional, dan amburadul. Semua boleh saja terjadi, dan itu sah! Tidak ada rumus yang pasti yang berlaku universal. Selalu saja ada yang khas, unik, dan nyeleneh. Selalu ada saja kekhasan individual, meskipun ciri atau sifat-sifatnya, mungkin berlaku universal yang terkait dengan konteksnya yang meruang dan mewaktu.

Sumber keserbamungkinan dan kebolehjadian itu, tentu saja jatuh pada permainan imajinasi. Penjelajahannya yang tidak dapat terikat apapun, membuka peluang baginya untuk menerobos ruang dan waktu. Ia bisa saja secara leluasa mengacak-acak masa lalu, masa kini atau masa datang. Ia juga bisa saja menclak-menclok dan bertengger di tempat dan ruang mana pun. Berbagai peristiwa yang mestinya hadir dalam rangkaian waktu yang teratur, sangat mungkin mendadak jadi semrawut dan jumpalitan. Itulah sastra! Sebuah dunia yang sangat ditentukan oleh kehendak imajinasi. Akibatnya, jangat kaget, jika akal sehat dan logika formal, jadi ikut berantakan dan mubazir.

Jika kemudian penjelajahan imajinatif itu terkesan terbata-bata, jumpalitan, atau ngalor-ngidul dan semrawut, persoalannya terletak pada sarana ekspresinya yang sangat terbatas dan tidak dapat mewakili secara sempurna kegelisahan pikiran dan perasaan se-seorang. Bahasa sebagai sarana ekspresi, ternyata tidak mampu mengungkapkan keliaran imajinasi. Inilah yang terjadi dalam dua antologi cerpen karya Joni Ariadinata: Kali Mati (Yayasan Bentang Budaya, 1999) dan Kastil Angin Menderu (Indonesia Tera, 2000), meskipun persoalan tersebut dalam antologi yang disebut terakhir tidak hadir secara sig-nifikan. Mari kita periksa!

01. Antologi Kali Mati memuat 15 cerpen dan semuanya mengungkapkan gambaran, betapa keliaran imajinasi yang coba diekspresikan lewat bahasa, nyaris membuat kita ikut jumpalitan. Memang ada logika formal yang hendak diselusupkan latar cerita dan ung-kapan para tokoh yang digambarkannya, tetapi kemudian logika formal itu menjadi mu-bazir, lantaran imajinasi memang tidak tunduk pada logika. Akibatnya, tata bahasa, urut-an sintaksis, kosa kata baku, juga benar-benar dibuat berantakan!

Inilah antologi cerpen yang paling kurang ajar dalam memperlakukan bahasa. Tidak cuma itu, majas atau gaya bahasa yang selama ini kita kenal dalam buku-buku pe-lajaran, ikut dibuat kocar-kacir dan ngawur. Tetapi justru dengan cara itu pula, Joni se-sungguhnya hendak memotret problem sosial kita yang memang serba ngawur dan am-buradul. Sebuah potret acakadul yang banyak kita jumpai dalam kehidupan para gelan-dangan, orang-orang gendeng, sableng, dan gemblung. Itulah tema yang mendominasi antologi cerpen ini.

Secara tematis, Joni bukanlah orang pertama yang mengangkat kehidupan dunia kere. Muhammad Ali dalam Gerhana mengangkat kere perkotaan dalam berhadapan de-ngan keserakahan orang-orang kaya. Jika tidak, Ali membalurinya dengan akhir yang tra-gis. Ahmad Tohari dalam Senyum Karyamin mengangkat wong cilik pedesaan. Meskipun keduanya memperlihatkan cara bertutur yang berbeda, keberpihakan pada wong cilik tampak jelas melatari sikap kepengarangan keduanya.

Dalam konteks itu, sikap kepengarangan Joni tidak wujud dalam bentuk berpihak, melainkan dalam amuk terhadap nasib yang terus dikungkungi kesengsaraan abadi, keke-rean, dan tragikal yang lengket menempel gelandangan dan dunia hitam kaum marjinal yang ternistakan. Lalu bahasa macam apa yang diperlukan untuk mengungkapkan dunia yang seperti itu? Pentingkah logika untuk menjelaskannya? Di sinilah bahasa manusia tak mampu mewadahi lompatan-lompatan pikiran; logika gagal merumuskan realitas. Akibat-nya, dapat dipahami jika yang muncul kemudian adalah pembebasan sintaksis dan pembe-lotan atas kosa kata baku, karena memang kehidupan gelandangan tidak mengenal tata bahasa. Tetapi justru dengan cara itu, Joni berhasil memanfaatkannya dalam bentuk baha-sa visual, serangkaian kesemrawutan berbahasa dan onomatope.

Kata-kata atau ungkapan seperti: gerompyang kuali, gerbang besi gemeronjang, gelepok sampah, keciprak lumpur comberan, nempiling, prak! ebrekewek mantra dukun, bledek: jedak! jedak! atau suara “ah..rrrhkg” adalah beberapa contoh bagaimana Joni secara kreatif begitu leluasa memanfaatan onomatope. Perhatikan juga beberapa kesemra-wutan kalimat atau bahasa yang digunakan Joni: “…kardus atap plastik: 1 x 2 meter cocok buat ‘kerja’ satu pasang, yang kadang-kadang kaki lelaki mencolot keluar, tentu. Jika sedang dinas. Dinding kardus bergoyang-goyang kemerosak, bunyi napas….” (Rumah Bidadari, hlm. 20). Atau perhatikan juga kalimat-kalimat aneh berikut ini: “…Tobat. Berita menerabas seperti bledek: jedak! jedak! … lutut-lutut gemeletar; ketar-ketir. … Otak-otak meledak pohon batu tanah debu ranting sampah tumpah tembok batok mengutuk ambruk; menunjuk; teriak; pekak: …” (Anjing, hlm. 135).

***

Pilihan tema dan gaya yang diambil Joni, memang memberi peluang baginya un-tuk mengumbar imajinasinya secara liar dan bebas. Juga membuka kemungkinan kebe-basan berkreasinya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dengan cara itu pula sesung-guhnya, ia dapat sekaligus membangun potret hitam dunia gelandangannya tanpa beban, yang dalam beberapa cerpennya, kadang kala justru mengesankan ekspresi kreatifnya menyerupai puisi. Perhatikan kutipan berikut:

Panas menggigit jendela. Bunga matahari krowak ditendang angin, seperti li-sus. Seekor cecurut ruangan meninggalkan bau. Dentang pagar dan suara pengemis masih mengumpat. Ada layangan jatuh. Jam sebelas, anak-anak ribut melempar jambu di halaman. Gedebuk batu-bata. Sial. (Sampah Tuhan, hlm. 60).

“Lima belas ribu. Ayam kampung. Sengaja kusimpan buat malam-malam. Hoh-hoh-hoh, kau berani Sarju?” Mata palsu lentik mengerjap. Sarju menenggak. Rambut memerah keriting Madonna. Lipstik, ya Tuhan, melenting pirus batu akik: “Kau bera-ni?” Kerocok ember “pencuci itu” di kamar sebentar saja; kosrak lap; Lala keluar; se-nyum munafik dan empat kuli pletay-pletoy; hahah-heheh; babi-babi jontor berebut menggayut Sandra; masuk kamar menambal sepersekian senti daki di seprei nyaris me-leleh semacam nanah buat sekarat putar-putar menuntaskan mata yang mencolot-colot melotot. (Nekrofagus, hlm. 79).

***

Perlu diingat bahwa ekspresi apapun yang tertuang dalam teks, perlu dicurigai punya makna. Siasat untuk mengecoh pembaca mesti ditempatkan dalam kerangka inter-pretasi. Oleh karena itu pula, setiap tanda apapun, mesti punya kontribusi bagi bangunan teks itu sendiri. Ia mesti menjadi bagian integral dalam keterkaitannya dengan unsur lain dalam sebuah wacana. Tanpa adanya sinyal yang memperlihatkan keterkaitan itu, mung-kin patutlah kita menyebutnya sekadar main-main. Inilah yang terjadi pada cerpen “Dardanela” (hlm. 105–114).

Sembilan alinea pertama cerpen itu, ditulis dalam ejaan van Ophuijsen. Tetapi aneh, logatnya sama dengan bahasa Indonesia sekarang. Memang tidak ada hubungannya dengan soal logika. Meski begitu, sastra juga tidak terlepas dari persoalan wawasan. Jadi, jika ia hendak menggambarkan masa lalu (sebelum Indonesia merdeka), ia mestinya juga memantulkan potret zamannya. Jika tidak demikian, apa maknanya ejaan van Ophuijsen digunakan di sana, apabila ia tidak mendukung dan tak berkaitan dengan makna yang hendak disampaikan wacana bersangkutan, kecuali untuk sekadar “main-main” jika tidak mau dikatakan bertingkah?

Persoalannya sangat berbeda dengan pilihan tema dan gaya yang digunakannya. Dalam perjalanan cerpen Indonesia, tema dan gaya dalam antologi ini, sungguh khas, meskipun sebelum itu, dengan gaya dan ragam yang agak berbeda, Arifin C. Noer, per-nah pula menggarapnya. Oleh karena itu, kehadiran antologi ini bolehlah dikatakan meru-pakan sumbangan penting dalam memperkaya khazanah cerpen Indonesia.

Gaya bahasa (style) memang sering kali berurusan dengan tema, atau sebaliknya, tema terpaksa mesti disaranai oleh style. Tidak sedikit karya sastra yang jatuh pada ku-bangan, hanya lantaran tidak memperhatikan persoalan “remeh-temeh” seperti itu. Bahwa Joni telah memilih tema dunia “gila” niscaya itu merupakan pilihan yang tidak main-main. Kita pun tentu saja amat menghargai pilihannya. Namun, persoalannya lain jika lalu ia membelot pada tema yang menjadi pilihannya itu. Maka, musibah pun terjadilah.

Cerpen “Sampah Tuhan” (hlm. 66–78) yang mengangkat sepak terjang dan per-debatan estetik seorang pelukis dengan Profesor Babir, misalnya, justru terkesan nyinyir dan sok tahu, manakala persoalannya menyentuh dunia yang sesungguhnya asing bagi pengarangnya sendiri. Betul ada eksploitasi wong kere di sana. Namun, penderitaannya justru tidak begitu menonjol, lantaran persoalannya lebih banyak menyorot pada sepak terjang pelukis dan profesor tadi. Boleh jadi, gregetnya akan sangat lain, jika kehidupan tokoh Siti Sapi yang diplintir dan digali secara maksimal, sebagaimana yang dilakukan-nya dalam cerpen-cerpen lainnya.

Kasus yang sama juga terjadi pada cerpen “Jelatang Bundar” (hlm. 88–97). Lompatan-lompatan pikiran para tokohnya yang modar-mandir dari masa kini ke masa lalu yang pada awalnya cukup meyakinkan –lantaran kesemrawutannya, seolah-olah jadi mubazir manakala ada latar kehidupan mewah menimpalinya. Akibatnya, penataan peristiwa yang dialami para tokohnya, jadi terasa hambar. Kedua kasus inilah yang juga terjadi pada diri Ahmad Tohari dalam Bekisar Merah, ketika tokoh Lasi harus memasuki kehidupan yang serba mewah.

Satu cerpen lagi, ”Indonesia” hadir dengan beberapa hingar dan tentu saja itu agak mengganggu. Tokoh Karti yang gemblung dengan latar kehidupan jalanan, pada awalnya cukup memukau. Tetapi ujaran-ujarannya yang tidak berantakan dan ngawur, malah jadi menimbulkan pertanyaan. Adakah wong gemblung menyadari dirinya gem-blung, sehingga ujarannya harus digemblung-gemblungkan? Dalam konteks ini, Joni agaknya perlu menyimak Naguib Mahfouz, Lu Xun (Catatan Harian Seorang Gila), Iwan Simatupang (Lebih Hitam dari Hitam) atau Ahmad Tohari (Wangon Jatilawang).

***

Terlepas dari persoalan-persoalan itu, secara keseluruhan antologi Kali Mati sungguh memberi banyak janji. Ia hadir dengan kekhasannya tentang gembel dan orang-orang tergusur di perkotaan. Sebuah potret gelap orang-orang marjinal jadi terasa lebih gelap. Tema ini menjadi begitu menojol lantaran gaya bahasa dan kosa kata yang digunakannya terkesan begitu semrawut, sebagaimana kesemrawutan kehidupan mereka yang serba amburadul. Dan ini didukung oleh kemarahan dan kesumatnya pada nasib busuk orang-orang marjinal yang terus-menerus dililit kubangan “comberan”. Maka sempurnalah penderitaan mereka.

02. Dengan gaya bahasa yang tidak jauh berbeda, antologi Kastil Angin Menderu menampilkan 17 cerpen. Meski antologi ini diterbitkan dalam tahun yang berbeda (Kali Mati, 1999 dan Kastil Angin Menderu, 2000), berdasarkan kolofon yang terdapat dalam kedua antologi itu, dapat kita simpulkan bahwa kedua antologi cerpen itu ditulis Joni dalam kurun waktu yang sama: 1994–1998. Oleh karena itu, jika kolofon itu dapat kita jadikan sebagai pegangan untuk mencermati perkembangan kepengarangannya, maka Kastil Angin Menderu bukan merupakan karya yang dihasilkan pasca-Kali Mati. Kedua antologi ini sezaman, yaitu ditulis antara tahun 1994–1998.

Jika Kali Mati terbit lebih awal, maka praanggapan yang dapat kita kemukakan adalah bahwa Kali Mati sangat mungkin merupakan cerpen-cerpen pilihan; sisanya ke-mudian dikumpulkan kembali dan lahirlah Kastil Angin Menderu. Praanggapan ini tentu saja dengan sejumlah pertimbangan.

Pertama, secara kualitatif cerpen-cerpen dalam Kali Mati terasa lebih kompak de-ngan pusat perhatian manusia gelandangan. Dengan tokoh-tokoh yang sebagian besar juga berasal dari masyarakat golongan itu, maka keberpihakan pengarang terhadap to-koh-tokohnya dapat lebih fokus, meski mereka ditampilkan dengan segala kenistaannya. Keberpihakan pengarang terhadap wong cilik dalam Kastil Angin Menderu, justru terasa ngegelambyar, kurang fokus lantaran tampilnya tokoh-tokoh dengan profesi yang lebih beragam, seperti sopir, atlet, prajurit atau pejabat korup.

Kedua, dalam Kastil Angin Menderu, tampilnya tokoh-tokoh dengan berbagai profesi ini juga, pada gilirannya membawa konsekuensi pada tema cerita yang juga beragam. Malah, empat cerpen di antaranya (Hikayat Lembing Mujur, Jing, Montase, dan Delapan Terdakwa) lebih dekat pada tema-tema mistik. Dalam Kali Mati, nafas mistik ini justru sama sekali tidak kelihatan.

Ketiga, meskipun secara tematis Kastil Angin Menderu, lebih beragam, usaha pengarang untuk lebih menghitamkan kehidupan kaum marjinal, masih memperlihatkan pembelaannya kepada kaum papa itu, meski dalam potret yang lebih gelap. Dengan demi-kian, pengarang masih konsisten memihak golongan kere, sebagaimana yang tampak dalam antologi Kali Mati.

Keempat, tampilnya berbagai tokoh dengan profesi yang beragam itu juga dalam Kastil Angin Menderu, memaksa pengarang –dalam beberapa cerpen– memasuki dunia yang sesungguhnya kurang begitu dipahaminya benar, karena barangkali juga itu sesuatu yang sebenarnya memang asing. Beberapa peristiwa dalam sejumlah cerpen dalam Kastil Angin Menderu, seperti Serial Komik, Delapan Terdakwa, Keluarga Mudrika, atau Republik Antonio, terkesan sebagai lompatan-lompatan pikiran yang tak jelas ke arah mana sesungguhnya lompatan pikiran itu hendak menclok. Kasus yang juga terjadi dalam Sampah Tuhan dalam antologi Kali Mati.

Kelima, meski ada sejumlah perbedaan itu, baik Kali Mati, maupun Kastil Angin Menderu, masih memperlihatkan potensi pengarangnya dalam hal gaya bahasa (style). Justru dalam hal itulah, Joni sudah punya kekhasannya sendiri yang berbeda dengan cerpenis seangkatannya. Ia telah memiliki kekuatan yang katakanlah menjadi trademark-nya sendiri. Lalu apa yang menjadi kekuatannya itu?

***

Ciri yang menonjol dari dua antologi karya Joni Ariadinata ini adalah ‘hancurnya’ tatabahasa baku bahasa Indonesia! Tata kalimat dan urutan sintaksis, benar-benar dibuat berantakan. Demikian juga, kosa kata yang baku, dalam beberapa hal, seolah-olah dibuat mubazir. Akibatnya, selain rangkaian kalimat dalam setiap deskripsi latar, terkesan patah-patah, terbata-bata, dan acak-acakan, juga majas ia gunakan sekenanya. Tetapi justru dengan begitu, imajinasi Joni tampak begitu liar, serudukan, dan terkesan menyimpan kesumat yang luar biasa pada kehidupan kaum comberan. Dalam hal ini, Joni agaknya sengaja tak mengindahkan tata krama, justru untuk mengangkat potret dunia kaum marjinal yang lebih gelap dari gelap. Sememangnya, sastra tidak berurusan dengan sopan santun, etika atau tata krama, tetapi berurusan dengan estetika. Jadi, persoalan yang dihadapi dalam dunia sastra macam yang diangkat Joni adalah sejauh mana semua unsur, termasuk di dalamnya rangkaian kalimat yang patah-patah itu, mendukung nilai estetik.

Meskipun demikian, potret yang diangkat Joni bukanlah dalam bentuk yang semacam dengan realisme yang bertumpu pada detail. Potret yang dibangun Joni adalah sebuah kolase yang di dalamnya, pembaca boleh melengkapinya sendiri. Dengan begitu, kekacauan kalimat itu, justru untuk memperlihatkan, betapa realitas yang sesungguhnya berada dalam lempengan-lempengan peristiwa yang dalam satu saat tertentu, sangat mungkin ia sama sekali tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.

Dalam satu peristiwa, di saat dan waktu tertentu, sangat mungkin pula kita berada di dalamnya atau di luar itu yang memiliki realitasnya sendiri. Realitas jadinya laksana tempelan-tempelan peristiwa, dan ketika ia dirumuskan dalam ekspresi bahasa, ia jadi onggokan-onggokan kata; rangkaian kalimat yang seolah-olah patah-patah. Perhatikan beberapa kutipan di bawah ini:

Sopir Oding, pengemudi Genio metalik bagus, sepertinya memang bego dan dungu. Jelas bukan jagoan apalagi pahlawan. Umum. Akhir-akhir fikiran jadi melotot buntu: betul-betul yakin. Tobat dan sungguh. Tatapan mereka itu: kaki-kaki meleng-gang, warung pinggir jalan, pemakan soto lahap cukup melongok bengong, kios kelon-tong melompong, asing; tak ada otak berhak bergerak. Apalagi membantu… Lalu lintas kembali jadi macet. Klakson-klakson menjerit bising. Kepul asap, suara knalpot. Kota-kota keparat, sopir mini bus memaki berat: “Brengsek! Ngapain lu? Minggir!”

Sial. Kepalang tanggung tubuh korban akhirnya diseret, dipaksa. Sopir Oding tak tega. Masuk mobil kaki ditekuk, bluk! Rapat pintu dibanting. Lega. (Gergajul, hlm. 13–14)

Perhatikan juga kutipan berikut ini:

“Ya!” keras semakin pasti. Mengangguk-angguk. Kemudian tepuk tangan. Ge-muruh. Berjingkrak. Beres. Langit lapang terang awan biru laut putih paha perawan kota; Gusti Markus di rumah nyekakar berniat zina dengan sepuluh pelacur bermain homo. Suntuk semalam lagi dan lagi. Glk! Glk! Glk! (Serial Komik, hlm. 50)

Kelupasan daging, bernanah. Busuk dan mengerang. Betapa sesak. Barda me-nyimpan amarah mata lewat kaca ruang operasi, –Marni, kenapa, mungkinkah bisa ja-di begitu? Bibir cantik istrinya mengeriut. Dinding-dinding menyempit hempasan jatuh kekosongan dada mengumpat, mengutuk, dan meledak: “Kenapa? Kenapa?” menge-luh. Langit pucat. … (Kastil Angin Menderu, hlm. 89).

Pengacauan pola-pola kalimat seperti itulah yang agaknya menjadi kekhasan Joni. Lalu apa maknanya bagi pembaca jika pembaca dibuat bingung? Di sinilah Joni tidak sekadar hendak menyiasati pembaca, tetapi juga mengajaknya ikut terlibat memainkan imajinasinya. Dalam konteks ini, teks jadi tidak sekadar alat untuk memotret penggalan-penggalan realitas dalam dunia yang hendak digambarkan tokoh-tokohnya, melainkan juga sebagai salah satu sarana untuk mengganggu pembaca agar ia juga memainkan imajinasinya. Pembaca diajak terlibat dalam pertemuan imajinasi yang tersurat dalam teks dan imajinasi pembaca yang entah sedang berada di mana ketika ia berhadapan dengan teks bersangkuan. Teks yang patah-patah itu, justru menjadi lahan yang mesti diisi sendiri sesuai dengan permainan imajinasi pembacanya.

Dalam konteks perjalanan khazanah sastra Indonesia, apa yang dilakukan Joni sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Budi Darma –khasnya dalam Rafilus– dan Putu Wijaya –dalam Telegram dan Pol– telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam peman-faatan pola sebagaimana yang kini digunakan Joni. Tentu saja masing-masingnya dengan kekhasannya sendiri. Jadi, jika karya Joni ini dianggap amburadul, persoalannya terletak pada bagaimana kita menempatkan karya-karya sejenis itu pada kotaknya sendiri. Oleh karena itu, ketika kita mencoba memahami karya Joni lewat logika formal, mencoba mencari rangkaian kalimat lewat aturan tata bahasa, menilainya lewat ejaan dan kosa kata yang baku, dan mengkaitkannya dengan sopan santun dan etika, kedua antologi karya Joni ini akan benar-benar teraniaya, tersiksa, dan tercampakkan!

Yang akan kita jumpai adalah pencampuradukan antara bahasa tulis dan bahasa lisan yang coba mengangkat realitas sosial kaum marjinal. Cara berpikir mereka memang kadang kala mengungkapkan apa yang terlihat yang lalu diwujudkan secara spontan. Itu-lah sebabnya, ekspresinya lewat bahasa sering kali terbata-bata, semrawut, dan tumpang tindih. Tambahan pula, derasnya lompatan-lompatan pikiran yang tak terikat oleh ruang dan waktu, menggiringnya pada dunia yang jungkir-balik. Akibatnya, ketertiban urutan peristiwa dan logika formal, tidak berlaku di sana.

Demikian juga, dalam kehidupan kaum marjinal yang sebenarnya, mereka sangat mungkin tidak mengenal aturan tata bahasa dan kosa kata baku. Mereka sekadar dapat berkomunikasi satu dengan lainnya, tanpa harus dibebani oleh aturan sintaksis atau apa pun, sebab itu hanya ada di dalam laci anak-anak sekolahan. Termasuk di dalamnya per-soalan yang menyangkut tata krama, sopan-santun, dan etika. Dan demi kepentingan estetika, kebolehjadian dan keserbamungkinan, dibolehkan dan sah-sah saja. Demi esteti-ka pula, kedua antologi karya Joni Ariadinata pun, berhak pula memanfaatkan keboleh-jadian dan keserbamungkinan. Jadi, apapun yang ada di dalam kedua antologi itupun, sah-sah saja adanya.

***

03. Mencermati kesungguhan Joni dalam menggarap tema-tema kehidupan kaum marjinal dan usahanya untuk membelot dari konvensi, justru telah menempatkan kedua karya itu sebagai trademark-nya. Dan Joni telah berhasil mengumumkan trademark-nya sendiri. Jika tema dan gaya ini konsisten digarap terus secara serius, niscaya dari tangan-nya, kita tinggal menunggu lahirnya karya yang lebih cerdas yang mengungkap kemiskin-an gembel Indonesia yang tidak ada duanya. Kali Mati dan Kastil Angin Menderu, sung-guh telah memperlihatkan kecerdasannya sebagai sebuah monumen!

Sebaliknya, jika Joni mencoba melebarkan tema pada dunia yang sesungguhnya tidak digaulinya dan asing, maka ia akan terjerumus pada kenyinyiran yang hasilnya cen-derung artifisial atau bahkan mentah, sebagaimana, misalnya, yang terjadi pada salah satu cerpennya yang berjudul Republik Antonio. Oleh karena itu, tidak dapat lain, Joni mesti setia pada pengalamannya sendiri, pada kegelisahannya dalam mengangkat dunia kaum marjinal yang memang diakrabinya.

Bersamaan dengan itu, jangan pula dilupakan, bahwa kecerdasan seorang sastra-wan sangat bergantung pula pada wawasan. Tanpa pengetahuan, tanpa sentuhan intelek-tualitas, dan jika sekadar mengandalkan bakal alam, maka ia tinggal menunggu hari kema-tiannya saja. Dalam sejarah sastra di negara manapun, tidak ada seorang pun sastrawan besar yang hanya mengandalkan bakat alam. Soalnya sederhana saja. Yang membesarkan seorang sastrawan tidak lain adalah wawasan pengetahuannya dalam menggali dan me-maknai berbagai masalah manusia dan kemanusiaan. Nah, kiranya begitu!

msm/27/7/2000

* Makalah Diskusi “Pembahasan Cerpen-Cerpen Joni Ariadinata” Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 28 Juli 2000, Pukul 14.00.

**) Maman S. Mahayana, M.Hum., Staf Pengajar FSUI, Depok.

28/10/08

SARKASME

Imamuddin SA

Tak ada salahnya jika hari ini aku menghampiri adikku. Aku yang kebetulan baru pulang dari pasar menemui sahabat karibku. Ah tidak, aku lupa. Ia bukan sekedar sahabat karib. Tetapi saudara abadi. Saudara yang akan bersatu di kehdupan esok hari.

Ini sudah jadi kebiasaanku. Setiap pasar Pahing dan Wage, aku kerap menemuinya. Itu jika aku tidak ada aktifitas lain di rumah. Biasalah, ada saja yang aku omongkan dengannya di pasar. Dari masalah pribadi. Dagangan. Pergolakan hidup. Agama. Dan bahkan ketauhidan. Yang paling senang adalah ketika aku memperhatikan karakter pembeli yang cukup variatif. Aku bisa mempelajari psikologi seseorang dari caranya membeli dan menawar barang dagangan.

Aku yang masih awam akan hal itu, mencoba menimba darinya. Meskipun aku sudah lulusan S1, tapi aku masih membutuhkan pengetahuan lain yang belum pernah aku dapatkan di bangku perkuliahan. Dan belajarku hanya pada seorang lulusan SMA. Atau bahkan tidak jarang aku belajar pada orang yang tidak pernah sekolah. Toh pada dasarnya tidak hanya kampus atau sekolah saja tempat menimba pengetahuan. Pasar pun bisa jadi. Atau lokalisasi juga bisa. Tinggal aku, bisa tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin? Aku juga yakin, orang pandai itu tidak hanya dosen. Tidak hanya guru di sekolah. Orang pandai itu relatif. Tentunya disesuaikan dengan bidangnya masing-masing.

Dalam hati kecilku, aku tidak ingin menimba pengetahuan dari orang pandai. Sebab aku takut dipinteri mereka. Aku sudah bosan. Aku telah nekek dipinteri orang. Meski aku waktu kuliah kerap menimba pengetahuan dari dosen-dosenku yang pandai. Tapi tidak usa dibahas, kenapa aku kok tetap kuliah? Aku ingin menimba ilmu dari orang yang mengerti saja. Biar aku tak dipinteri orang lagi. Dan aku telah menemukan orangnya. Sahabat karibku. Eat…maaf lupa. Saudara abadiku. Ia terlalu sempurna di mata hatiku. Ia tak pernah membohongiku. Apalagi minteri aku. Tentu tidak. Yang aku herankan adalah kata-katanya. Semua yang diujarkanya benar. Tak pernah meleset dari kejujuran realitas.

Saat itu matahari berada tepat di atas ubun-ubunku. Bayangan tubuhku pun tidak terlukis olehnya. Aku berhentikan motor bututku di depan sebuah sekolah yang cukup besar di daerahku. Di bawah rindang pohon yang sesekali dihempas angin yang cukup kencang. Aku silakan kaki kiriku di jok motorku. Dan yang satunya aku tambatkan di tanah. Kuambil hand phoneku dari saku celana. Kubuka. Ku cari nama adikku. Pun kukirimkan pesan untuknya.

“Apa pean mau pulang sekolah bareng aku? Pean dimana? Aku tunggu di sebelah barat kantor. Di tepi jalan raya.”

Dasar sial. Aku sudah cukup lama menunggu adikku tapi belum juga ada kabar darinya. Aku perhatikan hand phoneku berkali-kali tetap juga tidak ada pesan masuk untukku darinya. Aku sempat mengeluh. Dan ingin meninggalnya pulang. Tapi beberapa saat kemudian, tubuhnya mengisi kehampaan kedua mataku. Ia perlahan mendekatiku.

Aku sedikit heran dan aneh saat melihat raut mukanya. Tidak seperti biasanya yang selalu menunjukkan keceriaan. Ia kecut dan berlukiskan kesedihan. Dari jarak yang cukup dekat ia mengeluh padaku.

“Cak, hand phonku disita guruku!” berat terbata tuturnya.
“Kok bisa begitu? Memangnya kamu pakai hand phone di kelas?” tanyaku dengan pelan. Aku tak mau menambahi kesedihanya saat itu.

“Tadi aku pas buka pesan dari pean. Dan ingin membalasnya. Cak, bagaimana nih?” rengeknya manja.
“Kamu temui saja guru yang merampas hand phonemu sekarang juga. Coba kamu sedikit mengiba kepadanya. Barangkali akan lain ceritanya.”

“Aku tidak berani Cak, Takut!”
“Memangnya apa yang mesti kamu takutkan? Lekas masuk kantor. Dan temui dia!” desakku tegas.

Memang hal itu segaja aku lakukan kepada adikku. Karena aku punya tujuan lain di balik semua itu. Aku ingin adikku berani menghadapi siapa pun demi pemecahan masalah. Harapanku adikku agar bisa membebaskan jiwanya dari segala tekanan ketakutan dalam diri pribadinya. Paling tidak dia bisa menuangkan aspirasinya. Adapun hasilnya belakangan. Entah berhasil mengambil hand phone atau tidak? Yang penting keberanian harus tumbuh di dalam dirinya.

Dan itu benar. Atas desakku, ia memberanikan diri menghadap guru itu. Meskipun dengan perasaan gontai. Laksana nyiur melambai. Sejenak kuperhatikan langkah kaki adikku. Aku pun merasa iba padanya. Aku merasa semua ini juga tidak lepas dari kesalahanku. Mengapa aku menghubunginya saat itu? Kenapa tidak aku tunggu saja ia sampai keluar dari lokasi sekolah? Ah semuanya tidak perlu ada penyesalan. Sesuatu yang telah terjadi biarlah terjadi. Biar jadi kenangan yang patut dipelajari. Berorientasi saja kedepan. Semoga adikku mengantongi keberhasilan.

Dari kaca jendela yang putih bening, kuterawang adikku dari luar. Ia terlihat gugup menyampaikan maksudnya kepada guru itu. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke arahku yang berada di motor. Sungguh tak kuasa aku melihatnya. Entah, di dalam kantor itu dia ngomong apa saja. Aku tidak terdengar. Yang jelas adikku terlihat begitu mengiba. Dan guru itu bersikap masa bodoh.

Adikku keluar dari kantor itu membawa hasil yang hampa. Ia tidak dapat mengambil hand phonenya kembali. Wajahnya terlihat semakin muram. Purnamanya tak lagi mempesona. Ia semakin bingung di buatnya.

“Bagaimana, dapat hand phonenya?”
“Tidak Cak! Tetap tidak boleh. Aku bingung.” lirih keluhnya.
“Tadi dirampasnya di mana?”
“Di jalanan. Tepatnya di depan kelas. Waktu itu buyaran sekolah. Dan tema-temanku sudah pulang semua. Tinggal beberapa orang saja. Aku berjalan dengan tiga orang temanku yang lain dan mencoba mebalas pean. Tapi tiba-tiba……? Aku takut dimarahi bapak dan ibu di rumah! Bagaimana Cak?”
“Ya sudah. Aku coba memintanya kembali. Barangkali bisa. Tapi tidak janji. Sekarang kamu tunggu saja di sini.”

Hatiku tak kuasa melihat adikku yang terus mengiba kepadaku. Aku pun menurunkan kakiku. Dan beranjak dari motorku. Namun aku juga tahu jika itu sulit buatku. Aku harus berusaha demi adikku. Hasilnya terserah. Nihil atau………! Yang penting berusaha dulu.

Aku masuk ke kantor. Menemui guru itu. Aku mengutarakan tujuanku menghadap padanya. Aku mengulas kembali perkataan adikku beberapa waktu yang lalu yang sempat terujar kepadanya.
“Pak, maaf. Saya sejenak mengganggu istirahat siang Bapak kali ini.”
“Ya, tidak apa-apa.” jawabnya ketus seolah telah tahu maksud kedatanganku. Mungkin saja ia telah tahu keberadaanku sebelumnya.

“Saya ingin konsultasi masalah hand phone adik saya yang bapak sita beberapa saat yang lalu.”
“Benar, hand phonenya memang saya sita. Memangnya kenapa?” sekali lagi ketus jawabnya.
“Saya mohon dengan amat sangat kepada bapak, agar bapak berkenan memberikanya kembali.” ibaku padanya.
“Tidak bisa Mas. hand phone yang sudah disita tidak bisa di kembalikan. Ini sudah jadi kesepakatan dalam rapat wali murid.”

“Memangnya kesepakatanya bagaimana?” tanyaku mendesak.
“Setiap siswa tidak diperkenankan membawa hand phone ke sekolah. Sebab mampu mengganggu konsentrasi belajarnya. Dan ini sudah kami sosialisasikan kepada siswa juga” jawab tegasnya.
“Maaf Pak, saya kurang paham jika ada kesepakatan semacam itu. Tapi saya mohon belas kasih Bapak untuk kali ini saja, Bapak berkenan memberikan hand phone itu.” ujarku semakin merendahkan diri.

“Tidak bisa. Ini sudah paten dalam keputusan rapat.”
“Saya mohon Pak. Saya bertanggung jawab atas semuanya. Saya jamin adik saya tidak akan membawa hand phone ke sekolah lagi. Jika adik saya melanggar untuk yang kedua kalinya, semuanya terserah Bapak. Lagi pula adik saya masih baru di sekolah ini. Saya mohon kali ini beri kesempatan.”

“Tetap tidak bisa!” bentaknya keras.
“Tolong beri keringanan untuk adik saya yang masih baru di sini.”
“Masih baru saja sudah berani melanggar peraturan. Apalagi kelak!” sekali lagi ia membentak dengan keras. Penuh emosi.

“Justru masih baru itu Pak, dia belum paham akan adanya peraturan semacam itu. Saya berharap ada sedikit toleransi dan belas kasih dari Bapak.”
“Tidak bisa! Sekali kesepakatan tetap kesepakatan. Semuanya harus dijalankan dengan seksama. Tidak ada toleransi. Setiap hand phone yang telah disita akan dihancurkan. Titik!”

Aku yang dulu juga alumni sekolah itu, telah sedikit banyak paham karakter guru tersebut. Ia memang keras kepala. Kadang juga egois. Dan suka memaksakan kehendak pribadinya. Ia tidak bisa menempatkan porsi yang pas dengan situasi dan kondisi siswanya. Ia seolah berpandangan bahwa konsepnyalah yang paling benar. Dan paling berhasil jika diterapkan kepada semua siswa.

Pernah suatu ketika ia menyumpah teman sekelasku. Menyumpah agar temanku itu setiap harinya wajib belajar tidak kurang dari empat jam. Sementara ia sendiri tidak tahu, bagaimana kondisi keluarga temanku. Sungguh memprihatinkan. Semua kebutuhan keluarga harus ia sendiri yang menanggungnya. Begitu juga biaya sekolah adik-adiknya. Sehabis sekolah ia bekerja bangunan paruh waktu. Dan kalau malam ia juga sempatkan diri untuk ikut bekerja di penggiligan padi. Bagaimana bisa belajar……?

Anehnya, meski sudah dijelaskan kondisi temanku saat itu, guru tersebut tetap saja memaksakan kehendaknya. Wajib belajar empat jam. Padahal tidak didoktrin semacam itu pun temanku setiap hariya sudah meluangkan diri untuk belajar. Walau hanya sebentar. Namun hari itu memang naas baginya sehingga ia disumpah sedemikian rupa. Kesalahanya hanya sederhana, ia ngantuk waktu jam pelajaran. karena semalam suntuk ia bekerja di penggilingan padi. Dan pas ditanya masalah belajar, ia jawab; “Semalam saya tidak belajar Pak!”.

Itulah sedikit kesalahan temanku. Tiap pelajaran guru itu, temanku ditanya terus masalah sumpah belajar empat jam. Temanku memang polos. Ia tidak bisa mendustai diri sendiri. Apalagi orang lain. Untuk menghindari hukuman atas pertanyaan itu, ia membuat tulisan dalam buku pelajaranya; ”Aku sudah belajar empat jam”. Pas ditanya; “Apa kau kemarin sudah belajar empat jam penuh”? Ia selalu membaca tulisan dalam bukunya itu. Dan menjawab; “Sungguh Pak, aku sudah belajar empat jam. Ini benar”.

Sungguh ia sangat cerdik. Maksudnya “ini benar” adalah benar menurut tulisan yang ada di bukunya. “Aku sudah belajar empat jam”. Bukan benar secara realiats. Ia belajar empat jam dalam keseharianya. Ia memang tidak bohong. Yang salah gurunya. Ia salah tangkap dan salah paham akan maksudnya. Ia pun lolos dari hukuman yang lebih berat dari guru itu. Guru yang sejak kecil selalu dalam kecukupan dan kemewahan. Tak pernah merasakan kesusahan. Waktu itu aku juga sempat mengumpat dalam batinku. Andai saja Tuhan suatu saat menjadikanya susah dan hidup dalam kekurangan, mungkin ia baru sadar akan realitas kehidupan ini.

Kembali pada persoalan hand phone adikku. Guru itu omonganya sombong benar. Baginya hand phone seolah-ilah tak berharga. Mentang-mentang kaya, ia main hancurkan saja. Melihat gaya bicaranya yang semakin congkak, hatiku tergigit. Darahku mendidih. Detak jantungku mengeras. Dan mataku memerah. Aku larut dalam emosiku. Aku terpancing dengan nada bicara yang sedikit keras.

“Jika keputusan Bapak demikian, tidak apalah. Saya tidak akan menuntut banyak dari bapak. Tapi perlu Bapak ketahui bahwa adik saya tidak mengaktifkan hand phone dalam ruang kelas. Toh itu dilakukanya ketika jam sekolah sudah usai. Dan semua siswa sudah pada pulang. Jadi, seharusnya dia sudah terlepas dari aturan tersebut. Saya juga lulusan sekolah ini pak. Dulu sewaktu sekolah saya sempat dibilang oleh salah seorang guru bahwa saya adalah orang bodoh dan katrok. Sebab saya pada waktu itu diperintahkan mengaktifkan hand phone di kelas, saya tidak bisa. Katanya saya tolol. Dalam era global mengoperasionalkan hand phone saja tidak bisa. Tapi nyatanya sekarang bagaimana. Hand phone sudah menjamur dan menjadi salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, malah dikekang pemakainya. Ini sungguh perbuatan munafik. Ini perbuatan orang tolol.”

“Tapi ini beda mas. ini sudah permasalahan lain.” selanya membela.
“Saya tahu pak tujuannya. Sekolahan ini tidak ingin siswanya membudidayakan pornografi dalam hand phonenya bukan? Lihat Pak, hand phone adik saya. Mana bisa mengakses gambar-gambar porno. Harga hand phonenya saja tidak lebih dari dua ratus ribu perak Pak. Coba pikir! Dan lain kali kalau menentukan sanksi itu seharusnya disesuaikan dengan permasalahanya Pak. Tidak main pukul rata seperti ini.”

“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi ini demi lancarnya proses pembelajaran di kelas.” jelasnya lirih.
“Apalagi hal itu Pak. Itu sungguh imposibel. Bisakah bapak menjamin, dengan tidak berhand phone siswa menjadi pandai? Tidak mungkin bukan? Sebab semuanya itu bertumpu pada pola pikirnya. Serta bagaimana cara pengolahanya dalam realitas kehidupanya. Kapasitas otak manusia itu tidak sama Pak. Di dalamnya tertanam bakat-bakat yang berbeda-beda dalam setiap individu. Tugas guru adalah mengantarkan anak didiknya menggapai cita yang sesuai dengan bakatnya. Guru adalah sugestor. Adik saya juga tidak mengaktifkan hand phonenya saat proses belajar mengajar. Bapak tadi kan menyitanya saat ia dalam perjalanan pulang, bukan? Jadi apanya yang harus dikekang dalam pribadi adik saya? Apanya Pak? Toh membuat aturan itu seharusnya tidak serta merta langsung difonis dihancurkan seperti itu Pak. Tentunya harus melalui tahap peringatan terlebih dahulu.” desakku bertubi-tubi.

“Apapun alasanya, Mas tidak bisa mengambil kembali hand phone adik Mas. Hand phone harus dihancurkan. Ini sudah aturan. Dan saya konsekuen dengan aturan yang telah disepakati. Ini tidak bisa dimanipulasi.”
“Tidak bisa dimanipulasi kata Bapak?”
“Ya, benar!”

“Dulu Pak, ketika saya dan teman-teman yang lain, Bapak perintahkan mengerjakan tugas pribadi Bapak di ruang ini. Tepatnya di meja itu. Bapak malah menyediakan kami sebungkus rokok. Padahal Bapak tahu bukan, larangan merokok telah tergantung di papan atas dalam aturan sekolah untuk siswa. Bapak juga sempat bilang kalau rokok itu Bapak sediakan biar menggarap tugasnya lebih bersemangat. Ini aneh dan munafik bukan? Ini hanya manipulasi belaka bukan? Ini aturan yang mana Pak?”

“Tapi……” sedikit menyela.
“Aturan mana yang harus dipegang Pak? Jika dibandingkan dengan kesalahan adik saya, ini tidak sebanding dengan apa yang Bapak terapkan kepada saya dan teman-teman waktu itu. Justru Bapak yang seharusnya dikenakan sanksi yang lebih berat.”

“Kau………!”
“Saya sudah memohon belas kasih Bapak. Dan mengiba dengan begitu rendah diri. Tapi bentakan yang justru Bapak berikan. Ingat Pak, Tuhan saja pasti memberi cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang telah memohon dengan penuh hikmat. Dan rendah diri. Tetapi mengapa tidak dengan Bapak? Kecongkakan diri yang Bapak berikan.”

“Apa maksudmu? Kau mengataiku congkak? Jangan bandingkan masalah ini dengan Tuhan. Ini urusan kemanusiaan. Ini urusan siswa dengan pihak sekolah.” tanyanya kaget.
“Tuhan memerintahkan agar manusia senantiasa memberi cinta kasih, kemurahan, dan pintu maaf kepada sesamanya. Tuhan yang maha segala-galanya saja tidak pernah menunjukkan kecongkakannya. Mengapa manusia yang hanya sedikit dikaruniai cahayanya saja sudah berani menunjukkan kecongkakannya? Dan mengapa hal ini juga tidak boleh disangkut-pautkan dengan Tuhan, Pak? Jangan-jangan dalam diri Bapak sudah tidak ada lagi nama Tuhan! Dengan sejenak mengatakan hal itu, Bapak telah melupakan perintah agama. Dan bahkan nama Tuhan.”

“Coba kau ulangi sekali lagi kata-katamu.”
“Tentunya sebagai guru agama, Bapak juga tahu bahwa Tuhan mempunyai sifat Welas Asih. Pemurah. Pemaaf. Pengasih. Dan Penyayang. Semua sifat itu ternyata tidak ada dalam diri Bapak. Berarti eksistensi Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Benar bukan? Dengan menanggalkan sifat-sifat itu, sama halnya Bapak dengan meninggalkan Tuhan. Bapak telah lalai dengan Tuhan. Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Dan Bapak pasti juga tahu jabatan apa yang disandang bagi orang yang semacam itu……”

“Kau berarti mengataiku kafir? Atheis? Kau yang kafir.” bentaknya penuh dengan emosi.
“Tidak Pak. Aku tidak mengatai Bapak demikian. Ini sebatas wacana. Tidak berhak seseorang mengafirkan sesamanya. Bapak pikirkan saja. Instropeksi diri lebih utama. Renungkan dengan baik Pak! Menudinglah pada diri sendiri jangan kepada orang lain. Pasti ketemu jawabannya. Dan bukannya saya mendurhakai Bapak sebagai guru saya. Apalagi menggurui. Saya hanya meluruskan permasalahan Pak.”

“Aku setiap hari sholat. Atheis itu orang yang tidak sholat! Karena tidak sholat berarti dia tidak ingat dan tidak pernah menghadapkan diri kepada Tuhan. Jadi ya……”
“Bapak salah besar kalau begitu. Toh nyatanya Bapak juga belum melaksanakan sholat dengan hakekat sholat yang sebenarnya. Ritual sholat yang Bapak lakukan hanya sebatas kulitnya saja. Mana eksistensi sholat Bapak yang bisa mencegah perbuatan keji dan munkar? Mana kerendahan hati yang merupakan buah dari pelaksanaan sholat? Sholat itu menghadapkan diri dengan sepenuh hati kepada Tuhan, Pak. Bukan sekedar jungkir balik gerakan tanpa makna. Dengan melakukan itu, Bapak samahalnya dengan menipu Tuhan. Bapak hanya sekedar pura-pura ingat Tuhan. Dan pura-pura menghadap Tuhan. Ini bisa jadi manipulasi manusianya sendiri dengan jalan pembodohan terhadap diri sendiri dan juga Tuhan. Tapi ingat Pak, Tuhan tidak dapat dibodohi.” potongku dengan tegas.

“………” ia diam terpaku.
“Maaf Pak, jika Bapak benar-benar telah menghadapkan diri kepada Tuhan, kemana letak posisi penghadapan diri Bapak yang sebenarnya kepada-Nya?” sedikit tanyaku.
“Ke kiblat!” jawabnya tegas dan pasti.
“Di mana kiblat Bapak?” tanyaku memburu.
“Di………” ia tidak meneruskan jawabanya. Diam memikirkannya.

“Meski tidak Bapak ungkapkan, saya tahu jawaban Bapak. Itu hanya simbol kesatuan dan kebersamaan lahiriah manusia. Tuhan tidak ada di tempat itu. Begitu juga dengan gerakan sholat Pak. Itu juga hanya sebatas simbol untuk kerukunan dan kebersamaan antar manusia. Simbol itu aktualisasinya lewat penerapan perilaku sehari-hari dalam lingkungan bermasyarakat. Sebenarnya simbol lewat gerakan dan bentuk fisik itu penerapannya pada ruhaniah manusia. Itu hanya sebatas pengingat laku batin. Selaraskan antara yang lahir dan yang batin.”

“Simbol katamu! Lantas bagaimana pemaknahannya?”
“Bapak renungkan saja tiap gerakan itu. Saya tidak banyak waktu untuk mengungkapnya. Lagipula Bapak guru saya. Tentunya Bapak lebih pintar dari saya. Apalagi agama adalah bidang Bapak yang selama ini telah tertekuni. Maaf Pak, saya pamit. Terima kasih atas penjelasan dan sambutan Bapak. ” jelasku mengakhiri pembicaraan.

Amarah lahan-perlahan aku redam. Aku berpaling dari guru itu. berjalan menuju pintu. Lantas beranjak menghampiri adikku yang telah lama menunggu di motorku. Sungguh, tidak ada ramah-tamah yang mengenakkan kepadaku. Saat menemui guru itu tadi, aku tidak dipersilahkan duduk di kursi. Aku berdiri sampai pembicaraan usai. Padahal semua tempat duduk di ruang guru itu kosong. Ah, itu bagiku tidak masalah.

Adikku memandangi langkahku yang semakin mendekatinya. Hatinya penuh dengan tanya. Jantungnya bergemuruh menyesakkan jiwanya. Sayu sapanya hinggap di telingaku.
“Bagaimana Cak, dapat hand phonenya?”
“Tidak bisa diambil!”

“Lantas bagaimana Cak? Aku pasti dimarahi bapak di rumah. Cak……?” ujarnya terbata. Hampir meneteskan air mata.
“Ya, kita pulang saja. Paling-paling dimarahi hanya beberapa menit saja. Paling lama ya sehirian lah.”
“Cak……!” ungkapnya penuh ketakutan.

Kunaiki motor bututku. Sambil meghimbau adikku agar segera naik. Dan menabahkan hati. Menegarkan jiwa untuk menghadapi amarah bapak di rumah. Naik lah ia. Aku pun memacu motorku. Aku beranjak pulang.

Kehawatiran adikku ternyata benar terjadi. Sesampainya di rumah, aku ditanya orang tuaku masalah perangai adikku yang sedikit aneh. Dan menunjukkan kesedihan yang begitu kuat. Aku yang tidak bisa membohongi diri sendiri, pun menceritakan kejadian yang sebenarnya menimpa adikku. Awalnya orang tuaku mengira, adikku mengalami kecelakaan. Mereka hawatir betul kepadanya. Tapi setelah aku jelaskan semuanya, kehawatira itu seketika berubah menjadi amarah yang luar biasa. Mereka menumpukkan semua kesalahan kepada adikku. Maklum, orang tuaku marah karena hand phone yang disita itu bukan milik pribadi adikku. Hand phone itu milik pamanku yang beberapa hari lalu dipinjam adikku. Sebab baru beberapa hari ini, adikku bisa mengoperasionalkan hand phone. Wajar kalau orang tuaku sedikit emosi. Dan naik darah.
Adikku matanya nanar. Dan lari ke kamarnya. Melinangkan air mata. Menghujankan kesedihanya.

Balada-Balada, Suryanto Sastroatmodjo

BALADA BIANGLALA

I
Tarian tanah gamping di celup suntukku
O, derap kajian ufuk
Menjenguk setugal malam. Pelatuk sangsi ke situ

27/10/08

Upaya Mengelola Spirit Neo-Primitif

Sebuah Gagasan Teater Tutur
S.Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

MENYAKSIKAN tiap bentuk pertunjukkan, seringkali kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan—apa pesan yang dituturkan pertunjukan tadi? Lebih aneh lagi apabila pertanyaan itu kerap muncul justru di akhir pagelaran. Kalau mau jujur boleh dikata, pertanyaan semacam itu tak lebih dari pengakuan (disertai tuntutan) memperoleh kegunaan dari setiap menonton pertunjukkan.

Di sinilah kemudian pesan jadi barang mahal untuk di dapat, apalagi bagi tontonan yang kurang berhasil karena tidak adanya kesadaran yang tinggi untuk menuju ke sana. Begitu mahalnya sehingga makin sulit untuk menggerakkan pesan-pesan seperti itu ke arah yang lebih dalam ke dalam bentuk kesan.

Menghadirkan pesan dan menghidupkan kesan tampaknya hingga kini terus dijadikan pergulatan dalam tradisi tutur kita—dan barangkali bermula dari sini pulalah cikalbakal kesulitan akan berkembangnya seni tradisi kita. Sehingga Tradisi Tutur seperti jadi bulan-bulanan sebagai korban yang menyebabkan seni tradisional berpotensi mati yang sebenarbenarnya mati tanpa sebutir pun bekas—kalaupun ada tak lebih hanya nostalgia yang fatalnya cukup laris dijual di pasar pariwisata bagi orang yang sebetulnya tengah kebingungan mencari dirinya sendiri berada di tengah hirukpikuk zaman.

Lagi, sulit berkembangnya seni tradisi tutur kita akibat serbuan model dan sarana penuturan lain yang lebih efektif makin mengubur dalam dalam nasib buruk tradisi tutur itu sendiri. Belakangan yang muncul ke permukaan adalah pertanyaan bagaimana memperjuangkan tradisi tutur yang notabene telanjur memilih menggunakan media bahasa lisan sebagai ‘penyambung lidah’ pesan tersebut?

Lantas apakah pesan dan kesan itu penting dan tepat diwujudkan dengan kosakata sebagai barang mahal? Memperjuangkan—bukan berarti membela mati-matian—tradisi seni tutur kita boleh dikata diawali dari berpegang pada pentingnya pesan dan kesan tersebut sebagai kunci. Karena tradisi tutur atau oral tradition sebetulnya lebih bertitik tolak secara historis dari adanya pesan tersebut yang dikemukakan dalam konteks tahap kebudayaan mitologis menurut istilah Van Peursen.

Meski demikian tradisi tutur, oral tradition alias tradisi lisan tak melulu berupa hal-hal yang berkaitan dalam gaya penyampaian tutur (verbal) belaka. Terlebih pada saat tradisi lisan itu memasuki ranah seni yang pada mulanya tumbuh subur sebagai sebuah upacara ternyata ada bentuk tarian di samping syair serta wayang dan kemudian menuju teater. Tentang yang terakhir disebut ini, banyak dituding mulai adanya campur tangan pola pikir barat ditandai sejak sandiwara (sandi dan swara?) Dardanela, meski di sisi lain orang barat macam Antonim Artaud justru menggali teater tradisi di Bali. Kesemuanya terus hidup hingga di zaman yang bukan lagi pre-historis tetapi pada saat orang mulai gemar menulis.

***

TEATER TUTUR adalah cerita itu sendiri adalah dongeng, mithologi, monolog dari colectif-conciusnes (kesadaran kolektif). Pertanyaannya, bagaimana itu terjelaskan di atas pentas? Sedyawati (1998) mengklasifikasikan tradisi lisan sejak dari yang paling murni bersifat sastra hingga ke pertunjukkan teater, antara lain: pertama, murni pembacaan sastra, seperti mebasan pada orang Bali dan macapatan pada orang Jawa, kedua pembacaan sastra disertai gerak-gerak sederhana atau iringan musik terbatas, seperti pada Cekepung dan Kentrung, ketiga, penyajian cerita disertai gerakan-gerakan tari seperti randai pada orang Minang dan keempat, penyajian cerita-cerita melalui aktualisasi adegan-adegan dengan pemeran-pemeran yang melakukan dialog dan menari disertai iringan musik.

Berawal dari catatan singkat bahwa tradisi tutur tak musti dengan bahasa verbal, tampaknya bisa lebih menajam bila memakai teropong pada perbincangan dari tinjauan bahasa sebagai alat penyampaian pesan (komunikasi). Bahasa kemudian bisa berwujud sebagai bahasa dalam pengertian teater, ada tari dan gesture (body language). Dengan kata lain, di dalam masyarakat yang belum mengenal tradisi menulis sebagai bagian dari kebudayaannya, tradisi lisan menjadi alat atau sarana yang sangat penting dalam transmisi nilai, norma dan hukum dari generasi ke generasi yang lain. ”Mithos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada kelompok orang (pemiliknya) yang tidak hanya dituturkan, tapi juga dapat diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan wayang,” kata Van Peursen. Tak cuma itu, dalam perkembangan selanjutnya atau tahap kebudayaan fungsional bahasa terkait dengan alat penyampaian pesan bukan mustahil bisa terus dicoba ke wilayah lebih luas termasuk di dalamnya film—seperti pernah dicoba sineas ternama Garin Nugroho ke dalam bahasa gambar. Satu hal yang ditawarkan di situ film minus bahasa verbal akan tetapi sukses tidak meninggalkan nuansa tutur sebagai tradisi.

Pertanyaan berikutnya, lantas dimana teater atau khususnya monolog bisa mengambil peran? Melalui penelusuran epistemologis dan etimologi maupun terminologi simpul pelbagai gagasan yang terkait tutur atau lisan, teater dan monolog adalah pada semangat untuk kembali menyampaikan pesan. Kalau zaman baheula, mitologi hidup subur justru karena keterbatasan-keterbatasannya, bagaimana sekarang bisa memaknai kembali sebuah mitologi dan sejenisnya—ada upacara ritual maupun mistik? Terang saja yang tersebut belakangan ini sulit untuk hidup kembali di ranah ini meski di sejumlah wilayah dalam kontek tertentu masih nyata-nyata begitu dipercaya kelompok masyarakat.

Kelompok masyarakat dalam catatan ini jadi semacam syarat mutlak untuk bisa memahami bahasa-bahasa mereka sendiri dalam sebuah kesepakatan. Jadi makna hanya dapat dipahami dan ditangkap masyarakat penciptanya sebagai konteks sosial teater itu lahir dan kemudian hidup. Seolah kelompok itu berkata ‘Ini hanya untuk kami sendiri, yang lain silakan tak perlu ikut-ikut. Percuma saja.’ Di sinilah kemudian pemahaman kontektual teater jadi lebih memiliki arti yang sulit untuk didekati kelompok lain di luarnya, tetapi gampang menggugah semangat bagi mereka yang ‘senasib sepenanggungan.’ Di situlah tranformasi makna dan pesan dalam Teater Tutur dari pelaku ke audiens (penonton) mengalir melalui proses komunikasi baik verbal maupun non-verbal pada saat sadar diri menjadi seni pertunjukkan—bentuk komunikasi yang sudah dikombinasikan dengan aspek visual, kinesthetic dan aesthetic dari gerakan manusia. Dalam bahasa lainnya seni yang seperti ini mustahil bisa didekati secara universal, meskipun seni teater itu sendiri bukan hal yang muskil kemunculannya memang universal. Sehingga dari aspek komunikatifnya, konsekuensi pilihan mutlak teater seperti ini audiensinya harus memahami pesan budaya yang dilakukan dengan gerakan manusia di dalam waktu dan ruang. Terkait dengan hal ini, makna teater tidaklah didapatkan dengan sendirinya oleh masyarakat pendukungnya, akan tetapi melalui suatu proses sosialisasi atau proses kontinuitas dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun konteks ruang, waktu dan sosial (audience) yang berbeda akan memberikan kontribusi bagi perubahan makna untuknya.

Tentu saja catatan ini dengan penuh kesadaran, mengatakan teater yang dihidupkan petani, peladang, buruh atau pengangguran cq mahasiswa jurusan kesenian sekalipun, bisa diganti dengan teater yang digagas seniman, intelektual dan ilmuwan. Titik temunya pada apa yang digariskan Bertolt Brecht bahwa antara ilmuwan dan seniman itu memiliki tugas kemanusiaan yang sama yakni meringankan beban hidup manusia. Bila ilmuwan bertugas untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan dalam mengungkap misteri keilmuan demi kesejahteraan hidup manusia di semesta, maka kehadiran kesenian sebagai penyeimbang karena keberadaannya dimaksudkan untuk “menghibur.” Bagi siapa yang bisa bertarung di situ, kepada mereka kita sudah selayaknya dan patut mengangkat topi karena sebetulnya mereka bergulat memaknai diri di tengah samudera alam semesta—sekecil apapun makna itu baginya—inilah kreativitas. Perjuangan seperti ini pun telah dilakukan manusia primitif sejak zaman baheula untuk memecahkan kerumitan hidup sejak sebelum ada religi, ritual atau agama dan pengetahuan lain seperti seni dan moral. Dengan kata lain proses budaya mereka adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses kreativitas yang digerakkan oleh badan manusia di dalam ruang dan waktu tertentu.

***

ENTAH ini sebuah pandangan yang tepat ataukah tidak, jadi masih semacam dugaan-dugaan yang sifatnya perlu analisa dan eksperimen lebih lanjut. Bahwa di samping problem yang sudah melekat dalam diri manusia di semesta ini, lantas perasaan senasib dan sepenanggungan dalam perjalanan bangsa yang bertahun-tahun didera akibat masa kelam, penderitaan, tekanan dan kepahitan, secara tidak langsung juga turut membentuk sebuah tradisi lisan dalam arti kita lebih suka “diceritai” dari pada jadi “pencerita yang analitis.” Atau kita lebih terbiasa jadi “pendengar” atau jadi “pendongeng” saja dengan segala percikan-percikan yang dalam perkembangan hebatnya bisa dipelihara sedemikian cerdik. Tanpa bermaksud memposisikan “pendongeng” ke dalam makna efimisme, jika pun benar betapa teater tutur yang lahir dari “zaman gelap” seperti itu sanggup berjuang dan mendapat tempat kuat di tengah masyarakat. Sebaliknya tentu saja tak memperoleh simpati jika ditinjau dari tahap fungsionalnya Van Peursen. Kita tentu masih dibuat terkagum-kagum bagaimana paiwainya Kartolo Cs atau Markeso, Cak Durasim yang sanggup memperjuangkan tradisi lisan justru di abad supercanggih seperti sekarang—menyampaikan pesan dengan rupa-rupa basa-basi verbal yang justru menurut Sindhunata mampu menghidupkan spirit hidup rakyat kecil dari hempasan penderitaan beban hidup.

Masih tentang dugaan, deraan nasib bangsa dalam “zaman gelap” seperti ini dengan kata lain turut menumbuhsuburkan monolog. Kita bisa menjumpainya bagaimana banyak penulis kita yang begitu dahsyat apabila menceritakan tentang penderitaan itu sendiri, meski tanpa suatu analisa tertulis dari disiplin keilmuan yang dalam. Yang mau saya katakan, menjadi wajar apabila tradisi tutur itu amat sulit dimusnahkan tanpa berniat untuk mempertahankan secara mati-matian tradisi yang dalam sejarahnya kini memang hidup enggan, mati tak mau itu. Pertanyaan berikutnya, jika ini benar adanya, akankah monolog itu sebuah ikatan ideologis yang bukan kebetulan di sini dipicu oleh perasaan senasib dalam sejarah? Kiranya ini sebuah persoalan amat komplek seperti halnya masalah manusia atau pelaku-pelaku budaya itu sendiri dan keseriusan berproses budaya menjadi titik tolak untuk menemukan jawabannya kendati pun sulit untuk benar-benar terpecahkan. Tentu saja hal ini termasuk di dalamnya problem budaya dengan segala tetek bengek hambatan bahkan teror kita sendiri yang jelas turut membangun berdirinya imperium tradisi tutur—yakni sulitnya memecahkan persoalan secara rasional sebagaimana tradisi barat—atau seringkali kita dicap berbelitbelit karena banyak bicara melalui simbolisasi (surrealis?) basa-basi guyonan parikeno dan tidak pragmatis. Saya tidak hendak mengatakan simbolisasi itu buruk dan rasional itu jelek atau sebaliknya rasional itu baik dan simbolis itu bagus. Keduanya bisa ada dan ditiadakan. Sama halnya dalam pertunjukkan teater saya yang tanpa mempedulikan keharusan realisme, absurditas atau simbolik, surrealisme. Kesemuanya niscaya bisa ada dan bisa pula ditiadakan. Kesemuanya punya hak untuk secara terbuka hadir dalam sebuah proses panjang berteater.

***
TEMA BESAR pertunjukan ini adalah perlawanan terhadap segala bentuk korupsi. Upaya ini sengaja dimulai dengan mengurai peristiwa terdekat diri kita yakni keluarga—menghadirkan tokoh yang mengasingkan diri untuk menjaga kebersihan hidupnya karena ia sadar mengemban misi mulia dari sang pencipta dengan segala konsekuensinya hidup dalam kemiskinan. Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat. Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi. Pilihannya ternyata sekaligus jadi sebuah cara agar bisa berbicara banyak tentang ancaman dunia luar. Utamanya perihal kebobrokan. Cara tokoh menutup pintu jelas sudah berbekal kunci bahwa segala bentuk korupsi dan kebobrokan adalah kejahatan dan bukan budaya. Pilihan tokoh seperti itu didorong kesadaran dirinya “sungguh tak mampu” mengikuti arus besar di luar rumah. Melawan pun tak bisa. Karena itu satu-satunya bentuk lain dari perlawanan adalah menjaga keluarganya sendiri dari bahaya luar, menumbuhkan sikap tak peduli, cuek dan apriori. Tema kecil pertunjukan ini adalah tentang kemiskinan dan penderitaan hidup orang biasa. Bahwa orang tak perlu takut hidup miskin dan menderita. Justru keberanian itu terletak pada kukuh mempertahankan spirit hidup untuk tidak “merusak tatanan kehidupan kosmos,”—sekecil apapun perbuatan yang disebut kejahatan.

Lelaki itu anak haram jadah. Lahir dari rahim seorang pelacur, bukanlah penghalang baginya untuk mencintai ibunya. Lelaki itu punya anak dan istri. Punya keluarga membuatnya sadar, cinta kepada ibunya telah menumbuhkan Spirit hidup lelaki itu untuk jadi manusia—bertanggungjawab pada diri, ilmu dan keluarganya—sebagaimana ajaran ibunya. Demi tujuan itu, ia menjatuhkan pilihan dengan keluar dari pekerjaan dan “menutup pintu” rumahnya kuat-kuat. Ia memilih mengurus sendiri hidup keluarganya dan menolak campur tangan siapapun, tetangga maupun negara.

Mengapa dunia luar sebagai ancaman? Tanpa sedikitpun bermaksud menganggap dunia luar itu remeh temeh, kiranya ini adalah cara pandang yang mempertimbangkan betul sisi dalam manusia itu sendiri—pengalaman sejak kecil hingga tumbuh dewasa. Dunia luar itu bukan satu-satunya ancaman, karena sebaliknya pengalaman masa kecil yang buruk bukan mustahil sanggup mendorong manusia menjatuhkan pilihan pada “merusak tatanan kehidupan kosmos”—inilah ancaman sesungguhnya yang benar-benar ancaman. Bila karena itu Nietzsche mengaku kesulitan memahami manusia dari spesies hewan, karena dorongan kodrat manusia sebagai makhluk yang selalu berkeinginan berkuasa, tapi tidak bagi saya karena di situ ada perbedaan mendasar antara “kodrat” dan “fitrah”—bahwa manusia hidup dan hadir di bumi ini sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban.

Celakanya, semua itu ada dalam diri manusia dan karena itu perjuangan untuk itu terus ditumbuhkan termasuk kepada dirinya sendiri. Begitu dahsyatnya pertarungan ini sampai kemudian Nietzsche melalui tokohnya, Zarathustra melihat kehendak berkuasa bekerja secara diam-diam di mana saja dalam sejarah moral—dalam asketisme orang-orang suci dan kecaman para tokoh moral, serta brutalitas legislator primitif. Saya tidak hendak menyalahkan Nietzsche, tapi seperti halnya kata Al Ghazali begitu banyak pandangan-pandangan filsuf yang tidak banyak berguna alias sia-sia kurang lebih ada benarnya, termasuk salah satunya kepada saudara Nietzche ini. Bagi saya, di sinilah pentingnya mengajak (mendidik) siapapun manusia untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri sebagai sebuah jalan ke arah primitif baru—proses kesenian sebagai buah tangan dan pikiran manusia tak luput dari tugas itu. Memang kedengarannya pilihan terminologi primitif baru (neo-primitif) cukup arogan. Namun mengelola sesuatu arogansi itu menurut saya adalah suatu kesenian, tentu saja dengan mempertimbangkan secara matang seluruh bentuk dan isi pikiran. Syukurlah Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness, cukup lumayan ketika menyesalkan terjadinya kesalahan berpikir bahwa orang yang sungguh jahat dan destruktif pastilah setan—berwajah jahat, punya taring, tidak punya kualitas positif, dan sebagainya. Koreksi Erich Fromm, setan-setan ini memang ada, tapi celakanya, sangat jarang berpenampilan demikian. Yang lebih banyak justru setan yang memperlihatkan wajah manis dan menarik. Maka, sejauh percaya orang jahat pasti bengis dan bertaring atau bertanduk, tidak pernah akan menjumpai orang jahat di dunia.

Cukup menarik bagi saya adalah pernyataan Carl Gustav Jung, yang mengungkapkan bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Bagian bayang dari pikiran adalah bagian esensial dari bentuknya. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan, menjadi semacam hantu. Dari sinilah kemudian, ia berpendapat pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realitis. Hal ini saya lebih cenderung menggunakan terminologi sikap terbuka dan membocorkan diri atas bahwa manusia memang memiliki sisi gelapnya sendiri, yakni kemampuan untuk melakukan kejahatan yang justru merendahkan dirinya sendiri. Ada pandangan yang “spiritualis” atau “mistis” mengemuka dari pernyataan Jung, bahwa manusia memiliki kekuatan kompleks yang memungkinkannya untuk melakukan tindakan yang meniadakan kebaikannya sendiri. Dengan membocorkan diri tentang ruang-ruang gelap, dosa-dosa, kejahatan-kejahatan, keburukan-keburukan masa lalu dalam batin manusia, maka hal itu berarti aktif menciptakan kondisi ektrem manusia tanpa lebih dulu harus ditekan dan pojokkan. Karena menurut saya, dengan cara seperti ini saya amat meyakini sebagai upaya untuk mengenali diri secara lebih dahsyat yang pada gilirannya barangkali justru akan menumbuhkan rasa percaya diri sebagai manusia menjalani fitrahnya.

***

MENJAJAGI kemungkinan bentuk teater dan wayang kampung sebagaimana selama ini saya terlibat di dalamnya dengan menyadari pelbagai kendala kemiskinan—fasilitas, dana, pekerja teater dan lainnya—jelas bukanlah penghalang utama sebuah kerja kreativitas. Saya menghadirkan elemen-elemen jagad perwayangan sejak dari dalang, lampu blencong, layar dan sebagainya meski tanpa sepotong pun sosok wayang. Kemewahan sosok wayang hanyalah perkara tokoh dan penokohan. Saya cukup mengganti tokoh wayang dengan kostum-kostum yang dipajang di depan layar. Sehingga di situ pulalah pemain bisa keluar masuk dengan ide-idenya atau “penokohan jiwanya” dalam kostum yang untuk itupun ia harus sering berganti di atas panggung. Pemain bisa jadi cuma pemain dan bisa pula jadi dalang sekaligus bagi dirinya sendiri. Pemainlah yang punya beban ide atau ideologi, bukan yang lain. Wujud wayang hanyalah soal baju saja. Selanjutnya tergantung bagaimana “mengisinya.” Bukankah kita sudah biasa dengan berganti baju lalu tiba-tiba sikap hidup kita jadi sering pula berganti? Dasar Teater Tutur bukan berarti menilai disiplin teater barat sesuatu yang abai. Mempertimbangkan Eugine Ionesco yang biasa menampilkan lelucon dan simbolik, atau Bertolt Brecht yang cenderung berpikir, lalu Grotowsky yang berusaha mempengaruhi penonton bahkan teater Rusia Okhlopkov yang sangat sosialis juga perlu. Jadi jangan heran bila pertunjukan ini mengajak menciptakan kegembiraan atau semacam pesta dengan penonton gilirannya sebagai pemain. Semuanya tidak mustahil ada di pertunjukan ini dengan penuh kesadaran menghadirkannya—ini sebuah cara untuk kemungkinan kami bisa lebih bersikap terbuka.

Untuk itu, sebelum menutup tulisan ini, sebagai sebuah gagasan teater, saya amat yakin berdiri di suatu “koma” dan jauh dari sebuah “titik.” Karena itu, alangkah baiknya kalau di tempat pencarian ini, sekaligus mengurai kerendahan hati dan mengurangi beban arogansi, saya kembali mengajukan pertanyaan penting, mungkinkah sebuah pertunjukkan mencoba menggali kemungkinan baru tentang monolog dalam teater? Lalu, akankah dalam situasi di tengah hiruk pikuk zaman ketika dari hari ke hari, jam, menit dan detik makin banyak pula orang dan barang yang sibuk bermonolog, lantas menawarkan bentuk lain monolog sebagai sebuah ideologi dalam arti point of view (sudut pandang)? Lantas efektifkah bila “menyebarkan” sudut pandang aku yang bukan mustahil tak ada bedanya jika diganti sudut pandang kami asalkan keduanya sama-sama mempertahankan sikap sepihak? Sebagai penutup saya hanya bisa menukil satu jawaban sementara yang kami yakini dengan apa yang kami lakukan, bahwa sudut pandang kami melalui teknik tertentu dalam pertunjukkan ini sanggup menekankan pentingnya menyebarkan informasi kemungkinan bisa diterapkannya asas pembuktian terbalik di dunia hukum kita untuk memerangi korupsi. []
-----------------------

Kutisari, 7 Desember 2004

25/10/08

Mari Menginap di Library Hotel

Muhidin M. Dahlan*
http://www.jawapos.com/

Bagi para pejalan, hotel mirip stasiun atau pelabuhan yang dikatakan penyair Chairil Anwar sebagai tempat persinggahan yang ''sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan''.

Hotel adalah bagian dari ritus perjalanan di mana tubuh penyinggah termanjakan. Di sini apa saja bisa terjadi. Dari pertemuan bisnis hingga politik (beberapa kali KPK memergoki adegan picisan penyuapan para politisi di lobi atau kamar hotel). Dari pengajian tasawuf untuk kalangan elite hingga pesta striptease yang gila-gilaan. Di dalam hotel, setiap manusia menjadi majikan sesaat. Tubuh dan segala keinginan dilayani dan mendapatkan ''perlindungan'' privasi dengan (hanya) sejumlah uang. Hotel pun menjadi penanda status sosial seseorang, sebagaimana kata sastrawan Cicero, ''Jika kau memiliki kebun dan perpustakaan, kau memiliki segala yang kaubutuhkan.''

Tapi hotel juga bisa menjadi sebuah tempat istirah yang melayani dua sekaligus, tubuh dan otak; jika hotel juga perpustakaan (library hotel). Selama ini kampanye aktivis perbukuan bertumpu pada bagaimana menerbitkan buku sebanyak-banyaknya, mendirikan perpustakaan sebanyak-banyaknya, dan membikin taman bacaan di mana-mana. Kita juga bersyukur sudah ada cafe yang disatukan dengan toko buku dan mall yang ada toko buku di dalamnya.

Tapi yang belum ada adalah hotel yang bersatu dengan perpustakaan. Sebab, selama ini dua gedung ini bukan hanya dipisahkan oleh peruntukannya, tapi juga dipisahkan oleh cara berpikir (modern) kita, dengan pengeculiaan Iwan Simatupang dan John Steinbeck yang melihat hotel sebagai ruang pertapaan mengurus (biografi) diri, eksistensialisme, dan dunia susastra.

Library hotel yang dimaksud di sini bukanlah hotel yang ada ruang perpustakaannya (dengan ruangan khusus). Tapi hotel yang rancang interiornya berpadu dengan buku-buku dan juga pembagian ruangnya.

Bayangkanlah ada sebuah hotel yang setiap lantainya dikelompokkan berdasarkan sistem Dewey Decimal. Ada bidang sosial, bahasa, matematika dan sains, teknologi, seni, sastra, sejarah, pengetahuan umum, filsafat, dan agama. Petunjuk penomorannya pun disesuaikan subkategorinya. Misalnya, lantai delapan atau sastra, kamar-kamarnya dinomori: 800.008 misteri, 800.004 sastra dramatik, 800.003 puisi, dan lain-lain.

Seperti kebanyakan hotel berbintang lain, dekorasi kamarnya mesti dirancang seperti perpustakaan pribadi yang membikin orang betah. Lantainya dilapisi kayu dengan warna kalem sehingga memberikan suasana tenang dan sunyah. Kursi diletakkan di dekat jendela untuk mendapatkan cahaya yang cukup saat membaca. Sebuah rak kecil yang berisi buku-buku sesuai kategori kamar ada di dekatnya. Buku-buku yang disediakan termasuk koleksi-koleksi yang tak umum, langka, penting, dan bukan sekadar buku pengantar tidur sehingga membutuhkan waktu lebih lama dan konsentrasi lebih banyak untuk membacanya.

Di kamar inap yang sama juga terdapat lemari-mini dan televisi berlayar datar dengan koleksi 100 film terbaik yang bisa dipesan di resepsionis. Di dindingnya terdapat rak buku sesuai dengan kategori kamar yang dipesan, seperti puisi, perjalanan, atau erotisme. Hiasan dindingnya berupa kutipan-kutipan buku atau puisi-puisi dari buku-buku penulis terkenal.

Restoran terletak di lantai tersendiri yang dirancang sebagai perpustakaan umum dengan gaya hotel berkelas di mana di sana tersedia aneka makanan dan minuman, koran, majalah, jurnal, dan buku-buku ringan. Dan, pada hari-hari tertentu disediakan wine dan keju di ruang baca.

Jika ada tamu hotel yang berminat pada buku tertentu bisa memesan pada bagian resepsionis atau langsung saja masuk ke toko buku yang terletak tak jauh dari ruang lobi. Pendeknya, hotel jenis ini menyediakan buku, buku, dan buku; mulai dari pintu masuk, lobi, lorong hotel, kamar, toilet, restoran, cafe, hingga fasilitas wisata buku di sekitar hotel.

Adakah hotel yang begini di Indonesia? Cari dicari, tampaknya belum ada. Di New York, USA, ada satu. Terletak di 299 Madison Avenue yang harga sewanya mulai USD 345-525 per hari. Hotel unik ini berdiri di jantung perbukuan. Tak jauh darinya ada perpustakaan umum (NY Public Library) juga beberapa perpustakaan lain yang bertebaran di sekitarnya. Di dekat hotel itu juga ada ratusan toko buku yang menjual buku-buku dengan harga bervariasi, dari yang loakan hingga buku-buku referensi. Ada juga sebuah koloseum buku milik pribadi dengan koleksi unik dan langka yang menyediakan cafe berikut cenderamata bagi pembaca.

Artinya, dalam bisnis perhotelan, ini adalah peluang dengan kategori ''samudera biru'', tanpa satu pun pesaing. Menawarkan alternatif yang tak terpikirkan. Di Indonesia, eksekutif pencinta buku banyak dan segmen pembaca ini belum terlayani dengan baik. Para eksekutif dari kelas menengah ini sampai putus urat leher Anda berseru-seru (dan atau memaki-makinya!) tak bakal mau ke perpustakaan umum (di daerah atau di ibu kota) untuk memperkaya pengetahuannya. Sebab, memang perpustakaan kita dibikin sangat tak menarik, membosankan, dan umumnya jorok.

Saya berpikir, tak perlu mendirikan hotel baru untuk library hotel ini. Cukup memugar beberapa hotel atau bangunan yang berlokasi di jantung kota. Misalnya di Surabaya, Hotel Oranye yang menjadi kawasan paling bersejarah dalam pertempuran 10 November 1945 bisa dimodifikasi menjadi library hotel. Di Jogjakarta, Hotel Mutiara (bangunan dengan desain lama) yang berada di kawasan niaga Malioboro bisa menjadi alternatif yang tepat. Sebab di sepanjang jalan tersibuk itu terdapat juga perpustakaan umum dan tak jauh dari sana terdapat pusat buku.

Di Jakarta, di samping kiri Perpustakaan Nasional ada Hotel Atlantic yang bisa dijadikan percobaan library hotel. Atau di Jalan Veteran, yang merupakan kawasan ''Ring 1'' karena di dekat Istana Presiden, terdapat satu-satunya hotel, yakni Hotel Sriwijaya, yang bisa disulap jadi library hotel. Di kota-kota lain tentu masih banyak kawasan yang bisa kita tunjuk, seperti Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar.

Pendirian library hotel ini barangkali menjadi salah satu kampanye diam, tapi efektif, agar kalangan eksekutif (pengusaha, politisi, artis hiburan, dll) yang klimis dan berkantong tebal itu tetap dekat dengan buku. Caranya, ya beri mereka tempat menginap sesaat dan sekaligus menikmati hangatnya dipeluk buku-buku yang sesuai dengan status sosial dan seleranya. Tak hanya itu, library hotel juga menjadi tempat paling nyaman dan mewah bagi para penulis yang sudah berduit untuk menulis novel atau puisi-puisinya. (*)

---
*) Kerani di Indonesia Buku (I:BOEKOE) dan anggota komunitas Kutu Buku Gila (KuBuGil)

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita