26/09/08

Write for Writing atawa Work for Works!

Bernando J. Sujibto

(saya merasa bingung ketika hendak menuliskan catatan ini harus menggunakan judul bahasa Inggris. Apalagi bulan dan tahun ini adalah bulan dan tahun kebangkitan ke-Indonesia-an. Semua ini seperti menekan saya. Namun saya merasa bahasa Indonesia (tetap) kurang mumpuni. Saya tidak tahu kenapa demikian. Mungkin kalau terpaksa di-Indonesia-kan menjadi 'menulislah untuk tulisan [itu sendiri]'...).

Write it all down, just the truth, no rhymes, no embellishments, no adjectives…. Kalimat pendek ini adalah salah satu dialog yang saya ambil secara mentah dari sebuah film, yang menurutku cukup baik ditonton, Atonoment. Dari film itu kemudian melahirkan kegelisahan baru seperti dalam tulisan kali ini.
***

Seringkali, yang dilakukan kita adalah ’karena (oleh) orang lain’ atau ’karena (untuk) orang lain’. Untuk pekerjaan itu sendiri, ataupun karena tugas dan tentu karena panggilan yang di luar semua kepentingan (beyond the thing), sangat jarang kita temukan dalam sekian kesibukan kita sebagai mesin pekerjaan. Bisakah kita melakukan sesuatu untuk pekerjaan itu sendiri? Sejenak, ayo melakukan sesuatu untuk ’hanya demi melakukan’ itu sendiri. Di sini tentu tidak ada engkau, aku dan siapa-siapa selain ’aktivitas’ itu sendiri. Aktivitas lahir dan melakukan sendiri....

Manusia seringkali melakukan sesuatu untuk orang lain karena tuntutan sebagai homo politicon (mahluk sosial); melakukan sesuatu untuk ’yang bermanfaat’ bagi kehidupan orang lain. Memang luar biasa orang melakukan ini. Karena hal itu menjadi semacam filantropi, semua orang pun berlomba melakukannya. Padahal ada yang dilupakan di atas semua itu: bahwa ’pekerjaan’ yang dilakukan itu belum tentu mau dan ’ikhlas’ juga melakukannya. Karena ’pekerjaan’ manusia tunggangi demi tujuan ego manusia itu sendiri. Kali ini saya mau melakukan sesuatu—bukan untuk orang lain, tetapi untuk pekerjaan itu sendiri. Menuliskan sesuatu yang lahir dari kegiatan yang saya jalani.
***
Terimakasih film Atonement, nominasi dan best picture Orcar 2008 garapan Joe Wright. Engkau di antara sekian impulse yang datang menyapa dan menaburkan keyakinan demi keyakinan, dari sejumlah jalan yang saya lalui hingga detik ini: tentang menulis yang seringkali pasang dan surut, seperti air di lautan itu. Engkau seperti menuntunku kepada sebuah keyakinan bahwa yang ’ditulis dengan sebenarnya’ akan melahirkan gairah dan kebenaran di baliknya akan datang bersambut gayung. Semua orang akan mengamininya. Semua orang akan mengenangnya....entah ludah yang keluar dari mulut mereka atau senyum prestasi. Kenangan tidak harus manis, bukan?

Dan, saya pun percaya bahwa saya harus menuliskan apapun yang harus saya tulis—mengikuti jalur linear imaji yang acap kasatmata, ataupun melupakan siapa saja yang ada di samping saya yang sering memaksa dan membatasi. Saya percaya bahwa jalur imaji yang datang itu akan memungkinkan tulisan itu/ini menjadi sebuah peristiwa pada masanya, lepas dan bersaksi kepada siapa saja. Saya ingin sekali melakukan itu, bahwa yang datang dan pergi memang seringkali menyisaan yang tak biasa, menjadi prasasti ataupun hanya sekedar tawa yang sebenarnya akan menjadi saksi untuk peristiwa berikutnya.

Di saat seperti ini saya ingat sebuah nama, Donatien Alphonse François de Sade (atau lebih dikenal Marquis de Sade (2 June 1740-2 Desember 1814), seorang yang telah melakukan sesuatu sebelum engkau melahirkan film ini. Penulis berdarah Prancis abad 18 yang telah mengikuti hatinya, sebagai medan terkaya dari kehidupan, menuliskan apapun untuk memenuhi panggilan imaji yang saya sebutkan di atas. Karena pada waktu itu porno dan semua macam yang berbau seks harus dilenyapkan dari kehidupan masyarakat Prancis, maka dia pun harus menanggung akibat sebagai penulis yang senang mengeksplorasi kesadisan seksual (sexual sadism) dalam bentuk novel ataupun catatan-catatan berai. Panggilan hati yang dia lakukan bukan hanya selesai pada selembar kertas—atau apapun nama media untuk menuliskan sesuatu pada masa itu—tetapi jauh petualangan yang dia lakoni, demi hasrat kebebasan itu, dengan melakukan skandal seks dengan gundik. Ini luar bisa bagi seorang yang mau membuktikan dirinya hidup.

Saya tidak hendak memuja apalagi mengkultuskan seseorang atau apapun. Saya hadirkan Sade karena sisi ’keunikan’ dia dalam melakukan risalah kehidupannya dengan total dan pasti. Untuk menyubutkan dari kalangan penulis dari bangsa ini adalah Pram yang cocok sebagai wakil dari bayangan imaji saya. Karena dialah orang yang—atas nama penulis—telah mempertaruhkan semuanya demi totalitas yang telah dia buktikan ke tengah kehidupan.

Saya yakin bahwa dari sekian pekerjaan yang baik Sade atau Pram lakukan adalah menjalankan pekerjaan yang lahir dari hati nuraninya. Mereka tidak tahu pada akhirnya kalau karya yang mereka hasilkan akan menjadi sampah atau mutiara.

Pengantin Hamil

Riau Pos, 30 Maret 2003, Harian Bernas, 27 Juli 2003
Marhalim Zaini

“Kita akan bersanding, sayang. Duduk di atas pelaminan, seperti raja dan permaisuri. Daun inai yang diracik halus, akan menghiasi jemari tangan dan kaki kita dengan getah merahnya. Beras pulut, beraroma kuning kunyit, akan ditabur oleh sanak saudara di atas kepala kita, sebagai tanda, restu dan doa telah diberi. Maka hati kita pun bernyanyi, diiringi barzanji yang melantun dari mulut gadis-gadis kampung yang molek. Rampak pukulan kompang dari tangan-tangan pemuda yang belia, akan semakin menggetarkan jiwa kita, bahwa saat itu, dunia menjadi milik kita berdua. Tunggulah, sayang. Abang akan pulang….”

Bibir Suri tak pernah bisa berhenti untuk terus membaca sekeping surat lusuh di tangannya. Surat pertama yang ia terima, seminggu setelah kepergian kekasihnya, sampai kini setelah genap tujuh bulan, surat yang lain tak kunjung datang. Suri menanti, sembari terus membaca surat pertama berkali-kali. Suri menanti, sembari merasakan perutnya makin lama makin berisi. Ada bayi yang terus meronta meminta hak hidupnya dijaga. Bayi yang tak dipinta, hasil persetubuhan cinta yang liar.

“Kita harus segera menikah, sayang,” bisik Suri suatu malam yang hujan. Usai sebuah prosesi (atas nama cinta) terlunaskan. Tapi suara hujan di luar jendela, membawa pertanyaan Suri ke dasar malam. Jawaban sang kekasih hanya berupa dekapan diam dalam senyum ragu yang panjang. Dan mereka pun kembali tenggelam. Membuang jauh ingatan tentang beban kecemasan. Tentang hari esok atau lusa yang suram. Mereka tak kuasa menahan kenikmatan cinta yang terus meregang mengaliri seluruh tubuh dosa yang telanjang.

Sampai waktu begitu jenuh. Sang kekasih tiba-tiba pamit ke seberang, “Sayang, demi masa depan kita, Abang harus pergi. Mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan kita. Bukankah kita harus segera menikah?” Tak ada jawaban untuk sebuah keputusan yang logis. Suri mengangguk perlahan. Meski tak bisa ditampiknya, bahwa kecemasan itu tiba-tiba menyerang. Matanya memerah menahan resah. Di hatinya hanya ada gumam, “Selamat jalan kecemasan. Selamat jalan harapan.”

Di tepian pelabuhan, Suri berdiri melambaikan tangan. Kapal berangkat meninggalkan ombak kenangan. Hempasannya menampar wajah orang-orang yang ditinggalkan. Suri tentu tak sendiri. Sebab di pelabuhan ini, setiap petang dan pagi kapal-kapal senantiasa datang dan pergi. Membawa perantau juga pelancong yang tak puas hidup hanya di satu pulau.

Maka Suri tak boleh menangis. Ia sadar, bahwa menangis hanya akan menghanyutkannya ke laut luas tak berbatas. Dan Suri khawatir ia tak bisa kembali mengendalikan diri sebagai perempuan yang tabah, layaknya para perempuan di Teluk Gambut ini, yang harus mampu hidup dengan kaki dan tangan sendiri. Suami – bagaimanapun kelak Suri harus bersuami – tak sepenuhnya sebagai tempat bergantung hidup. Paling tidak Suri, yang baru seumur jagung ini, sudah pandai menganyam tikar pandan dan menyadap karet, sebuah keahlian wajib bagi penghuni kampung yang bernama perempuan.

Suri memang tak pernah menangis. Sampai saat ini, ketika usia bayi dalam perutnya beranjak tujuh bulan, dan hanya sekeping kabar yang datang dari kekasihnya, Suri tak menangis. Pun ketika ia diam-diam suatu malam yang pekat terpaksa meninggalkan rumah orang tuanya, pergi ke hutan durian ujung kampung dan tinggal sendiri di sebuah pondok bekas, Suri tak menangis. Suri takut, jika sampai orang tuanya tahu tentang kehamilannya sebelum menikah, jelas akan menimbulkan tangis banyak orang, Suri tak mau melihat orang menangis.

Tapi orang tua Suri, sejak Suri menghilang lima bulan yang lalu pasti tak henti-hentinya menangis. Sampai kini, sewaktu Suri diketemukan orang kampung yang sedang mencari kayu bakar di hutan durian, dan dipaksa pulang ke rumah untuk dihakimi, Suri sedikit pun tak menangis. Hanya kepalanya menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya dari rasa malu dan bersalah. Sementara Emak meraung-raung. Abah berkali-kali mengangkat tangannya hendak melayangkan tampar ke pipi Suri. Para tetangga dan sanak famili mulai bergunjing. Kampung pun seketika menjadi serupa orang Cina karam atau orang Jepang yang kalah Perang.

Pertanyaan pun bertubi-tubi menyerang Suri. Tapi Suri tak menjawab. Sebab Suri sendiri tak tahu kenapa ia sampai berbuat begitu. Awalnya, ia sangat suka kalau kekasihnya mencium bibirnya. Kemudian lama-lama ia pun menyukai sentuhan-sentuhan kekasihnya. Dan ia tak sadar bahwa kelak sentuhan-sentuhan itu berujung pada kenikmatan yang luar biasa. Sejak itu, ia menyangka bahwa itulah yang dinamakan cinta.

“Percuma Guru Murad mengajar kau ngaji setiap malam, akhirnya zina juga yang kaukerjakan. Dasar anak yang tak tau diuntung!” Semburan suara Abah berdenging di telinga Suri. Suri tertunduk semakin dalam. Suri tahu, ia telah berdosa. Dan Suri juga tahu, dosa ini begitu memalukan bagi keluarganya. Apalagi Abahnya adalah orang terpandang di kampung ini. Tapi apakah cinta adalah dosa? Suri bingung. Usianya yang masih belia, membuat pikiran Suri bercabang dua. Dosa mengantar Suri ke pintu neraka. Cinta memberi Suri kebahagiaan yang luar biasa.

“Sudah kubilang jangan sering keluar malam. Tapi kau degil. Tak pernah dengar cakap aku. Sekarang tengoklah akibatnya. Perut kau buncit, tak tahu entah siapa jantannya.” Suara Abah menyambar-nyambar serupa petir. Suri bergeming. Kepalanya sedikit pusing. Teringat kekasih di seberang. Seorang lelaki tanggung, anak Pak Selamet, kepala desa, tetangga sebelah rumah. Suri kembali bingung. Haruskah ia mengatakan siapa yang harus bertanggungjawab terhadap bayi dalam perutnya itu. Dan bagaimanakah caranya membahasakan kedalaman cintanya pada sang kekasih, kepada kedua orang tuanya. Suri memilih untuk diam.

“Suri!” Abah membentak. “Katakan siapa lelaki itu!”
Pada awalnya Suri ragu. Tapi tiba-tiba tumbuh keberanian dalam hatinya. Keberanian yang datang dari keinginan besar untuk segera dinikahkan. Suri pun perlahan mengulurkan sepucuk surat yang lusuh, yang tak pernah lepas dari genggamannya. Mata Abah menyala penuh tanya. Emak berhenti dari raungannya. Orang-orang kampung terdiam dari gunjingannya. Ada satu pertanyaan dengan seribu jawaban yang mendesak-desak dalam benak mereka. Siapakah gerangan sang jantan yang begitu berani menghamili anak tunggal orang terpandang di kampung ini?
***

Malam yang hujan. Tempiasnya leleh di kaca jendela. Ada bayang-bayang kenangan least di mata Suri yang layu. Ada bekas aroma tubuh lelaki di sekeliling dinding kamar ini. Lelaki, kekasihnya yang jauh. Lelaki yang sebentar lagi akan duduk bersanding di sampingnya. Suri rindu. Rindu yang menyala. Apalagi ketika orang tuanya justru kini merestui hubungan mereka, Suri semakin menyala. Meski sesungguhnya Suri tertanya-tanya, kenapa setelah tahu bahwa lelaki yang menghamilinya adalah anak Pak Selamet, kepala desa, tetangga sebelah rumah, semua orang terdiam. Orang tuanya pun langsung merencanakan sebuah pesta besar-besaran. Dan tak henti-hentinya tawa renyah menggelegar setiap ada pertemuan panitia pesta di rumahnya. Seakan semua riuh tangis dua hari yang lalu telah lenyap ditelan bumi.

Suri menduga, inilah keajaiban cinta itu. Kini ia semakin percaya bahwa kekuatan cinta akan mengantarkannya pada kebahagiaan yang luar biasa. Cinta rupanya mampu merubah kemurkaan menjadi kebaikan. Suri tambah yakin bahwa cintanya bukanlah dosa. Nyatanya, semua orang kini telah memberi ucapan selamat padanya. Bukankah orang yang berdosa tak bisa selamat dunia dan akhirat. Mata Suri terpejam. Meyakinkan hatinya.

Ah, malam yang hujan. Tempiasnya leleh di hati Suri. Tempias rindu yang menggelora. Ada bayangan kekasihnya muncul dari jendela. Persis serupa malam-malam yang dulu, saat kekasihnya masuk dari jendela ketika semua orang telah terlelap. Saat kekasihnya mendekap tubuhnya dalam pelukan hangat seorang lelaki. Saat pergumulan pun terjadi. Mata Suri terpejam. Menikmati ribuan gerakan bayangan yang berkelindan. Dan hujan malam itu, membawa Suri hanyut ke laut mimpi.

Mimpi yang indah. Mimpi bersanding di atas pelaminan bersama sang kekasih. Mimpi menjadi raja dan permaisuri. Mimpi beras pulut beraroma kuning kunyit ditabur di atas kepalanya. Mimpi menyaksikan aura kebahagiaan dari gadis-gadis kampung yang melantunkan barzanji. Mimpi mendengarkan rampak kompang yang ditabuh oleh pemuda-pemuda belia. Mimpi menyaksikan tatapan ribuan pasang mata bahagia dari para tamu undangan. Mimpi peluk cium sang kekasih. Mimpi…
***

Sejak peristiwa itu, hampir setiap bulannya, gadis-gadis kampung hamil sebelum menikah. Dan hampir setiap bulan pula kita dapat menyaksikan sepasang pengantin yang ganjil (sebab dalam perut pengantin perempuannya telah tersimpan seorang bayi) dengan pakaian adat kampung Teluk Gambut. Diarak di sepanjang jalan, dengan janur dan bunga manggar yang berseri-seri. Rupanya mimpi Suri telah menjadi mimpi semua pemuda dan pemudi. Mimpi yang direstui. Mimpi bersanding di atas pelaminan sebagai Pengantin Hamil.***

Yogyakarta, Akhir Maret 2003

21/09/08

NASSER

31 Agus 2008, Jawa Pos
D. Zawawi Imron

Orang Indonesia yang berkunjung ke Kairo, Mesir, konon dianggap belum sempurna kalau tidak makan burung dara goreng di tepian Sungai Nil. Bagi orang yang tidak suka burung dara seperti saya, memandang permukaan Sungai Nil yang berpendar-pendar oleh bayang-bayang lampu dari rumah-rumah dan jalan-jalan di seberang sungai pada malam hari, sudah merasa terhibur. Ada suasana tenteram yang menyelinap ke dalam kalbu. Inilah sungai yang membelah Kota Kairo, yang sudah punya sejarah dan peradaban sejak 600 tahun lalu, dengan piramid, lukisan-lukisan mitologi, serta mummi jasad Pharao yang bertahan ribuan tahun.

Sungai Nil terus mengalir sepanjang waktu menghidupi penduduk yang bermukim pada sepanjang kedua tepiannya. Di situlah gandum, anggur, kurma, dan sayur-sayuran bisa ditanam sampai sejauh 10 atau 20 kilometer dari Sungai Nil. Sehingga betul bila ada orang bilang, kalau Sungai Nil kering akan laparlah separo rakyat Mesir.

Memandang Sungai Nil saya jadi ingat mitos yang pernah saya dengar ketika masih anak-anak, bahwa hulu atau mata air Sungai Nil ada di surga. Yang lebih menarik tentu bukan mitosnya, tapi sosok seorang pemimpin Mesir zaman itu. Saya mengenal nama dan foto orang itu ketika saya masih kelas 3 Sekolah Rakyat (sekarang SD). Dia bernama Gamal Abdel Nasser. Dialah tokoh yang menggulingkan Raja Farouk pada 1952 dan membuat Mesir menjadi sebuah republik. Tahun 1954 ia menjadi perdana menteri, dan pada 1956 ia menjadi perdana menteri sekaligus presiden Mesir. Saat itu Mesir sering terlibat dalam kancah peperangan. Kepemimpinan Nasser sangat dihormati oleh mayoritas rakyat Mesir yang berhaluan progresif karena garis yang ditempuhnya dianggap memberi martabat dan harapan bagi masa depan kemajuan Mesir.

Tentang tokoh itu, sambil menyusuri tepian Sungai Nil, Gus Mus (KH Mustofa Bisri, Red) menceritakan kepada saya kecintaan rakyat Mesir kepada Nasser. Itu terjadi pada 1967. Perang Arab (termasuk Mesir) melawan Israel yang berlangsung selama 6 hari membuat pasukan Arab yang dipimpin Nasser menderita kekalahan. Nasser sadar akan jabatannya. Tapi pengunduran itu ditolak oleh Dewan Nasional Mesir. Bukan hanya itu, rakyat Mesir berbondong-bondong menuju istana dan memenuhi jalan-jalan di Kota Kairo menyatakan menolak pengunduran Nasser. Rakyat Mesir tetap ingin dipimpin oleh Nasser. Pada akhirnya, Nasser tidak bisa menolak permintaan rakyatnya, ia tetap memimpin Mesir dan menjadi presiden sampai serangan jantung mengakhiri hidupnya pada 1970.

Kisah yang cukup indah untuk dikenang. Saya jadi teringat pepatah Melayu yang berbunyi: ''Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah." Yang menarik di sini ialah rasa tanggung jawab Nasser yang mendalam sehingga secara jantan dia bersedia mengundurkan diri. Itu artinya, ia mengakui kesalahan dan kegagalannya sendiri. Sebuah sikap ksatria yang langka dimiliki para pemimpin. Hanya pemimpin yang punya kecerdasan emosional yang mendalam dan punya sikap introspektif yang jernih serta punya kejujuran yang mampu melakukannya.

Ajaibnya, orang yang telah mengaku bersalah itu diharapkan tetap memimpin. Hanya mayoritas rakyat Mesir saja yang tahu bahwa mereka masih memerlukan seorang Nasser selagi tokoh itu masih hidup, bukan yang lain.

Tentu tidak semua rakyat Mesir sehaluan dengan Nasser, dan itu sah. Pergumulan politik selalu akan melahirkan pro dan kontra. Itu urusan pengamat politik. Tapi, untuk kali ini yang saya catat tentang seorang tokoh dari sudut budaya, adanya perilaku dan kesadaran untuk mengakui kesalahan dan kegagalan diri sendiri secara jujur dari seorang pemimpin bangsa bernama Nasser. Perilaku politik yang bertumpu pada landasan budaya.

Setelah meningalkan negeri piramid itu saya sadar, bahwa saya tidak rugi datang ke Mesir meskipun tidak makan burung dara goreng di tepian Sungai Nil. Mendengar kisah ksatria Gamal Abdel Nasser hati saya bergetar, kagum akan kejujurannya.

Pemimpin yang berjiwa ksatria memang pantas untuk dikenang. Meskipun sudah mati, wajahnya pantas untuk dipancang. Bukan sebagai berhala yang dipuja, tapi sebagai tokoh yang pantas untuk dikaji sejarah kepemimpinannya sekaligus untuk dijadikan teladan. (*)

Tangga Malam Seribu Bulan

dijumput dari Jawa Pos,14 Sep 2008

Rasa lapar dan dahaga di siang hari pada bulan Ramadan bukanlah alasan bagi umat Islam untuk bermalas-malasan. Baginda Rasul bahkan mengajarkan bagaimana Ramadan mesti dipergunakan sebagai kesempatan emas guna menambah perbendaharaan saldo pahala, baik yang bersumber dari ibadah maupun hasil bekerja keras saat mencari rezeki dan berjuang di jalan Allah.

Sejumlah peristiwa bersejarah menggambarkan bahwa Muhammad SAW menjalani Ramadan dengan tanpa lelah mengomando para pejuang Islam untuk berjihad menyebarkan Islam dan menumpas kemungkaran. Serentetan peperangan yang dilakukan Rasul dan kaum muslim kala itu justru terjadi pada bulan penuh berkah ini. Kemenangan dalam peperangan terbesar umat Islam, yakni Perang Badar berlangsung pada 17 Ramadan di tahun kedua Hijriyah.

Penaklukan Kota Mekkah (Fathu Makkah) yang dilukiskan dalam surah An-Nashr, terjadi pada 20 Ramadan tahun 8 Hijriyah. Dan, 84 tahun setelah itu, tepatnya pada 18 Ramadan 92 H kaum muslimin berhasil menaklukkan Andalusia (sekarang Spanyol) dan secara gemilang mendirikan kekhalifahan Islam di sana yang mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya. Demikian pula Perang Salib yang terjadi pada tahun ke 666 dari kalender Hijriyah juga berlangsung pada bulan Ramadan. Peperangan terakhir, yakni Ain Jalut, panglima Mamluki Saifudin Quthuz sukses membalas dendam dengan menaklukkan pasukan Tartar. Persitiwa ini terjadi pada 15 Ramadan 668 H.

Penulis buku ini, Dr Ahmad bin Abdul Aziz Al-Hushain menyajikan pemaparan yang jelas dan detail seputar ruh puasa dan cara umat Islam memaknai Ramadan. Al-Hushain berpendapat bahwa puasa Ramadan memberikan ruh berupa spirit energi positif bagi mereka yang menjalankannya. Buku ini juga menjelaskan bahwa spirit yang dilahirkan oleh puasa Ramadan juga berwujud luapan semangat beribadah dan berbuat kebajikan di Bulan Kesabaran tersebut. Garansi paten yang dijanjikan Allah perihal pelipatgandaan bonus pahala telah memadamkan perasaan malas sekaligus menyalakan semangat umat Islam untuk berlomba melakukan kebajikan (musabaqah fil khairaat).

Spirit antimalas ini tertanam begitu kuat di hati kaum muslimin, terutama para salafus shalih, generasi awal Islam. Mereka begitu bahagia manakala Ramadan datang dan sebaliknya mereka sedih luar biasa saat Ramadan memasuki tanggal tua yang berarti terpaksa segera meninggalkan mereka. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa diajari oleh Nabi untuk mengoptimalkan Ramadan, lebih-lebih pada sepuluh hari terakhir, dengan jalan menunaikan i'tikaf dan beribadah malam (qiyamul lail) di masjid.

Hingga beliau wafat, sepuluh terakhir Ramadan tak pernah dilewatkan selain untuk i'tikaf di masjid. Bahkan, dalam sebuah riwayat diceritakan, karena tekunnya Nabi salat sampai kaki beliau bengkak. Primadona fase terakhir Ramadan ini adalah malam lailatul qadar yang memungkinkan manusia untuk menunaikan ibadah dengan balasan pahala senilai ganjaran ibadah selama seribu bulan. Bahkan lebih baik dari seribu bulan.

Menurut Al-Hushain, keistimewaan lailatul qadar sangatlah banyak. Antara lain ia merupakan malam saat diturunkannya Alquran dari lauh mahfudz menuju baitul izzah di langit dunia. Lailatul qadar juga dikenal sebagai lumbung penuh berkah karena Allah menganugerahkan karunia-Nya (hibah ilahiyah) berupa turunnya para penghuni langit untuk menjumpai manusia yang beriman dan khusyuk ber-ihtisab mencari pahala (hlm. 328).

Buku karya Al-Hushain dan tim Darul Hadharah ini cukup lengkap memotret Ramadan dari beragam sisi. Pada bagian akhir, terdapat sisipan berupa ulasan mengenai puasa ditinjau dari segi medis. Karunia kesehatan tubuh dan jiwa yang disebabkan karena orang berpuasa adalah wujud dari mukjizat rabbani yang diturunkan Tuhan menuju bumi.

Andrea Willer, seorang ahli gizi dari Amerika melakukan beberapa penelitian di seputar puasa. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa puasa antara lain berhasil memperbarui sepuluh persen sel-sel tubuh pada sepuluh hari pertama Ramadan. Kemudian pada sepuluh hari yang kedua, puasa memperbarui sekitar 66 persen sel tubuh. Adapun pada sepuluh hari terakhir, maka sempurnalah proses pergantian sel yang dilakukan oleh raga kita (hlm. 406).

Riset Willer juga mengemukakan bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan konsentrasi seseorang meningkat pesat selama Ramadan. Sama halnya dengan peningkatan kekebalan badan yang bertambah sepuluh kali lipat dibandingkan bulan lain, akibat aktivitas berpuasa.

Spirit kegairahan dalam menjalankan puasa Ramadan tak ubahnya tangga yang ditapaki seseorang menuju puncak kelezatan ibadah di hadapan Allah. Lailatul qadar yang disimbolkan sebagai kenikmatan paripurna di bulan Ramadan akan bisa diraih manakala umat Islam mampu menangkap ruh puasa berupa kemesraan sempurna kala berhubungan dengan sang Khalik melalui lembar-lembar Alquran dan kekhusyukan salat, dan pembuktian kepedulian sosial di bulan Ramadan.

Dan, yang terpenting, buah kelezatan dari ibadah Ramadan ini mampu merasuk ke dalam sanubari pelakunya dalam bentuk kepribadian dan amal salih yang mewarnai sekaligus menuntun hidup kesehariannya bersama masyarakat ke arah kontribusi yang penuh manfaat. (*)

---

Judul Buku: Ruh Puasa dan Maknanya
Penulis : Dr Ahmad bin Abdul Aziz Alhushain & Tim Darul Hadharah
Penerjemah : Wafi Marzuqi Ammar, Lc
Penerbit : Pustaka Elba Surabaya
Cetakan: I, Agustus 2008
Tebal : 490 Halaman
HA. Cholil Mudjirin

Alumnus S2 Universitas Dr Soetomo Surabaya dan aktivis Remas Baitu Ilmin Surabaya

MENGADA BERSAMA JOSTEIN GAARDER

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=72


“Untuk mengada, kita tidak hanya mendapat jatah tempat. Kita juga punya rentang waktu yang sudah ditetapkan.” (Jostein Gaarder).

Pun bagaimana, dunia diciptakan melewati pengadaan, semisal mengawali tulisan yang menggelora. Segala yang terbentang kemudian, ternyata bukan endapan dalam, juga tidak sedari rentetan panjang penalaran. Kadang keseluruan mendadak meloncat dari fikiran-perasaan yang sempat terbangun, yang tidak sanggup mengikuti gerakan peredarannya. Semua mengarus entah dinamai mengada, atau tidak masuk akal. Jelasnya, penambahan tiba-tiba itu tidak adanya suatu tingkat penurunan dalam. Tarian tidak pernah direncanakan, membumbung memusar bersama angin menaikkan daun-daun harapan, menuju jarak lebih tinggi tiada perhitungan. Kecuali kejadian yang sama, dapat menilai balik atas apa yang terbangun itu.

Andai diendapkan secara logis pemikiran awalnya, pun terketahui dapat dihitung melalui penalaran. Tidakkah seluruhnya berpijak di kaki realitas kerja, atau ternyata kebenaran umum seringkali tidak digunakan, dengan apa yang sebenarnya memberi harapan baik. Sisi lain, pengadaan tidak masuk akal sejenis ngelamun ke dataran logis. Kalau sampai waktunya tepat, ruang yang menebarkan bentangan mengada, menjelma gugusan kekinian. Atau suatu awalnya rahasia, tidak lagi tertutup jikalau sudah dituwangkan. Lebih jauh, kebohongan yang terus membangun sarana kenyamanan, suatu saat menjadi realitas penentu, meski tidak lagi dipercaya.

Pun kepercayaan muncul tidak semata-mata iman, kadang juga berangkat dari kebiasaan. Tepatnya dapat merealisasikan kebohongan menjadi yang bisa diterima atas tindakan pemaafan. Namun seharusnya meneruskan hal baik, menghapus kebohongan diganti realitas kebenaran. Menggagalkan perencanaan mengada-ada yang niscaya nanti terbuang. Ini sebuah kerja besar, mengembangkan misi pelestarian lebih jauh memberi manfaat, dari pemahaman umum yang kurang tepat sebelumnya.

Tidakkah berkarya itu usaha pengadaan dari sebelumnya? Meski kadangkala sama yang sudah ada, tetapi ukuran pengadaan tentu berbeda dari realitas berangkatnya. Daya mengada ialah membangun dunia lain yang sebelumnya durung tercipta, logika yang tergunakan sejenis ramalan sebagai saksi masa depan. Ia menempati diri selalu ada, dan sanggup ke tempat yang mengadakan adanya kebenaran, bukannya kerja pembenaran.

Pengadaan hadir, bermodalkan kekayaan jiwa atas agresif menelaah realitas menjadi nalar-nalar karya. Itu bertambah kuku diterima jikalau ungkapannya meleburkan ruang-waktu lampau-kekinian, serta yang sedang terkerjakan. Ini membutuhkan banyak pengalaman, mentransfer data logika kekinian, dimasukkan pada realitas masa depan tanpa adanya ketimpangan. Tentunya banyak kendala di dalam memperbaiki campuran warna realitas yang ada, dan yang sedang disuntuki.

Pengadaan dapat dinamakan kebohongan realitas ke depan, jika terlampau jauh membentangkan logika kekinian yang paling halus dan tak tertangkap. Tetapi bukan membohongi realitas kekinian dengan kerja menyamping, melepas ikatan data lain untuk dunia samping. Atau bukan kerja menutupi realitas kekinian dengan realitas masa depan yang tertandakan. Keterangan singkat di atas bisa dimengerti, tidak luput dari benang yang sedang ditarik, peganglah benang itu terus dari titik pertama menuju selanjutnya, jangan sampai luput melepaskan rasa.

Waktu-waktu yang sudah ditetapkan ini ruh kesemangatan alokasikan data pengadaan. Membangun bertempat waktu, seperti memberikan seorang yang berbakat suatu pekerjakan. Jika kita bersenyum tanggung terlampu kenes, akan mengakibatkan jalinan erat itu terlepas atas mimpi yang sedang terbangun. Maka laksanakan perjalanan, dan semua orang menyaksikanmu menjadi tuan rumah di kediaman mereka, masuk ke bilik keakraban bersama. Apa yang tergantung, ternyata telah matang untuk dipetik seusia harapan.

Keterangan ini lebih menggairahkan ketika pohon berusia tua, akar masa-masa gagasan yang tertanam semakin menancap di sela-sela tanah pemikiran insan. Kita hanya meminta sejumput cairan kesempatan, duduk sejenak mengalirkan dari yang mereka harapkan. Pengadaan telah meruang-waktu di setiap jengkal keberadaannya. Nafas nyawa membaur pada getar perasaan perindu kedatangan bertepat masa, kalau sekiranya membutuhkan tetembangan. Kita adakan perjamuan bathin, jiwa-jiwa mengisi waktu berperedaran seksama.

Nafas-nafas ingin mengada pun dapat dirasa, sejauh memburu menelusup ke jantung punya masa, generasi yang ditinggal telah lebur bersama udara semesta. Rasa syukur dirasa di segenap sendi persetubuhan ruang-waktu yang terus dijalankan kehendak realitas kerja. Pengadaan menjadi usia terus disebut kepada kurun masa dalam daerah yang dulunya tidak pernah terkira, sebab hasrat yang lalu itu pengembangan, mereka mendapati diri dalam kepenuhan memberi. Maka sebaiknya perlakukan jiwa dengan jarak dilebur pada kurun masa tak terkira, semisal senja yang tidak terbatas menenggelamnya matahari, mereka menikmati dalam kapasitas yang berbeda.

Harus terus melangkah, walau kalimat yang dipergunakan tidak lagi bermakna kentara, saat jalan-jalan dilalui, mereka tentu mendapati gerak memberi penambahan tidak sekadar banyak. Ada pelajaran menghentikan cerita ialah awal sebuah impian bersama disaat lelah, kita membaringkan kelelahan bersama mimpi-mimpi lama. Di sini tiada usaha hipnotis jika sekiranya jeli melangkah, pun dapat menerima sebagai kehendak yang harus diperturutkan. Ini hasrat menghidupi pengelana waktu, mengadakan yang benar ada dalam bingkai kepribadian. Perbaikan dilakukan bukan pembuangan maksud terselubung dari kekurangan ajaran, lebih tepatnya menumpuk persoalan, agar tambah akurat saat disantap.

Prosesi pengadaan seakan tidak tersangkakan datangnya, terus menerima sebagai kekayaan jiwa mengembangkan pengadaan. Bukan berarti menambal hal yang kurang manusiawi, tetapi berkelanjut kelenjar-kelenjar memproduksi diri, menjadi bagian semua orang bisa menikmati tanpa merasa kehilangan. Dan bernafaslah lebih dalam, agar mengetahui sejauh mana pengadaan melewati perjalanan, kini tengah menjadi realitas bersama, mengadakan diri yang telah hilang. Ini keberadan sejati, ketika tanpa sungkan menerima pengadaan yang meringankan, meski mengada di setiap waktu kedudukan yang tertanggung.

Perlu digaris bawahi, ini bukan tindakan ketidakikhlasan pamer, sebab pengadaan hadir bukan atas kehendak itu, ketulusannya tercermin pada kerja tanpa meminta. Dan kebetulan-kebetulan menghadirkan pengadaan menjadi kepemilikan lebih. Salam damai bagimu yang mengadakan ke pengadaan dunia, sebagai pengisian tak sia-sia. Pengembangan dari yang sudah ada, realitas sejarah tergenggam di tangan yang awalnya tidak siapa pun tahu kecuali yang suntuk mempelajarinya di hadapan diri mengada. Maka rayakan kesadaran terus mengada dari yang sejatinya ada. Itu jalan takdir yang terjawab, yang tampak di setiap hari terlewati. Kebiasaan hadir di depan kita, seringkali tidak diperhatikan sebagai hal yang ada. Ini usaha tidak terasa mengadakan hal lebih dari jalan realitas yang sering terlewati.

Membongkar diri mengetengahkan di depan cermin, usaha kritik menggagalkan pengadaan semu, jelas memperoleh banyak yang bukan sekadar masa depan, tetapi juga realitas kegagalan. Olehnya kudu membaca ulang atas kehadiran diri, agar kesadaran yang ada tidak selintas. Dari pembacaan ulang, menghadirkan diri di persidangan, penghakiman nampak bisa menghilangkah pengadaan. Di pihak lain, kegagalan ternyata membentuk suatu pengadaan lebih realistis dari sebuah kebenaran. Dari sini diketahui, pembentuk pengadaan kokoh dari bahan senyatanya atas pengadaan, saling topang memberi makna jalinan kerjasama, mengada realitas dari kehadiran tidak nyambung. Tiada bentuk sesalan mengada, yang tidak sambung serta abstaktif pun membentuk kesamaan ada, sedari tonjolan gagasan. Pengadaan memang ada dan senantiasa ada.

Tidak harus melepaskan waktu sedetik pun, meski kehadiran mengada tidak nyambung, dengan terus mengerjakan yang sedang diadakan, formulasi kehendak lewat diterjemahkan sebagai muatan kapal, pelestarian bentuk tanggung jawab. Daya pengadaan itu kerja kemerdekaan, membebaskan diri atas belenggu ruang-waktu kekinian, membeletat hal esok untuk dikerjakan kini. Akan menghadirkan dirinya pada rana kemenjadian, sadar membangun diri setingginya, serempak naik menjalankan pengadaan sebagai kepemilikian. Terusannya menjadi manfaat kekinian serta mendapat kedudukan esok tersebab hikmah pengadaan. Kekayaan proses menuai laba, saat diperturutkan pengadaan kesadaran merefleksi kenangan, dengan kepemilikan murni, nilai yang terbangun dengan kesungguhan.

Lebih lanjut Jostein Gaarder menuturkan (dalam novelnya The Orange Girl, bahwa): “Orang tua sering kelihatan punya waktu yang lebih banyak daripada anak kecil yang punya seluruh kehidupan di depannya.” Pengadaan sejak kanak, perumpamakan tingkah laku pengandaian mencapai dewasa. Semisal bocah-bocah bermain pasar-pasaran, atau jual beli berbahan pelepah pisang, perang-perangan, persandiwaraan dari mengambil watak-watak orang dewasa. Pengadaan bersama kegembiraan penuh dalam mengisi masa permainan, diajak suntuk melakonkan, hingga menemukan diri sebelum dikerjakan bersama usia sepantasnya. Bukan berarti pengadaan itu laku ketidakpantasan, bukan pula mengkotak-kotak dunia sebenarnya ke dalam karya. Tapi sebaliknya, pengkayaan yang sudah ada, yang belum tertemukan oleh keterbatasan nalar, akan sampai mendapati lebih jauh segar, membuka kemungkinan seluas-luasnya tanpa merasa serba salah, sebab dunia di depan menjadi penerjemah ketika langkah pengadaan.

Saat menterjemah suatu peristiwa dengan beberapa pemaknaan, di situ dunianya dikembangkan. Hasil dari jarak pandang tertempuh menjadi kepemilikan secara kejiwaan, dan kelapangan wawasan memperoleh fungsi atas pergulatan menghidupi, melengkapi realitas yang sudah ada. Melampaui tebing curam ketidakrelaan, sebab pengadaan menuntun keiklasan setiap langkah kerjanya, seperti burung mencipta sarang bagi anak-anaknya, sebagai mimpi harapan terlaksanakan. Ini kerja kegembiraan berkumandang, menari di setiap kucuran keringat berupa gagasan baru yang bertambah bening, kian masa membanjiri nalar-nalar penciptaan. Pengadaan itu dunia inti pengarang yang memegang realitas. Sebagaimana Jostein Gaarden berkata: “Meskipun aku selalu gampang dibawa hanyut imajinasiku, aku masilah seorang yang rasional.”

Pengadaan bukan menanggalkan kerja nalar, tetapi jauh menuntut kerjanya dengan sungguh-sungguh membentangi alur gagasan membumi, ini payung awan yang menurunkan hujan pencerahan. Kesuntukan nalar berkelanjutan seperti kereta api melewati relnya tidak berhenti kecuali di stasiun endapan, dilanjutkan meneruskan langkah, berfikir-merasai yang sedang diemban, mengisi masa penantian kepada akhir kematian. Pengadaan mengisi relung hidup, menggerakkan peradaban. Keseluruhan prosesi hayat sedari kecil ke pengakhiran, meniti beratkan mengunyah makna menebarkan benih hikmah.

Pengadaan mencukupkan modal yang ada, berbuat manfaat dengan merampingkan yang termiliki demi wahana memberi tanggul bertambah tangguh dari aliran yang terterima, tepatnya bukan keluar lantas muspro. Pengadaan mengencangkan ikat pinggang, membaca buku sekadarnya, jika tidak memaknai kecuali memberi warna. Pengadaan menuntut efektif-efisien kerja dalam kemanfaatan, dan roda perputaran hidup berfungsi tidak lepas rantai.

Pengadaan serupa merevisi analisa, sehingga yang terjadi nanti, masuk pada bahasan logika yang niscaya, mengikat sesuatu yang kendor sebagai acara perbaikan, sebab racun yang ditimbulkan mengada itu kadang muncul berlebihan. Olehnya harus menjembatani pengadaan dengan yang dibutuhkan. Dan pengadaan itu meramu materi-materi logis menjadi pengkayaan bathin, sehingga ketika telah digodok dalam kejiwaan, suatu saat lahir membuncak seperti hal yang tidak tersangkakan, menjelma istilah kekayaan tersembunyi.

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim
16 Juni 2006.

Misteri Keislaman Obama

disaruk dari Jawa Pos, 21 Sep 2008
Judul Buku: Obama Tentang Israel, Islam dan Amerika
Penulis: Tim Hikmah
Penerbit: Hikmah, Jakarta
Cetakan: II, April 2008
Tebal: xx + 281 hal

Pidato Barack Obama, calon presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat, di Ivesco Field, Denver 28 Agustus lalu itu disaksikan sekitar 84.000 anggota delegasi plus jutaan penduduk AS dan dunia lewat layar televisi. Senator Obama yang mewakili negara bagian Illinois dan calon presiden dari Partai Demokrat menyampaikan program-programnya. Di antaranya tentang potongan pajak untuk 95 persen keluarga buruh, penarikan pasukan dari Irak dalam waktu 16 bulan, melepaskan ketergantungan minyak dari Timur Tengah dalam 10 tahun, dan menciptakan lima juta lowongan pekerjaan dalam 10 tahun di sektor energi terbarukan melalui investasi USD 150 miliar.

Di balik gegap gempita dukungan terhadap Obama, tentu masih banyak isu yang menyudutkan Obama berkaitan dengan isu-isu ras dan agama. Dalam buku ini, pembaca akan menemukan banyak teka-teki Obama tentang Islam, Israel, dan Amerika sendiri. Politik memang tidak pernah jernih dari isu-isu rasialis dan agama yang suci. Termasuk negara superpower Amerika yang selama ini dianggap paling demokratis, ternyata belum siap dengan multicultural candidate. Apalagi kalau kita menengok negara-negara feodal yang masih menerapkan politik diskriminatif, baik itu etnis, agama, ataupun golongan.

Islam menjadi isu politik yang sangat penting dalam kampanye Obama setelah Judy Rose, koordinator relawan bagi kampanye Hillary Clinton mengirim email berantai yang menyebut Barack Obama adalah seorang muslim yang ingin menghancurkan AS. Obama sendiri dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Kristen dan tidak pernah menjadi muslim. Dia disumpah di bawah Injil ketika menjadi senator untuk mewakili daerah pemilihan Illinois. Dan, sejak awal dia adalah anggota United Church of Christ, sebuah gereja Protestan yang dikenal sangat liberal.

Senada dengan Clinton, dia menilai penyebaran surat elektronik mengenai status dirinya sebagai seorang muslim dan menghubungkan dirinya dengan agenda penghancuran Amerika Serikat melalui gerakan terorisme Islam merupakan praktik politik kotor dan gila (hlm. 34).

Wacana Islam di Amerika memang menjadi isu yang begitu riskan, apalagi pasca tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantakkan gedung kembar WTC dan Pentagon. Tiba-tiba Islam dan terorisme menjadi dua idiom yang tak bisa dipisahkan. Osama bin Laden dan Al Qaidah sebagai pihak tertuduh dianggap sebagai representasi Islam. Amerika melalui media internasional mewacanakan bahwa Islam itu identik dengan pedang. Bahkan sosiolog Barat banyak menggambarkan Nabi Muhammad menenteng Alquran di tangan kiri dan mengacungkan pedang di tangan kanan. Salah paham Barat --terutama Amerika-- tentang Islam pada akhirnya melahirkan term yang serba salah. Fundamentalisme, radikalisme, dan anarkhisme Islam dialamatkan pada Islam sebagai agama yang sebenarnya membawa visi kasih sayang (rahmatan lil 'alamin).

Tidak terkecuali politisi, cendekiawan dan para pengambil kebijakan politik AS (decision maker) mayoritas terseret pada mainstream pemikiran yang menganggap Islam terbelakang, anti globalisasi, dan mengajarkan perang terhadap kelompok lain. Terbukti dengan politik luar negeri AS terhadap Timur Tengah yang menyangkut konflik Palestina dan Israel. Ataukah fakta ini merupakan pembuktian dari tesis Samuel Huntington tentang clash of civilization, yakni terjadinya benturan peradaban antara dunia Barat dan dunia Islam. Atau lebih spesifiknya adalah pertarungan Amerika sebagai superpower dengan dunia Islam pascaperang dingin yang menumbangkan Uni Soviet yang mengusung komunisme sebagai tandingan utama kapitalisme AS.

Namun, apakah seluruh warga Amerika, terutama pemimpin-pemimpinnya, memiliki cara pandang yang seragam; underestimate terhadap Islam? Tentu Obama punya cerita lain. Kendatipun Obama menolak dengan keras tuduhan pernah memeluk Islam, senator kulit hitam ini memiliki cara pandang tentang Islam yang tidak antagonistis. Latar belakangnya semasa kanak-kanak berada di Indonesia membantu Obama mengenal orang Islam dan banyak belajar dari mereka.

''Bagi saya, Islam bukanlah sesuatu yang asing. Dalam pengalaman saya hingga kuliah, seorang muslim tidak kalah eksotiknya dengan orang Mormon, Yahudi, atau Yehovah,'' tulis Obama.

Maka. ketika terjadi serangan 11 September, Obama mengaku amat sedih, dan menginginkan segera ada tindakan hukum pada pelaku, demi keadilan para korban. ''Tapi saya tidak menyalahkan semua orang Islam dan Islam sebagai agama,'' kata Obama (hlm. 27).

Berdasarkan pengalamannya, Obama mengenal sifat baik sebagian besar orang Islam, karakter yang mereka bawa ke Amerika. Sampai detik ini, Obama masih menjadi teka-teki. Benarkah dia anti-Israel, benarkah dia pernah meyakini Islam sebagai bagian dari hidupnya? Pemahaman yang tepat tentang Obama menjadi sangat dibutuhkan umat Islam dan dunia luas yang menginginkan lahirnya komunikasi damai antara Amerika dan negara-negara dunia ketiga yang mayoritas beragama Islam. Sudah terlalu lama sang adikuasa dipimpin oleh otak-otak yang arogan dan senang menebar permusuhan di muka bumi. Terlepas dari isu agama, ras dan partai tertentu, presiden AS 2009 adalah pemimpin yang diharapkan dunia mampu menghentikan perang anti-kemanusiaan di belahan dunia mana pun. Presiden AS mendatang adalah presiden yang diharapkan tidak mengintervensi urusan rumah tangga negara lain, sebagaimana konflik Israel-Palestina.

Invasi militer AS di Afghanistan dan Irak sudah terlalu banyak mengalirkan darah manusia yang tidak berdosa. Dari pihak AS sendiri juga banyak yang menjadi korban kebijakan pemimpinnya yang bodoh dan anti-kemanusiaan. Hampir 4.000 tentara Amerika terbunuh di Irak. Lima kali lipatnya menderita luka-luka yang mengerikan, terlihat maupun tidak. Masa depan anak-anak terampas, wanita tak berdosa terampas nyawanya.

Tentang perang Irak, Obama sangat tidak sepaham. Jika terpilih menjadi presiden, Obama bertekad memperbaiki nama Amerika di mata dunia dengan menghentikan perang Irak dan memfokuskan perjuangan melawan teroris: Al Qaida dan Taliban. Berkali-kali Obama menyatakan bahwa Al Qaeda, Taliban, dan kaum ekstremis lainnya, bukanlah wajah dunia Islam yang sebenarnya.

Dalam buku ini kita bisa menilai, siapa calon presiden yang pantas memimpin negara superpower itu, yang tidak membenci Islam dan memusuhi Islam. Tentu keberanian mengungkap data dalam buku ini, yang terkesan sepihak akan mengundang dialektika dan perdebatan yang panjang. Mungkinkah orang-orang muslim di Timur Tengah akan ikut mendukung Obama, ataukah tidak mendudukung keduanya. (*)

*) Gugun El-Guyanie, Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3) PW GP Ansor DIY

19/09/08

Potret Kegagalan Pemimpin Indonesia

Judul Buku : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia
Penulis : Ishak Rafick
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xx + 422 Halaman
Peresensi : A Qorib Hidayatullah*

Bung Karno pernah mengungkap, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Kalimat itu perlu dihadirkan terus-menerus dalam helat kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Negara ini bisa bangkit maju, keluar dari belitan masalah, tentu tak luput dari pembacaan sejarah kegagalan dari lima pemimpin Indonesia.

Bermula pada bulan Juli 1997, ditengarai awal munculnya krisis moneter (krismon) yang menyebabkan nilai tukar rupiah mengempis terhadap US$. Keadaan itu membikin khawatir banyak orang. Pelaku bisnis yang sebelumnya mengandalkan utang luar negeri, berubah makhluk yang paling cemas. Sebab setelah kekuatan intervensi ditambah, nilai rupiah langsung masuk ke jurang yang semakin lebar.

Keadaan itu, mendesak para pengamat ekonomi untuk memetakan dan melakukan analisis, mengapa Indonesia gagal tinggal landas setelah 32 tahun Orde Baru. Dan, bagaimana konsepsi peranan dan ketangguhan negara serta koorporasi dalam menghadapi gejolak krisis baik pada tahap awal maupun pasca krisis. Buku ini, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia, karya Ishak Rafick, mengupas kegagalan-kegagalan yang dilakukan pemimpin-pemimpin Indonesia.

Krismon, teramal sejak awal oleh pakar-pakar ekonomi semacam Managing Director Econit, waktu itu Dr. Rizal Ramli, pengamat ekonomi kritis Kwik Kian Gie, dan Fu’ad Bawazier —mantan Dirjen Pajak yang kemudian diangkat Soeharto menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VII. Namun, suara-suara pakar itu tersaingi oleh suara-suara lain yang lebih lantang —baik di dalam kabinet maupun di luar. Suara-suara yang lantang itulah akhirnya malah memberi semangat pemerintah untuk ikut saran IMF.

Padahal, kebijakan ekonomi nasional yang melulu berkiblat pada IMF, tampak memperjelas bahwa negara Indonesia hampa ideologi, digilas habis dominasi pragmatisme. Pemimpin-pemimpin Indonesia ditengarai hanya mempertontonkan keadaan negaranya yang lemah visi, sehingga tak ada pilihan lain selain memperkukuh dominasi IMF dan Bank Dunia.

Selain itu, semakin patuh pada pola pikir IMF, membuktikan bahwa elit pengambil kebijakan ekonomi bangsa ini tak kreatif dan memiliki ketergantungan mental dan intelektual sangat kuat terhadap hutang dan pola pikir IMF yang sangat monetaris. Di titik inilah, pemerintah diharap mampu mengembalikan kedaulatan ekonomi dan berupaya menghindari peranan yang sangat besar dari lembaga-lembaga internasional —IMF dan Bank Dunia— dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi nasional.

Dalam konteks itulah, pelajaran menarik saat kita menilik krisis ekonomi yang melanda Asia pada pertengahan 1997. Di mana, negara-negara Asia Timur dan Tenggara justru memanfaatkan krisis ekonomi sebagai momentum historis dengan melakukan berbagai langkah perbaikan struktural. Mahathir misalkan, dengan sadar menolak resep IMF karena pasti akan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik di Malaysia. Sementara di Singapura, malah melanjutkan tradisi berpikir Goh Keng Swee (arsitek ekonomi Singapura) yang kritis terhadap dampak negatif dari kapitalisme predatori. Mengambil langkah-langkah penguatan lembaga keuangan dalam negeri dan perbaikan corporate governance guna meredam badai krisis moneter.

Matinya Ideologi Pemilu
Selain tajam menganalisis problem krisis moneter yang menimpa bangsa ini, Ishak Rafick —dalam bukunya ini— juga melakukan pembacaan kritis atas dinamika politik pemilu 1999 dan pemilu 2004. Berdasar argumentasi kuat, Ishak menarik kesimpulan yang tepat tentang kematian ideologi pemilu dalam percaturan politik di Indonesia.

Ternyata pasca Soeharto makzul, ada ruang kosong demokratisasi yang dengan gesit diambil alih oligarki politik serta ekonomi yang tumbuh pada masa Orde Baru. Jangan aneh, bila transisi dari sistem otoriter ke sistem demokratis tidak membawa manfaat besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Jamak diketahui, proses pemilu atau pun pilkada sangat diwarnai dan didominasi oleh politik uang.

Apabila kecenderungan itu terus berlanjut, maka akan timbul pertanyaan, apakah demokrasi bermanfaat untuk rakyat mayoritas. Seperti yang dikatakan Ishak, matinya ideologi dalam proses politik Indonesia merupakan salah satu penyebab utama komersialisasi dan dominasi politik uang dalam proses demokrasi di Indonesia.

Jalan Baru
Tak dapat dimungkiri, masa depan negara dan bangsa ini sekarang berada di titik nadir. Tanpa perjuangan Kabinet Indonesia bersatu SBY-JK, dapat dipastikan nasib rakyat semakin memburuk. Gejalanya mulai tampak bernas, merebaknya pengangguran, busung lapar, kurang gizi, meningkatnya angka putus sekolah, bencana alam, serta berbagai penyakit ringan yang merenggut nyawa —cuma karena si sakit tak punya biaya untuk berobat.

Bila negara-negara maju mampu memberikan asuransi kesehatan kepada segenap rakyatnya dan dunia pendidikan dibikin gratis, bahkan diguyur beasiswa sebagai investasi masa depan, tentu rakyat Indonesia juga berhak mendapat perlakuan serupa dari pemerintahnya.

Buku ini sangat manantang pikiran sekaligus menggugah nurani. Lewat ketangkasan Ishak Rafick —sebagai wartawan senior— yang telah lama bergelut di dunia jurnalistik, mampu menyampaikan topik berat dalam buku ini secara ringan. Bagaimana pun, buku ini telah berkontribusi besar demi kecerdasan para pengambil kebijakan —utamanya di bidang ekonomi— dengan tidak lagi terjerumus dalam neoliberalisme kebijakan.

Sajak-Sajak Mashuri

Junub

ketika kesakitanku beku, kau sungaikan arak
berarak ke sukmaku; masihkah retak jiwa teraba
saat degup kumparkan junub ---dibasuh lenguh
kelamin; lalu hulu berbiak, menjalar ke bebukit
hingga mata, telinga dan kulit guratkan celah
terpurba; khayali, di sepanjang usia
meski terpangkas, berbias; menyemut di asa
dilambangkan lingga
tapi seluruh pintu tuju sementara
serupa burung terhapus dari kurungan ---serupa kau
beryoni, di tepi hari, hati, langgengkan nisbi
di batas; saat nafas pun tak kunjung sampai
kuingat siti, tapi ia ‘lah jauh melenggang ke bebukit
Padang; kuingat sri, tapi ia amsal pepadian
haruskan kubaptis kembali diri, kau ---bak magda
diumpankan segala derita; basuh kaki
dengan air mata; sampai kebutaan melambai
di rindu, tugurkan batu di kalbu; hingga pantai pun
susut batas: antara laut dan darat
pasir pun mencatat desir ---keberadaanmu
tersesat di belukar; muasal ingkar
tapi aku tak melupa pada rupa ---juga kau
sekuntum rekah; kelopak mungil terenda
bianglala; saat sumir gerimis terjelma dan cahya
membias di angkasa
ingatanku seterjal keyakinan; pilar yang tergelar
di dadamu; titahkan titik, meski tak bertemu
di satu arah
di persimpangan, ngilu kalbu terasa merabu
meski kemabukan kini, meski sadarku kini
kau rebut dan kau pacu jalang ke padang
ketika segala siasat berkabut dan berantakan
sebab bibirku selalu gumankan noktah bertiga
: kau, aku dan cinta
tak kutahu, adakah ranjang menanti; atau lingga
bertugu sendiri; serupa antan
saat pepadian menggenapi lumpang
dalam madah-madah panjang ---penantian
nan pualam di ruang; tanpa kenal lebar
saat segala jam menyusut ke seram

Surabaya, 2005



Gang Lima

bertahan di ujung gang
malam melarut ke tua
dipecahkan bohlam
memeram kata

Surabaya, 2005



Mitsal Pertama

tuhan, aku terlanjur mencintai
yang tak kau
cintai
kupilin tasbih di sebalik kutang
---ruang
meraung; pohongan hingar; hingga kukatup mata
dan mulut ---adakah masir surga masih langsir; bertaut nganga
serupa kereta: kepala dibanting ke segitiga
akal dipompakan darah; keraguan
serupa mitsal pertama; doa pendosa; ketika
linggar mengokang; kerontang daun
dan ubun dihisap ke asap; nafas dunia
---rona kulit, harum rambut, juga merah jewawut
saat musim lentingkan hujan; langit berserbuk
urap-cecapi gunduk
mimpi; selang-selang yang berkejaran di nadi
secepat kecup pertama di sepasang dada; lalu riuh beringsut
ke rimbun; kusut
payudara
kuulir tasbih
pecahlah bulir-bulir!

Surabaya, 2005



Akhir Tubuh

ku ganti kalung dengan sabit; kulingkarkan ke lehermu; berjenjang harapan ---tapi tak juga ku dapat darah: masihkah kau mampus, serupa akhir tubuh
hangus!

Surabaya, 2005

13/09/08

Kematian Gandhi dan Masa Depan Perdamaian

Gugun El-Guyanie

MOHANDAS Karamchand Gandhi (Mahatma, yang berati "Jiwa Yang Agung", sebagai julukan kehormatan), seorang bocah terlahir di tengah peradaban India yang masih tercengkeram kolonialisme dan imperialisme Barat.

Latar belakang sejarah yang penuh pergolakan, pertumpahan darah dan penjajahan hak-hak sesama manusia, menjadikan Gandhi dewasa menolak bertekuk lutut menyerah pada penjajah yang zalim. Namun, semenjak meninggalnya pada 30 Januari 1948, tubuhnya yang dihantam bom rakitan pengikutnya dari Hindu fundamentalis, dunia seakan sulit melahirkan tokoh yang sebanding dengan Gandhi.

Ahimsa, sebuah prinsip perlawanan Gandhi dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dengan tetap antikekerasan, pada konteks kekinian patut kita refleksikan kembali. Abad modern yang bergelimang dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan misi hidup mulia Gandhi semakin terasing.

Setengah abad setelah si tubuh ringkih itu meninggalkan dunia mayapada ini, perdamaian menjadi komoditas yang terlalu mahal dan tabu untuk dibicarakan.

Perjuangan Gandhi untuk memperjuangkan kehidupan yang damai dengan kerelaan mengorbankan kenikmatan duniawinya, rupa-rupanya tak banyak yang menghargainya, apalagi meneruskan panji perjuangannya.

Penilaian Negatif

Orang bisa memaklumi ketika yang bersikap skeptis itu adalah kaum awam yang tak memikirkan filosofi kehidupan apa pun. Tetapi sangat ironis, kalau tokoh sejenius Profesor Worm Muller (penasihat Komite Nobel Norwegia), memberikan penilaian negatif terhadap perjuangan Gandhi.

Momentum tersebut terjadi ketika Gandhi dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian pertama kali pada tahun 1937. Dalam pandangan Muller, Gandhi memang seorang pemimpin yang penuh karismatik, tetapi kapasitasnya selaku maestro politik, kebijakannya sering tidak konsisten. Begitu pula jalan pemikirannya yang sulit dipahami oleh para pengikutnya.

Gandhi dianggap berwajah ganda. Sebagai pejuang kebebasan tetapi sekaligus juga seorang pemimpin yang diktator. Kampanye antikekerasan melawan Inggris dapat menyebabkan kekerasan dan teror. Begitu pula dengan kasus di Chauri Chaura, yaitu selama kampanye non-kooperatif I periode 1920-1921, sekumpulan orang menyerang kantor polisi dan membakarnya serta terjadi pembunuhan terhadap para anggota polisi.

Dengan sebelah mata, laporan dari Penasihat Komite Nobel itu juga menganggap bahwa ide Gandhi yang banyak mengundang simpati hanya terbatas untuk bangsa India semata. Salah satu contohnya adalah perjuangan perdamaian Gandhi di Afrika juga muara keuntungannya untuk India.

Skenario semacam itulah yang menggagalkan Gandhi untuk memperoleh nobel pada tahun 1937, bahkan sampai akhir hayatnya, tak satu pun penghargaan tersebut jatuh untuknya.

Memang, perjuangan yang penuh keikhlasan jauh dari tendensi pragmatisme sempit-seperti kemasyhuran, kedudukan apalagi kekayaan duniawi-tak akan pernah dipandang indah oleh siapa pun. Dalam filosofi Jawa, "sepi ing pamrih rame ing gawe". Sepi berarti kosong, kekosongan dari pamrih yang berarti kepentingan, keuntungan atau pujian. Rame yang bermakna penuh karya, seluruhnya berisi gawe yang berarti sepak terjang perjuangan yang penuh rintangan, pengorbanan baik jiwa dan raga.

Ada beberapa kemungkinan mengapa cita-cita mulia beliau sengaja disembunyikan dari sesuatu yang objektif. Pertama, sepintas mereka yang memandang satu mata terhadap spirit perdamaian yang diusung Gandhi, tak memahami esensi kehidupan itu sendiri. Sehingga hidup yang penuh kedamaian, keharmonisan dan keindahan tak berarti apa-apa.

Atau barangkali yang kedua, mereka telanjur skeptis bahwa perjuangan mewujudkan perdamaian adalah sesuatu yang utopis belaka. Sebagaimana adagium yang mengakar pada masyarakat Romawi Kuno, "sivis pacem para bellum, jika Anda ingin damai bersiaplah untuk perang". Artinya tak ada kehidupan damai yang sejati. Perdamaian itu sendiri ditegakkan dengan mengorbankan nyawa manusia, pertumpahan darah dan menuruti nafsu kebengisan.

Waktu damai hanyalah masa tenggang yang diapit oleh kekerasan sebelumnya yang akan disambung oleh pergolakan berikutnya. Setiap waktu, setiap tahun adalah tahun yang mengerikan (Anno Horrobilis).

Ketiga, apresiasi yang sempit dari orang-orang Barat sebagaimana terbukti dalam Komite Nobel Norwegia, menunjukkan terjadinya perang kepentingan. Faktor politiklah yang muncul secara dominan. Primordialisme Barat atau Eropa sentris, seakan keberatan ketika harus menjatuhkan pilihan kepada tokoh Timur yang notabene masih hidup dalam belenggu kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Terlebih Inggris pada waktu itu masih mencengkeram kuat India sebagai daerah koloninya.

Kesadaran

Sampai detik ini, warga dunia masih belum juga terbuka kesadaran damainya (peace consciousness). Sebuah kesadaran yang fitrah, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan telanjang, kosong dari pergolakan apapun. Manusia berasal dari ketiadaan, kembali menuju ketiadaan.

Kearifan lokal itulah (local wisdom) yang diajarkan oleh RNg Ronggowarsito-seorang pujangga Yosodipuro II (1802-0873)-dalam sastra jawa, Sangkan Paraning Dumadi, asal muasal kejadian.

Beberapa teladan hidup Gandhi patut untuk dilahirkan kembali untuk menghadapi kehidupan yang semakin tua. Konsep perlawanan tanpa kekerasan, yang disebut ahimsa, keteguhan dalam kebenaran (satyagraha), dan swadeshi sebuah sikap konsistensi untuk berdiri diatas kemampuan sendiri.

Menjauhi kenikmatan duniawi (zuhud), telah membutakan mata Gandhi terhadap kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran. Gandhi tak segan-segan menolak jabatan politik yang diberikan kongres kepada dirinya. Menghabiskan hidup dengan tinggal di ashram yang jauh dari kemegahan, baginya jauh lebih mulia daripada hidup di istana. Menerima jabatan diibaratkannya sebagai memakai "mahkota berduri".

Gandhi memang telah meninggalkan dunia yang fana ini. Tetapi bukan berarti perjuangannya, teladan hidupnya, dan ajaran-ajarannya ikut terkubur oleh kerasnya tanah zaman globalisasi. Globalisasi yang mengajarkan gaya hidup materialis, hedonis dan pragmatis, membuat manusia teralienasi dari ke-fitrah-annya sendiri.

Mengalami kekeringan spiritual dan sepenuhnya dibimbing nafsu kebinatangan yang rakus tamak dan serakah. Menghormati jasa Gandhi terhadap semesta bukan dengan sikap mengkultuskannya. Tetapi mampukah kita semua melahirkan spirit Gandhi di zaman yang cerdas tapi beringas ini? *

Penulis adalah Koordinator Kajian Editorial LKKY (Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta)
1 Feb 2006, diambil dari Suara Pembaruan

Puisi-Puisi Denny Mizhar

GENERASI CATWALK

Lenggak-lenggok diatas permadani kehidupan
Gemerlapan aksesoris melekat pada tubuh moleknya
Menawarkan pesona keindahan yang mengundang hasrat
Itulah wajah generasiku!

Generasiku…
Generasi mode

Generasiku…
Generasi catwalk

Di sudut gang, di ujung jalan
Menari-nari tebar pesona harumnya trend
Di kotak kaca, digemerlapnya malam
Ramai generasi catwalk

Generasi mewah penuh kemapanan!

Lamongan, September 2006



HIBURAN MALAM

Suara gendang berkumandang
Lupakan derita sementara

Petikan melodi gitar
Hibur hati yang lara

Berjoged tuk lepaskan sesaknya kehidupan
Wajah riang bergandengan tanggan lupakan perselisihan

Menari dan bernyanyi dalam hiburan malam
Andai saja hidup selalu begini?

Malang, Januari 2007



PERJUMPAAN

Jagat maya menghampiri anak manusia, meruang didalamnya
Berkisah akan laku hidup yang meninggalkan jejak luka nan canda

Inilah kisah perjumpaan maya anak manusia meninggalkan tanya nyata,
Pada labirin-labirin yang asing tak nyata

Malang, 5 Agustus 2007

04/09/08

DARI UJUNG KE UJUNG

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

Tak bisa diduga, berapa lama dia berada di ujung jalan. Andaikata terdapat seseorang yang menyapa, apa yang harus dikatakannya? Andaikata terdapat seseorang yang menduga, haruskah dia selonjorkan menit-menit yang berharga, buat secuap jawab tanpa makna? Namun demikian, pada hari yang penuh berlumur gula, sepatutnya dia kembali meraih penunjuk jalan yang mengarahkan orang pada jalur yang tepat – di kala segalanya masih remang dalam rabaan.
A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita