30/08/08

NatURalis ELementer

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Waktu-Waktu Yang Digaris Bawahi

Setelah beberapa waktu perjalankan tubuh keliaran imaji menerka kejadian lalu di sekitar pengembaraan, sebagai mata uang lain selain membaca buku. Persoalan terfokus di satu titik perasaan, kejadian obyektif bagi bahan pengulangan demi meyakinkan observasi mencapai tangga lebih tinggi, lompatan menuju dunia ide.

Wewaktu digaris bawahi itu masa-masa bukan berdasarkan luangnya waktu semata atau menggebunya aktivitas terselesaikan tidur. Wewaktu merupakan barisan masa teruntuk kedekatan realitas membaca wacana berupa rindu kenangan.

Perolehan gesekan tajam yang bukan berangkat dari hati memendam hasutan. Tapi kepaduan penyelidikan berkesadaran menerima situasi demi bahan banding menjadi pelengkap niat menuju keteguhan.

Ketakutan bertindak berjalan melewati tulisan ialah tidak beralasan atas bahayanya jaminan kwalitas. Sebab hasil pengembaraan belum sampai terjual jika durung diperdagangkan serupa pencerahan.

Kita tak perlu berhitung matemastis akan gairah kesempatan atas kesepakatan keberanian melangkah. Bukankah perasaan menandaskan perbedaan, jika dimasukkan jenjang keterjagaan, merawat ingatan demi denyutan gairah waktu digaris bawahi.

Itu momentum ketepatan rasa menjelma formula. Bagaimana pun lemahnya yang digaris bawahi tetap terlahirkan. Walau persoalan mutu sebuah pengakhiran patut diterima demi lantasan selanjutnya.

Wujud yang dimaknai berasal kehalusan pekerti atas bertugasnya kalbu berdenyutan gelombang ke pantai. Suatu warna dirawat halus mencipta bunga menawan, menggiurkan anak nelayan bermata pandang pengetahuan.

Kita kembara tak habis selesai, terus mengevolusi diri ke wilayah esensial demi perjamuan akhir malam bertautan ruh. Kesadaran melewati batas titian harus diperjalankan mencapai warna ganjil tempaan. Tidakkah yang miris di hati jua pernah bersarang dari realitas sosial?

Kalau menilik kurun waktu manunggalnya keabadian karya, akan terketahui tak seberapa kalimah di buku-buku tiada lain jalan biasa, pengulangan yang memberi secumput sumbangsi. Jika gemuruh dada tak membuka lebar-lebar kemungkinan lain dari waktu-waktu digaris bawahi.

Saya ajak saudara ke wilayah dipersuntukkan diri dari beberapa kebersiapan naluri menarik pengembaraan empiris yang didealektik bersama nalar telah ada. Membaca satuan masa, guna perimbangan materialis-eksistensialis, soasialis dan naturalis.

NatURalis ELementer

Sebelumnya biarkan saya tertawa berbahak, agar racun keegoisan menguap melewati pencernaan jiwa dalam menggagas ini ke muka. Teknik keberlawanan berusaha mengikis kebahagaian temuan kebablasan, agar nanti tidak mengalirkan racun yang dimulai mentahnya perolehan masa-masa.

Terus terang saya geli menceritakan pendapatan ini, serupa saat-saat mengintip soal besar lewat beberapa jari tangan menyilang. Atau diri ini sedang malu-malu sebagai bahan pokok kalau nanti dipersoalkan.

Tidaklah gampang meruncingkan keadaan tanpa melewati tahan tertentu seperti kerja dipaksa tidak mengindahkan kesakitan, al hasil jadi bahan tertawaan. Tapi seberapa lama garis tawa menuju keseriusan. Detik-detik persamaan itu, mutu gagasan tak menjadi guyonan, namun menjelma guyuran sejuk atas keringat diperdalam merasai keseriusan.

Lelembaran terbangun ini mata rantai yang mudah dijabarkan lewat berlainan warna, ketika senaturalis elementer. Memang benar suatu konsep takkan komplit kalau tak direalisasikan, maka berangkatlah berkaki-kaki kesadaran nyawa.

Manusia dipersipkan sebagai makluk sempurna bersegala ingatan-kelupaan menuju kesadaran terawat menjelma terkuat menjalani hari-hari terus bertambah. Sejarah berulang dan pengejaran akan bayang tak pernah sampai kecuali ke titik kulminasi, drajad penyeimbang kendali sumbu yang dikeluarkan dari sikap optimis.

Pelajaran meningkatkan pendewasaan diri terbuka atas angin selatan-utara, timur barat jadi zaitun berkembang, berbunga di taman peradaban. Mengambil saripati beda pendapat atas dialektika positif yang berangkat dari naluri bodoh diawalnya.

Kita ambil unsur perubahan yang tampak sanggup mengendalikan suatu waktu, sebab telah banyak kecelakaan terjadi atas fanatisme, hati tak membangun rasio perasaan. Ini terpetik demi mencapai kedudukan yakin akan naturalis elementer; pembelajaran beberapa kasus kegagalan, ditarik ke dalam dada pencerah, bukan melewati ruang-waktu sama yang tak patut digaris bawahi.

Sebab suatu proses bagaimana pun kemiripannya tetap memiliki perbedaan pun persamaan gandanya mempunyai sifat berbeda. Ini patut diselidiki jauh ke dalam, bahan sudah ada dijadikan penyeimbang, meski membangun daya di garis tengah amat was-was menegangkan.

Batas Genius dan Goblok

“Dunia seperti baru saja terbentuk, sehingga banyak benda belum mempunyai nama dan untuk menyatakan benda-benda itu, kita harus menunjukkannya” (One Hundred Years of Solitude, G.G. Marquez).

Kabut mitos itu jawaban tak mematikan. Berada di ruang tinggi diselimuti lamur pegunungan, diterangi cahaya imaji berpelangi pengertian bagi memperhatikan.

Tidakkah kepastian konsep kenyataan kongkrit yang diadakan dari konstruksi pemikiran pun asumsi banyak orang seperti uap menggapai realitas, diterima sebagai kepastian. Meski dalam kurungan definisi kelompok masyarakat, namun terus mengevolusi mengupas keberadaannya sampai kenyataan tidak terbantah.

Mitos diperankan orang-orang bodoh yang tak mau menyebut suatu tanda dijadikan nama. Berangkat dari orang gigih mencari kebenaran hakiki, dengan tak langsung percayai meski kebenaran umum. Ia memiliki mata kecurigaaan tajam, perasaan peka bisikan kalbu yang dikelolah jiwa tangguh menghadapi terpaan gunjingan.

Penolakan dengan menuntut alasan semula keyakinan dibalik. Dibalik kemungkinan tersembunyi, ada keharusan ditempatkan, meski dilain masa tersapu mundur keberadaannya. Sebab pola di sekeliling mengharuskan satuan sikap konstruktif.

Olehnya mitos itu musuh penampakan rayu sebab pemilik jiwa sanggup memitos, mengetahui permukaan bedak, jika disinari cahaya keremangan senja atau waktu sempit ditentukan malam. Mitos dimaksudkan membuang undang-undang kepastian diganti pertimbang elastis, sinaran imbang mengelupas bedak perayu lewat akalan.

Di bagian terpisah, orang pintar menandatangani penemuanya dengan penghakiman selera yang tampak menyamaratakan sakit. Pengkotak wilayah demi kemajuan yang katanya membawa merata. Namun yang terjadi penindasan terus bertabrak jungkir balik. Saling tumbuk atas selera masing-masing di segenap wacana perdagangan, gerakan pencarian prestasi yang berangkat dari gengsi dan habis oleh kesia-siaan.

Benar jika peraturan diberlakukan akan baik, membebaskan persoalan. Tapi apakah benar seluruhnya jika salah satu cabang aturan mulai dilenakan? Akan merambat ke puncak hitungan pengelabuhan undang-undang, semisal menampakkan selera humor, padahal sedang tidak dalam keadaan senang.

Tidakkah ketika bungkus bermain sugesti berperan, padahal nyatanya demi merayu pendengar yang ringan tangan bertepuk tangan. Sebab para pesaksi itu dari lahir otaknya tidak digerakkan. Lalu saya bertanya pada pembuat aturan: “Apakah kau bangga menjajah masyarakat?”

Tetap saja kau mengekspoitasi, meski hati kecil punya rasa malu atas kebodohan berpakaian genius. Lagi-lagi saya cuplik kalimat Marquez dari One Hundred Years of Solitude: “Seseorang takkan terikat pada suatu tempat sampai ada yang meninggal dan dikubur di sini, di tanah ini.”

Saya teringat kematian Socrates di taman pengetahuan. Kematian yang dipaksa menancapkan tanda, lalu diusung ke mana saja hingga semua orang dilewatinya mempercayai.

Di kedalaman hati saudara saya bertanya: “Apakah kenyataan sesungguhnya itu di ujung kenyataan badan, dalam kenyataan fikiran?“

Di sini saya tak ingin jawaban langsung bertubi-tubi apun mengendap. Saya ingin itu kau simpan demi temukan kepastian. Perubahan yang teralami akan menuntun pada jawaban sebenarnya.

Akan sampai ke puncak keseriusan, meski tak di bangku kuliah. Kau selalu merawat rindu demi kepastian diri. Inikah watak genius, para pemitos yang tak sengaja mencipta atas pantulan pesona dirinya. Kenyataan paling esensial perubahan, mengedepankan perasaan menjelajahi fikiran sehatnya lagi jernih tanpa polusi.

Saat menerima mendekati ambang kegilaan, telah kenyang bacaan sewaktu jemari kelelahan menulis persoalan, saat itu memahami batas nalar pekabutan mitologi. Kelelahan, bosan, suntuk, itu struktur rumah atas bangunan rasio. Saya hindari persoalan itu dengan berbagai pola untuk mengurangi, menahan jangan sampai gejala tubuh psikis menggerogoti kalbu, meski sehalus perembesan.

Ada saatnya istirahat atas lelah, namun tak harus demikian menyikapi lingkungan jiwa. Seringkali orang takut kematian, kala itu sebenarnya takut hidup, hakikat jiwanya telah mati. Sebab ketakutan serupa malaikat mengundat pencabutan nyawa. Tatkala itu kau tengah di puncak kenyataan antara hayal logika meruapi melodi kuat menempuh tangga kesejatian. Daerah kepastian terhadapi yang tak memerlukan tumbal, tapi sanggup membuat keyakinan.

Atau orang-orang rasional yang berada di tengah perjalanan, masih bimbang meneruskan lalu tergiur pulang. Lantas mengambil kesimpulan di tengah jalan sebagai jawaban. Sebuah sikap pengecut tak mau membentur perasaan yang membuat berkecamuknya fikiran. Persimpangan mencekit tenggorokan, tak miliki keyakinan datangnya setetes hujan. Sebab itukah kau menganggap tidak logis (?).

Meski seringkali orang-orang genius melewati hari-harinya menemukan keajaiban, tapi tidak memandangnya keajaiban. Katanya itu hal lumrah, namun kenapa tidak melogikakan lebih berani seksama. Apakah hawatir dibilang tidak konsisten atas gagasan semua sedari daya fikir kelewat?

Saya sebagian orang-orang bodoh menerangkan. Apakah itu kepintaranmu dan kau tak mampu berbicara jauh tentang aku, sebab dibatasi kecerdikanmu. Seperti hakim mempelajari kasus, tapi tak berada dalam persoalannya. Sejenis orang menghitung hujan yang tak mau kehujanan. Sedang aku bersama yang lain kehujanan menghitungmu kedinginan berselimutkan ketakutan di rumah keangkuhan.

Keangkuhanmu tidak menerima bahwa kau dungu yang membuatmu lebih dungu. Hanya sekali ini saya masuki urusanmu atas balasanmu terlalu, telah mencampuri persoalan kesunyianku. “Orang baik berangkat dari kedunguan, orang jahat berangkat dari kepintaran.” Itulah yang kuberikan, wahai yang pintar di tengah-tengah bangsaku. Yang kau anggap tak memiliki keyakinan ilmu.

Inilah batasan timur-barat, namun saya tak berada dalam satu sisi. Kami berada di tengah kalian, setelah mengetahui pemikiran barat perasaan timur. Saya yang kau anggap tak miliki pendirian, padahal teguh di tengah. Lalau kau bertanya: “Kenapa kau geser tempat dudukmu, sedang kau sejatinya berada di timur?” Saya jawab: “Itulah yang kau lihat dari jarak kepintaranmu, pun yang lain menganggap saya kanginan kebarat-baratan.”

Saya berusaha sepohon zaitun, jasadku dari timur atau mungkin pemikiranku dari barat, namun hatiku di tengah kalian yang berseteru. Saya harum kembangkan ini agar berdamai, meski kata kalian tak mungkin. Itulah yang kau lakukan, membuang kemungkian demi keuntungan menggencet pihak lain, sehingga hatimu tak berada di tengah sebagai nilai kemanusiaan lestari.

Sampai batas ini, kalian kudu berani menanggalkan keinginan meminum untuk menghilangkan kelelahan, sebab perjalanan masih jauh. Dinaya mengusir haus, sanggup melupakan rindumu menemukan ambang keadilan. Tidakkah ketika beban bertambah, tambah pula kekuatan?

29/08/08

Demokrasi ala Kota Sejuta Bunga

Judul Buku : Demokrasi di Bumi Arema
Penulis : Drs. Peni Suparto, MAP
Kata Pengantar : Megawati Soekarnoputri
Penerbit : Perpustakaan Umum Kota Malang & Indo Press
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : xi + 132 Hlm
Peresensi : A Qorib Hidayatullah*

Tak ayal, saat peluncuran buku ini (14/06/2008) di gedung Sasana Budaya Universitas Malang, penulis buku ini mengalegorikan demokrasi di bumi Arema layaknya bunga dengan beragam warna, mulai dari yang berwarna hijau, ungu, putih, kuning, biru hingga warna merah. Warna-warni bunga itulah menjadi tanda kehidupan harmonis bagi masyarakat satu sama lain yang merupakan harapan demokrasi di bumi Arema ini.

Kehadiran buku Demokrasi di Bumi Arema ini, diniatkan guna merekam perjalanan demokrasi lokal Malang. Kendati demokrasi sejatinya dilahirkan rahim Barat, namun bumi Arema memiliki periode-periode sejarah yang begitu egaliter. Diakui dalam buku ini bahwa di kota Malang turut memiliki riwayat kebijaksanaan masa lalu yang pada zamannya mempratikkan nilai-nilai demokratis (hlm. 34-35).

Demokrasi Zaman Dulu
Di dalam prasasti Dinoyo misalnya, selain menceritakan keberadaan kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin Prabu Gajayana, pun juga pada zaman kuna itu, seorang raja masih menghargai eksistensi Brahmana yang merupakan representasi nurani rakyat pada zamannya.

Prasasti tahun 760 itu, menjabarkan secara singkat Sang Gajayana telah memberi agunan ketentraman bagi pemuka adat untuk hidup layak sebagai pribadi maupun tokoh masyarakat. Syahdan, peradaban manusia yang ribuan tahun lamanya itu, tindakan semacam ini terbilang demokratis di sejarah zamannya.

Begitu pula ketika melirik kudeta berdarah yang dilakukan Ranggah Rajasa Sang Amurwahbhumi (Ken Arok) di tahun 1220 M terhadap Tunggul Ametung yang berwatak jahat pada rakyat Tumapel. Daya revolusi ini dilakukan bersama rakyat, dipimpin Ken Arok, serta didukung para Brahmana dengan motif melawan penindasan.

Di zaman ini, potret gerakan semacam itu dapat dikatakan pemakzulan rezim otoriter, gerakan pembebasan atas sistem yang tidak demokratis serta upaya meruntuhkan kekuasaan despotis raja yang tidak pro-rakyat. Di mana sebenarnya, Tunggul Ametung menjadi raja tidak diharap rakyat, sehingga ia pun merampok harta rakyat guna disetor ke kerajaan Daha yang justru tidak memiliki kontribusi sedikit pun demi kemajuan Malang zaman itu.

Merujuk ke sejarahnya —seperti yang telah dikemukakan di atas— Malang telah memiliki “prasasti” demokrasi kendati bobotnya kecil. Tapi setidaknya, hal itu akan menjadikan bumi Arema sebagai miniatur demokrasi di Indonesia kelak. Masyarakat kota Malang yang heterogen sangat memerlukan prinsip demokrasi guna dinamisasi masyarakatnya.

Untuk memenuhi hal itu, penulis buku ini menggagas bagaimana menguatkan cengkraman demokrasi lokal. Yang coba ditawarkannya ialah terciptanya masyarakat dengan asas hidup saling gotong-royong, kebersamaan, mengasah empati antar masyarakat, membentuk komunitas masyarakat dialogis, serta sistem komunikasi antar masyarakat sehingga pihak kelurahan membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan masyarakat grass-root.

Hal penting lain selain di atas yaitu, upaya mengait-kelindankan demokrasi dalam pilkada langsung. Pilkada merupakan kesempatan emas memperkuat demokrasi dengan membumikan pendidikan politik bagi masyarakat. Sehingga budaya demokrasi (democratic culture) selalu kukuh-kuat terbangun di tengah-tengah masyarakat.

Namun, meraih nilai-nilai demokratis itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Di buku ini pun dipaparkan ‘duri-duri’ yang akan mencederai prinsip-prinsip demokrasi. Seperti penghalalan tindak kekerasan sebagai jalan sah menggapai tujuan dan fanatisme akan ras. Kedua ‘musuh’ demokrasi itu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberangusnya demi kesadaran pentingnya tegaknya demokrasi.

Selain itu, buku setebal 132 halaman ini, juga memotret kota Malang dan konsep pembangunannya (hlm 19). Bagian ini sengaja oleh penulis buku ini selipkan untuk menjadikan kota Malang yang damai, sejahtera dan ijo royo-royo. Misalnya, lewat pengetrapan konsep Tri Bina Cita yang memiliki esensi pembangunan Malang sebagai kota wisata; Malang, sebagai kota industri; dan Malang sebagai kota pendidikan. Walau pun banyak orang menentang konsep ini, Tri Bina Cita masih relevan dan berpotensi mengembangkan kota Malang di masa depan.

Sejatinya, dalam konteks pembangunan demokrasi, setiap orang memiliki tanggung jawab untuk ikut serta menyumbangkan pemikiran-pemikirannya. Dalam kajian demokrasi, buku Samuel P Huntington, The Third Wave of Democratization (1991), paling sering dikutip. Menurut Huntington, semangat utama adalah meruntuhkan rezim yang tidak demokratis dengan rezim yang demokratis. Demokratisasi pada intinya adalah revitalisasi sistem politik otoritarian menjadi sistem yang terbuka dan bertanggung jawab.

Sebagaimana ditulis oleh para teoritisi demokrasi, transisi hanya bisa diselamatkan jika setiap pemangku jabatan publik memiliki tanggung jawab dan komitmen yang kuat. Hal terpenting dari sebuah nilai demokrasi, sebagaimana ditulis William M Sullivan (1997), adalah kepercayaan, iktikad baik, dan idealisme. Pemerintah dan warga negara harus memilikinya sebagai dasar penyelesaian konflik, krisis ekonomi, dan krisis politik.

Al-hasil, kehadiran buku ini memiliki momen yang pas, di mana Jawa Timur khususnya, dan di Indonesia pada umumnya tengah menjelang pesta demokrasi. Dan sayangnya, buku yang dieditori Liga Alam M ini masih memiliki kekurangan di sana-sini, seperti desain cover yang tidak matching dengan muatan di dalamnya serta daftar isi yang tanpa mencantumkan halaman. Kendati demikian, cacat kecil itu tidak mengurangi substansi gagasan yang hendak disampaikan penulisnya dalam buku ini.

27/08/08

Di Balik Kemegahan Kota Terlarang

Judul Buku : Empress Orchid
Penulis : Anchee Min
Penerbit : Hikmah Jakarta
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : xvii + 595 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Cerita fiksi (novel) tak melulu merekam kehidupan hampa. Selain menimbun nilai estetis, novel juga berseru lirih ihwal kekejaman hidup. Anchee Min lewat karyanya, Empress Orchid ini cakap bertutur perkara ‘kekuasaan’ di era Dinasti Ch’ing.

Syahdan, Dinasti Ch’ing sudah tak dapat diselamatkan lagi sejak Cina dikalahkan Inggris Raya dan sekutunya dalam perang Candu. Lahirlah seorang gadis desa di tahun Kambing dari klan Yehonala yang hidupnya ditakdirkan memiliki kekuatan meski ia lebih awal kudu taklukkan rintangan. Para peramal menujumkan gadis yang lahir di tahun Kambing akan tumbuh besar menjadi kambing yang keras kepala dan berakhir menyedihkan. Untuk menepis nasib sial gadis itu, peramal memberinya nama Anggrek.

Anggrek adalah wanita menawan serta lentur. Berkat kemenawanannya, saat Kaisar Hsien Feng mengaudisi selir muda yang diikuti ribuan wanita cantik, Anggrek terpilih menjadi salah satu istri dari tujuh istri Kaisar Hsien Feng. Sejak menjadi selir muda, Anggrek meninggalkan keluarganya dan bermukim di Istana Anggrek yang berada di Kota Terlarang. Disamping itu Kaisar menyiapkan istana-istana khusus bagi istri-istrinya, misalnya, Istana Nuharoo, Istana Putri Soo, Istana Ibu Suri, Istana Putri Mei, Istana Putri Hui, Istana Putri Yun, serta Istana Putri Li.

Di balik tekstur dan warna megah Kota Terlarang, Anggrek ditemani kasim An-te-hai. Kasim An-te-hai memberitahu seluk-beluk serta mengajari tindak-tanduk Anggrek di Kota Terlarang. Bukannya tanpa alasan kasim An-te-hai dipilih Anggrek untuk mendampinginya. Kasim An-te-hai yang lincah, cerdik, piawai, dan berpengalaman luas tentang keadaan Kota Terlarang menjadi pertimbangan Anggrek memilihnya. Berbekal kecerdikan, An-te-hai berjasa besar atas popularitas Anggrek di Kota Terlarang. Strategi mapan dan rapi dari An-te-hai, Anggrek mendapat perhatian lebih dari Kaisar Hsien Feng menyaingi ratu Nuharoo. Yang pada akhirnya, Maharani Anggrek menjadi kaisar perempuan yang paling lama berkuasa di Cina. Seorang gadis desa, Putri Yehonala yang cantik itu manapaki kekuasaan lewat rayuan, intrik politik, serta pembunuhan. Saat Cina terancam oleh musuh dari luar, tampaknya hanya Maharani Anggrek yang mampu menyatukan negeri tersebut. Seorang perempuan yang berhasil bertahan dan akhirnya mendominasi dunia laki-laki.

Semakin keujung menikmati cerita novel ini, ternyata para lelaki di istana berusaha mengesankan satu sama lain atas kecerdesan mereka. Titah perintah Maharani Anggrek dalam istana mengalami pertarungan tiada henti dengan para penasihat yang ambisius, dan para menteri yang penuh tipu muslihat.

Kisah Maharani Anggrek berkonotasi kisah kelam. Di Cina, anak-anak belajar bahwa runtuhnya setiap Dinasti selalu disebabkan kesalahan seorang selir. Hukuman mati yang dijatuhkan pada seorang selir menjadi justifikasi kesalahannya. Misalkan, kisah Madame Mao yang dihukum mati, sementara suaminya dianggap sebagai George Washingtonnya Cina. Kisah yang melekat hingga kini, sang Maharani harus bertanggung jawab atas kehancuran peradaban Kekaisaran Cina yang berumur dua ribu tahun.

Anchee Min lewat karyanya ini tampak presisif betul menampilkan detail kisah nyata. Beragam riset dilakukan, misalnya, Min meneliti tak melulu dokumen yang ada di Kota Terlarang, pun juga catatan medis, keuangan, dan data kepolisian, seperti halnya riset yang luas untuk bukunya, Becoming Madame Mao yang bestseller itu.

Selain itu, sebelum menggubah novel ini, Min menekuni bacaan tentang kehidupan para kasim, pelayan, guru-guru istana, para sedadu Kekaisaran, dan buku panduan sang Maharani tentang makanan serta tetumbuhan obat. Min mengaku, dirinya bisa mengakses dokumen-dokumen asli yang dijaga ketat pejabat Beijing itu dibantu oleh segelintir orang lewat “jalan belakang”. Al-hasil, buku inipun akhirnya dinobatkan sebagai A san Francisco chronicle best book of the year.

Kematian Sang Raja

Sebuah Catatan Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
Haris del Hakim

Kertarajasa, pada masa muda dikenal sebagai Ken Arok, tergeragap dari tidurnya. Ujung keris telah menempel di ulu hatinya. Kesadaran yang baru saja diperolehnya hilang sesaat kemudian kembali dan digenggamnya erat-erat. Dalam keadaan apa pun ia tetap seorang raja, berandal yang digelari Arok, dan panglima pasukan yang pernah menikamkan kerisnya ke jantung Tunggul Ametung.

Cahaya lampu minyak jarak di sudut ruangan membantu pandangan matanya yang sudah tua untuk mengenali anak muda yang sedang menghunuskan keris ke ulu hatinya. Ia ingat puluhan tahun lalu saat ia berbuat sama terhadap ayah pemuda itu. Kini ia harus berganti peran. Dia terbaring tak berdaya sebagaimana ayahnya, Tunggul Ametung. Anak tiri yang dibesarkan oleh kasih sayangnya itu sedang memerankan dirinya. Bukankah dulu dia juga mencecap kasih sayang yang dilimpahkan oleh Tunggul Ametung, meskipun atas saran dari Mpu Lohgawe? Sekarang, ia memetik karma dari pohon yang ditanamnya puluhan tahun lalu.

Ia masih terbaring. Tangannya meraba ke samping kanan dan tidak mendapati siapa-siapa. Ia tersenyum dan bertanya. “Ke mana, ibumu?”

Anak muda itu merunduk. Lengan kirinya menempel di leher ayah tirinya. Bibirnya berbisik dengan perlahan sambil mengucapkan kata-kata yang perih. “Mengapa kautanyakan perempuan yang kaupaksa menyintaimu kemudian kausakiti hatinya?”

Lelaki tua di atas ranjang pualam itu masih bisa menunjukkan wajah bersinar, meskipun tekanan lengan anak muda itu perlahan mulai menyesakkan nafasnya, dan ujung keris semakin menyarangkan mata tajamnya. Usia yang dijalaninya telah mengajarkan segala macam jenis kematian manusia. Bahkan, beberapa kali ia membantu malaikat maut mencabut nyawa manusia dan tidak bisa lagi menghitung berapa jumlahnya. Ia juga tahu suatu saat akan menghadapi kematian dengan cara yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Dan, kematian di ujung keris yang pernah ditikamkan pada akuwu itu pula yang akan mengakhiri hidupnya.

“Aku tidak pernah menyakitinya,” kata Lelaki itu. “Akulah yang membebaskannya dari belenggu tulang rapuh bapakmu dan mengangkat derajatnya sejajar dengan para permaisuri raja. Bukankah ia ceritakan semua kepadamu dan menjelaskan dosa-dosa bapakmu, seperti yang selalu dikeluhkannya kepadaku di setiap malam?”

Anak muda itu geram. Ia semakin menindih tubuh tua yang tidak berdaya. Bibirnya mencibir, “Aku adalah samudera tumpahan jeritan luka hatinya. Sejak dalam buaian kudengar lagu-lagu perih wanita yang dikhianati orang yang pernah dianggap menyintainya. Ia tanamkan pula benih dendam kematian ayahku dan setia menyiraminya sepanjang umurku. Apakah wanita seperti itu kaukatakan terbebas dari belenggu dan menepuk dada di atas singgasana permaisuri?”

“Anusapati!” kata sang raja gusar. “Katakan padaku dosa apa yang kulakukan terhadap dirinya? Luka hati seperti apa yang menuntun seorang istri meninggalkan ranjang tidur suaminya?”

“Kertarajasa! Seperti inikah pertanyaan ayahku, Tunggul Ametung, sebelum kautikamkan kerismu ke jantungnya?” tanya Anusapati.

Lelaki tua itu tertawa. Anusapati buru-buru menggeser lengan kirinya ke pangkal leher raja yang tinggal beberapa saat lagi umurnya. Ia kuatir ada prajurit yang mendengarnya dan menimbulkan kecurigaan. Sementara lelaki tua itu tersengal-sengal. Kedua tangannya yang bebas sengaja tidak digunakan untuk melakukan perlawanan. Dia belum tentu kalah menghadapi anak kemarin sore yang sedang terbakar oleh dendam, tapi ia merasa sudah tua untuk selalu mengelak dari karma-karma yang pernah dilakukannya di waktu muda. Ia sudah mendapatkan semua warna hidup seorang manusia. Ia pernah menjadi berandal yang malang melintang di tengah kegelapan hutan, juga pernah menjadi pimpinan prajurit yang disanjung-sanjung kedatangannya. Ia telah merasakan sebagai anak terbuang dan terlantar, juga merasakan sebagai raja yang sabdanya dinantikan setiap orang. Ia pun telah mendapatkan Ken Dedes yang diperebutkan oleh para Adipati hingga Raja Kediri, bahkan sebagai lelaki telah mendapatkan semua wanita yang diinginkannya. Ia sudah mengalami nelangsa dihinakan sebagai gelandangan tanpa kampung halaman, juga mengalami puja sanjung sebagai raja Singasari. Kehidupannya tinggal disempurnakan oleh kematian.

“Anusapati!” kata Kertarajasa dengan tenang. “Tunggul Ametung mati di tangan Kebo Ijo dan bukan tanganku. Takdir telah menentukan seperti itu dan takdir pula yang mengangkatku sebagai pengganti Tunggul Ametung.”

Kini Anusapati yang tersenyum. “Aku percaya pada bibir wanita yang rahimnya melahirkanku daripada mulutmu. Seperti yang pernah kaukatakan, tidak ada yang lebih jujur dari perempuan yang sakit hati.”

Anusapati belum menikamkan kerisnya. Ia ingin membuat ayah tirinya itu menghiba untuk selembar nyawanya. Ia ingin menyaksikan bagaimana seorang raja yang selalu dimintai segala sesuatu, seperti dewa, memohon-mohon padanya.

“Rupanya ia sudah menceritakan semuanya kepadamu,” kata Kertarajasa. “Apakah ia juga menceritakan ke mana perginya saat ayahmu tewas di ujung keris?”

“Aku tidak pernah menanyakannya, tapi aku berjanji memberitahu jawabannya padamu saat kau sudah menjadi abu.”

Kertarajasa tersenyum tipis. Ia ingat pada saat remaja sering bertindak gegabah. Ia tertawa.

“Sekarang ceritakan sakit hati seperti apa yang membesarkanmu?” tanya Kertarajasa.
“Kertarajasa! Begitu berartikah sakit hati yang dipendam perempuan itu hingga lebih kaupentingkan dari nyawamu sendiri?”

Ayam jantan berkokok. Dinding-dinding kraton masih tetap beku dalam dingin. Tidak ada seorang prajurit pun yang memberikan tanda kehadirannya melalui suara langkah kaki. Anusapati telah mengatur semuanya. Ia belajar dari ibunya bagaimana Ken Arok menyusun rencananya selama berbulan-bulan demi menghunuskan keris ke jantung ayahnya. “Bahkan, ia juga merencanakan berapa orang yang harus menangis atas meninggalnya ayahmu,” begitu kata ibunya ketika itu.

Kertarajasa tersenyum mendapat tanggapan seperti itu. “Ya,” jawab Kertarajasa dengan nada bicara masih tenang dan berwibawa. “Sakit hati itu tentu sangat perih dan meremukredamkan hatinya, hingga waktu puluhan tahun tidak sanggup menghapuskan atau mengutuhkannya kembali. Aku bisa merasakan senggukan tangisnya melalui bibirmu. Tetapi, aku ingin sebelum berakhir hidupku kuketahui semua dosa yang pernah kulakukan. Biarlah aku tahu siapa diriku pada saat-saat menjelang sekaratku.”

“Apakah semua itu lebih berarti dari kerajaan yang kaubangun dengan darah ribuan orang ini?”

Kertarajasa tidak menyalahkan atau membenarkan. Dia memberikan nasehat, “Anusapati, kekuasaan tidak pernah abadi di tangan seseorang. Kekuasaan direbut, dipertahankan, diwariskan, atau diberikan secara paksa kepada orang lain. Kita tidak bisa memaksa diri untuk selalu menggenggamnya. Manusia semakin tua sementara orang-orang muda terus lahir ke dunia. Yang tua harus merelakan diri digantikan yang lebih muda. Pada akhirnya, manusia baru sadar bila menghadapi maut sendirian.”

Anusapati menyimak ungkapan ayah tirinya itu. Ia tidak memungkiri kewibawaan dan kebijaksanaannya. Hanya bayang-bayang ayahnya yang ia gambarkan di kepalanya yang selalu mengatakan bahwa ia tidak dapat berdusta bila lelaki itu adalah pembunuh ayahnya. Setiap kali bertemu dengannya, ia merasa seperti arang yang dilemparkan ke dalam tungku. Semakin bertambah umurnya semakin membara keinginan untuk membalaskan sakit hati ayah dan ibunya.

Kertarajasa seorang raja yang tidak mengenal gentar. Dalam keadaan leher tertekan lengan dan ujung keris yang sewaktu-waktu menusuk ke ulu hatinya, ia dapat berbicara lancar tanpa gagap sedikit pun. “Anusapati! Sebentar lagi matahari akan terbit. Lekas katakan sebelum tindakanmu ini diketahui oleh orang lain dan kau tidak dapat membalaskan dendam ayahmu. Bahkan, kamu sendiri yang akan dipancung di alun-alun kota dan tidak ada lagi yang kalian andalkan untuk membalas dendam kepadaku.”

Anusapati tertawa tanpa menggerakkan gerahamnya. “Inikah kekuatanmu terakhir sebagai seorang raja, Kertarajasa? Kau andalkan sisa-sisa kepercayaan dirimu dengan mengancamku. Kamu boleh memilih, kukatakan sendiri atau perempuan itu yang akan mengatakannya kepadamu?”

“Anakku Anusapati,” kata Kertarajasa dengan nada kebapakan. “Waspadalah terhadap dirimu sendiri. Jangan sekali-kali kemenangan membuatmu lupa diri dan sewenang-wenang, apalagi belum berada dalam genggaman tanganmu. Kamu pemuda tangguh yang sering bertindak sembrono. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan kepadamu. Hunjamkan keris itu segera sebelum matahari terbit. Apakah kamu tidak mendengar talu lesung para petani di kejauhan?”

Pemuda itu melepaskan tekanan lengan kirinya. Ia memandangi wajah yang selalu dipanggilnya sebagai ayah. Ia tidak pernah merasa terbedakan dari Tohjaya. Batinnya berbisik, “Mengapa orang tua adalah yang meneteskan darahnya di tubuhku dan bukan yang memberikan kebaikan-kebaikan?” Barangkali benar kata ayah tirinya itu. Ia juga menjalani garis takdir untuk membunuhnya.

“Kau telah menikahi Uma dan seperti ini takdir yang harus kujalani,” jawab Anusapati. “Perempuan itu sering menerawang ke langit dan menyebut nama ayahku bila perih pengkhianatanmu melintas di batinnya. Ia bisa memaafkanmu saat kaubunuh Tunggul Ametung, tapi ia terlalu sakit dan menderita ketika mendengar Tohjaya menangis. Tidakkah kau perhatikan tubuhnya yang makin kurus dan kecantikannya yang berubah menjadi dongeng?”

Anusapati menitikkan air mata. Begitu pun lelaki yang berbaring di hadapannya. Tangan yang dulu kekar itu mengusap air bening di sudut matanya dengan jari telunjuk. Ia memandang anak tirinya yang memegang keris terhunus. “Katakan kepadanya bahwa Ken Arok minta maaf,” katanya penuh penyesalan.

Anusapati mengangguk. Ia melihat wajah ayah tirinya yang pasrah, menunggu ujung keris di tangannya yang akan menikam ulu hatinya. Dengan tangan gemetar Anusapati menikamkan keris pusaka pemberian ibunya itu. Ia pejamkan mata menyaksikan sang raja yang tersenyum menyambut maut.

“Anakku,” kata Kertarajasa. “Kuwariskan kerajaan ini tanpa dendam.”

Anusapati mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa hingga tidak terdengar lagi suara nafas. Perlahan ia membuka kedua matanya. Setetes air mata mengalir bersamaan hulu keris yang ditarik keluar dari dada pembunuh ayahnya. Darah menyembur dari lubang tikaman.

“Ayah, maafkan aku,” kata Anusapati menyarungkan kerisnya yang masih berlumuran darah.
Lelaki itu mengangguk sangat pelan sambil memejamkan mata. Kepalanya terkulai.***

25/08/08

RAS PEMBERONTAK

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=68


Dipersembahkan kepada almarhum Zainal Arifin Thoha, Suryanto Sastroatmodjo, serta kawan-kawan semuanya.

Pembuka
Ini luapan kesemangatan luar biasa tentang hidup. Buah berkah yang harus disyukuri, dijalankan sebagai kerja kudu cepat melaju, keras lagi tangguh dalam pertahanan. Saya sebut ras pemberontak itu, tandingan dari sifat kelembekan yang selalu menjegal langkah-langkah lincah kita saat berlari.

Ialah gairah besar harus diledakkan kecuali ingin datangnya bisul lebih parah lagi. Bisul itu pemberhentian tidak nyaman juga sangat menyakitkan. Maka songsonglah sebelum datangnya sakit menyerang. Kita diadakan sebagaimana ada, dan terus hadir di segala jaman dan sejarah kemanusiaan. Tanpa kita dunia bengong, pikun, melempem, lumpuh, apalagi ditambah laguan melemahkan jiwa, atas dasar nilai-nilai mandul.

Marilah melancarkan jawab, sebab hanya kita yang bisa menjawab persolaan yang menghadang, oleh telah diberi limpahan kemampuan lebih di atas mereka yang enggan berjuang. Kaki-kaki ini langkah prajurit tidak kenal siang-malam, tidak peduli ilalang pun duri-duri mengancam. Semua menjadi lunak saat mengetahui situasinya. Maka rebutlah peta, kita jabarkan kepada ras yang mulia. Di sana ada titik-titik harus dikuasai, semua akan dimengerti jika segera beranjak dari kursi. Manfaatkan segala rasa demi perasaan ke luar, kita tebarkan bius untuk melucuti hasrat keinginan tanggung, sebab itu pengganggu.

Kita tidak membedakan warna kulit atau asal suku, suatu bangsa, lewat melihat wajah masing-masing dalam perkumpulan, tentu sanggup mengenal, membedakan. Kita paling cemerlang dan menjadi perhatian orang-orang yang tidak percaya diri. Kita singkirkan semuanya yang sekadar jual tampang tanpa isi. Kitalah diri, bukan sekumpulan preman tanpa perhitungan, lebih di atas segala sesuatu yang pengancam nilai-nilai rendah.

Marilah naik lebih tinggi, dengan ketinggian kita bisa menghimpun kekuatan, sayap-sayap kita rentangkan, kekuatan muda benar-benar mengalirkan darah kita. Senantiasa bergejolak dalam segenap situasi, terus menjadi yang pertama-terkemula di setiap penelitian. Kita awal dan akhir pertunjukan di muka bumi. Tanpa kita dunia kosong melompong.

Jangan sampai anak-anak kita buta nilai huruf, ini kesalahan ras kita yang lain di masa lalu, di masa perang sedang bergolak, carilah sendiri siapa itu. Kita harus lebih lihai dari para pengecut atau anak-anak pecundang. Darah kita telah dijanjikan kemenangan, jikalau benar sabar dan teguh dalam memperjuangkan pendirian. Perlu juga menghitung tarikan nafas, agar yang keluar tidak sia-sia di tengah pertempuran.

Aturan sedemikian padat itu hasil luapan menggelora. Menancapkan keyakinan sedalamnya, agar ras mulia tidak luput menjadi tanggung. Olehnya, jangan berjalan mundur, lebih baik berlayar ke samping jika angin kencang membahayakan jiwa. Tetap menuju pada yang teryakini, tercita-citakan menghimpun kekuatan dari ras-ras pemberontak.

Hujan teman kita, gemuruh badai guruh dan panas semangat keluar sedari warangka berita wacana nalar-nalar kita. Sebab itu teruskanlah menggabungkan segala ungsur kalau tidak mau disingkarkan saudara yang lain. Saat itu tidak lagi memegang ras kita, darah yang mulai, darah berontak. Mati-hidup kita tidak lagi berkeadaan penasaan, apalagi menciptakan teka-teki membingungkan.

Kita membawa keterbukaan juang bagi semua. Terbuka dan selalu membuka diri, dengan itu kita dapat menyelidik lebih jauh topeng-topeng yang dipakai para pengecut. Kita singkirkan satu-persatu agar tidak mengacaukan suasana persidangan, sebuah rapat besar membahas perjuangan ras kita di muka bumi.

Biarkan mereka menyebut kita segerombolan penyamun, penyadap atau apa saja tidak mengenakkan telinga. Tetapi tentunya kita yakin; perasaan yang berkata begitu, segera dan saat itu juga tengah bergetar ketakutan oleh kesemangatan kita yang terus memuncak kepada gunung tertinggi. Kita tidak perlu menancapkan bendera di suatu ketinggian, namun tancapkan tanda pada setiap barisan-barisan kita di segala lini pejuangan.

Jikalau mengibarkan bendera kemenangan atau apa saja, orang tanggung segera mengetahui, walau mereka ragu dan takut kalau segera ke sana, kepada kita. Karena itu, pelajarilah kejiwaan para tanggung secara seksana, kita pilih menjadi bagian jika sekiranya mau mengikuti prosesi sejarah besar kita nanti, dan sudah, juga sedang terjalankan kali ini.

Nenek moyang kita para pencipta sejarah dalam seumur hidupnya yang gemilang, tidak pernah keluar dari goa pertapaan. Mari sinauhi keseluruan ilmu, lebih-lebih menyuntuki sebagai hal pelajaran masa, dan terus diperdalam agar benar-benar dalam lingkaran merah keberanian, ras pemberontak. Nenek moyang kita pencetus tatanan hayat di muka bumi yang dirahmati, dayadinaya kita. Ketika dipercaya, manfaatkan semaksimal mungkin, janji harus ditepati. Tidakkah kepercayaan untuk kita ialah harta berlimpah?

Pun harus berani mengorek borok, dengan itu kita mengetahui sejauh dalam dan bodohnya diri ini. Sekali lagi, ras kita keterbukaan, buka pintu lebar-lebar dari semua lapisan dalam mencari inti demi penelitian lebih agung nan mulia. Yang sedang terkerjakan kita suntuki tiap-tiap masa, tidak peduli apakah perut ini terisi atau sedang lapar. Saat luapan terus ternyatakan-teringinkan, dan pernyataan menjelma anak-anak kudu kita rawat, sebab dengan itu ras kita semakin kuat.

Perlu digaris bawahi, kita buang ritual tidak penting, waktu sekadar mengedepankan muka. Jikalau terus maju segera bertemu saudara-saudara yang lain. Nenek moyang kita para pelaku yang sanggup mewarnai sejarah. Dan tidak perlu mencipta hal baru kecuali lebih manfaat maha-mutu. Laksanakan perintah, sebab energi kita berasal dan kembali. Kita tidak perlu mengaku-aku pewaris dunia, saudara tentu mengetahui, sejauh mana diri berjuang demi ras, ras pemberontak yang kukuh pendirian, keimanan.

Sungguh diperhatikan, harus tekun mempelajari kecelakaan-kebodohan, hal itu menghambat sangat perjuangan. Marilah terus mengajarkan kepada anak-anak, tentang perjuangan kelas antara ras kita dengan ras pengecut. Perhatikan juga, jangan sampai mengambil anak dari keturunan pengecut, sebab darah pengecut sangatlah fatal, bisa membinasakan keturunan kita menjadi darah terendah jikalau bercampur dengannya.

Kita harus memberikan perhatian lebih kepada keturunan kita, yang mau keluar dari kepulaun, sebab sejatinya moyang kita para penjelajah. Kita bukan penjajah atau pun penindas ras lain. Kita memegang hukum; siapa berjuang tentu mendapatkan limpahan. Para pengecut mencibir kita, sebab tak mampu melaksanakan perintah bathinnya, darah mengalir di tubuhnya bukan darah berontak atau pencetus, bukan darah juang yang kita rasakan alirannya disetiap saat.

Kerinduan kepada junjungan yang harus diperjuangkan, nenek moyang kita terhormat. Para pemuka peradaban, pencerah segala kalbu menjadi tuntunan umat bersegenap syukur atas perjuangan yang dilimpahkan-Nya. Kita lantunkan tembang-tembang menggairahkan, perjuangan tidak kering nyanyian kalbu yang menggerakkan seluruh pancaran hayat. Melangkah bersegala terus ternyanyikan, berjuang berseluruh tetembangan membahana ke pelosok sejati rasa, segenap hati umat manusia. Itulah tujuan kita, mencipta dunia dengan ras-rasa berontak atas kedirian yang lemah, oleh sifat kebinatangan yang lembek dalam jiwa.

Penerus dan Penebus
Pada bagian pembuka kita mulai mengetahui dari hal-hal kecil terawat, dipelihara dengan kekukuhan menggelora, sedari kegigihan tajam dan terus hingga dinamakan cita-cita, pantaslah diperjuangkan. Dari ringan yang tidak mereka perhitungkan, kita memulai pemberangkatan ini.

Ini berkah dari ketajaman mata bathin yang sanggup mengambil mereka yang abai, yang menganggap kita dungu atau kelewat gila, sebab saat melihat kita dalam berproses. Sementara sudah tidak ada ketika kita telah naik menanjak, karena nafas-nafas mereka telah habis di tengah jalan. Karenanya, aturan pernafasan harus diperhatikan betul, agar tidak ikut terjatuh di tengah jalan atas meremahkan. Kwalitas bukan meremehkan yang lain, kecuali benar-benar tertandakan bahwa mereka benar-benar pengecut.

Tentu saudara mengetahui bagaimana cara membangkitkan jiwa, kala sedang terlena bujuk para perayu, dengan membaca biografi nenek moyang terhormat. Ini bukan pembelajaran tetapi bagaimana terus membangkitkan semangat, tiada saat-saat padam sebelum ruh meninggalkan badan.

Basis kita keimanan amanah yang diberikan tuhan, itulah gelora nyawa bagi penebus kesalahan sejarah dibuat kaum licik, yang mengambil perhatian sejarah dengan hal-hal membingungkan jiwa kedamaian, tidak membawa mangfaat selain dogma tanpa hasana pengajaran indah. Kebangkitan kita, ras pemberontak yang mendiami bumi berkesungguhan, kesuntukan menggebu.

Iktikatnya mengajak seluruh lapisan berjuang, jika menerima menjadi pewaris terhormat, darah pemberontak dari kemapanan merugikan, kita rong-rong para mencipta hutang negara yang berlimpah kebodohan. Darah pemberontak tahu bagaimana mempertahankan hidup, agar tidak ada saat-saat menciptakan ruang meminta-minta sumbangan apalagi berhutang. Sebab telah menebusnya dengan kerja keras terus-menerus. Dan kepasrahan kita maknai dinamis, tidak puas keadaan selain tuhan menimpahkan hal pemberhentian atau mati. Kita sadap yang membuat kita lena, terus maju menumpahkan gelora perjuangan atas ras kita.

Tidakkah saudara sudah membaca buku-buku atas kelas kita? Memperjuangkan martabat kemanusiaan dengan kedudukan semestinya, tidak membedakan warna kulit atau golongan, pun keilmuan apa saja. Kitalah panji-panji penanggung jawab di antara yang ragu-gagu ketakutan atau merasa bersalah karena tidak mau melangkahkan kaki-kaki atas orang-orang tua yang kolot. Kita berdiri mewujudkan piramida gagasan luar biasa.

Kita tidak mencipta menara gading atau patung mengerikan yang sekadar menghipnotis orang lewat, namun kita terus merangsek seangin kencang membuat kendaraan perubahan iklim wacana. Kitalah jalannya perubahan, berkendaraan dengannya tetapi bukan anak-anak perubahan. Kita kendali sang perubahan, mengambil energi-energi terlewati untuk terus merangsek sampai ke pantai damai, ras yang diberkati keringat juang.

Tentu kita sadar, tidak mungkin saling membunuh-menikam, meski itu kejiwaan yang lain. Sadarlah kalau saling bantai serang, kemakmuran dan keberlangsungan ras segera habis. Tidakkah kita butuh saling bahu membahu, mencanangkan kerja besar membuat milinium bagi kejiwaan kita. Tetapi bukan berarti sama-sama kalau tidak ada perlunya. Saudaraku ras berontak, pasti akan bertemu jika gigih memperjuangkan keyakinan yang selalu merawat kejiwaan tunggal bernama tekat, segera berjumpa dalam aura agung, gelora paling tinggi setelah badai hilaf.

Kita sadar, kekuatan kita sering kali terpatahkan alam. Bersekutulah, pergunakan tubuh alam menjadi tameng-tameng, menancapkan pepohonan tegar demi dinding-dinding rumah. Kita bukan sekelompak penebang hutan sembarangan, kita merawat alam, hewan-gemewan bersatu-padu, maka kealamian juang tetap terjaga. Tidakkah dapat mengambil manfaat dari merawat kemungkinan pada permukaan-kedalamannya, menjadikan energi terus menggelora?

Proses menentukan diri ini sungguh-sungguh ras berontak atau tidak. Jangan berhenti di pertigaan atau perempatan. Sebab itu laluan yang bisa membuat kita tersingkir kalau sedang lemas saat menempuh jalan perjuangan. Jika hendak berhenti, masukilah gua keheningan paling sunyi, untuk kembali kepada hakekat sebenarnya, dari awal sebagai insan diberkahi.

Sekali lagi jangan berhenti di tengah-tengah, nanti hilang kedirianmu, dan tidak memiliki pesona lagi di hadapan saudara yang lain juga orang-orang lemah. Jangan dipermalukan langkah sendiri, terus maju dan terus. Inilah kesempatan berharga; nyawa, waktu luang, kesehatan, kekayaan. Saya tidak menyebut jabatan itu kekuatan, kalau tidak meleburkan dirinya sebagi ras kita, berontak.

Dan saling memberi kasih sesama yang ragu kurang pengalaman, sebab hakekatnya ia punya semangat membaja, sekali tarik saja sanggup berlari ribuan mil. Tentu kita bisa membedakan orang ragu karena takut, atau sungkan kepada pendahulu yang gelap, dengan ragu sebab sifat alamiah pemberontakan belum terbuka.

Kita wajib membuka kran-kran yang lemah, agar alirannya menggelinjak deras, dengan itu kekuatan ras semakin berlimpah, tenaganya tidak terdeteksi kecuali oleh kedirian yang lain, mawas diri atas langkah tertempuh. Memangfaatkan perubahan masa kecondongan gerak matahari, dengan kefahaman itu tidak lagi dalam kerangka ruang-waktu, kita merangsang bersegala pola-pola pergerakan, sehingga lebur sebab kita ialah tubuh dari perubahan, angin pencerahan, daulat kasih sayang kesungguhan cinta.

Kefahaman lingkungan perlu dibicarakan lebih dalam, dengan itu tidak dikuasai perubahan. Namun sebelum meleburkan ruang-waktu, kita harus jeli menyelidik, belajar tekun atas gejala agar tidak kecelik kalau mengetahui perubaan tubuh atau proses kreatif yang begitu menanjak bergelora. Tidakkah sering merasakan keberhasilan, dengan itu jangan terus terlena tipuan menghanyutkan diri, kita harus hati-hati menterjemahkan kejiwaan hasil, tidak perlu ragu merevisi jiwa-jiwa yang tidak baik demi tonggak lebih mapan lagi tangguh.

Anggap saja capaian itu sekadar gula-gula yang segera habis di tengah laluan kala mengunyah. Tandas nikmat selesai hingga tidak tergiur balik serupa. Tergerak kebaharuan, perawatan bidang kita teliti menarik sebagai tambahan energi. Pun pula diperhatikan meski diberi dayadinaya belimpah kudu merawatnya. Bukan kelompak kita yang memiliki sifat meremehkan, meski persoalan kecil-kecil. Saya tegaskan, jangan sekali-kali berdiskusi dengan yang memiliki jiwa-jiwa pengecut, itu musuh utama ras kita.

Ini bagian penerus-penebus, sebab moyang kita ada yang bekerja belum selesai bukan sebab apa, lantaran umurnya diambil yang Kuasa. Ia bukan manusia manja lingkungan, tidak ongkang-ongkang kaki kidungan melenakan yang kita anggap suatu kengerian. Cengeng, putus-asa ialah hal yang patut dipelajari agar sang jiwa tidak masuk ke jurang terdalam. Sekali saja terjadi akan ketagihan, sebagaimana kita lihat orang-orang cengeng terus merengek di ketiak si tuan atau ibunda kesambillauan.

Keseluruhan saya terangkan di atas, demi terkembang sebagai hal kebaharuan yang terus menerus kita tingkatkan. Tidak akan berhenti meski usia sudah lanjut, sebab hakekat kelemahan ialah usaha kita yang tidak sungguh, kecuali tuhan memprotoli kelebihan itu, saat ketuaan merambati tubuh, tetapi kejiwaan kita terus menggelora seharusnya. Ini hadiah bagi ras kita, ras berontak. Semoga kita bisa mempelajari lebih tinggi lagi dalam, berdiri sejajar dengan nenek moyang kita yang terhormat.

Bermain dalam Keseriusan
Tentu saudara mengetahui bagaimana tradisi permainan kita, melemparkan kartu-kartu kecil untuk mengelabuhi musum-musuh. Kita persiapkan perjalanan panjang tersebut dengan sekumpulan tenaga besar, sebab nantinya kita ciptakan karya-karya percobaan. Semakin mengerti pengalaman berperang, menambah faham situasi medan pertempuran.

Mangfaatkan nyawa rangkap kesungguhan, ketidakmaluan serta gunakan energi yang tidak kenal lelah, terus mengejar yang bersenyum meremehkan di atas kasur air. Kita anak-anak pinggiran kali di luar pagar, tersisikan, tetapi bukan itu lantas hanyut pertemuan arus. Tidakkah percaya, kitalah sang duta perubahan. Dengan berada di luar pagar dapat bermain seenaknya, seideal-mungkin. Biarkan mereka terbawa arus masa, tentu kita bisa mengetahui sejauh mana musuh-musuh berlari.

Mereka tidak akan tahu kapan kita menciptakan ledakkan di samping telinga di depan mata publik. Sekiranya ledakan kurang besar atau tidak berarti apa, tentu kita tidak perlu malu, dan menghimpun balik daya cipta lebih dari sebelumnya. Dengan senantiasa mengawasi musuh-musuh, celah-celah bagaimana bermain dengan permainan kita, di medan mereka atau tidak jelas waktunya.

Yang faham hakekat waktu-waktu kita, hanyalah golongan kita dan mereka tidak mengerti kapan kita menciptakan dan meledakkannya, sebab mereka disibukkan permainannya. Ini harus dimanfaatkan, menarik massa sebanyak-banyaknya dari kalangan kita, lalu merambat di pinggiran kota. Setelah massa lapisan bawa telah menjadi persekutuan, tidak harus lagi mendatangi, tetapi tentu mereka segera mengunjungi panggung milik kita berjubel massa.

Serta jangan sampai ada penyusup datang mengacaukan panggung, meski juga tidak berani. Kita jangan segan menghakimi pengacau di atas panggung, sebab apa yang terbangun ialah milik kita sendiri, berasal dari kesemangatan kerja. Jikalau sekiranya mereka ingin masuk lingkaran dan mengikuti arah, kita beri jalan terbuka. Dan semakin lama lingkaran api unggun melebar, terus membesar, maka sebaiknya menciptakan lingkaran lagi di kota-kota besar, dengan itu bisa lebih punya nafas rangkap, jikalau mereka suatu masa berhasrat menumpas kita.

Lewat beberapa lingkaran kita buat, unsur-unsur ras kita, bertambah lama semakin tidak diabaikan, menjadi ancaman besar yang berpangku tangan melihat kita dengan kesinisan. Kita tahu debu-debu kita tidak mungkin masuk ke ruang-ruang elit, sebab terhalang kaca-kaca tebal. Tetapi tidakkah mereka pasti keluar jalan-jalan? Jalan pulang? Dan melihat lingkarang kita makin membesar, dan yang semakin banyak itu.

Kita ialah massa riel sebab lintasan kita selalu di jalan-jalan, massa kita telah mengetahui sejauh mana langkah dengan keyakinan itu. Kita tunjukkan sejauh ketepatan menang dari massa mereka sekelumit tidak jelas, yang mereka gembar-gemborkan selama ini sekadar nama tidak memiliki kejelasan pendirian. Kita ciptakan lembaga-lembaga tandingan yang tidak kalah dengannya. Dana kita berasal keringat sungguh. Yang tidak sungguh-sungguh bukanlah ras kita. Kita berangkat dari jalan-jalan tidak terlihat, lalu tampak bersama debu-debu perjalanan hayat nan abadi.

Tentu saudara mengetahui, debu selalu berada di bawah, sekali melayang mengenai pandangan mata mereka. Itulah kita, terus ciptakan kemungkinan lain, sesuatu yang tidak diperhitungkan, namun kita senantiasa menghitung langkah ini bermatang tempaan. Oleh sebab itu, harus mengetahui perubahan-perubahan. Dengan kekuatan alamiah, kita sanggup hidup lestari dan mereka yang terkena arus perubahan selalu tumbang di bawah kaki-kaki, oleh sesama mereka tidak memiliki emosional persahabatan. Kita masih di bawah sana, tentu tahu bagaimana debu-debu terlayangkan ke kelopak-kelopak mata, itulah saatnya mengambil alih waktu. Dan kartu-kartu yang besar masih aman dalam genggaman tangan kita.

Sekali-kali jangan anggap permainan selesai, kita harus kian jeli kedatangan anak-anak tanggung mereka. Sekali lagi, yang memiliki sifat pengecut, senantiasa tak puas menyaksikan keberhasilan atas kesungguhan kita. Dengan pengalaman mereka juga, kita timbah keilmuan bagaimana rentangan sayap-sayap, melebarkan kekuasaan seluas-luasnya, sehingga cakar-cakar ini benar-benar menancap dalam kalbu anak-anak kita terhormat, bukannya elusan.

Di sini menampilkan keseriusan beropera sekaligus propaganda. Perlu diperhatikan, di sisi kiri dan kanan masih berdiri tegak musuh-musuh. Rawatlah kewaspadaan, jangan sampai tumbang karena mengenang kilau perjuangan. Jangan mengikuti cara-cara yang melupakan tapak-tapak kaki hayati. Pengalaman ialah guru paling bijak, memantapkan diri menunjukkan kegigihan menjadi belati tajam setiap saat. Kitalah sang penanti sekaligus yang dinanti perubahan.

Meski keberhasilan kita lebih tinggi nilainya sebab berangkat dari bawah, tetapi tidak perlu melangsungkan pesta, tentu kita faham dalam tradisi, tak ada pesta bagi anak-anak kita. Pesta kita bersatu alam, membimbing anak-anak menjadi tangan-tangan perkasa. Bagi kita, pesta ialah pendidikan. Mencukupi kebutuhan anak-anak dengan wacana yang pernah kita kerjakan, itulah kabar sesungguhnya.

Jangan sekali-kali meliuk menari di lingkungan mereka apalagi bergaya sepertinya. Kita manusia kembara yang siap menenggelamkan orang-orang angkuh di depan publik. Kita beri pelajaran musum-musuh, bukan hanya mereka yang bisa naik eskalator, sebab itu hal kemudahan. Tetapi coba lihat apakah mereka sanggup menaiki tangga kayu? Saya melihat mereka takut menaikinya, apalagi jalan-jalan di trortoar malam tiga belas.

Kelebihan kita tidak sungkan terbebani hasil. Keberhasilan bagi tradisi kita sudah jelas dari pelajaran masa, hanya acungan jempol, senyum manis yang pasti hilang. Seperti gula-gula yang kita remuk dengan gigi-gigi laksana mengampuh kreweng moyang. Tidak menganggap keberhasilan kalau tidak seluruh lapisan mengikuti tarian gigi-gigi kita, tarian pemberontak yang menabrak kemapanan mencipta terkumpulnya darah pesakitan.

Dan harus terus menguatkan barisan, meski sebagian di antara kita sudah di atas panggung pagelaran, sebab ras-rasa kita yang ada juga tidak mau menyerahkan begitu saja kedudukan tanpa kita berusaha sunggu-sunguh, serta seharusnya melebihi para pendahulu.

*) Pengelana yang tinggal di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan.

24/08/08

Sajak Mardi Luhung

TERBELAH SUDAH JANTUNGKU

Aku diletakkan di antara dagingmu
yang digarami persetujuan dan peseturuan
akan mengambang di antara kejejakkanmu
sambil menjilati garammu itu

lewat bidang dadamu
aku melihat hari-hari jadi seperti babi
mengendus-ngendus di gigir pedang tajam sambil
menyerahkan tubuhnya berdikit-dikit dibelah

dan luka-luka darah pun meleler
darahmu ataukah sekalian darahku?
dan itu bercampur seperti adonan yang diubek
dalam piala kristal milik para sakit

yang sekaligus penguasa dan pemegang tali
para akrobat yang di malam-malam sedap
memutar bulan seperti memutar pantat
pantatku yang keras dan kering ini

aku memang milikmu dan kau milikkukah?
aku memang pasir, laut, siwalan, ceruk, ikan?
kau apakah juga memang nelayan, jaring, perahu, kemudi?
sang pasangan abadi yang tak pernah undur

melintasi apa yang telah ditudingkan
Tao dalam jalan, dalam nama, dalam sakti
Kresna dalam gita kewajiban dan pengorbanan
Sufi dalam dzikir yang menelan dan memuntahkan matahari itu

“Sang Prosa Abadi!” Ya, itulah Sang Prosa Abadi! yang telah digelapkan para kelasi lewat lambung kapal Columbus dari perburuan sampai benua baru, dari benua baru sampai kamar
sendiri, dan dari kamar sendiri sampai kegemetaranmu

yang kusentuh ketika kita saling berdekapan,
berciuman lalu bersetubuh dan berak di lantai-lantai
membuat balairung jadi kakus panjang
dan menyeret Ken Arok tegak ke depan

si penjaga taman yang di matanya masih menyimpan
bagaimana fantastisnya merkuri di balik kain sang permaisuri
apakah itu memang cinta ataukah teror?
apakah itu memang begitu, kekasihku?

akh, kini tak ada lain
kecuali kita mesti menelusup ke semak-semak
seperti ular itu, seperti kalajengking itu
lantaran telah terhunus kehendak kejam

kehendak saling culik dan curiga, saling gigit dan terkam
sampai areal pun memusar pada ketiak Kurusetra, Singosari,
Bosnia, Tembok Cina, lalu terselip
pada ranjang si Salman Rushdie

yang menghitung waktu dengan keringat dingin
kegembiraan dengan dinding pengap
dan membuat kelepak jadi daging kurus
yang tulangnya saling menonjol dan rapuh

“Pletak!”: Patah! Ya, patahlah tulang-tulang kita
berserakan seperti jajaran kepulauan di khatulistiwa ini
jajaran mahkota yang di tajuknya sesak akan
suara yang mengerang-ngerang

yang timbul-tenggelam penuh daya, penuh tenaga
pukul-memukul tanpa henti, tanpa lelah
saling pandang-memandang dengan mengusung
nama, tubuh, alamat, kartu, catatan, surat jalan

sampai pada yang dekat-dekat dengan batin yang tersisa
yang melamar ibu kandung dan menikam dada ayah yang berujud anjing, lalu menendang sampai jadi gunung
lantaran tak bisa meneropong itu semua

jika begini,
terbelah, ya, terbelah sudah jantungku dalam kegemetaranmu
itu, kekasihku……

Gresik, 1995

22/08/08

Mengakrabkan Sastra Kepada Tuhannya

Judul Buku : Nabi Tanpa Wahyu
(Esei-esei Sastra Perlawanan)
Penulis : Hudan Hidayat
Penerbit : PUstaka PuJAngga Lamongan
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : xii + 218 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Bertumpu pada kesadaran tertingginya, manusia akan mewujud melebur kedalam huruf, kata, hingga kalimat-kalimat. Manusia dapat bebas tentukan langgam tema karya sastra yang ia hasilkan. Menembus kanon sastra menjadikannya lentur. Memagnet pesastra pemula asyik-masyuk bergelut dengan dunia sastra yang tak lagi garang penuh aturan. Sehingga, terengkuh energi kreatifitas yang tak melulu membincang ihwal “langit” dari sumber tunggal (simbol agama). Serasa gawat, bila ada pemasungan kompleksitas dunia pada satu ruang agama formal.

“Bila Tuhan menubuh pada dunia, dan ruh menubuh pada badan manusia, maka kesadaranlah menubuh pada kata-kata.” Begitulah garitan kalimat mukaddimah gubahan Hudan Hidayat (HH) “Kredo Seni di Atas Kredo Puisi” dalam buku ini. Kata-kata adalah ruang bagi kesadaran untuk berdiam mengeram. Karena itu kata-kata memang alat untuk menampung kesadaran.

Nabi Tanpa Wahyu HH memuat 26 esai sastra perlawanan. HH mengajak kita (utamanya penulis sastra pemula) agar bebas temukan kemandirian genre sastra yang mengeruhi karya sastra kita kelak. Garis bernas esai HH menyiratkan bahwa beragam rute jalan mengakrabkan sastra kepada Tuhannya. HH berani berpolemik panjang nan meletihkan, demi perjuangkan kemerdekaan ekspresi tuangkan imaji.

Tamsil menggugah HH: “Dengan mengabarkan kesyahduan dan kegilaan, sisi kemanusiaan menjadi lengkap, orang bisa berkaca padanya untuk menggenapkan kehidupan. Orang bisa berkaca padanya untuk sampai pada kebajikan.” Disini HH berusaha tidak menutup sebelah mata dalam melihat realitas keduniawian. Hidup seseorang dipandang HH secara fair, mesti mutlak mengandung nilai baik dan buruk. Sastra, diharap HH tak hanya menampilkan yang baik-baik saja dari manusia. Sastra tak hanya berkutat pada wilayah estetis an-sich, berbalik jauh melampaui, sastra sebagai mesiu mengetuk hati nurani, mengakui kemunafikan.

Bermula dari Pidato Kebudayaan Taufiq Ismail didepan Akademi Jakarta (2006), yang menyuarakan moral agama dalam sastra. HH menganggap pidato tersebut bukan hanya menyerang sastra dan seni, tapi lebih memporak-porandakan hidup itu sendiri. Taufiq Ismail melancarkan serangan stigmatik sastra: sastra SMS --sastra mazhab selangkangan-- atau sastra FAK --Fiksi Alat Kelamin—(Jawa Pos, 17 Juni 2007).

Itulah pemantik polemik HH dengan tuan Taufiq. Hingga esai ini digubah, tak lain adalah wujud dialog sehat tentang “nasib sastra”. HH hendak mendedah kredo sastra yang dikunci rapat-rapat oleh tuan Taufiq. “Terasa bagi saya serangan balik tuan Taufiq sangat mematikan. Dengan semangat anti-dialog dan anti-wacana, Taufiq seolah petinju yang memukul lawannya secara ‘kalang-kabut’. Dalam SMS-nya pada saya, Taufiq menyebut tentang ‘kebakaran budaya’, yang penyebabnya antara lain sastra SMS atau sastra FAK.”

Basis tuduhan Taufiq Ismail membikin kategori sastra SMS atau sastra FAK, langsung membidik jantung karya sastra dari beberapa pesastra, sebut misalkan: Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Fadjroel Rachman, Muhidin M. Dahlan, Hudan Hidayat, serta Mariana Amiruddin. Karya Ayu Utami ‘Saman’, cerpen Djenar Maesa Ayu ‘Menyusu Ayah’ di Jurnal Perempuan atau ‘Melukis Jendela’ di Majalah Horison, cerpen Mariana Amiruddin ‘Kota Kelamin’ di Jawa Pos, dsb.

Bak seamsal seorang hakim, Taufiq Ismail langsung memvonis karya-karya sastra tersebut sebagai ‘sastra cabul’ atau sastra yang membincang ‘daun surga’. Padahal kalau ditilik mendalam, menyibak makna dibalik pesan tersurat, karya sastra yang tertera diatas jauh dari klaim sepihak Taufiq Ismail.

“Membaca kedua cerpen Djenar itu memang menyebutkan alat kelamin, tapi alat kelamin itu sekadar pintu masuk untuk makna lain. Yakni, penderitaan sang anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Darinya menyembul simpati akan korban kekerasan. Bukan nafsu seks dalam konteks ‘sastra mazhab selangkangan’ yang dimaskud Taufiq,” ujar HH.

Begitu juga, bila membaca cerpen Mariana di Jawa Pos, Kota Kelamin. Spirit yang dibangun Mariana malah bukan hasrat seks, melainkan simpati akan manusia modern yang lelah mengatasi hipokrisi, melulu menutup rapat seolah kelamin terbalut pada tubuh manusia. Sehingga ungkap HH: “daging luar gagrak sastra seperti inilah yang ‘memfitnah’ kami sebagai motor penggerak ‘Gerakan Syahwat Merdeka’. Padahal sastra yang ditulis itu bukanlah semata ‘syahwat merdeka’. Tetapi ‘syahwat’ sebagai sampiran untuk kemerdekaan manusia (hal 11).

Dalam buku kumpulan esai ini, HH getol betul menggawangi kekebasan sastra dengan mutu argumentasi yang kokoh. Senjata ampuh HH yang dibidikkan kepada Taufiq Ismail ialah apakah ketelanjangan disana bukan sebuah ancang-ancang, untuk meraih makna kesepian atau ketuhanan? HH yakin bahwa Taufiq tidak bisa menghindar dari filsafat penciptaan dan ideologi penciptaan.

Michel Foucault (1926-1984) telah mengingatkan bahwa persepsi tentang tubuh adalah efek dari jaringan struktural kekuasaan dan pengetahuan. Tubuh mengandung metafor tempat kekuasaan memancangkan nafsu kekuasaannya sehingga melalui tubuh dapat dibaca konsekuensi perubahan-perubahan sosial sepanjang sejarah yang panjang.

Dalam ayat dari surat-Nya (QS. 7:22). Tuhan Yang Maha Imajinatif menggambarkan Adam dan Hawa telanjang, setelah melanggar. Akankah kita mengatakan Kitab Suci sebagai teks yang porno? Ketelanjangan Adam dan Hawa, ditempatkan Sang Kreator dalam bingkai sesuatu yang mengatasinya; sebagai sampiran, untuk menerobos kenyataan yang lebih tinggi. “Ketelanjangan”, dalam upaya meraih makna lebih luas, Tuhan membikin lewat peristiwa dan kata-Nya.

Nah, dari situ sastrawan dituntut melakukan tafsir dunia dan menemukan makna untuk kekayaan batin manusia. Seperti seorang ilmuwan melakukan tafsir dunia dan menemukan benda untuk kemudahan manusia. Puisi Simone Honecker “Sich Entssheiden atau Mengambil Keputusan”: Setuju tidak setuju/panas atau dingin/terserah, asal janganlah/setengah-setengah//Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak.

Berkat kerisauan Taufiq Ismail dan kelompok Saut Situmorang akan neo-liberalisme yang mewujud dalam dugaan adanya “sastra seksual”, memaksa HH membuat argumen “teologis” dalam esai ini. Menjangkau Tuhan dengan lambang dan sampiran, sehingga sastra menjadi dunia metafora yang sedap untuk dibaca. Mencerahkan manusia. HH malah khawatir, bila sastra hendak menjauh dari Tuhannya. Oh, aih aih.

21/08/08

Menembus Teks Kesahihan Bersetubuh

Judul Buku : Ritual Celana Dalam
Penulis : Andy Stevenio
Penerbit : Galang Press
Cetakan : I, 2007
Tebal : 188 hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Melayani hasrat seksual bagi manusia adalah kebutuhan niscaya. Pencetus teori hierarki kebutuhan pokok manusia, Abraham Maslow, menempatkan di rangking wahid tentang kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan seksual. Terasa ganjil dan menggelitik bila ada seseorang yang memenuhi hajat seksualnya secara unik, tak sama dari formula senggama keumuman orang.

Stevenio dikaryanya ini berhasil menguak potret beda cara pemenuhan hasrat seksual seseorang. Hal ini tak lepas, concern kajian dia sebagai pemerhati problem anak remaja masa kini.

Erat-kaitannya dengan relasi seks ganjil, Stevenio mengemukakan contohnya. Seperti, bercumbu mesra atau kencan dengan mayat yang tergeletak kaku tanpa nyawa, menyaksikan pasangannya berhubungan dengan orang lain dirinya baru bisa terangsang, mempertontonkan alat kelamin didepan umum untuk mendapatkan sensasi seksual, berhubungan intim dengan boneka, menjadikan bulu ketek sebagai pembangkit libido dan lain-lain. Praktik seksual semacam itu tergolong aneh dan kerap banyak orang menganggap si pelaku terjangkit kelainan seksual.

Beragam praktik keunikan seksual (kalau tak mau disebut kelainan seksual) acap kali terjadi seiring ketaklaziman si pelaku seks atau berbeda dengan hubungan seksual konvensional. Mereka tak anyal dikatakan sebagai orang yang abnormal, dikarenakan jauh dari praktik seksual pada umumnya. Peristiwa sadomashokis, misalnya. Dimana, hasrat si suami dapat tersalur mulus dengan nafsu gairah memuncak ketika si istri dipukuli lebih awal, dan dapat dipastikan kondisinya meronta kesakitan bahkan menangis, baru ia (suami) terangsang “menggarap” istrinya.

Lebih jauh, Stevenio ingin mengungkap bahwa rute raih kepuasan seseorang perkara seksual cukup berbeda-beda. Seakan ditegaskan, tak berhak jika kita menghakimi ekstase seksual orang lain. Model-gaya seksual seseorang dapat dipastikan telah memiliki ruas jalan masing-masing dalam meraih kenikmatan seksualnya.

Ritual celana dalam atau lebih tepatnya Ritual isi celana dalam, memiliki kecondongan pandangan unik dimana hubungan intim yang konvensional tak lagi mampu memuaskan keinginan hasrat seksual mereka. Sehingga, mereka mempunyai alternatif sendiri guna menyalurkan keinginannya. Satu puncak kepuasaan yang sesungguhnya dituntut oleh isi celana dalamnya.

Seiring kecanggihan tekhnologi, HP misalnya, yang banyak membantu mempercepat relasi komunikasi sehari-hari, memiliki efek besar terhadap relasi seksual manusia. Tak diterka-sangka, berkat bantuan HP, muncullah istilah Sex-Phone, dijadikan tren acuan meraih kepuasaan seksual orang modern.

Tak sedikit orang menggunakan jasa sex-phone bila kebutuhan biologisnya mendesak. Caranya pun tak terlalu rumit, tinggal kita memilih betah di gagang telepon untuk ngobrol-ngobrol dengan seseorang, tentunya lewat ocehan-ocehan vulgar yang mampu membangkitkan gairah hingga pada tingkat yang paling tinggi atau klimaks.

Meski dipaparkan dimuka mengenai banyaknya praktik seksual unik, tidak kemudian menjadikan kita berhak penuh dengan mengatakan: “tindakan mereka itu salah dan jauh dari moral berkeadaban.” Mereka adalah orang gila, sebab perilaku seksualnya berbeda dengan lazimnya aktivitas seksual keumuman. Merunut pemikiran filsuf post-modern, Michel Foucault, telah mengadopsi prinsip-prinsip geneologis guna mengobrak abrik kategori-kategori yang oleh masyarakat dimutlakkan.

Seperti penelitian historis Foucault tentang kegilaan. Lewat penelitian itu, Foucault ingin menyerang terhadap pemutlakan kegilaan sebagai penyakit mental. Kita cenderung menyebut orang yang tiba-tiba melucuti pakaiannya didepan umum sebagai orang “gila”. Seseorang yang harus segera mendapat bantuan profesional.

Kegilaan, bagi Foucault bukan suatu sudah pada kodratnya penyakit. Lebih jauh, penelitiannya membuktikan bahwa pada satu masa kegilaan bukan di konsepsikan sebagai penyakit, melainkan kesalahan moral yang mereduksi manusia ketingkat kebinatangan. Degradasi yang membuat manusia harus dikurung dan diisolasi, justru bukan disembuhkan.

Foucault, seorang filsuf yang gagah berani. Ia mampu melacak kegilaan dan pergeseran artikulasi yang bersifat normatif antara pengalaman yang valid dan tak valid, serta perilaku yang dianggap normal dan tidak normal. Kaitannya dengan kehidupan, Foucault memproyeksikan hidup sebagai seni. Hidup adalah penciptaan diri lewat pelampauan yang terus-menerus. Karenanya, kotak-kotak kategorial yang membungkus rapi eksistensi manusia harus disobek-tembus.

Kategorisasi kegilaan bukan kesalahan yang kemudian dibenahi oleh psikologi modern. Kegilaan, baik secara cacat moral maupun penyakit mental, tak lebih dari sekadar konstruksi sosial. Nietzche, filsuf yang duduk di aliran anti-esensialis, pernah melakukan hal yang sama terhadap moralitas. Kategori moralitas Kristiani yang dianggap suci, bening, dan mutlak dibuktikan sebaliknya. Kategori tersebut muncul pada satu konteks historis tertentu. Konteks historis saat para budak yang terhina membalik nilai-nilai aristokrat yang dikaguminya menjadi “yang jahat dan terkutuk”.

Membincang seksual tak hanya sekadar relasi intim antara pria dan wanita, serta kepuasaan an-sich diantara keduanya. Lebih jauh, seks diharap mampu menjadi batu-bata peradaban kukuh kelak dengan menciptakan keturunan-keturunan tangguh. Lewat seksualitas produktif dituntut amanah memperkaya manusia dan menjaga kelangsungan spesies homo sapiens, manusia yang bijak dan berpikir.

Buku Stevenio ini, memperkaya pengetahuan kita tentang keunikan- keunikan praktik seksual yang dilakukan si pelaku seks. Keberhasilannya memotret panggung teater keunikan seksual yang tergolong jarang diekspos oleh orang secara umum, saya pikir ia patut disemat sebagai pembela pelalu seks pinggiran. Banyak diantara kita menganggap, peristiwa seksual adalah hal tabu. Berbicara seks, kerap kita dianggap menebar aib ke orang lain. Bukankah sex education juga dibutuhkan?

Alur Hikayat Singa Babilonia

Judul Buku : Detik-detik Kematian Saddam
Penulis : NS. Mahmud dkk.
Penerbit : An-Naba’
Cetakan : I, Pebruari 2007
Tebal : vi + 105 hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Hikayat pemegang tampuk kekuasaan Irak selama tiga dasawarsa - sejak tahun 1979 hingga 2003 - telah berakhir. “Saddam”, begitulah namanya dipanggil. Dengan nama lengkap: Saddam Hussein al-Majid al-Tikriti, lahir pada tanggal 28 April 1937 di Desa Auja, Tikrit, Irak. Ia pernah mengukir kejayaan gemilang dibumi Irak. Bahkan, ia pula tercatat sebagai tokoh besar dikawasan Timur Tengah dan Teluk. Dengan hiruk pikuk menuju jayanya kekuasaan, banyak pengalaman pahit dan menyakitkan dirasakannya.

Saddam menapaki karir politiknya hingga kepuncak lewat jalan darah. Ia memulai langkahnya dengan kudeta atas Jenderal Qassim (1960), lalu mengobarkan revolusi atas presiden Abdul Rahman (1968), dan melucuti kekuasaan Presiden Ahmad Hassan al-Bakr, sepupunya sendiri, tahun (1979). Sampai akhir hikayat pun, berujung dengan tragis, yaitu dihukum gantung (31 Desember 2006).

Abdul Hussein al-Dujaili, salah seorang saksi mata mengemukakan penyebab Saddam diseret ke tiang gantungan. Adalah karena pembantaian oleh unit Garda Republik yang dikerahkan Dujail atas instruksi Saddam. Lebih 600 orang dari 80 keluarga ditangkap dan dibawa ke penjara rahasia Baghdad, 148 orang diantaranya sampai kini tidak diketahui nasibnya.

Berakhirnya Saddam ditiang gantungan, juga mengakhiri hidupnya diusia 69 tahun, delapan bulan, dua hari, 22 jam setelah dieksekusi. Dan dipenghujung usianya ini, ia sempat melontarkan pernyataan tegar: “Inilah akhir hidupku. Saya mengawali hidupku sebagai pejuang karena itu kematian tidak menakutkanku,” seperti disiarkan jaringan televisi CNN dan BBC.

Bersamaan dengan berakhirnya Saddam, maka dapat ditafsirkan sebagai kemenangan klan Bush; baik Bush senior dan yunior, AS sebagai Negara “polisi dunia” dan sistem kapitalisme (sekutunya). Sebab, melihat proses pengadilan Saddam hingga jatuhnya eksekusi hukum gantung, adalah tak lebih dari buah desain dari Amerika Serikat. Saddam dan Irak digambarkan oleh AS sebagai “Poros Setan” (axis of evil).

Banyak kalangan menolak atas hukuman Saddam tersebut. Bagi Vatikan, kejadian itu merupakan sebuah berita yang tragis. “Itu adalah alasan bagi kita untuk bersedih, meski ini menyangkut orang bersalah dalam sebuah kejahatan kemanusiaan yang serius. Sikap gereja Katolik yang menolak hukuman mati dengan alasan apapun harus ditegaskan lagi disini.” (Jawa Pos, 31/12/06)

Bagaimana pun, penguasa Irak yang fenomenal ini mempunyai segudang kesan disisakan pada kerabat dekat dan rakyatnya. Tak cukup rasanya, ketika kita hanya menyematkan karakter tunggal kepadanya. Banyak versi tentang sejarah hidupnya, mulai gaya memimpin sampai kebiasaannya yang bergelut dalam dunia literasi. Seperti, gaya kepemimpinannya tak sedikit orang (utamanya Amerika) menilai bahwa ia adalah pemimpin otoriter, ganas, dan radikal.

Klaim diatas terkesan paradoks, ketika mendengar penuturan dan kesaksian orang Amerika lainnya yaitu Robert Ellis. Ellis adalah seorang perawat militer Amerika yang bertugas memeriksa kesehatan Saddam dipenjara sejak Januari hingga Agustus 2004. Bagi Ellis, sebagaimana yang ia saksikan dipenjara, Saddam adalah sosok pria yang amat santun, suka bertafakkur, gemar membaca dan menulis (hal 37).

Didunia literasi (tulis-menulis), ia dikenal sebagai novelis. Seperti, empat hasil karya sastranya (novel), Zabibah wa al-Mulk (Zabibah dan Sang Raja) terbit tahun 2001, al-Qal’ah al-Hashinah (Benteng Pertahanan), Rijal wa al-Madinah (Pahlawan dan Kota), dan Akhreej Minha Ya Mal un. Novel terakhirnya ini, berkisah tentang manusia yang tamak, licik, culas, dan haus kekuasaan yang menjadi simbol rapuhnya kehormatan dan harga diri.

Seorang pengamat sastra, mengatakan bahwa novel-novel saddam itu termasuk dalam kategori “sastra perang”. Dilihat dari judul-judulnya pun, novel itu kiranya tak dapat dilepaskan dari senjata, dan alat-alat perang lainnya. Keempat dari karya sastranya, sangat dekat dengan diri empirik penulis. Seperti, latar sejarah hidup, dan kondisi sosial masyarakat Arab. Sehingga, novel-novel itu pun yang memudahkan para agen rahasia, seperti CIA (Amerika Serikat), M16 (Inggris), dan Mossad (Israel) mendedahkan dan menelusuri kepribadian saddam. Karena, novel-novel itu diyakini oleh mereka sebagai novel biografi saddam, dan tokoh-tokoh yang dibangun didalamnya adalah prototipe saddam sendiri.

Pada saat menjadi penguasa Irak, hari-hari itu Saddam tidak melaluinya dengan gersang, dan tanpa semangat apapun. Sebagai pemompa semangatnya dalam memimpin, ia menyejajarkan dirinya dengan raja agung zaman Babilonia, Nabukadnesar, yang pernah menaklukkan Jerusalem. Sehingga, Saddam pernah menyandang gelar “Singa dari Babilon”. Selain itu, Saddam juga berkeinginan mengulangi kehebatan pemimpin akbar Timur Tengah, sang penakluk Jerussalem, Sultan Salah al-Din Yusuf bin Ayyub atau saladin (1137-1193).

Sosok Pemberani
Said K. Aburish, wartawan dan penulis buku Saddam Hussein: The Politics of Revenge, menulis, masa kecil Saddam penuh dengan penderitaan karena keluarganya miskin. Sebagai bocah laki-laki, ia harus membantu mencari nafkah keluarga. Kemiskinan yang melilit menyebabkan ia harus mencuri agar keluarganya bisa tetap makan. Ia mencuri apa saja yang bisa dimakan, seperti telur, ayam, dan barang-barang lainnya. Sebuah potret buram dari Saddam kecil.

Saddam kecil, sering dikeroyoki oleh bocah-bocah asal desa yang sama, entah apa penyebabnya. Untuk melindungi dirinya, Saddam kecil kerap keluar rumah berbekal sebatang besi. Kadang besi itu ia panaskan hingga membara, lalu didepan anak-anak itu besi tersebut ditusukkan pada binatang agar anak-anak segan kepadanya (hal 10).

Dimata teman-temannya, Saddam kecil dikenal sebagai bocah yang suka berkelahi, jagoan, dan suka menggertak yang lemah. Tempaan hidup yang seperti itu, membawa Saddam memimpin sebuah geng jalanan ketika usianya baru 16 tahun. Ia tumbuh sebagai seorang yang penuh keberanian dan tidak mudah digertak.

Watak-watak itulah, ternyata tetap melekat pada dirinya ketika lawan politiknya menggertak. Termasuk Amerika Serikat dan sekutunya ketika memberinya ultimatum selama 48 jam untuk segera meninggalkan Irak. Sampai detik terakhir nafas pun, watak ini tetap dipertahankannnya.

Terakhir, buku ini sangat membantu bagi siapapun yang ingin mengetahui sejarah hidup Saddam. Didalamnya, selain memaparkan kronologi perang Irak, masa-masa kepemimpinan, foto-foto eksklusif detik-detik kematian, dan juga dilengkapi dengan hari-hari penting dalam hidup Saddam. Seperti, tanggal 28 April 1988 Saddam Hussein dianugerahi tanda kehormatan the Order of the People.

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

GNOSIS
:meditasi ke kesunyian

Sekali lagi aku bersaksi atas wujudku sendiri; menafikan semua yang berbentuk meniadakan aku dalam wadah yang tetap ada; ada pada suatu dan satu waktu. Aku juga berada di atas setiap bentuk yang menyatu yang bertentangan.

“Lihatlah kedip lilin di tengah semesta itu aku telah merubahnya menjadi matahari!” maka semua musti terbuka kerana tak ada ruang yang mampu mewadahi cahaya tak terhingga ini. adalah hati yang kugenggam di sandaran kekasih menempuh perjalanan kepada tujuan pencarian.

Aku datang kekasih, tanpa jalan tanpa arah. selain dari wujud menuju wujud ke dalam kesatuan penyaksianku” sampai pada inilah seluruh cahaya berebut menyatukan hasrat diri ke suatu pusatku.

Ohoi, perjalanan ini aku mulai dengan penarikan diri dari dunia kebendaan, mengosongkan kekuatan rasa di jiwa kepada segala sesuatuku, dan aku melihat semua sebagaimana hakikat sendirinya: seperti tercermin dari wujud yang melenyapkan kesadaran dan makna semesta. aku pusat alam raya dan roh dari yang mutlak dunia yang mewujud melupakanmu.

Lamongan, 2006



LAZARUS

Pesan itu masih tersembunyi dalam setiap bentuk, aku coba membuka dan menyerukannya kembali tapi sama saja engkau tak kan memahaminya. “Sebab aku adalah penciptaan maka ini isyarat terbaik untuk menemukan rahasia dalam pencarian. ya, melaluiku tuhan akan mengenalkan dirinya atau menjadikan dirinya di kenali”.

Waktu? tidak, aku tidak pernah mengenal waktu. Akulah bercerita tentang langit itu yang tak pernah kau mengerti karena kau bukan apaapa. sedang aku telah melampaui setiap jalanan dari kebenaran cinta sekaligus pengingkaran diri; pengingkaran akan penglihatan keyakinankeyakinanku. “tunggu saja aku akan membakar rumah ibadahmu saat kau lengah dan aku akan berkata kepadamu bahwa api itulah simbul kebenaran sesungguhnya. akan ku ajarkan hakikat api setelah kau melihat cahaya yang memancar dari nyalanya, dan kau akan mencapai capaian tertinggi tentang kebenaran yang meyakinkan, karena kau sendiri yang akan menelan api itu”.

Akulah yang tampak dari yang tersembunyi dari gerak kedalam diri dari tubuh atau bentuk melalui jiwa ke pusat yang terdalam; dari esensi yang berada diantara keliling dan pusat lingkaran, ke roh atau rahasia pusat kesadaran yang merupakan keterpautan antara aku dan dia.

Segera aku akan keluar dari bentuk kemanusiaan ini, dari rahasia bathin yang mengantar kesadaran akan makna ritusritus sesembahan.

Lamongan, 2006

19/08/08

Pameran Makam

A Rodhi Murtadho

Gundukan tanah. Nisan berjajar rapi menghadap arah yang sama. Kematian. Banyak orang tenggelam dalam tanah. Terbujur kaku. Entah hancur atau entah masih utuh tubuhnya. Yang pasti makhluk dalam tanah bersama mereka. Pengurai menguraikan jasad berkeping-keping. Menghancurkan tulang sampai tak ada beda dengan tanah. Sama. Layaknya humus yang terbentuk dari daun dan kotoran. Jasad manusia juga menjadi penyubur tanah. Tak heran kalau tumbuhan di tanah kuburan gemuk-gemuk dan subur.

Pandangan mata Beni semakin memfokus. Pertanda ia memikirkan sesuatu atau mungkin hanya menghayal. Tapi pandangannya tertuju pada tanah kuburan. Entah apa yang dipikirkannya.

“Pameran makam!” terceletuk lembut dari bibir Beni.

Kontan aku merasa kaget. Pikiranku mulai melayang ke mana-mana. Bahkan sempat singgah di rumah sakit jiwa. Berjalan di trotoar dan tertawa sendiri. Terdiam dalam ruang sepi dan terpasung.

“Gila kau Ben, mana ada pameran makam,” sanggahku.
“Coba kau pikirkan Bud, sebuah pameran makam terangker di kota metropolitan.”
“Memangnya mengapa, Ben?” semakin penasarann aku dibuatnya.

“Di tengah gemerlap kota metropolitan, orang mencari harta, ketenaran, kekayaan, kesenangan. Dan begini, Bud, pameran ini akan banyak dihadiri kalangan artis, orang kaya, orang miskin, bahkan kalangan pendatang dari daerah. Dengan harapan, mereka akan mendapatkan keinginan-keinginannya hanya dengan menghadiri pameran ini.”

Semakin heran aku dibuatnya. Bisa-bisanya Beni berpikir macam itu. Entah setan apa yang merasuki pikirannya. Ia kukenal alim. Setiap kali aku pulang kampung dengannya, ia selalu berziarah ke makam keluarga.

Di seberang jalan kompleks makam yang tak lepas dari pandangan mata Beni, di sebuah warung peyot pinggir jalan, aku dan Beni terus nyeruput kopi dan menghisap rokok kretek. Semakin pekat gelap malam. Semakin luas kesunyian. Semakin fokus pandangan mata Beni pada kompleks makam.

“Kok bisa, padahal kau lihat sendiri. Angker, sunyi, gelap, dan serba tak enak suasana di makam,” aku berusaha menyadarkannya.

“Benar sekali, itu modal kita. Dengan keadaan angker, orang akan mentuankan kompleks makam itu. Dengan petunjuk kita, akan banyak orang berdoa di sana. Dengan keadaan sunyi, orang akan bebas mengucapkan doanya. Dengan keadaan gelap, orang tak perlu malu berada di sana. Dengan keadaan serba tak enak akan buat wartawan enggan masuk ke sana. Jadi, orang tak perlu takut wajahnya akan diekspose ke media massa. Dan semua ketenangan itu menjadi fasilitas agar harapan dan keinginan mereka terkabul.”

Gila! Pikiranku semakin melayang jauh menerawang dan terbang mengembara. Semakin jelas tawa Beni di rumah sakit jiwa. Semakin jelas wajah kucel, pakaian compang-camping, bicara sendiri di trotoar. Semakin jelas diri Beni berada dalam ruang sepi. Terpasung dan sendiri.

Aku tertawa dan cekikikan. Hal inilah yangg membuat Beni merasa tak nyaman. Sebagai sahabat kental, ia berusaha meyakinkanku, megutarakan penjelasan dan alasan yang bertele-tele layaknya orang pemerintahan. Tak biasanya ia bisa berkata lancar. Seperti guru saja.

“Sudah malam Ben. Ayo pulang. Besok kerja,” ajakku.
“Kau pulang duluan. Mungkin aku agak lama di sini.”

Beni memang terlahir dari keluarga sederhana. Namun kebutuhannya tercukupi dengan baik. Hanya kemewahan saja yang tak ia rasakan ketika berada di desa. Sama seperti aku. Mungkin hal ini yang membuat kami akrab. Tapi entahlah, Beni banyak berubah di kota ini. Terutama pola pikirnya.

Semenjak kami bekerja di kota. Kami terpaksa melakoni kerja yang berat. Pabrik kayu. Pekerjaan yang banyak mengandalkan otot dan menguras tenaga. Apalagi kami buruh tidak tetap. Semua itu terpaksa kami jalani untuk menghindar dari gunjingan warga desa. Mereka selalu mengatakan pemuda yang tidak bekerja ke kota akan dicap sebagai penganggur, sampah masyarakat. Lebih parah lagi, mereka akan menjauhkan anak gadisnya dari pemuda semacam itu.

“Memangnya kau akan bertekad membuat dan mewujudkan pameran makam itu, Ben?”
“Ya!”

Tekad Beni memang kuat. Kami pergi ke kota metropolis ini dan bekerja di pabrik memang bermula dari tekad dan ajakan Beni. Sungguh luar biasa. Aku merasakan semangatnya yang membara jika keinginan sudah dikatakannya.

“Sudahlah Ben, ayo pulang!” ajakku pelan.
“Tidak. Saya tetap di sini dan esok atau lusa pameran itu akan terselenggara.”
“Memangnya apa yang akan kau lakukan?”

“Seperti mengadakan pameran yang telah aku pelajari di Karang Taruna Desa. Pertama, aku akan mencari kuburan yang sangat angker, terus mempublikasikan, terus semua orang bisa datang. Tanpa aku menghias atau merapikan makam. Otomatis tak butuh modal banyak. Kau mau ikut atau tidak? Keuntungan bisa kita bagi dua.”

Tawaran yang sangat menggiurkan, membuat aku berpikir dua kali. Kegilaan dan memikirkan keuntungan. Namun, yang terpikirkan oleh buruh yang upahnya sangat kecil hanya kenekatan. Menggiring aku menaklukkan pikiran gila dan meninggikan keuntungan.

“Lantas apa yang harus aku lakukan Ben?”

“Kau tak usah berbuat apa-apa, hanya membantu aku ketika pameran nanti. Sekarang, pulanglah dan besok bekerja. Aku tidak masuk kerja besok.”

“Kalau begitu saya pulang, Ben.”

Aku melangkahkan kaki menyusuri trotoar dengan memikirkan keuntungan yang nanti bakal kuraih bersama Beni. Kemewahan dan harta yang melimpah. Spontan aku tertawa. Lampu kerlap-kerlip di simpang jalan membentuk tulisan ‘Rumah Sakit Jiwa’, menarik perhatian pandangan mataku. Kulihat diriku dan Beni berada di sana. Di antara kaca yang terpampang besar di depannya. Sampai aku di kamar kos. Sendiri tanpa Beni. Sunyi di antara gelap malam. Pun aku tertawa sendirian memikirkan kegilan Beni. Sungguh nekad. Kok bisa-bisanya.

Seminggu berlalu. Tak ada kabar dari Beni. Aku terus menantinya pulang ke kos. Rutinitas yang kujalani tetap sama. Berjalan ke Pabrik untuk bekerja, pulang ke Kos untuk istrirahat, dan cangkruk di warung untuk makan, sekadar nyruput kopi, dan menghisap rokok kretek.

Banyak kudengar dari radio dan cerita kawan-kawanku, selain dari surat kabar lokal yang tersedia di warung, banyak pejabat pemerintah yang hilang. Banyak aktivis yang hilang. Banyak orang hilang. Entah minggat atau diculik. Tak ada kejelasan sama sekali. Hanya mengabarkan hilang. Kota semakin gempar dan dicekam ketakutan. Mereka menandai diri. Memasang semacam alat pelacak di tubuh. Mereka ingin mudah ditemukan kalau diri mereka sewaktu-waktu hilang.

Hari ini kulakukan aktivitas seperti biasa. Ke pabrik, pulang ke kos dan nongkrong di warung. Seperti biasa pula, kuserubut kopi dan kuhisap rokok kretek sendiri, tanpa Beni. Kubolak-balik koran yang acak-acakan. Aku heran dengan berita tentang makam baru tetapi nisannya tak bernama. Kubaca pelan-pelan. Ternyata orang itu ditemukan sudah menjadi mayat di kompleks makam para pejabat. Konon kabarnya, para pejabat yang dikubur di kompleks makam itu adalah tukang-tukang korupsi. Orang itu mati dengan telanjang bulat, kepala hancur, tubuh penuh luka, dan sangat sulit dikenali. Tak ada tanda pengenal atau alat pelacak untuk menunjukkan identitasnya. Banyak orang mengira-ngira bahwa orang itu adalah keluarga mereka, teman, atau musuh yang hilang. Mayat itu terpaksa cepat-cepat dikubur karena banyak sekali orang yang mengaku sebagai keluarga atau temannya. Daripada berebut, lebih enak dikubur.

Sungguh aneh berita yang aku baca. Tapi tunggu dulu, kompleks itu berada tepat di tengah kota. Tak jauh dari tempatku duduk kini. Mungkin hanya berjarak dua kilometer. Dan itu terjadi kemarin ketika aku sedang berada di pabrik. Aku teringat kembali pada Beni. Di mana sekarang dia? Sudahkah menemukan makam yang tepat untuk dijadikan pameran. Mungkin kompleks makam tersebut menjadi tempat yang strategis. Tetapi sekarang sudah terlalu ramai dikunjungi dan diberitakan wartawan.

Aku melanjutkan membaca koran yang masih ada di tangan. Diberitakan kalau pemilik warung dekat dengan kompleks makam tempat kejadian perkara sempat ngorol dengan orang itu sebelum meninggal ketika pemilik warung ditanya wartawan. Orang yang mati itu pernah ngopi di warungnya. Pemilik warung juga mengatakan bahwa orang itu akan mengadakan pameran dekat makam karena tema yang diangkat sesuai dengan keadaan makam. Angker, sunyi, misteri dibalik tubuh hancur karena banyak dosa.

“Benar Mas, konon pejabat-pejabat yang dikubur di sana banyak melakukan korupsi. Kalau diberitakan antar mulut saja atau di koran, Mas bisa terkenal,” pemilik warung mengulang perkataannya untuk orang tersebut kepada wartawan, “tetapi orang itu pergi dengan tersenyum setelah ia membayar kopi dan rokok kreteknya,” pemilik warung melanjutkan ceritanya.

Dikabarkan juga, pemakaman orang tanpa identitas dihadiri para pejabat, mahasiswa, dan banyak orang yang mengaku punya hubungan dengan orang tersebut. Nisan tanpa nama itu disepakati karena banyak orang yang berebut ingin nama anggota keluarga atau teman mereka yang hilang terukir di sana. Dikabarkan pula, sampai hari ini pun, masih banyak orang yang berdoa menziarahi kompleks makam pejabat kota di makam yang bernisan tanpa nama.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah itu Beni sahabatku? Melakukan pameran makam di kompleks makam tengah kota. Mengapa mesti dirinya sendiri yang dipamerkan?

Surabaya, 18 November 2005 (01:42)

18/08/08

BUAT J.W.V. GOETHE, I

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=93


(I) Ribuan gentayangan menjambak rambutku,
bersama matahari melewati tujuh harinya bumi,
duabelas purnama, gerimis dan terik menyengat.
Yang malam, menyaksikan bintang-gemintang abadi,
atas padang rumput ilalang, kala kabut menebar sangsi;
udara mulai terhirup pemikiran, keraguan ganjil tertelan.

(II) Kalung melingkari leher bidadari,
tak lebih lebar punggung belati; ditempa cahaya purnama,
berkilatan menyambar nyawa perhitungan. Darah muncrat
sesegar perut perawan, yang terhunus pedang sendiri.

(III) Pada Faustmu, kubelajar tujuh kerahasiaan alam,
segala ruh mempesonaku, menuruti ke batas kota hening;
kita mengajarkan hembusan angin kencang pembebasan.

(IV) Sebab dinginnya cahaya mengendap,
kulit terdekat perapian, menjembatani kekuatan;
bertabrakan sebagaimana perang di altar nurani.

(V) Ini anak laba-laba memakan induknya; manusia,
dirayu mengenyam bahagia, serupa seribu pintu menawan.

(VI) Di batu hitam berlumut, percakapan hening suwong;
lembab merangsek dada perjuangan, dedaunan bergoyangan.
Embun topas terjatuh berguling, di tangan menjelma berlian.

(VII) Bersamaan fajar sesungguhnya, fajar semu tertelan,
kepada rimbun perut gua, relief terbaca, kesaksian tumpah.

(VIII) Salju meleleh di batang-batang sungai,
persetubuhi cahaya menjelma kaca;
ada bintik-bintik mutiara di pohon tua,
yang menyenangi menjerumuskan manusia.
Lewat sinar merah, biasnya limbung meragu,
berayun pada hati sebagaimana apel terbelah.

(IX) Teriak anak-anak di ladang perburuan,
tangisan ibunda di negeri penindasan;
api ganjil mencipta bayang tengah malam,
mereka sakit memandang gaib. Dan kalbu bergetar,
lahar memecah tulang mencabik daging mencabuti serat,
terkelupas kulit-kulit halus setelah hangus.

(X) Kesempatan penuh merampungkan karya,
berbeban sakit gelora membebas;
keringat dingin menderas setelah jaket mendung tebal
menutup tubuh langitan; demam bergejala keabadian.

(XI) Di perbatasan tidaknya, nyawa menggelantung,
menuruni tangga gelisah, membumbung uap batu nisan;
kekekalan terpahat, sedurung debu-debu mengubur jaman.

(XII) Darah mengalir ke sekujur hidup, gejolak api suci
melenturkan hawa pengab; gonjang-ganjing jiwa
menggedor pepintu, lalu gerbang alam terbaca.

(XIII) Pada titik tepian jurang ketentuan,
burung-burung gagak hinggap di dedahan;
saat kembang bermekaran memeluk tebing,
alunan tembang pujian melewati lembah pesawahan.

(XIV) Tugu kaca menancap di alun-alun tengah kota,
mereka bercermin melihat wajah masing-masing. Dan,
kelelawar beterbangan di ubun-ubun kantor pos tua,
sementara burung-burung kecil menggigil,
menelusupi barisan, terbirit keluar arena.

5 Juli 2000 Yogyakarta.
*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

BUAT J.W.V. GOETHE, II

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=91


(I) Faust, aku mendengarmu dalam keriuh rendahan
tebing sukmaku; bukit-bukit berbaris menguji dakian ini,
raut yang jauh di atas pegunungan salju adalah milikku.
Kau dinginkan tubuh hujan, kapas randu menerpa
jubahmu, yang kumal bagiku ketuaan wajahmu;
memandang purbawi dunia dari segala yang ada.

(II) Kau terdiam serupa patung es,
tapi panas gemuruh sukmamu memanggil mereka,
kepadaku hendak persembahkan tarian di panggung,
ketika semua tenggelam dalam penilaian-penilaianmu.
Ku tebarkan bunga-bunga harum di pelataran kesucian,
air menyetubuhi mawar memercik pada kerajaan cahaya;
kebahagiaan hidup memberi, teruntuk tuntunan tebusan.

(III) Aku rela mengunjungi kepahitan,
yang hianat biarkan senang dalam sekejap;
kemenangan di kuburan atau berharap, inilah
jantung keabadian, tengah meneguhkan niatan.

(IV) Panggilan ruh ketinggian kerinduan langit,
yang digubah sebelum kita memaknai peribadatan.

(V) Api gentayangan menghancurkan timur-barat
demi kepuasan tanda, kegilaan terus mencari kebodohan,
sampai tua belum menemukan, menyulami waktu keluh;
keterasingan dalam penjara, jiwanya luruh berkalu lalu.
Terbebas terali besi, burung-burung tidak patah arang,
sebab Margarete menebusnya dengan cinta mematikan;
racunnya nikmat ditelan keutuhan.

(VI) Di sinikah tempatnya, mati berkeadaan penasaran,
burung elang mencincang seluruh tubuh, tak luput otakku;
aku terbang bersamanya, tanpa kau sadari kekenyanganmu.

(VII) Dari Faust kukejar bayang sukma memburu hantu,
menelusupi urat-urat nadiku, darah segar mengucur; siapa
bermandi di telaga darah? Pembantaian di jalan sungsang?

(VIII) Akulah bumi abadi yang kau hujamkan bibit padi;
pohon-pohon jati, kembang-kembang mewangi,
angin memberi nafas mengeja awan di pantai.
Aku sendiri tertikam sunyi mencekam,
dalam kebekuan masa meleleh kesadaran;
tangisan penyesalan dalam liang pekuburan.

(IX) Jalan terduga matinya pendapat
atas kesepakatan singkat; patahnya mawar,
durinya menggores kulit padamkan cahaya.

(X) Ini getaran jiwa perubahan;
arah kapal berlayar mengarungi harapan,
membelah gelombang atas daya kesungguhan.
Burung-burung bangkai mengepak ke tepian pantai,
pada tanjung karang, bintang berkerlip di ujung malam.

(XI) Ayunan tangkai teratai mengembangkan kelopak,
di tengah telaga bersama ganggang dan ikan-ikan,
sedang lampu-lampu pejala menerangi sejauh lemparan.
Pagi, tetesan embun ketinggian daun mendenting petikan dawai,
lagu damai mulanya hasrat,
lalu pertemuan menggugah semangat.

(XII) Segelas kohwa mulai dingin, sewarna mega terangnya
bulan, terselip pada malam-malam mengusir kantukmu,
meninggalkan pernah terlewati, berjalan pada yang dicari,
kepada lereng pebukitan kasih, kebebaskan daun-daun
mengenal akrab gelap dan cahaya mentari.

(XIII) Di sini letaknya, semua gentayangan terjawab;
menghantui bangun bertingkat, terbuka pintu berharap.
Itulah burung hantu menyampaikan salam kelelawar,
memanggil degup jantung, tertancap di selangkang
jemari, menangkap kabut berharap butiran kasih.

(XIV) Ada datang tiba-tiba, menggedor pintu dada,
rumah suwong dihuni laba-laba, debu-debu menua;
pada keningnya tergaris penyesalan matahari,
tak sanggup menyokong tulang, gejolak api jiwa.

(XV) Meniti hawa tidak kunjung lengkap,
menata bebatuan setingkat awan melayang;
itulah senjakala belum membentuk stupa.
Di mana tempat ini? Pada ketinggian bukit,
atau terlepas sekapuk randu menuwai mesiu;
terbang berangin kencang tiada berat tetap bersinggah,
walau setipis grafitasi cemburu menambatkan tali kuda.
Turangga sihir ajaib itu, sang tuannya datangkan badai,
ribuan hujan peluru menancap tak sempat melihat bekas
kejadiannya, namun pujangga tahu sebelum dan setibanya.

(XVI) Di mana asalmu? Di balik endapan awan ungu,
atau bersemayam di dadaku; seiman tak lepas bara batu,
wajah-wajah tidak hianat di atas tungku para Mephisto,
hanya tarian keikhlasan, anggur dzikir membumbung
meninggalkan tahta pertemuan, melebihi kasih sayang.

(XVII) Batu legam terbelah cahaya keyakinan;
perang di batas kulit nurani setipis nafas ari-ari,
serupa penciptaan batu para pembangkang, atau
menurunkan salju, meleleh di ketinggian lautan.
Dan naik menenggelamkan kepulauan,
sebesar lorong jarum, mengucur deras ke segenap
penjuru; kesadaran iman batasnya di tenggorokan,
maka bertakbirlah sebelum berperang.

(XVIII) Faust, kau sesekali melebihi malaikat
pun hina serupa keledai kudisan;
persekutuan sesat bersama kucing hitam,
kau celupkan tinta lalu melukisnya,
hingga seluruh jagad gelap.
Awan hitam arang berarak pekat
oleh desakan angin timur-barat,
merangkum tanpa cahaya bulan,
hanya kilatan-kilatan petir kau anggap ilham.

(XIX) Di mana ruh lama bangkit menggugat,
nyawa kembali menemui bumi tambah menuai,
mengantarkan tulang keropos ke tempat istirah.

(XX) Tangkaplah sendiri, ruh gentayangan,
terserah berjala, atau dengan jaring laba-laba,
adalah lebih baik merasai hembusan musim;
angin dan air kau terima, terangkum ke tubuh.
Meleburkan pori-pori udara waktu diterbangkan
sejauh kaki-kaki mengapit punggung turangga,
sekuat aura tidak melepaskan paras nan ayu.
Kau melesat, setombak ditali bendera semangat
tarian perang berdentum,
membujuk awan menabur bayu menuwai hening,
kepada tahta perawan, asal nurani menjelma niatan.

(XXI) Yang tak ingin tua memburulah sebau kopi jantan;
peperangan, gelombang menerjang tanjung karang jaman,
seperti buah apel hampir matang pada pohon matahari,
senantiasa memberi energi, tak luput tentunya terasa,
daunnya gugur bersama pengertian masa dipaksa.

7 September 2000
*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita